"Bunda gimana sih? Minggu depan, Bun!" jawab Faiz.Bundanya mengangguk, mobil kami pun melaju dan meninggalkan panti jompo.Saat di jalan, Faiz tak sabar untuk berceloteh mengenai bundanya."Yah, kok Bunda suka banget ngulang kata ya?" tanya Faiz sambil mengerutkan keningnya.Kia menyimak dan memperhatikan kakaknya. Sementara aku kadang menoleh ke mereka, kadang aku fokus ke depan. Saat ini posisi duduk mereka di sampingku. Mereka berdua duduk di depan, katanya ingin sama Ayah. Tapi, nanti kuminta ke belakang kalau mengantuk."Ngulang kata gimana? Memangnya kalian bermain kata?" tanyaku."Ngulang kata-kata yang banyak, Yah. Tadi Bunda nanya terus kapan kalian ke sini lagi? Trus Bunda juga bilang terus kalau Bunda senang di sana, bilang Faiz ganteng juga beberapa kali," katanya.Memoriku berpindah ke kejadian tadi saat di panti jompo. Benar juga, Tika mengulang pertanyaan sampai tiga kali sepertinya."Kalau kata Ayah, saking Bunda kangen kamu kali, jadi bilang kamu ganteng," jawabku a
Telepon dari nomor tak dikenal. Aku segera mengangkatnya."Mas, ini aku.""Tika?"Kemudian, aku menjauhi anak-anak, agar mengobrol lebih leluasa."Ya, Mas. Maaf, Mas. Kamu tak boleh sering-sering bawa ... siapa itu namanya? Mmm ... anak-anak ke sini," katanya."Kenapa? Bukannya kamu yang bilang kalau mereka boleh datang pekan depan?" tanyaku."Iya aku bilang gitu ya? Pokoknya, ya sudah pekan depan saja. Selanjutnya tak usah datang lagi, katanya.""Siapa nama anak-anak kita?""Apa? Mmm ... tadi udah aku sebutkan, duh sekarang lupa," katanya."Mengapa lupa? Kamu udah melupakan anak-anakmu.""Biasa lah, Mas. Kalau banyak pikiran pasti lupa," katanya berkilah."Mengapa aku dan anak-anak tak boleh ke sana?" tanyaku."Tak usah tanya mengapa. Kuminta kamu jangan ... jangan bilang orang tuaku juga, Mas.""Mereka harus tau.""Nggak, nanti mereka khawatir. Aku tak mau mereka nanti sakit," katanya. "Terutama siapa itu? Aku lupa. Mmm ... Bapakku. Sejjak kehilangan ibu kandungku, ia tak bisa menah
Ketika sampai rumah, Cynthia sedang duduk di ruang tamu. Kuminta anak-anak langsung bersiap tidur dan memasuki kamarnya. Mereka manut masuk kamar setelah mencium tangan Cynthia."Dari mana kalian?""Memangnya begitu cara bicara dengan suami?" Kulingkarkan tangan ke lehernya. Cynthia menepis tanganku, aku duduk di sampingnya."Ngapain kamu duduk di situ, Mas?""Bebas dong, aku kan suamimu!""Tapi aku nggak mau dekat-dekat kamu, Mas! Sana! Kamu pergi aja lagi!" ucap Cynthia. Ia membuatku naik darah, tapi aku tetap bersabar."Jangan merajuk seperti ini, Dek. Ini aku bawakan nasi goreng. Tadi kami makan nasi goreng bareng. Kamu pasti suka!" sahutku.Cynthia membulatkan kedua matanya dan menatapku tajam."Mas, aku nggak suka nasi goreng. Tika kan yang suka nasi goreng, kamu kenapa malah teringat dia terus. Itu bukan makanan kesukaanku, Mas! Lagipula nasi gorengnya pasti beli di pinggir jalan kan? Nggak level tau, Mas!"Ingin rasanya membuka matanya. Dulu dia dibawa ke sini oleh Tika, meman
Apa yang diketahui oleh Cynthia? Mungkinkah soal diary dari Tika yang katanya menghilang. Bisa saja memang soal itu. Baiklah aku kan mencari buku diary itu di kamar, siapa tau ia menyimpannya.Sepulang kerja aku ingin berdamai dengannya. Capek juga kalau harus bertikai terus dengannya. Kurasa aku harus meminta maaf lebih dulu sehingga aku membeli makanan kesukaannya yaitu dimsum dan siomay.Saat datang, sengaja aku meminta Bi Sumi untuk menghidangkan di meja setelah memanaskannya nanti agar kami bisa menyantapnya."Dek, aku mau meminta maaf atas segala kesalahanku yang telah kuperbuat kemarin dan tadi. Aku punya kejutan untukmu di meja makan," ucapku.Ia masih merengut dan cuek terhadapku. Sabar dan sabar adalah salah satu caraku untuk menghadapinya."Kejutan kok di meja makan?" tanyanya, terlihat ia mulai penasaran."Iya, lihat saja di sana.""Apa sih? Kamu beli apa memangnya, Mas?" tanya Cynthia yang datang mendekat. Ia mengelus pipiku."Ada deh, kamu ke sana aja kalau mau tau.""Sa
Sejarah penyakitku memang cukup pelik. Aku baru menyadari tiga tahun lebih ke belakang. Saat itu, aku kehilangan kakakku satu-satunya. Ia adalah penyemangatku selama ini selain Mas Wahyu dan anak-anak.Teh Rahmi, demikianlah aku memanggilnya. Ia adalah kakak kandung yang usianya terpaut lima tahun denganku. Ia lebih dewasa dan selalu baik padaku.Aku tau gejala penyakitnya sama dengan yang dialami oleh ibuku dulu. Ibu sudah lama meninggal, jauh saat kami masih kecil, saat aku berumur enam tahun seperti Kia--anakku. Selanjutnya Bapak menikah dengan ibu kami yang sekarang.Alhamdulillah ibu sambungku orang yang baik, ia memperlakukan kami seolah anaknya.Saat itu diketahui ibu mengalami kepikunan, ia tak mengingat apapun, hingga fungsi organnya pun menurun. Ibu mengalami depresi berat, hingga akhirnya meninggal. Hingga kakakku yang mengalami, aku jadi teringat akan ibuku. Saat itu juga aku berpikir kalau penyakit ini mungkin diturunkan.Kakakku dirawat oleh suaminya. Namun keluarga sua
"Yah ... buka pintu!" Suara Faiz yang mengetuk pintu. Kulihat jam di dinding, sudah menunjukkan pukul satu malam. Kubuka pintu, benar saja, Faiz lari berhambur ke pelukanku. Ia bergetar hebat, menangis sesenggukan dan menidurkan kepalanya di bahuku.Kugendong tubuh kecilnya menuju kursi di meja kerjaku agar ia duduk di sana. Saat ini ia masih terisak, kuhapus air mata yang menggenang di pipinya. Ia pun sedikit demi sedikit menghentikan tangisnya."Ada apa, Faiz?" tanyaku ketika ia sudah berhenti menangis."Aku mimpi Bunda, Yah! Dalam mimpiku Bunda minta tolong. Bunda ingin dibantu oleh kita, tapi kita semua nggak bisa bantuin Bunda. Huhuhu." Faiz kembali menangis. Aku tak bisa membuatnya diam."Udah, Nak. Udah malam sekarang. Bunda baik-baik aja, kamu juga tau kan?" Aku mencoba meyakinkannya."Nggak, Yah. Bunda nggak baik-baik aja. Bunda sedih. Waktu kita ke sana, Bunda senyum, tapi sebenarnya Bunda lagi sedih, Yah."Aku tersenyum, tak ingin membuatnya khawatir."Kamu tau dari mana?
Selanjutnya aku membuat kopi sendiri, karena air di galon habis, aku merebus air dari lemari pendingin. Tak apalah aku nikmati kesendirian ini, walau harus mengurus kedua anakku.Itu berarti aku harus mencari orang yang mengantar jemput Kia nanti. Dan memang biasanya juga oleh Bi Sumi. Biarlah nanti aku mencari orang yang membantu Bi Sumi.Alhamdulillah, Bi Sumi sudah datang dan mulai bekerja lagi. Anak-anak sedang bersiap untuk pergi ke sekolah."Bi, udah selesai belum sarapannya?""Udah, Pak. Ibu Cynthia kemana Pak dari saya datang nggak keliatan?" tanya Bi Sumi."Nggak ada, Bi. Dia pergi dari rumah ini," jawabku."Kemana?""Nggak tau, mungkin ke rumah orang tuanya."Kemudian anak-anak juga bertanya keberadaan ibu sambungnya dan adiknya."Kok nggak ada Andini di kamar?" tanya Faiz."Iya, Mama Cynthia dan Andini memang nggak di rumah. Mereka sedang pergi," jawabku. "Sekarang kalian makan ya! Nanti masalah ini kita bahas lagi," sahutku karena aku sudah waktunya untuk pergi.Selepas ma
"Assalamualaikum." Aku mengangkat telepon dari Bapak. "Waalaikumsalam. Wahyu. Kamu sedang apa, Bapak ganggu nggak?" tanyanya."Nggak, Pak. Ada apa?" tanyaku."Gimana Tika? Udah ketemu?""Alhamdulillah udah, Pak. Tika baik Alhamdulillah. Tapi ponselnya pun ada di saya, nggak bisa di telepon, Pak," jawabku."Oh ... iya nggak apa-apa. Yang penting Tika baik-baik saja. Begini, pekan depan, Yuni--adiknya Tika akan ke Jakarta. Ia sudah mencari pekerjaan, keterima di salah satu sekolah di Jakarta. Apa bisa ia tinggal di rumah Tika?" tanya Bapak.Bagaimana ini? Rumahnya kan kosong. Apa sebaiknya ia tinggal denganku nanti? Tapi kan adiknya perempuan."Memangnya Yuni sudah lulus kuliah ya, Pak? Wah kabar baik buat kita semua dong ya!""Iya, Yuni ini baru lulus banget. Tapi karena ia mahasiswa berprestasi, jadi sudah ditandai oleh salah satu sekolah internasional di Jakarta," kata Bapak.Yuni anaknya Bapak dan Ibunya Tika yang baru. Anaknya sangat baik dan penurut. Tika tak mau membuatnya pusin
Kesadaranku akhirnya sudah penuh. Aku lepaskan ia, dan ternyata ia Yuni, bukan Tika. Beruntung aku tak menyebut nama almarhumah istriku, takutnya nanti Yuni tersinggung jika aku menyebutnya."Eh, iya. Maafkan ya, Yun. Mas Wahyu masih kangen dan ingin selalu dekat kamu. Kamu benar-benar ngegemesin buat Mas," sahutku sambil menjawil hidungnya yang bangir."Eh, Mas Wahyu terus aja colek-colek. Aku mau wudhu lagi sekarang. Mas jangan gangguin lagi ya!" sahutnya dengan wajah galaknya. Lebih tepatnya sok galak, padahal aku tau kalau Yuni nggak bakal bisa galakin suaminya."Iya, silahkan Dek. Aku juga dari tadi nungguin kamu kok, sampe ketiduran gini."Yuni kembali ke kamar mandi, sementara pandanganku tertuju pada ponselku.[Mas, aku sudah keluar dari sel tahanan kemarin. Bisa kita bertemu?] tanyanya di pesan aplikasi hijau.Mau apa Cynthia menghubungiku? Apa ia mau menjadi istriku kembali? Ah, jangan harap karena aku sudah memiliki istri shalihah seperti Yuni.Pikiranku masih dipenuhi pert
Aku memandangi wajahnya lagi. Menelisik kebenaran yang ada padanya. Akhirnya aku memutuskan untuk tetap di kamar ini, bersama dengan Yuni dan Kia. Biarlah aku dengan mereka malam ini."Yah, ayo kemari!" Kia menunjuk-nunjuk pada tempat tidur yang sudah ia naiki lebih dulu.Aku melempar senyum dan menghampiri anakku. Yuni pun mengikuti di belakang. "Iya, Sayang. Ayah akan tidur di sebelah Kia. Sekarang udah malam, Kia cepat-cepat tidur karena esok kita ada agenda untuk bertemu bunda," sahutku mengingatkannya.Kia mengerutkan dahinya. Ia baru mengingat agenda kami esok. Atau mungkin Kia belum tau kalau kami memang akan mengunjungi makam Almarhumah Tika."Iya, Yah. Aku mau tidur sekarang aja. Kan mau ketemu Bunda. Tapi, sepertinya aku tidur di kamarku saja. Kasian Kak Faiz tidur sendirian di sana. Biar aku di sana saja, takutnya kakak besok kesiangan, jadi aku harus membangunkannya," jawab Kia.Gadis kecilku malah akan meninggalkan kamar kami. Pandanganku beralih pada Yuni, ia menunduk,
Yuni menganggukkan kepalanya. Setelah terlihat agak sepi, Kia meminta Yuni duduk. Ia memijati Yuni, kulihat Yuni jadi salah tingkah saat kakinya diminta diangkat dan bertumpu pada salah satu kursi yang dibawa Kia. Kia memijat Yuni pada posisi jongkok."Udah ... udah Kia. Nggak usah, nanti aja ya. Kamu juga pasti capek kan?" Yuni berusaha mendaratkan kakinya. Ia merayu Kia dan akhirnya Kia tak meneruskan pijatannya karena tamu datang kembali. Mereka sudah antri untuk bersalaman dengan kami."Kia, udah ya! Tolong bawa kembali kursinya. Nanti kalau acara sudah selesai, kamu bisa pijat kaki Mama," jelasku. Ia mengerti dan tak meneruskannya. Bapak membantu Kia untuk membawakan kursi ke tempatnya kembali.Acara berlangsung lancar dan tak ada kendala yang begitu sulit. Semua bisa diatasi dengan baik oleh tim panitia.Tibalah kami untuk beristirahat. Yuni sudah ke kamar lebih dulu, sedangkan aku masih mengobrol dengan Ibuku dan kedua orang tua Yuni."Nak Wahyu, kalau sudah capek, kamu istirah
Yuni diam. Ia tidak mau berkata-kata lagi terhadapku. Aku masih menunggu ia bicara sambil menghela napas berkali-kali."Maksudnya aku mau jadi istrimu, Mas. Insya Allah aku kan fokus mengurus Kia, Faiz, Andini dan anak-anakku nanti."Aku tak percaya dengan yang baru saja kudengar dari mulut Yuni. Ia mengatakan mau menjadi istriku.Puji syukur pada Allah yang sudah memberikan jawabannya. Akhirnya Kia dan Faiz punya Bunda lagi, begitu juga Andini, mamanya masih menjalankan hukuman. Tapi, ia bisa menganggap Yuni sebagai mamanya juga nanti."Alhamdulillah, terima kasih, Yun. Setelah ini, aku kan menemui Bapak dan Ibu untuk membicarakan pernikahan kita. Kamu maunya gimana?" Aku harus tau maunya Yuni karena ia masih gadis. Setidaknya seorang gadis ingin melaksanakan pesta pernikahannya nanti. Aku tak keberatan dan akan melaksanakan keinginannya."Kalau aku terserah Mas Wahyu saja. Aku ikut saja keputusan pembicaraan Mas Wahyu dan kedua orang tuaku," sahut Yuni."Kamu juga harus ikut karena
"Kan Kia yang minta Tante Yuni selalu jagain Kia. Masa lupa sih?" Aku menimpali anakku yang kebingungan ada tantenya bersamanya saat ini."Iya, Kia yang minta Tante. Kalau Kia nggak mau Tante temenin, ya udah deh. Tante mau pulang dulu," kata Yuni.Kia mencegahnya dan mengatakan kalau ia sangat senang ditemani oleh tantenya."Tante, kapan jadi bundaku?"Tetiba Faiz datang dan nyeletuk pada Kia."Iya aku juga mau kalau yang jadi bundaku selanjutnya itu Tante Yuni. Aku bisa lihat bundaku pada diri Tante," ungkap Faiz. Anak ini juga bicara berdasarkan hatinya."Ya Allah, Tante nggak nyangka kalian punya pikiran seperti itu. Tante hanya nggak mau kalau dianggap sebagai perebut Ayah kalian dari Bunda Tika," sahut Yuni."Nggak dong, Tante. Kan Bunda udah nggak ada. Pasti Bunda seneng kalau Ayah ada yang urus," jawab Faiz bijak.Aku hanya diam mendengarkan percakapan mereka. Sesekali tersenyum mendengar ocehan anak-anak cerdas ini."Baiklah, akan Tante pikirkan dulu ya!" sahut Yuni. Semoga p
"Ya, aku yakin Yun. Bagaimana tanggapanmu? Apa kamu mau menerimaku?" tanyaku dengan penuh keyakinan."Aku ... aku butuh waktu, Mas. Aku tak mau jadi pengkhianat bagi kakakku. Kuburan Teh Tika masih basah, Mas. Mas udah mau menikahiku. Rasanya aku merasa bersalah jika itu terjadi," jawabnya.Ia menolakku. Itu berarti ia tak menginginkannya. "Baiklah jika itu keputusanmu. Itu berarti kamu tak mau kan?" Aku menegaskan kembali."Bukan seperti itu, Mas. Aku hanya tak mau dianggap sebagai perebut mantan suami kakakku," sahut Yuni dengan suara bergetar."Tenang, Yun. Takkan ada yang menganggapmu seperti itu. Aku akan menghadapi mereka langsung. Ini juga keinginan Kia dan Faiz. Mereka tak menginginkanku menikahi wanita lain selain kamu, Yun," sahutku."Tapi, Mas. Aku takut. Bolehkah aku berpikir dan meminta pertimbangan pada Bapak dan Ibu?" tanya Yuni."Baiklah kalau seperti itu. Aku akan menunggu jawabanmu. Sebenarnya Bapak udah tau, beliau memintaku untuk bertanya langsung padamu." Aku ber
Kia benar-benar mencecar kami. Terlihat wajah Yuni yang bersemu karena malu. Aku pun jadi tak enak dengannya atas ulah anakku.Yuni tak menjawab pernyataan Kia. Ia mohon diri untuk ke kamarnya. Aku mengizinkannya karena memang kasihan juga dicecar oleh Kia."Kia, udah ya! Nggak boleh ngomong yang aneh-aneh. Kasian Tante Yuni," sahutku sambil membawanya pulang.Kubiarkan Yuni beristirahat karena ia butuh waktu untuk sendiri.***Kia benar-benar menginginkan pernikahan antara aku dan Yuni. Saat ini Kia sedang demam. Ia bergumam terus agar Yuni menjadi bundanya.Faiz juga akhirnya mendesakku untuk menikahi Yuni. Hingga akhirnya aku menghubungi Bapak di kampung, meminta izin padanya untuk menikahi Yuni."Pak, mohon maaf mendadak menelepon Bapak.""Ada apa Nak Wahyu?" tanya Bapak dengan nada khawatir."Kia sedang sakit tiga hari ini. Sebenarnya sudah sepekan ini, Kia memintaku untuk menikahi Yuni. Kalau Bapak tak keberatan, insya Allah aku berniat menikahinya." Akhirnya kuungkapkan juga ke
"Ayah belum berpikir untuk menikah lagi, Sayang," sahutku.Kia mencebik. Ia melipat kedua tangannya di depan dada."Tapi aku kasian sama Ayah. Aku nggak mau kalau Ayah nanti nikah lagi, tapi sama orang lain," jelas Kia. Ia bicara seolah orang dewasa yang menasehati anaknya."Hush ... kamu kenapa sih? Tiba-tiba minta Ayah nikah lagi? Kasian kan Ayah masih sedih," timpal Faiz."Kasian Ayah. Aku juga pengen punya Bunda kayak bundaku," terang Kia.Aku melirik mereka, mereka pun diam."Iya, nanti Ayah pikirkan lagi ya! Kalian tenang saja, kalau Allah sudah menakdirkan, insya Allah bisa berjodoh. Tapi, nggak mungkin Tante Yuni mau sama Ayah. Kan Ayah udab tua." Aku terbahak karena memang aku sudah tua, berbeda dengan Yuni yang masih muda dan masa depan yang cerah."Ah, Ayah payah deh!" kata Kia. Kia tak mau memandang padaku, ia memandang ke arah jendela, pandangannya jauh ke samping jendela.Aku hanya tersenyum mendengar tanggapan anak perempuanku itu. Pemikirannya benar-benar diluar predik
Pemakaman berlangsung lancar dan cuaca mendukung. Anak-anak dan Yuni menangis terus sehingga aku harus menghentikan mereka. Bapak dan Ibu yang membawa Yuni ke kamarnya untuk ditenangkan."Sudah ya, sekarang Bunda udah nggak sakit. Kia dan Faiz masih punya Ayah yang sayang banget dengan kalian.""Iya, Yah." Faiz menyeka air matanya. Kemudian ibu memberi mereka minum teh manis hangat agar mereka lebih tenang."Nak Wahyu juga minum, silahkan!" sahut Ibu. Beliau melirik Kia yang sepertinya sudah mengantuk. "Kia bobo sama Nenek yuk!" Kia mengangguk, ia dan Faiz ikut neneknya. Mereka harus istirahat."Nak Wahyu, makan dulu yuk!" ajak Bapak.Aku ikut saja walau perut tak lapar. "Bu, anak-anak nanti diajak makan juga ya!" pintaku."Iya, sekarang biar istirahat sebentar ya Nak Wahyu! Tadi mereka udah makan roti kok. Tinggal makan nasi yang belum," sahut Ibu."Baiklah, Bu. Terima kasih."Seusai makan, aku diminta istirahat juga oleh Bapak. Katanya kasian karena aku yang paling banyak tak isti