Keesokannya pagi-pagi sekali Raka sudah bersiap-siap. Dia bahkan sengaja tidak sarapan dulu agar bisa bertemu dengan Lusi. Karena seperti yang dikatakan oleh Maura, Alia ingin bertemu dengannya. Jadi, dia harus menggunakan kesempatan ini untuk kembali mendapatkan perhatian dari sang anak. Saat Raka hendak pergi, tiba-tiba saja Bu Sinta keluar dari kamarnya. Dia kaget melihat anaknya sudah rapi."Loh, kamu mau berangkat sekarang? Ini kan masih jam 6," tanya Bu Sinta sembari melihat jam di dinding. "Ya, Bu. Aku harus bertemu dengan Alia. Kata Maura, Alia sempat menanyakan aku.""Benarkah?" Wajah Bu Sinta tampak sembringan mendengarnya. "Iya, aku yakin. Maura tidak akan bohong, karena ini berkaitan dengan Alia," ucap Raka. Dia juga tampak senang.Ini kesempatan yang bagus untuk memulai segalanya, jangan sampai dia menyia-nyiakan waktu yang sudah ada. "Baguslah kalau begitu. Kamu jangan sampai kehilangan kesempatan ini. Ingat! Kuncinya adalah Alia. Kalau Alia mau kembali kepadamu, ma
Winda terdiam melihat Bu Sinta yang sedang makan begitu lahap. Bahkan di mejanya itu penuh sekali dengan makanan-makanan mewah yang pastinya mahal. Winda memang sengaja mengajak Bu Sinta ke restoran ternama di tempat itu. Bahkan Winda juga mengajak Bu Sinta memakai taksi untuk sampai ke tempat ini, karena dia pikir Bu Sinta akan merasa malu dan membeli makanan sekedarnya saja. Namun siapa sangka? Wanita paruh baya ini seperti sedang menggunakan aji mumpung. Dia memesan banyak makanan yang paling mahal dan mewah, dalam jumlah banyak. Tentu saja Winda hanya bisa terperangah sembari meneguk saliva dengan susah payah, bukan karena tergiur atau ingin menyantap makanan yang sama dengan Bu Sinta. Hanya saja dia berpikir bagaimana cara membayar semua tagihan ini, pasti uang case yang ada di dompetnya tidak akan cukup untuk membiayai semuanya.Katanya sarapan, tetapi kenapa sampai menghabiskan seperti ini? Ingin sekali Winda bertanya seperti itu kepada sang wanita paruh baya, tetapi tentu saj
"Ayo, jawab! Kamu sanggup nggak kalau memberi saya 10 juta per bulan, hah?!" tanya Bu Sinta, membuat wanita itu terdiam.Bukan masalah sanggup atau tidaknya, tapi karena Winda itu hanya punya toko kelontongan yang serba ada. Kemungkinan untuk 10 juta itu adalah setengah dari keuntungan yang dia punya per bulan. Mana mungkin wanita itu memberikan kepada Bu Sinta. Sebenarnya wanita paruh baya itu juga mengatakan hal yang salah. Sebenarnya, Lusi hanya memberikan 7 juta per bulan. Dia melakukan ini semua agar Winda mundur saja dan tidak jadi mendekati anaknya. Tetapi kalau ditotal uang yang didapatkan oleh Bu Sinta dari Lusi selama ini, pasti lebih dari 10 juta. Karena selama per bulan atau sebelum jatuh tanggal saat Lusi mengirim uang bulanan, wanita paruh baya itu pasti akan menerima uang lagi.Winda tampak kebingungan menjawab pertanyaan dari Bu Sinta. Dari reaksi Winda, wanita paruh baya itu sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan oleh Winda. "Kamu tidak sanggup kan?" cetus Bu Si
Sementara itu di tempat lain, saat ini Maura sedang siap-siap untuk pergi ke sekolah. Ini hari pertamanya masuk ke tempat elit itu. Dia melihat pantulan diri di cermin, sangat cantik dan juga elegan. Berbeda jauh kalau dirinya bersekolah di kampung. Maura harus benar-benar memakai baju yang sudah bertahun-tahun lamanya. Harusnya Bu Sinta itu memberikan dia baju baru atau setidaknya baju ganti yang bisa membuat Maura PD untuk bersekolah. Tidak seperti dulu yang benar-benar seperti gembel karena pakaian yang seadanya. Tetapi sekarang gadis itu bisa berbangga diri dan percaya diri juga karena bisa memakai pakaian yang begitu branded. Lusi tidak sembarangan memberi pakaian ini dari toko biasa juga. Jadi dia harus benar-benar memperlihatkan pesona dirinya di sekolah.Maura harus bisa mendominasi, walaupun menjadi anak baru. Dengan begitu semua yang dia inginkan akan menjadi kenyataan tanpa harus memikirkan apakah dirinya pantas atau layak. Begitupun dengan Lusi, dia harus bersiap-siap u
"Ayo, kita berangkat!" ajak Lusi kepada Maura dan Alia. Adiba yang sedang berada di ambang pintu pun langsung menghampiri temannya. "Biar aku saja yang mengantar mereka," ucap Adiba memberi ide, karena dia punya sesuatu yang akan dibicarakan dengan Maura di mobil. Dengan begitu sang gadis bisa melihat bagaimana reaksi Maura jika berbicara dengannya, pasti berbanding terbalik jika sedang berhadapan dengan Lusi. Maura kaget mendengarnya. Entah kenapa dia merasa kalau misalkan Adiba punya rencana sesuatu sampai tiba-tiba saja mengajukan diri untuk mengantarkannya. "Kamu kan baru sampai kemarin, sebaiknya kamu istirahat saja," imbuh Lusi, tidak enak kalau misalkan merepotkan temannya. Walaupun dia sudah meminta bantuan, tapi tidak bisa begitu saja kalau misalkan hari ini menyuruh Adiba untuk pergi mengantar anak dan adiknya. Namun demikian, gadis itu tersenyum sembari menggelengkan kepala. "Loh, gak apa-apa. Daripada aku di rumah terus juga kan bosan. Sekalian hitung-hitung latihan
Suasana kembali hening saat Maura sudah turun dari mobil. Sekarang tinggal mengantarkan Alia. Gadis kecil itu pun duduk di pertengahan mobil sembari melihat kedua orang tuanya yang hanya saling diam.Dulu sebelum mereka benar-benar berpisah, suasana akan terasa hangat dan ramai jika berada dalam mobil. Akan ada candaan ataupun cerita-cerita yang menarik, yang bisa menjadi topik pembicaraan di antara mereka bertiga. Namun semua itu hanya bisa dijadikan sebagai kenangan saja. Betapa pahitnya yang dirasakan oleh sang gadis kecil. Dia ingin sekali protes kepada ayahnya. Kenapa melakukan hal seperti ini kepada dirinya dan juga sang Ibu? Awalnya Alia memang ingin bertemu dengan Raka, mendengar apa yang sudah dikatakan Maura kepadanya. Tetapi melihat betapa ibunya hanya bisa diam dan terluka dengan semua ini, tentu saja Alia berpikir dua kali. Mungkin ada baiknya dia tidak sering bertemu dengan sang Ayah, karena bagi alia luka-luka itu masih membekas di hati dan pikiran. Bahkan, Alia masi
Selama sisa perjalanan, Lusi maupun Raka saling diam. Karena mereka tengah bergelut dengan pemikiran masing-masing. Raka masih tidak menyangka kalau anaknya sebenci itu kepada dirinya. Padahal dia sudah minta maaf dan berusaha untuk kembali mendekati Alia, tapi baru juga dimulai, gadis kecil itu sudah memperlihatkan antipati kepadanya. Ini benar-benar membuat Raka frustrasi. Dia jadi berpikiran, mungkinkah Maura bohong kepadanya, untuk mempermainkan Raka?Seharusnya pria itu lebih teliti lagi mengenal Maura. Apalagi sang gadis tidak tahu asal-usulnya dari mana. Dia jadi merutuki Maura. Raka akan membuat pelajaran kepada Maura dan meminta pertanggung jawaban atas apa yang sudah diucapkan Maura kemarin. Sementara itu Lusi berpikiran hal yang sama. Bagaimana bisa Alia berpikiran hal seperti itu? Bahkan mementingkan perasaannya. Ada rasa haru dan juga sedih bersamaan kala Alia harus menanggung beban seperti ini, di usia yang masih belia. Rasanya begitu sakit. Tetapi apa pun yang terjad
Raka langsung mengerem mendadak di bahu jalan, yang membuat Lusi terkesiap. Untung saja wanita itu memakai sabuk pengaman. Kalau tidak, mungkin saat ini dia sudah terluka karena kepalanya terantuk dashboard."Kamu apa-apaan, sih, Mas? Kamu mau membunuhku?!" tanya Lusi dengan nada tinggi, karena dia benar-benar kaget dan tidak menyangka kalau Raka tiba-tiba saja mengerem mendadak seperti itu. Untung saja di depan dan di belakang tidak ada mobil yang melaju cepat. Kalau tidak, mungkin bisa saja dia celaka. Raka mengguyar kepalanya dengan frustrasi. Dia lalu menoleh kepada Lusi dengan wajah yang gusar. "Kamu yang apa-apaan? Kenapa kamu meminta uang yang sudah diberikan? Bukankah dulu itu kita masih menjadi suami istri? Seharusnya, kamu tidak perlu meminta hal yang sudah diberikan," ujar Raka, karena dia kaget dengan tuntutan yang diberikan Lusi jika dirinya ingin kembali kepada wanita itu. "Memang apanya yang salah, Mas? Bukankah memang setiap suami istri yang pisah itu akan dibagi ha
"Karena Mila itu beda dengan Lusi. Mau seperti apa pun aku berusaha menyamakan Mila dan Lusi atau mengubahnya, itu mustahil, Bu. Mila ya Mila. Lusi ya Lusi, tidak bisa disamakan," ungkap Raka. Dia tidak suka kalau misalkan ada yang membanding-bandingkan dan menyuruh Mila sesuai dengan Lusi, karena mantan istrinya itu tidak ada duanya. Tak bisa ada yang menyamai sifat Lusi yang begitu baik hati."Kalau begitu untuk apa kamu melanjutkan hubungan dengan Mila? Kalau kamu alasannya anak, percaya pada Ibu, hati kamu tidak akan pernah bisa tenang dan anakmu juga akan punya trauma karena kalian menikah dengan terpaksa.""Bu.""Raka, dengarkan Ibu. Ibu tahu kamu tidak percaya kepada Ibu karena kejadian-kejadian kemarin, tapi kali ini Ibu benar-benar melakukan semua ini karena kebaikanmu. Ibu yakin, Mila itu bukan wanita yang baik. Coba kamu pikirkan ulang perkataan Ibu, jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari." Raka tidak mau menanggapi perkataan Bu Sinta dan memilih untuk mengeluarkan
Seketika Raka terdiam. Dia melihat ibunya dengan tatapan bingung, tapi Bu Sinta saat ini begitu serius memandangi Raka dan berusaha untuk meyakinkan anaknya agar meninggalkan Mila."Apa maksudnya, Ibu? Aku meninggalkan Mila dan calon anakku?" tanya Raka, wajahnya berubah menjadi serius. "Iya, kamu benar.""Tidak bisa, Bu. Di dalam kandungan Mila itu ada anakku. Bukankah tes DNA sudah membuktikan kalau dia itu adalah anakku? Aku tidak bisa meninggalkan anakku, tidak bisa." Sesuai dengan perkiraan Bu Sinta, kalau pria ini tidak akan pernah tega meninggalkan anaknya. Sisi lain dari Raka itu sangat menyayangi darah dagingnya sendiri, meskipun Mila adalah wanita yang benar-benar memuakkan. "Ya, Ibu tahu kamu sangat menyayangi anakmu, tapi juga pikirkan ke depannya. Kamu akan terus-terusan dikekang oleh Mila. Kamu tidak akan betah kalau terus-terusan begini. Percaya pada Ibu. Mila itu bukan wanita yang baik untuk dijadikan seorang istri," ucap Bu Sinta mengatakan ini dengan sepenuh hati,
Raka menundukkan kepala dengan menutupi wajahnya. Terdengar suara sesenggukan begitu menyakitkan. Tiba-tiba saja Bu Sinta merasa kalau dirinya saat ini benar-benar melihat anaknya yang masih kecil. Raka yang begitu polos dan memohon agar apa yang diinginkannya dikabulkan.Sudah cukup lama dia tidak melihat sisi rapuh anaknya sendiri."Aku bingung, Bu. Aku harus bagaimana? Semua orang menghimpitku, menyalahkanku seolah-olah aku ini adalah orang yang paling berdosa di sini. Aku tidak ingin hal yang lebih, Bu. Aku ingin kembali kepada Lusi dan hidup seperti dulu bersama anakku. Tapi, itu juga tidak bisa. Sekarang yang aku inginkan adalah bertemu dengan Alia. Dia anakku, dia adalah hidupku. Jika aku sekarang hancur karena perbuatanku dulu, setidaknya ada anakku yang bisa menguatkanku untuk tetap bertahan dan melanjutkan hidup," ungkap Raka, kembali sesenggukan. "Kenapa, Bu? Kenapa Ibu tidak bisa mengerti dengan keadaanku saat ini? Aku menghukum Ibu karena memang Ibu sudah sangat keterlal
Bu Sinta kembali pura-pura menangis, karena dia akan benar-benar membuat anaknya merasa bersalah sebab sudah meninggalkannya. "Jadi, karena itu kamu berani mengusir Ibu? Kamu meninggalkan Ibu karena wanita itu?" tanya Bu Sinta dengan mata berkaca-kaca.Raka langsung menggelengkan kepala, menghela napas berkali-kali dan berusaha untuk tenang. Di hadapannya ini adalah ibunya sendiri. Dia harus membuat Bu Sinta mengerti, kalau dirinya punya tujuan tertentu dan tidak sembarangan melakukan hal-hal itu. "Bu, Kalau boleh jujur. Dari dulu saat aku bersama Lusi sudah berkali-kali aku ingatkan, Ibu tolong jaga sikap. Jangan terlalu banyak meminta uang kepada Lusi dan apa pun yang membuat Lusi mungkin merasa terbebani, tapi apa? Jawaban Ibu selalu saja memaksakan kehendak. Itu pun aku tetap diam, karena memang Lusi tidak mempermasalahkan itu. Tapi kemarin, aku hampir saja benar-benar kehilangan Lusi karena ide Ibu, kan? Apa Ibu tidak merasa bersalah kepadaku?" Sekarang giliran Raka mengungkap
Bu Sinta tetap diam di teras dan duduk dengan wajah sendu. Dia melihat ke sekeliling, mengecek mungkin ada Maura. Tetapi entah itu ada Maura atau tidak, yang penting saat ini rencananya sudah berhasil. Berharap kalau kali ini Raka mau mendengarkan ibunya. Saat ini pria itu sedang mengambil minum ke dalam. Setelah datang dia meminta ibunya untuk hati-hati meneguk air yang bersedia. Setelah itu Raka duduk di depan ibunya. Dia menatap Bu Sinta sedemikian rupa, takut jika ibunya itu terluka. "Ibu, nggak apa-apa, kan? Apa ada yang terluka?" tanya Raka, yang langsung digelengi kepala oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu mengusap pipi anaknya dengan sangat pelan dan juga penuh perasaan. "Akhirnya kamu pulang juga, Nak. Entah sudah berapa lama. Ibu merasa kangen sama kamu, sulit sekali untuk bertemu dengan kamu. Tapi kamu datang ke sini untuk bertemu Ibu? Benar-benar ibu merasa senang," ungka Bu Sinta, kali ini ucapannya dicampur dengan kebohongan. Karena itu terlalu berlebihan jika diung
Raka tampaknya masih ragu untuk menghampiri Bu Sinta, karena dia tahu kalau ibunya itu sangat licik. Bisa saja Bu Sinta itu sedang pura-pura. Tetapi dia berpikir ulang, mana mungkin ibunya bisa berpura-pura sementara wanita paruh baya itu belum tahu kalau dirinya akan datang ke sini.Raka masih menganalisis Bu Sinta dari jauh. Wanita itu masih terus menangis dan berpura-pura sedih, mengatakan hal yang macam-macam. Membuat Raka semakin tak enak hati.Di sisi lain, Maura mulai merekam kejadian itu. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Raka. Kalau misalkan memang pria itu mudah sekali terhasut, maka dipastikan saat ini Raka akan menghampiri ibunya. Wanita itu kesal sekali karena dari tadi Raka hanya mematung dan meneliti apa yang dilakukan Bu Sinta di sana. Begitu juga dengan sang wanita paruh baya, dalam hati menggerutu. Kenapa Raka hanya diam di situ saja? Tidak menghampirinya. Tampaknya dia harus benar-benar membuat kejadian yang ekstrem, agar anaknya itu mau menghampirinya. "Aku
Di mobil, Maura langsung menelepon Bu Sinta. Untunglah wanita paruh baya itu memang sudah dari tadi menunggu. "Halo, Bu," ucap Maura saat menelepon. "Gimana? Kenapa kamu dari tadi susah banget dihubungi atau kamu nggak hubungi Ibu?" tanya Bu Sinta kesal sendiri."Sabar dulu, Bu. Jangan marah-marah dulu. Sekarang Ibu sebaiknya ikutin perkataanku. Ibu ke depan gerbang dan terlihat pura-pura menangis." "Apa maksudnya?" "Pokoknya, Ibu buat hal yang sedih aja. Soalnya Mas Raka menuju ke sana.""Terus, apa yang terjadi barusan?" "Nanti aku akan ceritakan, tapi sekarang Ibu jangan banyak tanya. Pokoknya Ibu pura-pura makan sama nasi aja atau digaramin atau apa kek, yang penting Ibu itu terlihat sedih dan menderita. Tapi Ibu harus ada di depan. Dengan begitu Mas Raka pasti tidak akan tega dan langsung menghampiri Ibu." "Begitu, ya?" "Iya, pokoknya Ibu ikuti semua perkataanku," ucap wanita itu yang langsung disetujui oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu sebenarnya tidak mengerti dengan
Raka masih diam, tidak tahu harus mengatakan apa, karena semuanya serba mendadak. Padahal sebelumnya pria itu berpikir kalau Winda akan dengan senang hati memberinya bantuan tanpa harus meminta apa pun darinya. Tetapi, semua itu ternyata salah. Winda tetap saja meminta hal yang rasanya mustahil dilakukan oleh Raka. Masalahnya Raka memang tidak punya perasaan kepada wanita ini, ditambah lagi kalau misalkan Mila tahu apa yang sudah dilakukan Raka maka rencana semula akan benar-benar hancur. Hanya saja, pria itu juga ingin bertemu dengan Alia. Bagaimana kalau misalkan Alia ternyata dibawa ke luar negeri oleh Lusi? Entah berapa lama dia akan memendam rasa rindu kepada anaknya itu. Semua ini seperti sebuah simalakama untuknya. Melihat diamnya Raka, Winda tersenyum sinis. Dia menghela napas panjang, tahu kalau semua ini sulit untuk Raka dan mungkin pada akhirnya pria ini akan menolak tawaran itu. Jadi, tidak ada alasan Winda untuk menerima semua permintaan Raka. "Baiklah, Mas. Kalau mema
Maura menutup mulut, tak menyangka. Dia ingin menjerit dan memprotes apa yang dikatakan oleh Winda. Jika memang Winda tidak mengejar Raka, maka dia tidak akan mendapatkan rumah kecuali kalau misalkan dia memberikan ancaman. Tetapi tetap saja wanita itu tidak bisa memanfaatkan Winda kalau wanita itu tidak mengejar Raka lagi. Ini akan berat untuknya, tapi Maura juga tidak bisa melakukan apa-apa selain diam dan mendengarkan pembicaraan mereka sampai selesai. Tidak lupa wanita itu menyetel rekaman keduanya. Dia melakukan ini demi sebuah keamanan dan juga materi. Karena bagaimanapun hidup di sini butuh uang, jadi Maura tidak mau menjual rasa kasihannya demi orang lain. "Kenapa, Mas? Kamu diam saja. Kamu tidak beranikan menentukan jaminan apa-apa?" Winda menghela napas panjang. "Mas, aku memang prihatin dengan apa yang terjadi kepadamu. Tapi seperti yang kamu bilang, semua ini berawal dari kamu sendiri, kan? Kalau memang kamu mau aku membantu bertemu dengan Alia, maka kamu harus menikah