Share

12

Penulis: Meisya Jasmine
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

BAGIAN 12

              Seharian itu, aku sama sekali tidak melakukan pekerjaan rumah apa pun. Entah itu memasak, mencuci, atau bersih-bersih. Kerjaanku hanya leyeh-leyeh di atas kasur sembari memainkan ponsel. Sengaja hari ini aku tidak membuka orderan jamu tradisional, padahal beberapa pelangganku sejak tadi sudah bolak-balik bertanya apakah ada jamu yang ready atau tidak. Semuanya kujawab tidak ada. Kukatakan bahwa hari ini jadwalnya kang jamu libur.

              Ternyata, nikmat sekali hidup bersantai ria. Tak perlu memperhatikan rumah tangga dan mengurusi segenap tetek bengek dagangan. Toko online-ku tutup. Proses orderan di market place pun kupending. Biasanya, aku paling anti bermalas-malasan seperti ini. Waktu bagiku adalah segalanya. Namun, itu kemarin. Tidak berlaku dengan hari ini. Inginnya aku membuang waktu percuma saja. Mau me

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Kubuang Suami Sampah Pada Tempatnya   13

    BAGIAN 13 Jelang sore itu juga, aku segera membuang segala pikiran negatif yang melanda usai memblokir Anita. Cukup beberapa menit untuk menenangkan diri, aku pun tak ingin membuang banyak waktu lagi. Cepat bergerak menuju dapur, kemudian membuka kulkas dan mengambil seluruh sisa stok empon-emponan serta rempah daun yang sudah kubungkus dengan kertas koran. Saat aku sedang memisahkan satu per satu rimpang, tiba-tiba pikiranku melayang kembali. Teringat akan ucapan Anita via WhatsApp tadi. Aku pun langsung menghitung-hitung, berapa bahan yang harus kukeluarkan untuk membuatkan pesanannya. Untuk membuat empat liter jamu kunir asem, setidaknya aku membutuhkan setidaknya 1 kilogram kunyit, 250 gram jahe merah, 200 gram kencur, 2 bung

  • Kubuang Suami Sampah Pada Tempatnya   14

    BAGIAN 14 Pagi-pagi sekali aku bangun untuk berangkat ke pasar membeli bahan baku pembuatan jamu tradisional maupun masker organik. Pukul setengah lima pagi usai salat Subuh aku pergi sendirian dengan mengendarai motor bututku. Mas Zaki? Dia masih ngorok di peraduan. Tak mau peduli dengan apa yang kulakukan sepagi buta ini. Aku sudah tak masalah lagi. Toh, sebentar lagi benalu itu akan kuenyahkan dari sini. Lihat saja. Dia pikir, aku akan diam saat melihat tingkah laku busuknya? Total ada lima buah plastik belanjaan yang kutumpuk jadi satu dalam karung putih. Susah payah aku mengemudi motor dengan bawaan yang kusimpan pada injakan depan. Hal ini bukanlah barang baru bagiku. Namun, hari ini terasa semakin sakit saja. Baru kusadari, ternyata selama ini aku terlalu bodoh. Mudah sekali dimanfaatkan lelaki. Hanya diam

  • Kubuang Suami Sampah Pada Tempatnya   15

    BAGIAN 15 Tak sampai lima belas menit lamanya, Alrik dengan mobil mini cooper kuning cerahnya tiba di depan rumahku. Mobil mewah itu dia parkirkan di bahu jalan, pas di depan pagar beton rumahku. Aku yang telah duduk menanti kedatangannya di depan teras, seketika bangkit untuk menyambut pria yang baru saja keluar dari dalam kendaraan. Sosok Alrik pagi ini begitu berbeda dengan kemarin saat kami berjumpa di warung sarapan. Lelaki itu mengenakan kemeja lengan panjang hitam yang dia singsingkan hingga siku. Celana bahan berwarna senada begitu pas di kaki jenjangnya. Belum lagi kacamata Rayban hitam mahal yang kini dia lepas dan sematkan di tengah kerah bajunya. Aku sampai harus menundukkan pandangan untuk sesaat demi mengusir sebuah perasaan aneh di dada.&

  • Kubuang Suami Sampah Pada Tempatnya   16

    Bagian 16 Pagi itu, aku akhirnya dibawa Alrik ke kantor pengacara miliknya di bilangan Setia Budi. Bangunan dua lantai yang kini dicat serba putih tersebut terlihat sudah ramai parkirannya dengan kendaraan roda empat maupun roda dua. Aku langsung dilanda canggung. Terlebih, mataku sembab karena habis menangis. Buru-buru kuhapus air mata yang membasahi pipi sebelum kami berdua turun dari dalam mobilnya. “Ven, kamu udah nggak apa-apa, kan?” tanya Alrik dengan nada lembut. Aku mengangguk pelan. Menarik napas dalam-dalam, kemudian menoleh ke arah Alrik malu-malu. “Iya, Rik,” sahutku pelan. Alrik tersenyum manis. Dia mengangguk pelan, lantas mematikan mesin mobilnya. “Kita turun dulu, ya. Kamu ke kantorku aja dulu.

  • Kubuang Suami Sampah Pada Tempatnya   17

    Bagian 17 Tak kusangka, hari ini menjadi awal langkah yang begitu mendebarkan. Untuk kali pertama, aku harus berurusan dengan kantor polisi dan rumah sakit untuk tindakan visum. Adrenalinku seakan meningkat pada setiap menitnya. Bukan main perasaanku kalut. Bahkan, hingga sore menjelang petang, aku baru bisa pulang bersama Alrik setelah menyelesaikan proses pelaporan hingga pemeriksaan polisi. Ada ketenangan yang setidaknya kini menyelinap di dada. Polisi berjanji, bahwa kasus ini akan segera diproses. Setidaknya, dalam 1 hingga 2 kali 24 jam, terlapor yang tak lain adalah suamiku sendiri bakal dipanggil untuk dimintai keterangan. Tak main-main kasus yang kami berdua buat. Tindak penganiayaan. Bukan hanya aku yang menjadi korban sekaligus pelapor, tetapi Alrik juga. Dalam hati aku memohon pada Allah agar Mas Zaki segera dibekuk ke kantor polisi. Biar dia tahu,

  • Kubuang Suami Sampah Pada Tempatnya   18

    BAGIAN 18 Kami tiba di halaman rumah Alrik yang bangunannya tak banyak berubah seperti belasan tahun silam. Bangunan dua lantai bermodel klasik dengan cat putih itu terlihat begitu asri sekaligus sejuk karena tanaman hias yang mendominasi. Banyak pot-pot anggrek digantung di depan teras maupun menempel di dindingnya. Aneka warna anggrek tersebut. Ada yang putih, merah muda, magenta, maupun hitam. Tak hanya bunga eksotis khas Indonesia itu yang dipelihara di depan rumah Alrik. Terdapat pula pot-pot besar berisi tanaman antorium maupun keladi hias yang daunnya besar-besar. Suasana senja kali ini begitu membuat jiwaku tenang sebab melihat ragam tanaman hijau yang bahkan lebih terawat dari diriku sendiri. “Ayo masuk, Ven,” ucap Alrik setelah membuka kunci pintu rumahnya.&n

  • Kubuang Suami Sampah Pada Tempatnya   19

    BAGIAN 19 “Jadi … hari Minggu kemarin aku tidak sengaja jumpa dengan Alrik di warung sarapan Bu Nunung dekat kantornya Alrik, Mi. Dia lalu mentraktirku dan memberikan kartu namanya. Aku pun menghubungi Alrik untuk mengucapkan terima kasih. Alrik jadi tahu kalau aku berdagang jamu karena melihat katalog di akun bisnis WA-ku. Dia pun memesan jamu ke aku dan pagi tadi dia ambil ke rumah. Namun ….” Tenggorokanku rasanya tercekat. Sesak sekali bila mengingat detik-detik di mana Mas Zaki tiba-tiba hadir dengan kemarahan yang membabi buta. Rasa benciku pun kian membumbung tinggi bila teringat akan wajah pria jahat tersebut. “Namun apa, Ven?” desak Mami tak sabaran. “Suamiku tiba-

  • Kubuang Suami Sampah Pada Tempatnya   20

    BAGIAN 20 Alrik betul-betul membelikanku beragam perlengkapan. Tak hanya celana dalam dan pembalut saja, tetapi sikat gigi, odol, pembersih wajah, bedak tabur, body lotion, pelembab bibir, dan parfum. Padahal, selain dua item yang kubutuhkan tersebut, tak ada yang kupinta satu pun. Untungya, yang dia belikan semua bisa kupakai. Bukan merek yang menimbulkan alergi di tubuhku. Astaga Alrik! Cowok itu betul-betul bikin aku tambah tak enak hati saja. Tahu bagaimana cara Alrik memberikan barang-barang itu? Dengan santainya dia mengetuk pintu kamar Mami setelah aku selesai mandi dan bertukar pakaian. Mami yang menerima bungkusan tersebut. Agak heran saat anak lelakinya berpesan kalau itu adalah toiletries untukku. Reaksi Mami? Agak heboh.&nb

Bab terbaru

  • Kubuang Suami Sampah Pada Tempatnya   31

    Bagian 31 ENDING Tujuh bulan setelah perceraian “Sayang … aku pusing banget ini bikin makalah. Kamu bisa bantuin aku nggak?” Aku merengek. Merapat ke Mas Alrik, lelaki yang telah menikahiku dua bulan lalu. Ya, usai insiden di kantor polisi di mana aku mengetahui bahwa Zaki telah berselingkuh dengan kepala cabangnya, hari itu juga bersama Alrik aku mendatangi Pengadilan Agama. Berkas perceraian langsung kuurus. Tak memakan waktu lama, hanya sekitar dua bulan saja surat cerai itu langsung berada di genggaman. Statusku langsung menjadi janda tanpa anak. Di waktu yang sama juga, Zaki mendekam dalam lapas sebab hakim telah memutuskan hukuman penjara baginya atas kasus penganiayaan yang dia lakukan padaku dan Alrik. Tuntutannya tak main-main, dua tahun kurungan penjara. Ibun, Mbak Lala, dan Anita? Juga turut mendapatkan konsekuensi atas tindakan tolol mereka. Keduanya

  • Kubuang Suami Sampah Pada Tempatnya   30

    Bagian 30 “Ibu mengenal wanita ini?” Polisi bernama Reyno yang pagi ini mengenakan kemeja putih yang dilinting lengannya hingga siku itu bertanya padaku. Pria macho berkulit eksotis dengan bentuk rahang yang tegas tersebut kemudian menyodorkan ponselnya. Kuraih ponsel Pak Reyno dengan perasaan was-was. Kala kupandangi foto yang tertera di layar, dahiku langsung mengernyit. Sosok Alrik yang duduk di sebelah pun ikut melongok demi melihat apa yang tengah terpampang di layar. “Siapa itu?” tanya Alrik bernada penasaran. “Bu Regina?” gumamku pelan dengan penuh tanda tanya di kepala.&nb

  • Kubuang Suami Sampah Pada Tempatnya   29

    Bagian 29 Pertemuan dengan Papi tadi malam begitu sangat berkesan bagiku. Sedikit pun tak terbesit di benak bahwa sosok Papi bisa seramah itu. Ya, gara-gara ucapannya Alrik. Dia ternyata mengerjaiku dan usahanya berhasil. Rasa takut sekaligus minder sempat mengetahui. Eh, pas bertemu, semuanya malah 180 derajat berbeda. Papi peduli, baik, dan sama sekali tak memandangku rendah. Tawaran yang dia berikan pun tak main-main. Kuliah di kampus yang dia pimpin, meskipun masuk kelas ekstensi alias kelas malam khusus pekerja. Ya Allah, kurasa seperti ini adalah mimpi di tengah siang bolong. Seakan mustahil, tetapi nyata adanya. Malamnya, aku tidur bersama Mami di kamar yang sangat luas ini. Kami banyak bercerita sebelum terlelap tidur. Termasuk tentang Alrik yang kata Mami tak juga kunjung punya pacar di usianya yang tak terlalu lama lagi akan masuk ke angka 30. Mami bi

  • Kubuang Suami Sampah Pada Tempatnya   28

    Bagian 28 “Lho, mentang-mentang Papi buncit, jadi dikira makan orang, ya?” Papi ikut tertawa geli. Mami yang dirangkulnya pun setali tiga uang. Mereka tiga beranak kompak terpingkal. Sumpah, aku jadi malu sendiri. Mukaku pasti sudah sangat merah. “Tau, tuh!” Tangan Alrik mengepal dan meninju pelan lenganku. Sangat pelan. Lebih mirip dengan colekan. Astaga, Alrik! Awas kamu, ya. “Ya, sudah. Ayo duduk. Kita pesan kopi dulu. Nongkrong di sini mumpung masih awal.” Papi dengan sangat ramahnya mengajak kami duduk bersama di bangku-bangku kayu. Mami duduk di sebelah Papi, sedang aku duduk di sebelah Alrik menghadap mereka. Aku memilih duduk di dekat tembok pembatas balkon. Supaya bisa melempar pandang ke arah j

  • Kubuang Suami Sampah Pada Tempatnya   27

    Bagian 27 “Maaf bikin kalian menunggu.” Mami tiba-tiba masuk ke mobil. Duduk di sebelahku seraya menaruh dua kantung belanjaannya di bawah. Masih tersisa butir air mata di pipi. Lekas kuusap dengan gerakan cepat supaya Mami tak melihatnya. “Ini susu untuk Venda, ini susu untuk Alrik,” ucap Mami kemudian. Tangan lentik beliau membagi satu per satu kaleng dingin berisi susu steril putih yang memiliki rasa tawar tersebut. Bukan favoritku. Namun, harus kuhabiskan seperti kata Alrik tadi. Mami pasti akan senang bila aku menghabiskan barang pemberiannya. “Makasih, Mi,” ucapku lirih. Takut-takut kutoleh ke arah Mami. Khawatir apabila dia melihat mataku yang sembab. Untungnya, Mami tidak ngeh. Dia tak begitu men

  • Kubuang Suami Sampah Pada Tempatnya   26

    Bagian 26 “Eh, nggak!” Aku pun akhirnya meluncurkan sangkalan kepada Alrik. “Oh, syukurlah.” Jawaban singkat Alrik bernada beda. Dia juga sepertinya sama grogi denganku bila kutelisik dari warna suaranya. Entahlah. Semoga hanya perasaanku saja. Namun, bila memang kami sama-sama grogi dan apa yang kami grogikan ternyata beralasan, artinya aku harus menyiapkan hati untuk menerima segala konsekuensi yang ada. “Ah, apa yang harus digrogiin, sih? Emangnya Papi itu makan orang? Makin tua Papi itu makin wise, lho. Orangnya selalu bersahabat pada siapa pun. Tenang aja, Venda. Papi nggak gigit orang. Dia pasti senang kalau tahu ternyata kamu masih tinggal di dekat-dekat sini.” Mami langsung merangkul tubuhku. Beliau menepuk-nepuk lembut lengan kananku. Huhft, semoga apa yan

  • Kubuang Suami Sampah Pada Tempatnya   25

    BAGIAN 25 Mami mendandaniku dengan spesial malam ini. Demi mengajak jalan keluar, beliau rela mengeluarkan pakaian terbaik dari lemari besarnya di kamar. Aku segan bukan main. Setelah dipinjamkan piyama, sekarang Mami memaksaku untuk mengenakan sebuah dress selutut motif abstrak dengan warna cerah. Kombinasi antara merah muda, hijau mint, dan kuning pastel. Seperti warna minyak yang dicurah ke air. Saat melihat merek yang tertempel di belakang kerang, semakin takjub diriku. Ini baju butik karya desainer wanita ternama Indonesia. Ya ampun, beban sekali saat harus mengenakannya. “Mi, nggak apa-apa?” tanyaku gugup. “Lho, kenapa emangnya? Pakai aja, Ven. Muat kok, ini. Badan kita kan, beti. Beda tipis.” Mami t

  • Kubuang Suami Sampah Pada Tempatnya   24

    BAGIAN 24 “Venda, apa kata mertuamu? Sudah selesai neleponnya?” Mami yang masih menantikan kami di meja makan, bertanya sambil bangkit dari tempat duduk. Raut wajah perempuan paruh baya dengan kulit putih dan dagu lancip tersebut tampak risau sepertinya. Aku tahu, pasti beliau ikut kalut memikirkan masalahku. “Sudah, Mi. Aku sudah beri tahu kalau anaknya sedang diperiksa oleh polisi. Begitu juga dengan iparku yang nomor satu.” Aku kembali duduk di kursi. Meraih piringku yang masih setengah isinya dan kembali makan dengan lahap. Aku tak boleh menyisakan masakan Mami, pikirku. Beliau sudah lelah menyiapkan semuanya, meskipun saat masak Mami juga pasti tak menduga bahwa aku akan datang ke sini dengan membawa masalah yang segudang.&n

  • Kubuang Suami Sampah Pada Tempatnya   23

    Bagian 23 [Heh, perempuan kurang ajar! Apa maksud rekaman ini? Kamu mau ngancam?] Pesan WA masuk dari nomor Mbak Lala ke ponselku. Rekaman tadi ternyata sudah dia dengarkan baik-baik. Haha rasanya ingin aku tertawa sangat lebar hingga seisi dunia tahu betapa bodohnya keluarga suamiku. [Ngancam? Kenapa aku harus mengancam kalian? Wong itu barang bukti, kok. Kekerasan verbal itu ada pasalnya lho, Mbak.] Kubalas pesan Mbak Lala. Tak lupa menyematkan sebuah stiker gambar hati warna merah padanya. Supaya dia tahu, betapa besar rasa ‘sayangku’ pada mereka. Saking sayangnya, pengen kuseret mereka sekeluarga ke penjara. [Lagumu seperti orang benar! Kampungan, norak! Menjijik

DMCA.com Protection Status