Sampai juga di rumah. Aku akan bersabar dulu, sebelum meluapkan emosi yang tadi membuncah gara-gara ulah Cynthia yang sengaja terlambat menjemput Kia.Sebelumnya aku menemui Kia di kamarnya. Terlihat ia sedang bersedih. Matanya sembab habis menangis."Kia, kamu habis nangis ya, Sayang!" tanyaku saat aku mendekat padanya."Iya, Yah. Huhuhu." Kia melingkarkan tangannya di leherku. Kepalanya ia tidurkan di pundak kananku. Kuelus kepalanya, kubiarkan ia menangis di sana."Maafkan Ayah dan Mama yang lalai menjemputmu. Insya Allah nanti kami nggak akan telat lagi. Kamu boleh marah sama Ayah sekarang," sahutku."Ayah, aku sedih. Ayah nggak ada. Coba ada Bunda, Yah. Aku pasti dijemput Bunda tiap hari," kata Kia."Maaf ya, Sayang. Kami tak bisa mengabulkan keinginanmu. Ayah harap, kau bisa paham kalau saat ini Bundamu tak bisa bersama kita. Tapi ayah janji akan selalu melindungi kamu," sahutku."Jadi Bunda nggak akan balik lagi, Yah?""Belum tau juga. Kita tunggu saja nanti. Mudah-mudahan Bund
Siapa kira-kira yang datang pagi ini?"Aku ke depan dulu, kamu siapkan minum!" titahku pada Cynthia.Cynthia tak menjawab, ia pura-pura tak mendengar, malah sibuk dengan Andhini.Kutemui tamu yang datang. Mereka adalah teman-teman Cynthia. Ada tiga orang yang datang ke rumah. Namun, aku tak mengenal ketiganya. Darimana Cynthia bisa mengenal mereka bertiga?"Perkenalkan saya Tasya, ini Gaby dan ini Vira. Kami bertiga mau ajak istri anda arisan," katanya."Bukannya udah kemarin arisan?" "Yang ini beda lagi sama komunitas yang kemarin.""Ya Allah, berapa besarnya arisan yang kemarin dan yang ini?" tanyaku penasaran."Sebulan tiga juta kalau yang kemarin, yang ini sebulan lima juta."Besar banget, sebulan harus bayar delapan juta gini. Pantas saja uangnya tak bersisa tiap bulan. Ternyata dibayarkan arisan sampai dobel setiap bulan.Aku harus memberitahu Cynthia agar tak terlalu banyak ikut arisan. Nanti yang ada ia malah jadi keteteran bayarnya."Yang ini udah mulai?""Baru satu kali di
Mereka mengerjapkan matanya, menggisiknya hingga melihat keadaan sekitar yang asing. "Ini dimana, Yah? Kok bangunan rumah?" "Ini tempat kerja Bunda kalian," sahutku."Bunda kerja di sini? Kenapa bisa malah kerja di sini? Memangnya Ayah nggak bisa ngasih uang sama Bunda?" tanya Faiz."Nggak, bukan seperti itu. Ayah masih bisa ngasih uang ke Bunda. Tapi bundanya saja yang memang tidak membutuhkan uang Ayah," jawabku.Mereka mengerutkan dahinya, menggelengkan kepalanya. "Aku tak paham!" Faiz menimpali."Ya udah yang penting kita masuk sekarang, yuk!" ajakku.Kami masuk dari pintu samping. Di sana kami bertemu ibu pengelola yayasan Panti Jompo ini.Sebelum masuk ke ruangan pengelola, kami bertemu dengan beberapa orang tua yang tinggal di sana. Ada beberapa ruangan mereka tinggal.Mereka senang mengobrol sama-sama. Ada juga yang sedang tidur di kamarnya, atau sekedar membuat kerajinan tangan.Saat di dalam ruangan pengelola, kami duduk berhadapan dengannya."Selamat siang, Pak. Ada perl
Bu Hanum memasuki ruangan Bu Imas. Ia melihatku dan mengingat-ingat saat aku pernah ke rumahnya.Aku meminta kedua anakku main di depan saja karena aku akan terlibat pembicaraan yang serius dengan kedua orang ini."Faiz ajak Kia main di depan ya! Ayah mau bicara dulu dengan ibu-ibu ini," sahutku."Baiklah, Yah. Jangan lama-lama. Aku udah kangen sama Bunda. Mana sih Bunda? Kata Ayah tadi ada di kamar yang di sebrang itu!" "Tunggu saja ya, Nak. Ayah mau mengobrol dulu sebentar," sahutku.Faiz dan Kia gegas kubawa keluar. Mereka duduk di kursi tunggu di depan."Silahkan duduk kembali Pak! Oya sampai lupa menanyakan nama Bapak, dengan Bapak siapa ya?" tanya Bu Imas."Perkenalkan, saya Wahyu Hidayat. Dulu Ibu Kartikawati itu adalah istri saya, baru-baru ini kami bercerai. Tiba-tiba ia pergi tanpa pesan. Aku dan anak-anak sudah mencarinya kemana-mana," jawabku sembari menatap mata Bu Imas dan Bu Hanum."Silahkan, Bu Hanum mungkin bisa menjelaskan mengenai seseorang yang diduga Ibu Kartikaw
"Bun, anak-anak kangen loh sama Bunda. Gimana kabar Bunda sekarang?" Ia menoleh padaku, tapi tak menjawab sedikitpun. Hanya memandang dan diam lagi kemudian.Aku menoleh pada Bu Hanum. Ingin bertanya mengenai keadaan Tika. Ada apa dengannya?Lalu kulihat pergerakan badannya tidak selincah dulu. Biasanya ia langsung membelai anak-anak. Kali ini, ia membiarkan anak-anak merangkulnya, ia kebingungan sendiri.Sebenarnya apa yang terjadi padamu? Aku semakin penasaran. Hati ini menangis. Namun aku tetap tersenyum di depan anak-anak."Pak Wahyu, sepertinya Bu Tika butuh istirahat. Bapak pulang saja dulu. Mudah-mudahan nanti Bu Tika lebih sehat lagi," kata Bu Hanum.Apa ia mengalami amnesia? Tapi karena apa? Ia kan mengenalku dan anak-anak. Mestinya ia langsung menyambut mereka.Tika diajak keluar oleh Bu Hanum. Ia lah yang selalu mendampingi Tika. Aku yakin ia orang yang tulus. Itu terbukti ia mau mengabulkan kemauan Tika untuk tinggal di sini.Lalu, apa yang terjadi dengan anak-anak? Mereka
Gegas aku kembali ke ruangan Bu Imas. Anak-anak sudah menunggu. Katanya mereka sudah siap untuk pulang. Entah apa yang dikatakan orang-orang ini sehingga kedua anakku bilang akan pulang dengan mata yang berbinar.Rasa sedih sudah sirna dari diri mereka. Saat ini mereka tertawa dan bahagia."Ayo, Yah. Kita pulang sekarang saja. Aku nggak mau mengganggu waktu istirahat Bunda. Biarkan Bunda di sini dulu, kami akan bertemu Bunda di pekan depan," sahut Faiz.Oh, ternyata mereka dijanjikan akan bertemu bundanya lagi nanti pekan depan. Aku manut saja kalau memang mereka maunya seperti itu."Sekarang kalian udah nggak sedih kan?" tanyaku."Iya, Yah."Kemudian aku meminta waktu untuk berbicara sebentar dengan Tika. Ia kugiring agak jauh dari kumpulan orang, tapi kami nggak hanya berdua, tetap di ruang terbuka."Dek, kamu kalau sakit bilang saja. Apa kamu udah periksakan diri ke dokter?" tanyaku."Sakit apa? Aku sehat kok. Lihat saja sendiri diri ini yang tak kurang apapun. Paling hanya bete se
"Bunda gimana sih? Minggu depan, Bun!" jawab Faiz.Bundanya mengangguk, mobil kami pun melaju dan meninggalkan panti jompo.Saat di jalan, Faiz tak sabar untuk berceloteh mengenai bundanya."Yah, kok Bunda suka banget ngulang kata ya?" tanya Faiz sambil mengerutkan keningnya.Kia menyimak dan memperhatikan kakaknya. Sementara aku kadang menoleh ke mereka, kadang aku fokus ke depan. Saat ini posisi duduk mereka di sampingku. Mereka berdua duduk di depan, katanya ingin sama Ayah. Tapi, nanti kuminta ke belakang kalau mengantuk."Ngulang kata gimana? Memangnya kalian bermain kata?" tanyaku."Ngulang kata-kata yang banyak, Yah. Tadi Bunda nanya terus kapan kalian ke sini lagi? Trus Bunda juga bilang terus kalau Bunda senang di sana, bilang Faiz ganteng juga beberapa kali," katanya.Memoriku berpindah ke kejadian tadi saat di panti jompo. Benar juga, Tika mengulang pertanyaan sampai tiga kali sepertinya."Kalau kata Ayah, saking Bunda kangen kamu kali, jadi bilang kamu ganteng," jawabku a
Telepon dari nomor tak dikenal. Aku segera mengangkatnya."Mas, ini aku.""Tika?"Kemudian, aku menjauhi anak-anak, agar mengobrol lebih leluasa."Ya, Mas. Maaf, Mas. Kamu tak boleh sering-sering bawa ... siapa itu namanya? Mmm ... anak-anak ke sini," katanya."Kenapa? Bukannya kamu yang bilang kalau mereka boleh datang pekan depan?" tanyaku."Iya aku bilang gitu ya? Pokoknya, ya sudah pekan depan saja. Selanjutnya tak usah datang lagi, katanya.""Siapa nama anak-anak kita?""Apa? Mmm ... tadi udah aku sebutkan, duh sekarang lupa," katanya."Mengapa lupa? Kamu udah melupakan anak-anakmu.""Biasa lah, Mas. Kalau banyak pikiran pasti lupa," katanya berkilah."Mengapa aku dan anak-anak tak boleh ke sana?" tanyaku."Tak usah tanya mengapa. Kuminta kamu jangan ... jangan bilang orang tuaku juga, Mas.""Mereka harus tau.""Nggak, nanti mereka khawatir. Aku tak mau mereka nanti sakit," katanya. "Terutama siapa itu? Aku lupa. Mmm ... Bapakku. Sejjak kehilangan ibu kandungku, ia tak bisa menah
Kesadaranku akhirnya sudah penuh. Aku lepaskan ia, dan ternyata ia Yuni, bukan Tika. Beruntung aku tak menyebut nama almarhumah istriku, takutnya nanti Yuni tersinggung jika aku menyebutnya."Eh, iya. Maafkan ya, Yun. Mas Wahyu masih kangen dan ingin selalu dekat kamu. Kamu benar-benar ngegemesin buat Mas," sahutku sambil menjawil hidungnya yang bangir."Eh, Mas Wahyu terus aja colek-colek. Aku mau wudhu lagi sekarang. Mas jangan gangguin lagi ya!" sahutnya dengan wajah galaknya. Lebih tepatnya sok galak, padahal aku tau kalau Yuni nggak bakal bisa galakin suaminya."Iya, silahkan Dek. Aku juga dari tadi nungguin kamu kok, sampe ketiduran gini."Yuni kembali ke kamar mandi, sementara pandanganku tertuju pada ponselku.[Mas, aku sudah keluar dari sel tahanan kemarin. Bisa kita bertemu?] tanyanya di pesan aplikasi hijau.Mau apa Cynthia menghubungiku? Apa ia mau menjadi istriku kembali? Ah, jangan harap karena aku sudah memiliki istri shalihah seperti Yuni.Pikiranku masih dipenuhi pert
Aku memandangi wajahnya lagi. Menelisik kebenaran yang ada padanya. Akhirnya aku memutuskan untuk tetap di kamar ini, bersama dengan Yuni dan Kia. Biarlah aku dengan mereka malam ini."Yah, ayo kemari!" Kia menunjuk-nunjuk pada tempat tidur yang sudah ia naiki lebih dulu.Aku melempar senyum dan menghampiri anakku. Yuni pun mengikuti di belakang. "Iya, Sayang. Ayah akan tidur di sebelah Kia. Sekarang udah malam, Kia cepat-cepat tidur karena esok kita ada agenda untuk bertemu bunda," sahutku mengingatkannya.Kia mengerutkan dahinya. Ia baru mengingat agenda kami esok. Atau mungkin Kia belum tau kalau kami memang akan mengunjungi makam Almarhumah Tika."Iya, Yah. Aku mau tidur sekarang aja. Kan mau ketemu Bunda. Tapi, sepertinya aku tidur di kamarku saja. Kasian Kak Faiz tidur sendirian di sana. Biar aku di sana saja, takutnya kakak besok kesiangan, jadi aku harus membangunkannya," jawab Kia.Gadis kecilku malah akan meninggalkan kamar kami. Pandanganku beralih pada Yuni, ia menunduk,
Yuni menganggukkan kepalanya. Setelah terlihat agak sepi, Kia meminta Yuni duduk. Ia memijati Yuni, kulihat Yuni jadi salah tingkah saat kakinya diminta diangkat dan bertumpu pada salah satu kursi yang dibawa Kia. Kia memijat Yuni pada posisi jongkok."Udah ... udah Kia. Nggak usah, nanti aja ya. Kamu juga pasti capek kan?" Yuni berusaha mendaratkan kakinya. Ia merayu Kia dan akhirnya Kia tak meneruskan pijatannya karena tamu datang kembali. Mereka sudah antri untuk bersalaman dengan kami."Kia, udah ya! Tolong bawa kembali kursinya. Nanti kalau acara sudah selesai, kamu bisa pijat kaki Mama," jelasku. Ia mengerti dan tak meneruskannya. Bapak membantu Kia untuk membawakan kursi ke tempatnya kembali.Acara berlangsung lancar dan tak ada kendala yang begitu sulit. Semua bisa diatasi dengan baik oleh tim panitia.Tibalah kami untuk beristirahat. Yuni sudah ke kamar lebih dulu, sedangkan aku masih mengobrol dengan Ibuku dan kedua orang tua Yuni."Nak Wahyu, kalau sudah capek, kamu istirah
Yuni diam. Ia tidak mau berkata-kata lagi terhadapku. Aku masih menunggu ia bicara sambil menghela napas berkali-kali."Maksudnya aku mau jadi istrimu, Mas. Insya Allah aku kan fokus mengurus Kia, Faiz, Andini dan anak-anakku nanti."Aku tak percaya dengan yang baru saja kudengar dari mulut Yuni. Ia mengatakan mau menjadi istriku.Puji syukur pada Allah yang sudah memberikan jawabannya. Akhirnya Kia dan Faiz punya Bunda lagi, begitu juga Andini, mamanya masih menjalankan hukuman. Tapi, ia bisa menganggap Yuni sebagai mamanya juga nanti."Alhamdulillah, terima kasih, Yun. Setelah ini, aku kan menemui Bapak dan Ibu untuk membicarakan pernikahan kita. Kamu maunya gimana?" Aku harus tau maunya Yuni karena ia masih gadis. Setidaknya seorang gadis ingin melaksanakan pesta pernikahannya nanti. Aku tak keberatan dan akan melaksanakan keinginannya."Kalau aku terserah Mas Wahyu saja. Aku ikut saja keputusan pembicaraan Mas Wahyu dan kedua orang tuaku," sahut Yuni."Kamu juga harus ikut karena
"Kan Kia yang minta Tante Yuni selalu jagain Kia. Masa lupa sih?" Aku menimpali anakku yang kebingungan ada tantenya bersamanya saat ini."Iya, Kia yang minta Tante. Kalau Kia nggak mau Tante temenin, ya udah deh. Tante mau pulang dulu," kata Yuni.Kia mencegahnya dan mengatakan kalau ia sangat senang ditemani oleh tantenya."Tante, kapan jadi bundaku?"Tetiba Faiz datang dan nyeletuk pada Kia."Iya aku juga mau kalau yang jadi bundaku selanjutnya itu Tante Yuni. Aku bisa lihat bundaku pada diri Tante," ungkap Faiz. Anak ini juga bicara berdasarkan hatinya."Ya Allah, Tante nggak nyangka kalian punya pikiran seperti itu. Tante hanya nggak mau kalau dianggap sebagai perebut Ayah kalian dari Bunda Tika," sahut Yuni."Nggak dong, Tante. Kan Bunda udah nggak ada. Pasti Bunda seneng kalau Ayah ada yang urus," jawab Faiz bijak.Aku hanya diam mendengarkan percakapan mereka. Sesekali tersenyum mendengar ocehan anak-anak cerdas ini."Baiklah, akan Tante pikirkan dulu ya!" sahut Yuni. Semoga p
"Ya, aku yakin Yun. Bagaimana tanggapanmu? Apa kamu mau menerimaku?" tanyaku dengan penuh keyakinan."Aku ... aku butuh waktu, Mas. Aku tak mau jadi pengkhianat bagi kakakku. Kuburan Teh Tika masih basah, Mas. Mas udah mau menikahiku. Rasanya aku merasa bersalah jika itu terjadi," jawabnya.Ia menolakku. Itu berarti ia tak menginginkannya. "Baiklah jika itu keputusanmu. Itu berarti kamu tak mau kan?" Aku menegaskan kembali."Bukan seperti itu, Mas. Aku hanya tak mau dianggap sebagai perebut mantan suami kakakku," sahut Yuni dengan suara bergetar."Tenang, Yun. Takkan ada yang menganggapmu seperti itu. Aku akan menghadapi mereka langsung. Ini juga keinginan Kia dan Faiz. Mereka tak menginginkanku menikahi wanita lain selain kamu, Yun," sahutku."Tapi, Mas. Aku takut. Bolehkah aku berpikir dan meminta pertimbangan pada Bapak dan Ibu?" tanya Yuni."Baiklah kalau seperti itu. Aku akan menunggu jawabanmu. Sebenarnya Bapak udah tau, beliau memintaku untuk bertanya langsung padamu." Aku ber
Kia benar-benar mencecar kami. Terlihat wajah Yuni yang bersemu karena malu. Aku pun jadi tak enak dengannya atas ulah anakku.Yuni tak menjawab pernyataan Kia. Ia mohon diri untuk ke kamarnya. Aku mengizinkannya karena memang kasihan juga dicecar oleh Kia."Kia, udah ya! Nggak boleh ngomong yang aneh-aneh. Kasian Tante Yuni," sahutku sambil membawanya pulang.Kubiarkan Yuni beristirahat karena ia butuh waktu untuk sendiri.***Kia benar-benar menginginkan pernikahan antara aku dan Yuni. Saat ini Kia sedang demam. Ia bergumam terus agar Yuni menjadi bundanya.Faiz juga akhirnya mendesakku untuk menikahi Yuni. Hingga akhirnya aku menghubungi Bapak di kampung, meminta izin padanya untuk menikahi Yuni."Pak, mohon maaf mendadak menelepon Bapak.""Ada apa Nak Wahyu?" tanya Bapak dengan nada khawatir."Kia sedang sakit tiga hari ini. Sebenarnya sudah sepekan ini, Kia memintaku untuk menikahi Yuni. Kalau Bapak tak keberatan, insya Allah aku berniat menikahinya." Akhirnya kuungkapkan juga ke
"Ayah belum berpikir untuk menikah lagi, Sayang," sahutku.Kia mencebik. Ia melipat kedua tangannya di depan dada."Tapi aku kasian sama Ayah. Aku nggak mau kalau Ayah nanti nikah lagi, tapi sama orang lain," jelas Kia. Ia bicara seolah orang dewasa yang menasehati anaknya."Hush ... kamu kenapa sih? Tiba-tiba minta Ayah nikah lagi? Kasian kan Ayah masih sedih," timpal Faiz."Kasian Ayah. Aku juga pengen punya Bunda kayak bundaku," terang Kia.Aku melirik mereka, mereka pun diam."Iya, nanti Ayah pikirkan lagi ya! Kalian tenang saja, kalau Allah sudah menakdirkan, insya Allah bisa berjodoh. Tapi, nggak mungkin Tante Yuni mau sama Ayah. Kan Ayah udab tua." Aku terbahak karena memang aku sudah tua, berbeda dengan Yuni yang masih muda dan masa depan yang cerah."Ah, Ayah payah deh!" kata Kia. Kia tak mau memandang padaku, ia memandang ke arah jendela, pandangannya jauh ke samping jendela.Aku hanya tersenyum mendengar tanggapan anak perempuanku itu. Pemikirannya benar-benar diluar predik
Pemakaman berlangsung lancar dan cuaca mendukung. Anak-anak dan Yuni menangis terus sehingga aku harus menghentikan mereka. Bapak dan Ibu yang membawa Yuni ke kamarnya untuk ditenangkan."Sudah ya, sekarang Bunda udah nggak sakit. Kia dan Faiz masih punya Ayah yang sayang banget dengan kalian.""Iya, Yah." Faiz menyeka air matanya. Kemudian ibu memberi mereka minum teh manis hangat agar mereka lebih tenang."Nak Wahyu juga minum, silahkan!" sahut Ibu. Beliau melirik Kia yang sepertinya sudah mengantuk. "Kia bobo sama Nenek yuk!" Kia mengangguk, ia dan Faiz ikut neneknya. Mereka harus istirahat."Nak Wahyu, makan dulu yuk!" ajak Bapak.Aku ikut saja walau perut tak lapar. "Bu, anak-anak nanti diajak makan juga ya!" pintaku."Iya, sekarang biar istirahat sebentar ya Nak Wahyu! Tadi mereka udah makan roti kok. Tinggal makan nasi yang belum," sahut Ibu."Baiklah, Bu. Terima kasih."Seusai makan, aku diminta istirahat juga oleh Bapak. Katanya kasian karena aku yang paling banyak tak isti