"Apa ini?" Aku membuka kantong plastik bening yang kutemukan. Lalu duduk di atas ranjang untuk menelisik isinya.
Isinya beberapa obat-obatan seperti paracetamol, obat flu cair dan ada juga CTM obat kecil berwarna kuning. Sepertinya Tika sedang flu, tapi obatnya tak ia bawa. Aku jadi semakin khawatir dengannya.
Ponselnya juga tak bisa kuhubungi. Setelah kucek melalui aplikasi lacak keberadaan ponsel, ternyata ponselnya masih berada di sekitar rumah ini. Itu berarti ia tak membawa ponselnya.
Kucoba mencari ponselnya terlebih dulu. Pasti ponselnya ada di sekitar kamar ini. Aku harus mencarinya lagi agar menemukan titik temu kembali.
Kubuka semua laci di kamar, termasuk di lemari. Ternyata tetap tak ada. Lalu aku mengecek di setiap selipan pakaian yang tersisa, tetap tak ada. Kemudian, kucari di bawah kasur. Akhirnya aku menemukan ponsel Tika. Tapi ponsel ini mati, kubawa saja dulu karena tak mungkin aku mengisi daya saat ini.
Selanjutnya, aku akan mencari orangnya. kulaporkan kehilangan pada polisi. Kedua, aku akan mencari ke rumah orang tuanya besok. Jika tidak ada juga, kalau perlu kan kucari ke seluruh kota ini.
Kutemui Cynthia, ia harus pulang bersama anak-anak, sementara aku akan ke kantor polisi untuk melaporkan kehilangan orang.
"Dek, kamu pulang ya! Aku harus mencari Tika, aku penasaran kemana ia pergi," sahutku.
"Mas! Kok gitu sih?" Cynthia mulai merajuk. "Ya sudah, kami pulang! Mas jangan lama-lama mencarinya, ya!" ucap Cynthia sebelum aku pergi.
Sengaja aku pergi segera karena aku benar-benar tak bisa melewatkan waktu sedetik pun.
***
Setibanya di kantor polisi, aku dilayani dengan ramah. Kemudian dimintai data Tika dan hubunganku dengannya. Ah, ternyata harus cari dulu KK dan KTP punya Tika.
Kuberikan fotokopi KK dan KTP yang dahulu saja. Karena takutnya Tika masih belum memperbaharui KK miliknya dan kalaupun sudah, aku tak memilikinya.
Alhamdulillah bisa dipakai. Kuberikan juga fotonya agar ia bisa segera dicari dan ditemukan.
"Ditunggu 24 jam dulu ya, Pak. Bapak cari sekitar lingkungan dalam 24 jam ini, kami pun akan ikut mengecek juga dengan mendatangi rumah dan lingkungan Bapak dalam waktu dekat ini," kata salah seorang polisi yang menerima laporanku.
"Baiklah, Pak. Terima kasih, Ya."
Gegas aku mencarinya serta meminta bantuan anak buahku untuk menyebar pencarian Tika di berbagai sosial media. Mudah-mudahan bisa ketemu melalui sosial media tersebut.
Kucari Tika ke rumah temannya yang ku kenal. Hasilnya nihil. Mereka tak mengetahui keberadaan mereka. Selain itu, kutemui kerabat terdekat mantan istriku itu. Mereka pun tak tau menau mengenai keberadaan Tika.
Cynthia meneleponku, ia bilang ada polisi yang mengkonfirmasi dan menanyai tetangga rumah Tika. Ada beberapa orang yang mengubungi dia.
Selain itu, ia ingin agar aku segera pulang karena waktu sudah hampir menjelang magrib.
"Mas, cepatlah pulang! Aku capek mengurus tiga anak seperti ini," katanya.
Padahal ia tak mengurus sendiri, ada baby sitter, ada juga ART. Kurang apa lagi aku menuruti semua kemauannya? Dulu, Tika yang memintaku untuk menuruti kemauan Cynthia, tapi lama-kelamaan kemauannya semakin menjadi-jadi. Membuatku geleng-geleng kepala.
Mentang-mentang aku manajer hotel, pernah ia ingin menginap di hotel tempatku bekerja di kamar paling mewah. Walau seorang manajer, aku tak mau menggunakan kekuasaanku untuk mendapatkan fasilitas itu tanpa membayar. Jelas aku harus tetap membayarnya, karena ada fasilitas yang bisa kugunakan tapi dengan kamar di bawah level itu.
Kali itu, Tika juga yang menguatkanku untuk menurutinya. Aku hanya bisa manut karena itu sudah diridhai olehnya.
Saat akan berangkat, rasa bersalahku membuncah. Aku tak pernah membawanya menginap di hotel tempatku bekerja, tapi Cynthia, ia akan merasakannya, dengan fasilitas yang fantastis.
Saat itu aku memeluknya erat dan mengatakan permohonan maaf karena aku tak pernah membawanya ke sana. Aku pun berjanji akan membawanya nanti setelah aku ke sana dengan Cynthia.
Di malam itu, bukannya senang, aku malah kepikiran istri pertamaku. Ia terus berkelebat dalam pikiran ini. Hingga Cynthia merasakannya, ia sempat merajuk saat itu. Akhirnya, aku sadar tak boleh bersikap seperti itu. Aku pun meminta maaf dan mencoba menikmati malam dengannya.
Setibanya di rumah, aku memergoki mata Tika basah. Apa ia habis menangis? Saat itu juga aku memeluknya erat. Ia mencoba melepaskan pelukanku, lalu aku diminta untuk mandi, kemudian ia menyiapkan segala sesuatunya untukku tanpa berkomentar apapun.
Ponselku berdering lagi.
"Mas, kamu udah dimana? Cepatlah pulang! Kamu udah makan?" tanya Cynthia. Ia terus menerus meneleponku. Ternyata ada 10 panggilan sedari tadi. Aku menyetir dengan pikiran yang tak fokus, Alhamdulillah tak terjadi hal yang tak diinginkan.
"Sebentar, aku masih di jalan. Tolong kamu urus saja anak-anak dengan baik. Aku akan pulang dalam waktu dekat," jawabku.
"Ah, dari tadi sebentar terus. Tapi nggak nyampe-nyampe," katanya.
Aku tertegun. Benar juga aku belum makan dan tak memikirkan dirimu sendiri saat ini. Tapi bagaimana dengan Tika? Apa ia baik-buruk saja? Apa ia sudah makan? Apa ia punya rumah?
Ah iya kenapa tak kutelepon orang tuanya saja. Tapi ... lebih baik kucek besok saja. Karena kalau bertanya, nanti ketahuan kalau Tika hilang. Kalau aku pura-pura ke sana, siapa tau aku bisa memancing kalau ternyata Tika ada di sana.
Ya sudah, lebih baik aku pulang sekarang karena esok akan ke kampung halaman Tika.
***
Sampai di rumah, sudah sepi. Hanya ada tangisan bayiku dan Cynthia. Ia terbangun sepertinya.
"Mas, kamu udah pulang?" tanya Cynthia yang sedang menyusui Andini.
"Iya, udah."
"Kamu lemes banget. Pasti capek dan nggak ada hasil kan?" tanya Cynthia dengan mata yang menatap tajam padaku.
Aku menggeleng.
"Ah, benarkan kataku!" Mulai lagi seakan ia benar.
"Udahlah, sekarang tolong buatkan aku minum ya, Sayang!" Aku sengaja memelankan suaraku agar tidak menggangu ketiga anakku.
Faiz dan Kia berada di kamarnya masing-masing yang tak jauh dari kamar kami.
"Baiklah. Akan kubuatkan. Sekalian kamu makan ya! Atau mau mandi dulu?" tanyanya.
"Mmm ... iya siapkan saja semua. Aku mau berselonjor dulu."
Cynthia menyiapkan semua. Walau sambil mengomel, ia kerjakan semuanya juga dan aku berterima kasih padanya.
Selesai menjalankan semuanya, tetiba ada telepon di ponselku dari nomor asing. Entah siapa yang menelepon.
"Halo, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
"Ya, ini siapa?"
"Perkenalkan, saya Feri. Saya membaca di sosmed kalau mantan istri anda hilang. Apa betul?" tanyanya.
"Iya, betul. Apa anda punya info mengenai dia?" tanyaku semakin penasaran.
"Ya, saya melihatnya tadi siang. Tapi saya tak memiliki fotonya. Saya sempat satu angkot dengannya."
Apa? Tika naik angkot? Mau kemana dia?
Bersambung
"Kalau boleh tau, dia turun di mana?""Turun di terminal, Pak. Tapi enah naik bis yang mana.""Baiklah. Terima kasih, infonya."Terminal? Itu berarti ia akan keluar kota. Tapi, apa ia akan menemui orang tuanya? Ya sudah, besok aku kan ke rumah Ibu dan Bapak. Semoga memang ada di sana. Kalau pun ada di sana, aku sudah senang karena ia ada walau kami berjauhan.Perceraian ini membuatku tersiksa, perceraian yang tak kuinginkan, tapi harus kujalani karena semua kesalahanku. Sesal di hati ini masih dapat dirasakan, namun perjalanan masih panjang. Kuharap yang terbaik untuk Tika.Kuingat-ingat lagi saat terakhir kami bersama. Sehari sebelum kepergiannya, kami sempat menghadiri acara di sekolah Faiz. Acara pemberian sertifikat dan mahkota bagi yang sudah hafal juz 30. Saat itu kedua orang tua siswa harus hadir di sana.Walau kami sudah bercerai, aku dan Tika datang ke sana bersama dengan membawa serta Kia. Saat itu kami serasa keluarga harmonis, lengkap dan merupakan hari yang membahagiakan
"Dek, aku nyari Tika toh nggak ngerugiin kamu. Kamu di rumah aja, semua sudah kuberikan dengan selayaknya. Cinta, kasih sayang, harta, semua sudah kuberikan untukmu. Sampai aku harus kehilangan istriku, Dek." Akhirnya keluar juga kata-kata yang mungkin membuatnya sakit hati. "Maaf, Dek. Aku tak bermaksud menyakitimu. Tapi, aku benar-benar harus mencarinya. Aku takut terjadi apa-apa padanya," sahutku.Cynthia diam. Tak lama ia terisak dan menangis. Aku sering tak tega jika melihat wanita menangis. Apalagi ia sekarang istriku dan sudah memberikan keturunan untukku. Kusandarkan kepalanya dalam dadaku, membiarkan ia menangis di sana. Ia harus paham, kalau aku harus mencari Tika karena ia ibu dari kedua anakku, anak-anak mencintainya dan berharap aku bisa menemukannya.Tika itu memang masih berharga untukku. Singgasananya di hatiku masih di tempat yang sama, walaupun kini kami sudah bercerai.Selesai menangis, akhirnya ia mengangkat wajahnya yang sembab. Kuhapus air mata yang masih bersis
Wanita itu terus saja berjalan. Kukejar dirinya sampai ia menoleh, aku tak jadi mengejarnya lagi. Ternyata bukan Tika."Eh, maaf Mbak!" sahutku."Ngapain sih, Mas. Manggil-manggil nggak jelas. Mana manggilin bukan nama saya, makanya saya jalan terus.""Maaf, saya kira istri saya," jawabku cepat. Sampai aku mengatakan istri, bukan mantan istri."Iya, lain kali nggak usah kayak gitu. Saya takut juga tadi.""Maafkan saya, Mbak!""Ya, saya maafkan, Mas. Udah ya, saya permisi duluan!" katanya.Sangat malu, mata ini bener-bener tak bisa membedakan yang mana Tika, yang mana bukan Tika.Langkahku gontai saat memasuki mobil. Berharap Tika sedang ada di dekatku kali ini. Tapi, itu hanya angan dan harapanku saat ini saja.Kuhela napas kasar, diam dulu di kemudi sebelum melanjutkan perjalanan. Bismillah, semoga ada titik terang.***"Pa, Bu, apa kabar?" tanyaku pada Bapak dan Ibunya Tika saat tiba di rumahnya.Bapak yang sedang duduk sambil membaca buku terkejut. Ia mendongakkan kepalanya, lalu m
"Iya, Bu. Aku minum sekarang." Kuteguk teh manis hangat yang menggugah selera itu. Badanku jadi hangat dan lebih baik setelah meneguknya."Makan saja dulu, Bu. Siapkan makan buat Wahyu dan Bapak!" titah Bapak.Mereka masih menganggapku menantunya, sikapnya masih baik seperti biasa. Sungguh, orang tua dan anaknya sama-sama baik. Namun, keadaan yang membuat semua jadi seperti ini."Baik, Pak. Ibu siapkan dulu."Sembari menunggu Ibu, Bapak menanyaiku tentang pekerjaan. Ia juga bertanya tentang anak-anak dan Cynthia."Gimana Cynthia itu? Apa ia baik?"Aku bingung menjawabnya. Sebenarnya ia baik, namun ia selalu cemburu pada Tika. Ia pun lebih banyak menuntut."Baik, Pak.""Alhamdulillah kalau gitu. Bapak tak mau kalau anak-anak berada di tangan yang salah. Kalau ia tak bisa mengurus anak-anak, lebih baik anak-anak tinggal sama kami saja," kata Bapak.Apa? Bapak inginkan anak-anak? Itu tidak mungkin karena anak-anak harus aku yang mengurusnya, kalau bukan Tika."Alhamdulillah anak-anak bai
Suaranya mirip suara mantan istriku. Namun, suara itu tak ada lagi, ditutup olehnya. Ketika kuhubungi lagi, ponselnya tak aktif.Gegas aku pergi menuju Bogor untuk menemui temannya Tika, aku yakin Tika ada bersamanya. Keyakinanku dikuatkan dengan suaranya yang kudengar saat di telepon tadi.Saat istirahat di rest area, kucoba untuk meneleponnya kembali. Kali ini sepertinya Hanum yang mengangkat."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam. Apa benar ini Mbak Hanum?" tanyaku."Iya, benar. Ada apa ya? Ini siapa?" tanya Hanum."Saya mau bertanya mengenai Tika. Apakah mantan istri saya bersama anda sekarang?" tanyaku."Oh, Tika ya? Nggak, Pak. Saya tidak sedang bersama Tika.""Bukannya Tika menemui anda?""Ya, betul. Ia menemui saya dua hari yang lalu. Tapi sekarang ia tak bersama saya," jawab Hanum. Sepertinya ia berbohong, tadi aku tau yang mengangkat suara Tika."Kalau begitu, saat sebelumnya tadi saya menelepon anda. Lalu ada yang mengangkat dan itu adalah Tika, benar kan?" Belum sempat ia jaw
"Ya sudah, Pak. Beri waktu pada istri saya. Nanti saya akan coba bujuk agar ia bisa memberitahukan dimana keberadaa mantan istri anda," timpal suaminya."Baik, Pak. Terima kasih, ya. Karena sudah malam, saya permisi dulu ya!""Baiklah.""Hati-hati di jalan," sahut Suaminya Hanum."Terima kasih, Mas!""Sama-sama."Alhamdulillah, setidaknya aku tau kalau Tika baik-baik saja.***Sampai di rumah, anak-anak sudah tidur. Hanya Cynthia yang masih belum tidur karena anak kami masih rewel."Mas, kamu lama banget perginya. Kan udah kubilang tadi, nggak usah lama-lama. Aku benar-benar keteteran karena kamu nggak dateng-dateng, Mas!""Maaf ya, Sayang. Tadi di rumah orangtuanya nggak ada. Jadi aku ke Bogor untuk menemuinya.""Trus gimana? Ketemu?""Nggak. Aku ketemu temannya semasa di kampung. Tapi setidaknya aku tau kalau ia baik-baik saja, aku dan anak-anak sangat khawatir dan merindukannya."Tanpa kusadari baru saja aku bicara seenaknya. Pantas Cynthia saat ini berhenti bicara, ia hanya memand
Faiz tersenyum menanggapi celoteh temannya."Bundaku hanya pergi sebentar. Sebentar lagi juga kembali. Ayah selalu mencarinya," ucapnya sembari menatap mataku."Benarkah? Kata mamaku takkan pernah kembali karena ayahmu menikah lagi, jadi bundamu kabur!" Anak itu berlari sambil tertawa meninggalkan Faiz.Astaghfirullah. Ada ya anak yang diajari seperti itu oleh orang tuanya. Aku sangat tak habis pikir bagaimana orang tuanya bisa menjadikan seorang anak sebagai penggosip.Aku berjongkok, menatap mata Faiz--anakku."Sayang, tak usah didengar perkataan temanmu itu! Ayah dan Bunda memang sudah sepakat tentang pernikahan Ayah dan Mama Cynthia. Jadi, Bunda sama sekali tak keberatan tentang itu. Bunda pergi karena hal lain sepertinya. Kita tanya ya, saat bertemu Bunda nanti!" sahutku.Faiz menghela napas kasar. Ia pun menatapku, lalu tersenyum."Iya, Yah. Aku tau dari Bunda juga seperti itu. Bunda selalu nyuruh aku buat mencintai juga Mama Cynthia. Aku nggak bakal terpengaruh oleh omongan tem
"Kok ini berbeda dengan yang kau pesan sebelumnya, Mas? Lihatlah dari penampakan dusnya juga beda, harganya pasti yang ini lebih murah. Ah, kesal! Pokoknya aku nggak mau makan!""Sabar dong, jadi maunya gimana?" Aku jadi ikut berteriak padanya.Anak-anak yang masih memakan oleh-olehku sebelumnya sampai berhenti makan."Kia udah aja deh, Yah. Udah kenyang!" sahut Kia."Aku pun sudah, Yah. Aku mau buru-buru tidur aja!" timpal Faiz."Loh kok udahan, ini masih banyak martabak kejunya dan martabak telornya.""Nggak apa-apa, Yah. Kita udah kenyang!" Mereka tetap kembali ke kamarnya.Cynthia masih marah, aku biarkan dulu karena aku sedang menanti telepon dari Edwin.Benar saja, ia menelepon."Halo, Pak Wahyu. Saya sudah memantau rumah dan sekitarnya. Mereka baru saja pulang dari luar. Tak ada mantan istri Bapak. Saya juga sudah bertanya ke tetangga, mereka pernah melihat istri Bapak. Tapi sekarang tak pernah melihatnya lagi."Kuhela napas sejenak. Itu berarti Tika memang sudah tidak tinggal
Kesadaranku akhirnya sudah penuh. Aku lepaskan ia, dan ternyata ia Yuni, bukan Tika. Beruntung aku tak menyebut nama almarhumah istriku, takutnya nanti Yuni tersinggung jika aku menyebutnya."Eh, iya. Maafkan ya, Yun. Mas Wahyu masih kangen dan ingin selalu dekat kamu. Kamu benar-benar ngegemesin buat Mas," sahutku sambil menjawil hidungnya yang bangir."Eh, Mas Wahyu terus aja colek-colek. Aku mau wudhu lagi sekarang. Mas jangan gangguin lagi ya!" sahutnya dengan wajah galaknya. Lebih tepatnya sok galak, padahal aku tau kalau Yuni nggak bakal bisa galakin suaminya."Iya, silahkan Dek. Aku juga dari tadi nungguin kamu kok, sampe ketiduran gini."Yuni kembali ke kamar mandi, sementara pandanganku tertuju pada ponselku.[Mas, aku sudah keluar dari sel tahanan kemarin. Bisa kita bertemu?] tanyanya di pesan aplikasi hijau.Mau apa Cynthia menghubungiku? Apa ia mau menjadi istriku kembali? Ah, jangan harap karena aku sudah memiliki istri shalihah seperti Yuni.Pikiranku masih dipenuhi pert
Aku memandangi wajahnya lagi. Menelisik kebenaran yang ada padanya. Akhirnya aku memutuskan untuk tetap di kamar ini, bersama dengan Yuni dan Kia. Biarlah aku dengan mereka malam ini."Yah, ayo kemari!" Kia menunjuk-nunjuk pada tempat tidur yang sudah ia naiki lebih dulu.Aku melempar senyum dan menghampiri anakku. Yuni pun mengikuti di belakang. "Iya, Sayang. Ayah akan tidur di sebelah Kia. Sekarang udah malam, Kia cepat-cepat tidur karena esok kita ada agenda untuk bertemu bunda," sahutku mengingatkannya.Kia mengerutkan dahinya. Ia baru mengingat agenda kami esok. Atau mungkin Kia belum tau kalau kami memang akan mengunjungi makam Almarhumah Tika."Iya, Yah. Aku mau tidur sekarang aja. Kan mau ketemu Bunda. Tapi, sepertinya aku tidur di kamarku saja. Kasian Kak Faiz tidur sendirian di sana. Biar aku di sana saja, takutnya kakak besok kesiangan, jadi aku harus membangunkannya," jawab Kia.Gadis kecilku malah akan meninggalkan kamar kami. Pandanganku beralih pada Yuni, ia menunduk,
Yuni menganggukkan kepalanya. Setelah terlihat agak sepi, Kia meminta Yuni duduk. Ia memijati Yuni, kulihat Yuni jadi salah tingkah saat kakinya diminta diangkat dan bertumpu pada salah satu kursi yang dibawa Kia. Kia memijat Yuni pada posisi jongkok."Udah ... udah Kia. Nggak usah, nanti aja ya. Kamu juga pasti capek kan?" Yuni berusaha mendaratkan kakinya. Ia merayu Kia dan akhirnya Kia tak meneruskan pijatannya karena tamu datang kembali. Mereka sudah antri untuk bersalaman dengan kami."Kia, udah ya! Tolong bawa kembali kursinya. Nanti kalau acara sudah selesai, kamu bisa pijat kaki Mama," jelasku. Ia mengerti dan tak meneruskannya. Bapak membantu Kia untuk membawakan kursi ke tempatnya kembali.Acara berlangsung lancar dan tak ada kendala yang begitu sulit. Semua bisa diatasi dengan baik oleh tim panitia.Tibalah kami untuk beristirahat. Yuni sudah ke kamar lebih dulu, sedangkan aku masih mengobrol dengan Ibuku dan kedua orang tua Yuni."Nak Wahyu, kalau sudah capek, kamu istirah
Yuni diam. Ia tidak mau berkata-kata lagi terhadapku. Aku masih menunggu ia bicara sambil menghela napas berkali-kali."Maksudnya aku mau jadi istrimu, Mas. Insya Allah aku kan fokus mengurus Kia, Faiz, Andini dan anak-anakku nanti."Aku tak percaya dengan yang baru saja kudengar dari mulut Yuni. Ia mengatakan mau menjadi istriku.Puji syukur pada Allah yang sudah memberikan jawabannya. Akhirnya Kia dan Faiz punya Bunda lagi, begitu juga Andini, mamanya masih menjalankan hukuman. Tapi, ia bisa menganggap Yuni sebagai mamanya juga nanti."Alhamdulillah, terima kasih, Yun. Setelah ini, aku kan menemui Bapak dan Ibu untuk membicarakan pernikahan kita. Kamu maunya gimana?" Aku harus tau maunya Yuni karena ia masih gadis. Setidaknya seorang gadis ingin melaksanakan pesta pernikahannya nanti. Aku tak keberatan dan akan melaksanakan keinginannya."Kalau aku terserah Mas Wahyu saja. Aku ikut saja keputusan pembicaraan Mas Wahyu dan kedua orang tuaku," sahut Yuni."Kamu juga harus ikut karena
"Kan Kia yang minta Tante Yuni selalu jagain Kia. Masa lupa sih?" Aku menimpali anakku yang kebingungan ada tantenya bersamanya saat ini."Iya, Kia yang minta Tante. Kalau Kia nggak mau Tante temenin, ya udah deh. Tante mau pulang dulu," kata Yuni.Kia mencegahnya dan mengatakan kalau ia sangat senang ditemani oleh tantenya."Tante, kapan jadi bundaku?"Tetiba Faiz datang dan nyeletuk pada Kia."Iya aku juga mau kalau yang jadi bundaku selanjutnya itu Tante Yuni. Aku bisa lihat bundaku pada diri Tante," ungkap Faiz. Anak ini juga bicara berdasarkan hatinya."Ya Allah, Tante nggak nyangka kalian punya pikiran seperti itu. Tante hanya nggak mau kalau dianggap sebagai perebut Ayah kalian dari Bunda Tika," sahut Yuni."Nggak dong, Tante. Kan Bunda udah nggak ada. Pasti Bunda seneng kalau Ayah ada yang urus," jawab Faiz bijak.Aku hanya diam mendengarkan percakapan mereka. Sesekali tersenyum mendengar ocehan anak-anak cerdas ini."Baiklah, akan Tante pikirkan dulu ya!" sahut Yuni. Semoga p
"Ya, aku yakin Yun. Bagaimana tanggapanmu? Apa kamu mau menerimaku?" tanyaku dengan penuh keyakinan."Aku ... aku butuh waktu, Mas. Aku tak mau jadi pengkhianat bagi kakakku. Kuburan Teh Tika masih basah, Mas. Mas udah mau menikahiku. Rasanya aku merasa bersalah jika itu terjadi," jawabnya.Ia menolakku. Itu berarti ia tak menginginkannya. "Baiklah jika itu keputusanmu. Itu berarti kamu tak mau kan?" Aku menegaskan kembali."Bukan seperti itu, Mas. Aku hanya tak mau dianggap sebagai perebut mantan suami kakakku," sahut Yuni dengan suara bergetar."Tenang, Yun. Takkan ada yang menganggapmu seperti itu. Aku akan menghadapi mereka langsung. Ini juga keinginan Kia dan Faiz. Mereka tak menginginkanku menikahi wanita lain selain kamu, Yun," sahutku."Tapi, Mas. Aku takut. Bolehkah aku berpikir dan meminta pertimbangan pada Bapak dan Ibu?" tanya Yuni."Baiklah kalau seperti itu. Aku akan menunggu jawabanmu. Sebenarnya Bapak udah tau, beliau memintaku untuk bertanya langsung padamu." Aku ber
Kia benar-benar mencecar kami. Terlihat wajah Yuni yang bersemu karena malu. Aku pun jadi tak enak dengannya atas ulah anakku.Yuni tak menjawab pernyataan Kia. Ia mohon diri untuk ke kamarnya. Aku mengizinkannya karena memang kasihan juga dicecar oleh Kia."Kia, udah ya! Nggak boleh ngomong yang aneh-aneh. Kasian Tante Yuni," sahutku sambil membawanya pulang.Kubiarkan Yuni beristirahat karena ia butuh waktu untuk sendiri.***Kia benar-benar menginginkan pernikahan antara aku dan Yuni. Saat ini Kia sedang demam. Ia bergumam terus agar Yuni menjadi bundanya.Faiz juga akhirnya mendesakku untuk menikahi Yuni. Hingga akhirnya aku menghubungi Bapak di kampung, meminta izin padanya untuk menikahi Yuni."Pak, mohon maaf mendadak menelepon Bapak.""Ada apa Nak Wahyu?" tanya Bapak dengan nada khawatir."Kia sedang sakit tiga hari ini. Sebenarnya sudah sepekan ini, Kia memintaku untuk menikahi Yuni. Kalau Bapak tak keberatan, insya Allah aku berniat menikahinya." Akhirnya kuungkapkan juga ke
"Ayah belum berpikir untuk menikah lagi, Sayang," sahutku.Kia mencebik. Ia melipat kedua tangannya di depan dada."Tapi aku kasian sama Ayah. Aku nggak mau kalau Ayah nanti nikah lagi, tapi sama orang lain," jelas Kia. Ia bicara seolah orang dewasa yang menasehati anaknya."Hush ... kamu kenapa sih? Tiba-tiba minta Ayah nikah lagi? Kasian kan Ayah masih sedih," timpal Faiz."Kasian Ayah. Aku juga pengen punya Bunda kayak bundaku," terang Kia.Aku melirik mereka, mereka pun diam."Iya, nanti Ayah pikirkan lagi ya! Kalian tenang saja, kalau Allah sudah menakdirkan, insya Allah bisa berjodoh. Tapi, nggak mungkin Tante Yuni mau sama Ayah. Kan Ayah udab tua." Aku terbahak karena memang aku sudah tua, berbeda dengan Yuni yang masih muda dan masa depan yang cerah."Ah, Ayah payah deh!" kata Kia. Kia tak mau memandang padaku, ia memandang ke arah jendela, pandangannya jauh ke samping jendela.Aku hanya tersenyum mendengar tanggapan anak perempuanku itu. Pemikirannya benar-benar diluar predik
Pemakaman berlangsung lancar dan cuaca mendukung. Anak-anak dan Yuni menangis terus sehingga aku harus menghentikan mereka. Bapak dan Ibu yang membawa Yuni ke kamarnya untuk ditenangkan."Sudah ya, sekarang Bunda udah nggak sakit. Kia dan Faiz masih punya Ayah yang sayang banget dengan kalian.""Iya, Yah." Faiz menyeka air matanya. Kemudian ibu memberi mereka minum teh manis hangat agar mereka lebih tenang."Nak Wahyu juga minum, silahkan!" sahut Ibu. Beliau melirik Kia yang sepertinya sudah mengantuk. "Kia bobo sama Nenek yuk!" Kia mengangguk, ia dan Faiz ikut neneknya. Mereka harus istirahat."Nak Wahyu, makan dulu yuk!" ajak Bapak.Aku ikut saja walau perut tak lapar. "Bu, anak-anak nanti diajak makan juga ya!" pintaku."Iya, sekarang biar istirahat sebentar ya Nak Wahyu! Tadi mereka udah makan roti kok. Tinggal makan nasi yang belum," sahut Ibu."Baiklah, Bu. Terima kasih."Seusai makan, aku diminta istirahat juga oleh Bapak. Katanya kasian karena aku yang paling banyak tak isti