“Ibu siapa yang bilang calon suami?” tanya Dayana panik. Terlebih di belakangnya ada Diyas yang menatapnya penuh tanya.
“Loh bukannya kamu dulu bilang? Akan pulang seraya memperkenalkan calon suami kamu?” tegur Ibu Dayana bingung.
Dayana menghela napas berat. “Ibu, Mas Saga ini bukan calon suami Daya. Maksudnya kami hanya berteman saja.”
“Masak sih? Sorot mata dan gerak-gerik kalian berbeda, yah mungkin kamu belum siap ngasih tahu ibu. Tetapi ibu akan mendoakan yang terbaik untuk kalian yah, semoga berjodoh. Jangan lupa manggilnya jangan jangkar!” Ibu Dayana pun pergi segera masuk ke dalam rumah karena ia akan bersiap pergi ke klinik menengok Ayah Dayana.
Dayana menghela napas berat. “Diyas kamu jangan salah paham ya, aku sama –“
“Ihhh kalau beneran juga gak papa tahu, Mba. Aku senang malah, kalian cocok kok.
“Penginnya sih kamu, cuman cacing di perutku meminta diisi. Bagaimana jika kita makan dahulu baru melanjutkannya lagi? Tubuhmu sangat nikmat dan membuatku candu. Setibanya di Jakarta aku harap kamu masih mau menemani ranjang dinginku.”Tania tersenyum, ia berdiri dan berjalan mendekati Aidan yang menatapnya lapar. Dengan berani dan tanpa rasa canggung, Tania mengecup bibir Aidan sekilas. “Kenapa sebentar?” protes Aidan membuat Tania tersenyum miring.“Kalau lama nanti ada yang bangun,” balasnya melirik ke arah bawah Aidan.“Sekarang pun sudah bangun,” sahut Aidan seraya menggendong tubuh Tania ke arah kursi yang berada di dekat jendela kamar hotel, jendela yang menunjukkan detail kota ngapak dari lantai atas. Ia mendudukkan wanita itu dengan lembut, Tania tersenyum karena lagi-lagi ia berhasil mengundang hasrat pria itu bangkit dari dalam sana.Tak menu
“Kalian ini apa-apaan sih, masih kecil sudah berani ngebully begini. Kalian merasa jago?” tanya Dayana dengan wajah merah padam. Sagara yang berdiri di belakangnya justru mengeluarkan dompet dan mengambil kartu namanya “Saya akan bawa masalah ini ke ranah hukum dan tidak akan ada jalur damai.” Tegas dan lugas Sagara benar-benar mengeluarkan auranya. Ia menunjukkan kartu nama yang ia pegang. “Saya seorang pengacara dan saya akan jadi kuasa hukum korban bullying kalian.” “Ada apa ini?” teriak seorang wanita paruh baya. “Kamu lagi Rai!” pekik wanita itu mengundang kerutan di kening Dayana dan Sagara. “Kenapa sih kamu itu selalu bertengkar dan membuat keributan!” Dayana dan Sagara bersiap memasang badan untuk gadis remaja yang tak lain adiknya sendiri. “Oh begini cara sekolah menghadapi kasus bullying?” sindir Dayana menatap datar dan dingin jajaran pengajar yang berdiri di depannya. “Anda siapa ya? Sekolah ini tidak memperbolehkan orang lain untuk masuk sembarangan,” ujar wanita paruh
Dayana tampak menimbang permintaan Adiknya, sebenarnya ia tak keberatan namun ia takut jika nantinya tak bisa memberikan yang terbaik bagi Rai dan juga Rara. “Ya sudah, besuk kita urus juga surat kepindahannya.” Bukan itu bukan suara Dayana, melainkan Sagara yang mengatakannya seraya bangkit dari duduknya.Pria itu tampak berjalan menghampiri seorang pria berusia tua dengan kacamata yang bertengger di wajahnya. Sagara tampak berbincang sejenak, ia kelihatan akrab dan saling tertawa tak lama Sagara menyudahi percakapannya dan kembali menghampiri Dayana.“Ada apa?” tanya Dayana menatap Sagara bingung.“Tidak apa-apa, hanya mempermudah urusan saja. Ya sudah, kita tunggu Rara –““Kayaknya gak usah ditunggu Kak,” potong Rai membuat Dayana dan Sagara menatapnya bingung. “Soalnya Rara sudah di belakang Kakak.”“Asta
"Pak Aidan nekat menanyakan alamat rumah ini!” ujar Diyas dalam satu tarikan napas. Dayana membulatkan mata sempurna sedangkan Sagara justru menatapnya tenang.“Aku sudah menduga pria itu akan mencari kita jika kegiatannya sudah selesai,” ujar Sagara meminta ponsel Diyas yang masih berdering menunjukkan panggilan masuk dari Aidan.“Hallo,” ujar Sagara setelah menggeser tombol hijau di layar ponsel milik DIyas“Kalian di mana? Tunggu ini Sagara ‘kan? Kau juga ikut ke kampung Dayana?” tanya Aidan yang terdengar seluruh isi rumah karena Sagara menekan tombol loudspeaker.“Memangnya kenapa? Kembalilah ke Jakarta kami juga akan segera pulang.”“Tunggu kau belum menjawab pertanyaanku,” protes Aidan namun, Sagara mematikan sambungan teleponnya dan memberikan kembali ponsel Diyas pada sang
Sagara mendongak dan mengangguk, Ratih mengajak Sagara ke teras rumah. “Ibu tidak tahu umur ibu sampai kapan, boleh ibu meminta sesuatu?” ujar Ratih secara tiba-tiba.“Jika Saga bisa tentu Saga akan turuti bu,” balas Sagara seraya mengambil sepatunya.Wanita berusia 50 tahun itu menghela napas dan menatap Sagara penuh harap. “Ibu tidak tahu seperti apa kehidupan Dayana di Jakarta. Namun, firasat ibu mengatakan jika ada hal buruk yang sedang terjadi. Ibu harap kamu mau membantu ibu menjaga putri sulung ibu, bagaimana pun dia sudah hidup merana selama ini. Saya harap kamu berkenan menjaga Dayana di sana.”Sagara menghela napas, feeling seorang ibu memang tak pernah salah, hanya itu yang terlintas di benak Sagara. “Bisa ‘kan Nak?” tanya Ratih karena Sagara tak kunjung menjawab pertanyaannya.“Insya allah, Bu. Saga akan berusaha menjaga Dayana.&
“Maaf pak kami baru datang,” ujar Dayana membuka pintu di belakangnya berdiri Sagara dan Diyas yang mendampingi Dayana.“Nah ini nih, orang yanggak profesional,” celetuk Aidan bangkit dari duduknya seraya menunjuk Dayana dengan ibu jarinya.“Anda‼” geram Bella seraya mengepalkan taangan.Dayana tersenyum tipis ia lantas berjalan menuju ke manager hotel yang duduk di depan meja. “Maaf Pak, saya baru kembali. Ayah saya masuk ke rumah sakit, ini ada surat sekaligus buktinya.”Sagara hanya diam, di balik punggung Dayana ia menggenggam erat jemari Dayana seakan memberi wanita itu kekuatan, beruntung tangan mereka terhalang oleh meja dan kursi meeting namun sayangnya mereka melupakan fakta keberadaan Diyas yang berada di belakangnya.“Baiklah, karena hari sudah malam. Mba Dayana silakan kembali ke rumah. Saya anggap ini hanya salah
Mendadak lidah Dayana pun kelu, Dayana semakin tertunduk kala Sagara turun dari mobil, pria itu masih belum menyadari keberadaan orang lain di sekitarnya, ia terfokus pada ponsel yang sedari tadi ada di genggamannya. Pria itu terus berjalan hingga berada tepat di depan Bella dan kawan-kawan. “Ehem,” deham Lala yang notabene tak mengenal siapa pria di depannya. Sagara menoleh ia menatap Lala datar dan kembali melanjutkan langkah kakinya. Ia menghampiri Dayana yang masih diam terpaku. “Bernapas Day,” peringat Sagara seraya membantu Dayana membuka pintu. “Mas, aku harus menjawab apa?” tanya Dayana lirih. Sagara menoleh dan menghentikan kegiatannya. “Kalau kamu percaya dia sahabatmu ceritakan apa adanya jika tidak … jangan bercerita apapun.” Ucapan Sagara membuat Dayana termenung sejenak ia melirik keempat temannya dengan ekor matanya dan menghela napas berat. “Apa tidak papa?” “Tidak ada yang harus dikhawatirkan, persidanganmu akan selesai. Hak dan wasiat mendiang ibunya juga akan s
Hari berganti hari, pagi ini Dayana disibukkan dengan kegiatan rutinnya. Selepas salat shubuh tadi, dia sudah menyibukkan diri di dapur, sedangkan Bella dan Nabila sedang pergi berbelanja dan Diyas sedang sibuk bersih-bersih rumah bersama dengan Lala. Yah, sejak sabtu kemarin mereka memang menginap di rumah Dayana.Lala ditugaskan membersihkan rumah bagian depan, sedangkan Diyas bertugas merapikan bagian dalam. Tak lama, Bella dan Nabila datang bersama dengan barang belanjaan yang menumpuk. “Na‼ Ini pesanannya.”Dayana menggangguk dan mengambil alih beberapa kantung belanjaan berniat meringankan bawaan temannya itu. Wanita yang memakai pakaian rumahan dengan apron yang menutupi bagian depan tubuhnya itu dengan sigap mengolah bahan yang dibawa Bella dan Nabila. Ia lantas meminta Bella dan Nabila untuk mandi terlebih dahulu. Pagi ini Dayana tak berangkat ke tempat kerja, karena ia harus menghadiri acara sidang keputusan untuk perce
2 tahun kemudian“Lama banget sih Gar! Bini lo sudah jerit-jerit buk –““Berisik!” sahut Sagara berlari menuju pintu berkaca yang terdapat seorang wanita paruh baya tengah berdiri di sana. “Bu,” sapa Sagara mengecup punggung tangan ibu mertuanya.“Langsung masuk saja, Nak. Dayana sudah menunggumu.” Sagara mengangguk dan bergegas masuk bersama seorang perawat.Ia melihat seorang wanita tengah berbaring di atas ranjang dengan wajah penuh peluh. Pria itu segera melepas jasnya dan menggantikan dengan pakaian serba hijau. Ia mendekati wanita yang berbaring menatapnya dengan senyum dan mata yang sayu.“Sayang, maaf aku terlambat,” ujar Sagara penuh sesal. Pria itu bergerak mengusap kening Dayana yang banjir bulir keringat.Dayana hanya tersenyum lemah dan menggerakkan tangan
Hari terus berjalan, Aidan mulai mendengar kabar jika perusahaannya tengah didemo oleh karyawan yang tak kunjung mendapatkan gaji. Wajahnya terpampang di seluruh media massa, jika dulu ia diberitakan sebagai pengusaha termuda dan sukses, kini ia harus menerima kenyataan pahit jika pemberitaannya tentang kemunduran perusahaan serta kasus yang sedang dihadapinya.“Sepertinya aku tak punya pilihan lain,” ujar pria itu seraya menatap tisu yang tengah digenggamnya.Aidan segera bangkit dan memanggil petugas lapas. “Pak saya mau menghubungi pengacara saya.”Petugas lapas itu mengangguk dan membukakan pintu sel, ia lantas memerintah Aidan menggunakan telepon kantor dan tak boleh lebih dari sepuluh menit.Setelah menekan tuts angka pria itu segera meletakkan gagang telepon di telinganya. “Hallo, bisa kau datang ke mari?”“….”
“Ehh iya? Kenapa sayang?” tanya Sagara menyimpan ponselnya cepat.Dayana mengulas senyum dan mengusap bahu pria yang kemarin meminangnya. “Mas kenapa? Ada masalah?”Sagara membalas senyuman Dayana, ia merengkuh bahu istrinya lantas mengajak wanita itu masuk ke dalam rumah. Menapaki lantai granit menuju ke lantai dua, ia lantas menuntun sang Istri masuk ke dalam kamar utama yang sudah berganti nuansa berwarna peach.“Mas mau ngomong serius sama kamu.” Ucapan pria itu membuat detak jantung Dayana berhenti berdetak, ia bahkan kesulitan menelan salivanya sendiri. “Ini bukan tentang kita kok, bernapaslah sayang.”Dayana menghela napas hingga bahunya bergerak turun. Sagara tertawa kecil melihat sikap istrinya yang terlihat menggemaskan. Ia melepas dekapannya dan berlutut di depan sang Istri yang duduk di tepi ranjang.“Sayang, maaf
“Mas aku yakin!” ujar Dayana dengan penuh keyakinan. Ia memberanikan diri untuk menyerahkan segenap dirinya pada pria yang meminangnya hari kemarin. Sagara hanya tersenyum, ia kembali mengecup bibir Dayana dengan lembut dan penuh kasih sayang. Satu persatu pakaian wanita itu mulai terlucuti begitu juga dengan sarung yang dipakai Sagara. Di pagi yang indah nan cerah itu, sepasang suami istri menunaikan nafkah batin. Suara desahan dan lenguhan tertahan menggema ke seluruh penjuru kamar, tanpa paksaan namun penuh dengan cinta dan kasih sayang. “Aaahh‼” lenguh panjang keduanya menandakan jika mereka sudah mencapai puncak kenikmatan. Tepat pukul 7 pagi, sepasang pengantin yang baru saja menunaikan nafkah batin itu selesai membasuh diri di dalam kamar mandi. Seperti pasangan pengantin sewajarnya, merkea masih asik menikmati hari-hari setelah melepas status lajangnya. Dayana dan Sagara menapaki anak tangga turun menuju ke ruang keluarga. Di sana ternyata masih ramai berkumpul keluarga Day
“Insya allah mas, aku pengin dia bertanggung jawab dan tahu konsekuensinya. Kalau dia terus menerus bebas dan ditolong mungkin ke depannya dia akan melakukan hal yang sama lagi, bahkan mungkin lebih parah.”Sagara mengangguk, ia lantas merengkuh tubuh istrinya. “Sudah sah, ‘kan?”Dayana tersenyum dan membalas pelukan hangat sang Suami. “Mandi mas, sudah mau malam. Gak bagus buat kesehatan loh.” Dayana menguraikan dekapannya dan bergerak mendekati almari pakaian.Sagara tertawa dan berjalan menuju kamar mandi dengan membawa sebuah handuk. Tak lama, Dayana mulai mendengar suara gemercik air yang berpadu dengan aroma sabun khas dirinya.Dayana bergegas mengganti pakaian tidurnya, ia terlihat gelisah di atas kasur. Duh kenapa jadi kepikiran malam pertama sih, lirih Dayana dalam hati seraya memikirkan cara untuk menghindar dari kegiatan malam pertama.Dayana pun bergegas membaringkan tubuhnya di atas kasur dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebal. Dayana mencoba memejamkan mata ra
“Datang‼! Pak Sagara datang‼” pekik Diyas yang mengintip dari jendela kamar Dayana.“Alhamdullillah,” ujar mereka menghela napas lega. Dayana memejamkan mata seraya mengucap syukur dan berterima kasih karena pria itu benar-benar membuktikan ucapannya.Dayana berdiri, ia merapikan pakaian dan melihat sekali lagi wajahnya. Terdengar bunyi ketukan di pintu kamar wanita itu. “Mba, mari turun,” ujar seorang wanita paruh baya yang biasa disebut sebagai dukun manten alias orang yang memang mengerti tata cara pernikahan adat jawa.Dayana turun dibantu Lala dan Bella di samping kanan kiri, sedangkan di depannya berjalan ibu Dayana didampingi Diyas dan Nabila, di barisan paling depan Rai dan Rara berjalan membawa buket bunga. Seluruh pandangan tamu undangan menatap Dayana dengan sorot kagum.Riasan dan tata rambutnya membuat dirinya terlihat berbeda, dibalut dengan kebaya hitam berbahan beludru menambah kecantikan dan pesona wanita itu. Langkahnya berhenti di depan meja akad, ia lantas berdiri
Aidan semakin tak berkutik, ia memikirkan jawaban apa yang sekiranya tak memberatkan posisinya. “Ganeswari Rahayu, putri dari Brahma Setyawijaya. Apa anda mengenalnya?”“Iya saya mengenalnya.”“Apa hubungan anda dengan korban?” tanya petugas itu lagi.Aidan berpikir sejenak lantas mengatakan, “Kami pernah menjalin hubungan saat Sma dulu, setelah itu kami berpisah.”“Kapan terakhir kali anda bertemy dengan Korban?”“Pagi tadi.” Petugas yang sedang mengetik di laptop pun menganggukkan kepala. “Maaf kalau boleh tahu apa kaitannya ya?”“Ganeswari Rahayu hilang sejak pagi tadi, pihak keluarga sudah mencoba menghubunginya tetapi ponsel korban tidak aktif. Beberapa jam yang lalu, petugas menemukan mobil korban di tepi jurang.”“Jurang?”
“Aku itu gak kenal sama Mba Dayana, cuman salah satu teman kosku satu kerjaan dengan Mba Dayana, ya aku tahu cerita itu dari dia. Sudah malah bahas Mba Dayana, ayo mas makan,” bujuk Tasha dengan nada manja dan menarik lengan Aidan menggeretnya ke arah meja makan.Aidan pun duduk di kursi makan, wanita berusia 20an tahun itu bergerak menyendokkan nasi dan lauk pauk ke dalam sebuah piring. Aroma makanan yang lezat menggoda Aidan. Mirip masakan Dayana, batin pria itu. Dari aroma yang ia hirup Aidan tentu sudah tahu jika masakan wanita itu memang mirip dengan masakan Dayana yang tak pernah ia sentuh. “Mas kok melamun?” tanya Tasha duduk di kursi depannya.“Ah tidak.” Pria itu bergegas menyuapkan sendok demi sendok ke dalam mulutnya. Mereka berdua menikmati makan siangnya dengan hening hanya suara denting sendok dan garpu yang beradu mengisi rumah berukuran besar itu.Tingg nongg … tingg nonggg!Tak lama Mang Ujang masuk ke dalam rumah dan menghampiri Aidan dari arah belakang. “Siapa Pak?
“Meminta maaf mungkin, meminta maaf bukan berarti kita kalah kok Mas, hal itu justru menunjukkan jika kita jauh lebih baik dari ia.” Aidan terdiam mendengar usulannya. “Mas gengsi gak selamanya baik kok.”“Tidurlah, hari sudah malam,” ujar Aidan tak menanggapi usulan Tasha, ia merapatkan tubuhnya pada wanita itu dan mendekapnya erat-erat.Kicau burung dan sinar matahari menghiasi pagi di sebuah komplek, Dayana sudah bangun sejak subuh tadi. Ia sibuk membantu persiapan pengajian 100 hari mendiang ayahnya dan juga pengajian menyambut hari h pernikahannya yang akan diadakan besuk siang.“Mba gak usah capek-capek, biar ibu saja. Ini ‘kan sudah banyak bantuan. Kamu istirahat saja nggih.” Dayana mengangguk dan berjalan menuju ruang keluarga, ia melihat beberapa souvernir belum selesai dikemas. Wanita itu bergerak mengemasi souvernir untuk pengajian esok.Saat sedang asyik mengemasi souvernir terdengar bunyi klakson di depan rumahnya, Dayana pun bangkit dari posisinya berjalan ke arah teras