"Mas, selamat ya! Akhirnya Mas Wahyu sudah cerai dengan Tika. Aku sangat senang, akhirnya rencana kita semua berhasil, aku bisa menjadi istrimu yang sah secara negara nanti," ucap Cynthia.
Aku hanya tersenyum tipis saat mendengar ungkapannya. Cynthia malah bersyukur aku cerai dengan Tika. Padahal Tikalah yang mengajak Cynthia masuk ke bahtera kami.
Cynthia adalah istri keduaku yang kunikahi dua tahun yang lalu. Pernikahan kami tentunya atas persetujuan istri pertamaku--Tika. Tika sendiri yang menjodohkanku dengan Cynthia.
Saat itu Tika mengatakan padaku kalau ia kasihan pada temannya yang bernama Cynthia belum punya pasangan. Ia ingin sahabatnya menjadi adik madu baginya.
Aku sebagai laki-laki yang kodratnya mendua, ibarat kucing saat disodorkan ikan, yang gerak cepat memakannya, aku pun akan gerak cepat menyetujuinya.
Namun, seiring berjalannya waktu, Tika justru malah sering komplain kalau aku tak adil dalam memberikan nafkah lahir dan batin.
Saat itu, aku memberikan kedua nafkah itu sesuai kebutuhan kedua istriku. Kalau Tika karena memiliki anak dua, aku berikan jumlah uang lebih banyak dari Cynthia. Kuberikan dua kali lipat dari adik madunya.
Tetap saja katanya tak sesuai dengan yang ia harapkan. Hingga suatu hari, Tika meminta cerai dariku. Aku tak terima jika harus bercerai darinya karena aku takkan menceraikan keduanya.
Namun, Tika tetap memaksa. Aku yang jengah karena setiap hari ia terus merayu, memaksa dan menerorku untuk menceraikannya, akhirnya keluar juga talak itu dari bibirku.
Sedih juga saat mengingat saat-saat itu. Saat dimana aku malah menalak Tika istriku. Namun, aku kembali minta rujuk padanya. Setelah dipaksa alasan anak, ia pun mau rujuk denganku.
Sampai yang ketiga, aku ucap talak untuknya. Otomatis itu sudah kesempatan terakhir untukku.
"Mas, kamu udah menalakku sebanyak tiga kali. Sekarang juga aku minta kamu untuk mendaftarkan perceraian kita ke pengadilan agama!" ucap Tika.
"Baiklah. Sudah tak ada kesempatan untuk kita bersama lagi!" sahutku.
Saat itu aku banyak bertengkar dengannya. Otomatis kedua anak kami tau kerenggangan hubungan kami. Aku tak mau kedua anakku memiliki trauma dari pertengkaran orang tuanya.
Perceraian pun diproses hingga akhirnya kami resmi bercerai secara negara.
***
Semenjak bercerai, aku tak tau dimana Tika berada. Ia menghilang sendirian, tak membawa kedua anak kami. Sesekali anak-anak bersama dengannya. Namun, akhir-akhir ini, ia sudah tak kelihatan dan tak tinggal lagi di rumah yang aku berikan padanya.
Kuncinya ia kembalikan padaku melalui asisten rumah tangga kami. Ia datang untuk memberikan kunci. Tapi aku tak bertemu dengannya.
"Yah, kok nggak ada kabar lagi ya dari Bunda?" tanya Faiz anak pertama kami. Ia kini berumur sembilan tahun.
"Ayah juga nggak tau Bunda kemana karena Bunda tak bilang dulu saat akan pergi."
"Aku kangen sama Bunda. Kemana ya perginya Bunda?" Kia anak kedua kami pun berkaca-kaca, sekarang ia berumur enam tahun.
Tetiba datang Cynthia, ibu sambung mereka. Kini Cynthia sudah memiliki seorang anak berusia satu tahun. Anakku dan Cynthia diberi nama Andini.
"Ngapain nyari Bunda kalian? Ia udah nggak peduli sama kalian berdua kok. Kalau Bunda kalian peduli, ia takkan meninggalkan kalian berdua," ucap Cynthia.
Darahku mendidih saat itu juga. Tak seharusnya ia berkata seperti itu pada anak-anak. Mereka bisa-bisa terluka jika mendengar hal yang jelek mengenai Bunda mereka. Walau aku pun sering dibuat jengkel oleh Tika, tapi aku tak mau menjelekkan Tika di depan anak-anak.
"Jangan bicara seperti itu, Sayang! Bunda mereka hanya pergi sebentar. Nanti juga balik lagi," timpalku. Aku tak mau anak-anak khawatir. Mereka harus berpikiran positif.
"Ah, kesal aku. Setiap hari cuma Mbak Tika aja yang diinget-inget. Padahal ada aku di sini yang selalu melayani kalian semua saat Mbak Tika tidak mau bertanggungjawab," katanya sambil pergi ke kamar.
Cynthia memang begitu. Ia selalu tempramen dan mudah baper. Aku kadang bingung menghadapi wanita itu.
Aku pun jadi amat sangat rindu dengan sosok istri pertamaku. Ia sosok istri yang baik, cantik, pengertian dan tak pernah marah. Ia selalu bisa menenangkanku di saat aku sedang galau.
"Yah, pokoknya aku mau cari ibu. Kita datangi rumah ibu saja. Siapa tau ada petunjuk di sana," sahut bocah sembilan tahun itu.
Benar juga, mengapa tak terpikirkan untuk menyelidiki rumah yang Tika tinggalkan? Aku memang belum sempat mengecek rumah yang ditinggali Tika selama ini.
"Baiklah. Kita ke sana besok ya! Kebetulan Ayah besok libur."
"Oke."
"Sekarang kalian tidur. Kalau belum salat, silahkan salat dulu. Minta sama Allah agar Bunda kalian segera ditemukan," saranku pada Faiz dan Kia.
"Baik, Yah." Mereka kembali ke kamarnya dan bersiap untuk tidur.
Aku pun kembali ke kamar. Di sana, Cynthia sedang sibuk dengan ponselnya.
"Mas, besok aku ingin jalan-jalan. Aku tak mengizinkan kamu untuk ke rumah itu. Buat apa coba? Nggak ada kerjaan banget sih?" tanya Cynthia. Ia benar-benar kebangetan dan sangat lupa diri.
"Buat apa? Buat cari kemana menghilangnya istriku!"
"Apa? Istrimu, Mas? Istrimu hanya aku! Daripada ngurusin gituan, lebih baik urus pernikahan siri kita agar diakui negara," katanya.
Cynthia benar-benar keterlaluan. Malah membandingkan dengan sesuatu yang memang tak bisa dibandingkan.
"Eh, iya. Dia mantan istriku. Tapi kan tetap menjadi istriku di hati ini. Tak ada yang bisa menggantikannya!" tegasku.
Tetiba Cynthia menangis sesenggukan. Ia membuatku merasa bersalah.
"Mas, kamu tega ya sama aku! Kamu ingin aku pergi juga seperti Mbak Tika?" katanya dengan mata melebar.
Aku kesal dengan sikapnya yang seperti ini. Ia malah membuat diriku tak berdaya dan harus menurutinya.
"Jawab, Mas!"
"Tidak, aku sangat membutuhkanmu, Sayang. Kamu jangan pergi, aku tak bisa hidup tanpamu," jawabku.
Kemudian ia mendekatiku, lalu memelukku. Kalau sudah begini, aku tak bisa apa-apa.
"Mas, besok kita urus pernikahan negara kita ya!" katanya dengan terisak.
"Baiklah. Aku kan cari tau dulu persyaratannya."
"Terima kasih, Mas."
***
Diperlukan berkas untuk diajukan ke kelurahan, pengadilan agama setempat untuk mengajukan Isbat Nikah, hanya tinggal pengesahan secara negara saja.
Insya Allah takkan lama mengurusnya. Setelah pengajuan, biasanya akan menunggu lagi. Oleh karena itu, aku akan tetap ke rumah Tika setelah urusan selesai, tapi tak bisa mengajak anak-anak.
Saat aku sudah selesai mengajukan Isbat Nikah ke pengadilan, aku menuju rumah Tika. Kuhela napas sejenak saat melihat rumah ini dari luar.
Aku memasukinya setelah membuka pintu dengan kunci. Tercium aroma rumah yang sudah lama tak ditempati. Aku mengingat rumah ini adalah rumah kenangan kami berempat. Rumahku sekarang justru rumah baru bagiku.
Kucari di kamar terlebih dulu, tapi aku tak menemukan apapun di sana. Tapi aku hanya menemukan sebuah buku tulis yang isinya.
[Buku diary ku hilang entah kemana. Padahal semua kutuliskan di sana. Semua perasaan cintaku pada Mas Wahyu dan anak-anak pun kucurahkan di sana. Tak apalah, aku bisa pergi dengan tenang sekarang.]
Bersambung
Flash back"Mas, kamu baru datang? Duduk dulu yuk. Biar kubuatkan minum untukmu.""Iya, ada apa memangnya?" tanyaku yang penasaran dengan sikapnya.Tika malah masuk ke dalam. Ia menyiapkan minuman untukku. Walau ada asisten rumah tangga, ia lebih suka menyiapkannya sendiri untukku."Begini, aku kan punya teman dekat, Mas juga tau.""Teman dekat yang mana sih, Dek?" Aku bertanya sembari meminum kopi yang istriku suguhkan. Rasanya sangat nikmat dan pas diminum selepas aku ingin melepaskan penat ini sepulang bekerja."Cynthia. Mas tau kan dengan Cynthia?" "Iya memangnya kenapa dia?""Dia ... kan masih single. Aku ingin dia menikah," sahutnya.Tika ini aneh, ia ingin temannya segera menikah. Seharusnya bilang langsung pada temannya, bukan padaku. Tapi, coba kudengarkan dengan seksama apa maunya."Terus?""Aku ingin ... Mas Wahyu menikahinya."Deg.Aku tak percaya Tika mengatakan hal itu. Tak pernah terpikirkan sekalipun untuk memiliki istri lebih dari satu. Aku tak mau menikah lagi karen
"Maaf, Mas. Mas Wahyu kan harus lebih sering dengan Cynthia. Ia masih baru menikah denganmu, pasti lebih membutuhkan bimbinganmu, Mas. Seperti aku dahulu," sahutnya.Ada aja alasan yang ia kemukakan agar aku selalu dekat dengan Cynthia. Ia malah terkesan menghindariku. Padahal baru satu hari aku di rumah ini, tapi Tika sudah mau pergi."Jangan lama-lama ya, Dek! Kumohon! Aku sangat cinta sama kamu, dan aku pasti sangat merindukanmu nanti," bisikku tepat di telinganya."Kan tadi aku udah bilang, aku bakal pergi kurang lebih sebulan. Kamu mending fokus kerja dengan baik, jaga Cynthia dan kedua anak kita," sahutnya."Ah, kamu kaya mau kemana aja sih, Bun!" ucapku."Bunda nggak kemana-mana kan? Bunda mau nengok kakek dan nenek saja, itu kata Bunda tadi, Yah," ucap Faiz."Betul. Faiz aja pinter. Ayah mending sana deh, temenin Mama Cynthia. Kasihan kalau dia sendiri," sahut Tika sambil menarik tanganku agar jangan duduk terus di sofa.Aku mengerutkan kening dan kembali duduk di sofa. Aku ta
Tanganku bergetar saat memegangi buku tulis ini. Apa yang dituliskan oleh Tika membuatku menyesal. Di dalam buku itu, ia mengatakan kalau selama ini selalu mencintaiku dan anak-anak.Namun, tidak begitu denganku yang sibuk dengan Cynthia dan anak kami. Aku menyangka kalau Tika sudah tak mencintaiku lagi. Ia sering membuat masalah hingga akhirnya kami bercerai.Kubaca kembali kata demi kata yang ia tuliskan di sana. Banyak makna yang tersirat di dalamnya. Ia mengatakan buku hariannya telah hilang, itu berarti aku memang harus mencari buku harian istriku.Kemudian, ada yang menggelitikku di kalimat terakhirnya yang mengatakan kalau ia bisa pergi dengan tenang. Apa maksud dari semua ini?Perasaan bersalah bercokol dalam hatiku. Bila saja aku tak bercerai dengannya, mungkin takkan seperti ini. Bila saja aku tak menurutinya untuk menikah lagi, mungkin takkan seperti ini juga.Bila saja aku lebih peduli padanya, mungkin ia masih di sini.Hening, semua sudah tak ada di sini. Rumah ini, temp
"Apa ini?" Aku membuka kantong plastik bening yang kutemukan. Lalu duduk di atas ranjang untuk menelisik isinya.Isinya beberapa obat-obatan seperti paracetamol, obat flu cair dan ada juga CTM obat kecil berwarna kuning. Sepertinya Tika sedang flu, tapi obatnya tak ia bawa. Aku jadi semakin khawatir dengannya.Ponselnya juga tak bisa kuhubungi. Setelah kucek melalui aplikasi lacak keberadaan ponsel, ternyata ponselnya masih berada di sekitar rumah ini. Itu berarti ia tak membawa ponselnya.Kucoba mencari ponselnya terlebih dulu. Pasti ponselnya ada di sekitar kamar ini. Aku harus mencarinya lagi agar menemukan titik temu kembali.Kubuka semua laci di kamar, termasuk di lemari. Ternyata tetap tak ada. Lalu aku mengecek di setiap selipan pakaian yang tersisa, tetap tak ada. Kemudian, kucari di bawah kasur. Akhirnya aku menemukan ponsel Tika. Tapi ponsel ini mati, kubawa saja dulu karena tak mungkin aku mengisi daya saat ini.Selanjutnya, aku akan mencari orangnya. kulaporkan kehilangan
"Kalau boleh tau, dia turun di mana?""Turun di terminal, Pak. Tapi enah naik bis yang mana.""Baiklah. Terima kasih, infonya."Terminal? Itu berarti ia akan keluar kota. Tapi, apa ia akan menemui orang tuanya? Ya sudah, besok aku kan ke rumah Ibu dan Bapak. Semoga memang ada di sana. Kalau pun ada di sana, aku sudah senang karena ia ada walau kami berjauhan.Perceraian ini membuatku tersiksa, perceraian yang tak kuinginkan, tapi harus kujalani karena semua kesalahanku. Sesal di hati ini masih dapat dirasakan, namun perjalanan masih panjang. Kuharap yang terbaik untuk Tika.Kuingat-ingat lagi saat terakhir kami bersama. Sehari sebelum kepergiannya, kami sempat menghadiri acara di sekolah Faiz. Acara pemberian sertifikat dan mahkota bagi yang sudah hafal juz 30. Saat itu kedua orang tua siswa harus hadir di sana.Walau kami sudah bercerai, aku dan Tika datang ke sana bersama dengan membawa serta Kia. Saat itu kami serasa keluarga harmonis, lengkap dan merupakan hari yang membahagiakan
"Dek, aku nyari Tika toh nggak ngerugiin kamu. Kamu di rumah aja, semua sudah kuberikan dengan selayaknya. Cinta, kasih sayang, harta, semua sudah kuberikan untukmu. Sampai aku harus kehilangan istriku, Dek." Akhirnya keluar juga kata-kata yang mungkin membuatnya sakit hati. "Maaf, Dek. Aku tak bermaksud menyakitimu. Tapi, aku benar-benar harus mencarinya. Aku takut terjadi apa-apa padanya," sahutku.Cynthia diam. Tak lama ia terisak dan menangis. Aku sering tak tega jika melihat wanita menangis. Apalagi ia sekarang istriku dan sudah memberikan keturunan untukku. Kusandarkan kepalanya dalam dadaku, membiarkan ia menangis di sana. Ia harus paham, kalau aku harus mencari Tika karena ia ibu dari kedua anakku, anak-anak mencintainya dan berharap aku bisa menemukannya.Tika itu memang masih berharga untukku. Singgasananya di hatiku masih di tempat yang sama, walaupun kini kami sudah bercerai.Selesai menangis, akhirnya ia mengangkat wajahnya yang sembab. Kuhapus air mata yang masih bersis
Wanita itu terus saja berjalan. Kukejar dirinya sampai ia menoleh, aku tak jadi mengejarnya lagi. Ternyata bukan Tika."Eh, maaf Mbak!" sahutku."Ngapain sih, Mas. Manggil-manggil nggak jelas. Mana manggilin bukan nama saya, makanya saya jalan terus.""Maaf, saya kira istri saya," jawabku cepat. Sampai aku mengatakan istri, bukan mantan istri."Iya, lain kali nggak usah kayak gitu. Saya takut juga tadi.""Maafkan saya, Mbak!""Ya, saya maafkan, Mas. Udah ya, saya permisi duluan!" katanya.Sangat malu, mata ini bener-bener tak bisa membedakan yang mana Tika, yang mana bukan Tika.Langkahku gontai saat memasuki mobil. Berharap Tika sedang ada di dekatku kali ini. Tapi, itu hanya angan dan harapanku saat ini saja.Kuhela napas kasar, diam dulu di kemudi sebelum melanjutkan perjalanan. Bismillah, semoga ada titik terang.***"Pa, Bu, apa kabar?" tanyaku pada Bapak dan Ibunya Tika saat tiba di rumahnya.Bapak yang sedang duduk sambil membaca buku terkejut. Ia mendongakkan kepalanya, lalu m
"Iya, Bu. Aku minum sekarang." Kuteguk teh manis hangat yang menggugah selera itu. Badanku jadi hangat dan lebih baik setelah meneguknya."Makan saja dulu, Bu. Siapkan makan buat Wahyu dan Bapak!" titah Bapak.Mereka masih menganggapku menantunya, sikapnya masih baik seperti biasa. Sungguh, orang tua dan anaknya sama-sama baik. Namun, keadaan yang membuat semua jadi seperti ini."Baik, Pak. Ibu siapkan dulu."Sembari menunggu Ibu, Bapak menanyaiku tentang pekerjaan. Ia juga bertanya tentang anak-anak dan Cynthia."Gimana Cynthia itu? Apa ia baik?"Aku bingung menjawabnya. Sebenarnya ia baik, namun ia selalu cemburu pada Tika. Ia pun lebih banyak menuntut."Baik, Pak.""Alhamdulillah kalau gitu. Bapak tak mau kalau anak-anak berada di tangan yang salah. Kalau ia tak bisa mengurus anak-anak, lebih baik anak-anak tinggal sama kami saja," kata Bapak.Apa? Bapak inginkan anak-anak? Itu tidak mungkin karena anak-anak harus aku yang mengurusnya, kalau bukan Tika."Alhamdulillah anak-anak bai
Kesadaranku akhirnya sudah penuh. Aku lepaskan ia, dan ternyata ia Yuni, bukan Tika. Beruntung aku tak menyebut nama almarhumah istriku, takutnya nanti Yuni tersinggung jika aku menyebutnya."Eh, iya. Maafkan ya, Yun. Mas Wahyu masih kangen dan ingin selalu dekat kamu. Kamu benar-benar ngegemesin buat Mas," sahutku sambil menjawil hidungnya yang bangir."Eh, Mas Wahyu terus aja colek-colek. Aku mau wudhu lagi sekarang. Mas jangan gangguin lagi ya!" sahutnya dengan wajah galaknya. Lebih tepatnya sok galak, padahal aku tau kalau Yuni nggak bakal bisa galakin suaminya."Iya, silahkan Dek. Aku juga dari tadi nungguin kamu kok, sampe ketiduran gini."Yuni kembali ke kamar mandi, sementara pandanganku tertuju pada ponselku.[Mas, aku sudah keluar dari sel tahanan kemarin. Bisa kita bertemu?] tanyanya di pesan aplikasi hijau.Mau apa Cynthia menghubungiku? Apa ia mau menjadi istriku kembali? Ah, jangan harap karena aku sudah memiliki istri shalihah seperti Yuni.Pikiranku masih dipenuhi pert
Aku memandangi wajahnya lagi. Menelisik kebenaran yang ada padanya. Akhirnya aku memutuskan untuk tetap di kamar ini, bersama dengan Yuni dan Kia. Biarlah aku dengan mereka malam ini."Yah, ayo kemari!" Kia menunjuk-nunjuk pada tempat tidur yang sudah ia naiki lebih dulu.Aku melempar senyum dan menghampiri anakku. Yuni pun mengikuti di belakang. "Iya, Sayang. Ayah akan tidur di sebelah Kia. Sekarang udah malam, Kia cepat-cepat tidur karena esok kita ada agenda untuk bertemu bunda," sahutku mengingatkannya.Kia mengerutkan dahinya. Ia baru mengingat agenda kami esok. Atau mungkin Kia belum tau kalau kami memang akan mengunjungi makam Almarhumah Tika."Iya, Yah. Aku mau tidur sekarang aja. Kan mau ketemu Bunda. Tapi, sepertinya aku tidur di kamarku saja. Kasian Kak Faiz tidur sendirian di sana. Biar aku di sana saja, takutnya kakak besok kesiangan, jadi aku harus membangunkannya," jawab Kia.Gadis kecilku malah akan meninggalkan kamar kami. Pandanganku beralih pada Yuni, ia menunduk,
Yuni menganggukkan kepalanya. Setelah terlihat agak sepi, Kia meminta Yuni duduk. Ia memijati Yuni, kulihat Yuni jadi salah tingkah saat kakinya diminta diangkat dan bertumpu pada salah satu kursi yang dibawa Kia. Kia memijat Yuni pada posisi jongkok."Udah ... udah Kia. Nggak usah, nanti aja ya. Kamu juga pasti capek kan?" Yuni berusaha mendaratkan kakinya. Ia merayu Kia dan akhirnya Kia tak meneruskan pijatannya karena tamu datang kembali. Mereka sudah antri untuk bersalaman dengan kami."Kia, udah ya! Tolong bawa kembali kursinya. Nanti kalau acara sudah selesai, kamu bisa pijat kaki Mama," jelasku. Ia mengerti dan tak meneruskannya. Bapak membantu Kia untuk membawakan kursi ke tempatnya kembali.Acara berlangsung lancar dan tak ada kendala yang begitu sulit. Semua bisa diatasi dengan baik oleh tim panitia.Tibalah kami untuk beristirahat. Yuni sudah ke kamar lebih dulu, sedangkan aku masih mengobrol dengan Ibuku dan kedua orang tua Yuni."Nak Wahyu, kalau sudah capek, kamu istirah
Yuni diam. Ia tidak mau berkata-kata lagi terhadapku. Aku masih menunggu ia bicara sambil menghela napas berkali-kali."Maksudnya aku mau jadi istrimu, Mas. Insya Allah aku kan fokus mengurus Kia, Faiz, Andini dan anak-anakku nanti."Aku tak percaya dengan yang baru saja kudengar dari mulut Yuni. Ia mengatakan mau menjadi istriku.Puji syukur pada Allah yang sudah memberikan jawabannya. Akhirnya Kia dan Faiz punya Bunda lagi, begitu juga Andini, mamanya masih menjalankan hukuman. Tapi, ia bisa menganggap Yuni sebagai mamanya juga nanti."Alhamdulillah, terima kasih, Yun. Setelah ini, aku kan menemui Bapak dan Ibu untuk membicarakan pernikahan kita. Kamu maunya gimana?" Aku harus tau maunya Yuni karena ia masih gadis. Setidaknya seorang gadis ingin melaksanakan pesta pernikahannya nanti. Aku tak keberatan dan akan melaksanakan keinginannya."Kalau aku terserah Mas Wahyu saja. Aku ikut saja keputusan pembicaraan Mas Wahyu dan kedua orang tuaku," sahut Yuni."Kamu juga harus ikut karena
"Kan Kia yang minta Tante Yuni selalu jagain Kia. Masa lupa sih?" Aku menimpali anakku yang kebingungan ada tantenya bersamanya saat ini."Iya, Kia yang minta Tante. Kalau Kia nggak mau Tante temenin, ya udah deh. Tante mau pulang dulu," kata Yuni.Kia mencegahnya dan mengatakan kalau ia sangat senang ditemani oleh tantenya."Tante, kapan jadi bundaku?"Tetiba Faiz datang dan nyeletuk pada Kia."Iya aku juga mau kalau yang jadi bundaku selanjutnya itu Tante Yuni. Aku bisa lihat bundaku pada diri Tante," ungkap Faiz. Anak ini juga bicara berdasarkan hatinya."Ya Allah, Tante nggak nyangka kalian punya pikiran seperti itu. Tante hanya nggak mau kalau dianggap sebagai perebut Ayah kalian dari Bunda Tika," sahut Yuni."Nggak dong, Tante. Kan Bunda udah nggak ada. Pasti Bunda seneng kalau Ayah ada yang urus," jawab Faiz bijak.Aku hanya diam mendengarkan percakapan mereka. Sesekali tersenyum mendengar ocehan anak-anak cerdas ini."Baiklah, akan Tante pikirkan dulu ya!" sahut Yuni. Semoga p
"Ya, aku yakin Yun. Bagaimana tanggapanmu? Apa kamu mau menerimaku?" tanyaku dengan penuh keyakinan."Aku ... aku butuh waktu, Mas. Aku tak mau jadi pengkhianat bagi kakakku. Kuburan Teh Tika masih basah, Mas. Mas udah mau menikahiku. Rasanya aku merasa bersalah jika itu terjadi," jawabnya.Ia menolakku. Itu berarti ia tak menginginkannya. "Baiklah jika itu keputusanmu. Itu berarti kamu tak mau kan?" Aku menegaskan kembali."Bukan seperti itu, Mas. Aku hanya tak mau dianggap sebagai perebut mantan suami kakakku," sahut Yuni dengan suara bergetar."Tenang, Yun. Takkan ada yang menganggapmu seperti itu. Aku akan menghadapi mereka langsung. Ini juga keinginan Kia dan Faiz. Mereka tak menginginkanku menikahi wanita lain selain kamu, Yun," sahutku."Tapi, Mas. Aku takut. Bolehkah aku berpikir dan meminta pertimbangan pada Bapak dan Ibu?" tanya Yuni."Baiklah kalau seperti itu. Aku akan menunggu jawabanmu. Sebenarnya Bapak udah tau, beliau memintaku untuk bertanya langsung padamu." Aku ber
Kia benar-benar mencecar kami. Terlihat wajah Yuni yang bersemu karena malu. Aku pun jadi tak enak dengannya atas ulah anakku.Yuni tak menjawab pernyataan Kia. Ia mohon diri untuk ke kamarnya. Aku mengizinkannya karena memang kasihan juga dicecar oleh Kia."Kia, udah ya! Nggak boleh ngomong yang aneh-aneh. Kasian Tante Yuni," sahutku sambil membawanya pulang.Kubiarkan Yuni beristirahat karena ia butuh waktu untuk sendiri.***Kia benar-benar menginginkan pernikahan antara aku dan Yuni. Saat ini Kia sedang demam. Ia bergumam terus agar Yuni menjadi bundanya.Faiz juga akhirnya mendesakku untuk menikahi Yuni. Hingga akhirnya aku menghubungi Bapak di kampung, meminta izin padanya untuk menikahi Yuni."Pak, mohon maaf mendadak menelepon Bapak.""Ada apa Nak Wahyu?" tanya Bapak dengan nada khawatir."Kia sedang sakit tiga hari ini. Sebenarnya sudah sepekan ini, Kia memintaku untuk menikahi Yuni. Kalau Bapak tak keberatan, insya Allah aku berniat menikahinya." Akhirnya kuungkapkan juga ke
"Ayah belum berpikir untuk menikah lagi, Sayang," sahutku.Kia mencebik. Ia melipat kedua tangannya di depan dada."Tapi aku kasian sama Ayah. Aku nggak mau kalau Ayah nanti nikah lagi, tapi sama orang lain," jelas Kia. Ia bicara seolah orang dewasa yang menasehati anaknya."Hush ... kamu kenapa sih? Tiba-tiba minta Ayah nikah lagi? Kasian kan Ayah masih sedih," timpal Faiz."Kasian Ayah. Aku juga pengen punya Bunda kayak bundaku," terang Kia.Aku melirik mereka, mereka pun diam."Iya, nanti Ayah pikirkan lagi ya! Kalian tenang saja, kalau Allah sudah menakdirkan, insya Allah bisa berjodoh. Tapi, nggak mungkin Tante Yuni mau sama Ayah. Kan Ayah udab tua." Aku terbahak karena memang aku sudah tua, berbeda dengan Yuni yang masih muda dan masa depan yang cerah."Ah, Ayah payah deh!" kata Kia. Kia tak mau memandang padaku, ia memandang ke arah jendela, pandangannya jauh ke samping jendela.Aku hanya tersenyum mendengar tanggapan anak perempuanku itu. Pemikirannya benar-benar diluar predik
Pemakaman berlangsung lancar dan cuaca mendukung. Anak-anak dan Yuni menangis terus sehingga aku harus menghentikan mereka. Bapak dan Ibu yang membawa Yuni ke kamarnya untuk ditenangkan."Sudah ya, sekarang Bunda udah nggak sakit. Kia dan Faiz masih punya Ayah yang sayang banget dengan kalian.""Iya, Yah." Faiz menyeka air matanya. Kemudian ibu memberi mereka minum teh manis hangat agar mereka lebih tenang."Nak Wahyu juga minum, silahkan!" sahut Ibu. Beliau melirik Kia yang sepertinya sudah mengantuk. "Kia bobo sama Nenek yuk!" Kia mengangguk, ia dan Faiz ikut neneknya. Mereka harus istirahat."Nak Wahyu, makan dulu yuk!" ajak Bapak.Aku ikut saja walau perut tak lapar. "Bu, anak-anak nanti diajak makan juga ya!" pintaku."Iya, sekarang biar istirahat sebentar ya Nak Wahyu! Tadi mereka udah makan roti kok. Tinggal makan nasi yang belum," sahut Ibu."Baiklah, Bu. Terima kasih."Seusai makan, aku diminta istirahat juga oleh Bapak. Katanya kasian karena aku yang paling banyak tak isti