Bab 142
"Ini tehnya, Pa. Silakan diminum!" Nadine menyodorkan sebuah nampan ke hadapan suaminya."Makasih, Ma."
Nadine mengambil posisi temlat duduk di samping George.
"Pa!"
"Ya, Ma." George melirik istrinya.
"Beneran Papa ingin menangguhkan laporan ke polisi?Tunggu apalagi, Pa? Perbuatan orang-orang jahat itu semakin menjadi-jadi. Apalagi salah satu diantara mereka berada dalam rumah ini aku takut dan khawatir, Pa." Nadine mengutarakan kekhawatirannya.
"Tenang saja, Ma. Aku sudah bicarakan ini pada Richardo. Mama tenang saja tidak usah terlalu bingung karena masalah ini Papa yang akan mengatasinya." "Iya, Pa. Tapi pertanyaannya, mau sampai kapan?" "Ma, Mama harus tenang. Semuanya sedang dalam proses. Hmm ... apa Mama melihat Bik Lasmi bertingkah aneh lagi?" George menyelidiki.&nb
Bab 143 Waktu terus berlalu, hari ini George beserta anak-anak sedang berkumpul di ruang keluarga. "Nih kan asik kalau seluruh keluarga tengah berkumpul. Bibik ikut senang dengan kebahagiaan kalian." Bik Lasmi tiba-tiba datang tergopoh-gopoh. Senyum wanita itu mengembang. "Iya, Bik. Alhamdulillah meskipun kesempatan seperti ini tidak cukup sering, Tuhan masih memberi kesempatan kepada kami untuk berkumpul." tutur Davin. "Bibi siapkan makanan duli ya untuk kalian." Bik Lasmi melangkah cepat menuju ke dapur. "Bik Lasmi! Nggak usah repot-repot, Bik. Biar Mama sama Alea saja yang nyiapin segalanya. Kebetulan aku sama Mama pengen masak bareng hari ini." Alea mencegah langkah Bik Lasmi. Nadine tersenyum manis dengan ucapan Alea. Anak itu cukup pintar menyusun kata beralasan tanpa beresiko menyinggung.
Bab 144 Bik Lasmi diam membisu. Pertanyaan Nadine benar-benar menusuk dada. Entah mengapa Bik Lasmi merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan pertanyaan Nadine. Seolah ada sesuatu semacam sindiran terselip di sana. "Maaf, Nyonya. Saya masih belum mengerti apa maksud dari pertanyaan Nyonya?" Bik Lasmi merasa bingung harus berucap seperti apa.Nadine menatap Bik Lasmi tajam. Membuat gemetar sang penerima tatapan. "Bik Lasmi, kurasa pertanyaan yang kuajukan tadi cukuplah jelas. Aku merasa Bibik sedang menyembunyikan sesuatu. Jujur saja, Bik!" Nadine kembali membuat Bik Lasmi tergagap."Maaf Nyonya, sungguh aku tidak pernah menyimpan apapun, apalagi rahasia-rahasiaan di rumah ini. Aku ... aku cuma kaget atas pertanyaan Nyonya yang seperti menyudutkan aku. itu yang membuatku bingung." Bik Lasmi terlihat ketakutan.
Bab 145 Dengan cepat Bik Lasmi masuk ke kamar dan menghubungi seseorang. "Halo, Non Debbie!" Bik Lasmi antusias ketika menyaksikan panggilannya dengan cepat di tanggapi oleh Debbie. "Ya, Bik. Ada apa?" "Apa non Debbie sudah melakukan sesuatu? Maksudku semacam laporan atau gimana gitukan. Soalnya Bibik mendengar ada suara mobil polisi tuh." "Belum, Bik. Lagian kan kalo polisi pengen ke sana rasanya nggak mungkin juga mereka nyalain sirine." jawab Debbie. "Haa? Jadi ...?" Bik Lasmi nampak kecewa. Habis sudah harapannya untuk menerima transferan dari Debbie. Sesuai perjanjian, jika kiatnya berhasil, maka ia akan segera menerima imbalan. Itulah poin terpenting yang ingin di kejar oleh Bik Lasmi. "Sabar dulu, Bik. Sedang ku usahakan agar lebih cepat." ucap Debb
Bab 146Dengan bergegas Zea melangkah sembari merogoh tas yang ia sandang di bahunya.. "Ini orang nggak sabaran banget sih. Tadi juga udah dibilang kalau jam berapa gitu kan. Buru-buru amat dia orangnya. Ketahuan kalau kebelet tuh orang." Zea setengah menggerutu. Dengan cepat Zea memeriksa ke arah layar ponsel. "Hah kok bukan dia? Siapa lagi ini? Hmm ... palingan juga dari pria yang lain yang ingin segera mendapatkan jam jatah dari aku." Zea tersenyum-senyum sendiri."Dia nggak tahu apa, kalau aku lagi ada job sama laki-laki lain. Kan udah di kasih tahu lewat status tadi." Zea masih menggerutu panjang. Dengan cepat Zea mematikan telepon tersebut. Dan berniat ingin kembali menghampiri Debbie.Akan tetapi baru saja beberapa langkah kakinya beringsut, panggilan tersebut muncul kembali. Deng
Bab 147Zea tak mampu untuk berucap. Demikian juga dengan Bagas di ujung sana. Hanya sesekali terdengar isak tangis Bagas yang tertahan. Zea menyandarkan tubuhnya pada dinding hotel. Badannya lemas. Serasa tulang-tulang di punggungnya sudah tak mampu lagi untuk menopang bobot tubuhnya. Akhirnya Zea membungkukkan tubuh dengan menekuk lutut. Setetes airmata jatuh dari matanya yang tadi memerah. Tidak ada lagi cerocos tajam yang menghina dan merendahkan Bagas. Yang ada sekarang hanyalah kepiluan. Tuut ... tuut ...tuut! Panggilan tersebut terputus. Rupanya Bagas yang memutuskan sambungan seluler tersebut. Batin Zea semakin sakit.Kejadian beberapa tahun yang lalu kembali terbayang di pelupuk mata.***"Maa! Mama mau kemana? Roni ikut ya!" seorang anak kecil berlari mengejar Zea yang bersiap menuju mobil mewah yang
Bab 148Sedangkan Debbie, seusai mengantarkan lelaki tersebut, gadis itu kembali berlalu."Arza?""Ya, ini aku." "Kenapa kau kembali menemuiku. Aku tidak sedang menunggumu, Arza." "Ya, tapi kali ini aku membutuhkan bantuanmu." ucap Arza. "Bantuan apa?" "Temani aku hari ini! Pikiranku sedang kacau. Aku membutuhkan seseorang sepertimu untuk meringankan bebanku." ujar Arza. "Tidak bisa!" tolak Zea tegas. "Kenapa?" "Aku juga sedang banyak pikiran. Tidak bisa diganggu. Aku benar-benar kacau sekarang." balas Zea."Hari ini saja!" Arza coba tetap memaksa. "Aku bilang tidak bisa, tetap tidak bisa." Zea meringis. Ada sesuatu yang mengganggu dari area kewanitaannya. Agak perih. Sudah beberapa lama ia meras
Bab 149 Ada apa, Pak?" Debbie kaget dengan sikap laki-laki di hadapannya yang berubah secara mendadak. "Ah tidak. Tidak ada apa-apa. Cuma mata ini agak kurang enak. Sepertinya hanya kelilipan kali." Arza menyebutkan alasan sekenanya saja. masih terlalu berat baginya untuk berkata jujur.Sementara dalam hati, Arza sedang memikirkan sesuatu yang lain. "Apa dia ini benar-benar Debbie? Putriku yang dulu terlahir dari rahim Zorah? Astaga ... artinya? Artinya aku hampir saja meniduri putriku sendiri, darah dagingku sendiri." Arza masi belum bisa bersikap normal di hadapan Debbie. Debbie semakin mencium adanya kejanggalan. "Pak, Anda tidak bisa berbohong. Jika Bapak tengah menyimpan sesuatu dariku, katakan saja!" Debbie mendekat. Arza semakin gelisah, merasa terlalu diintegorasi oleh pertanyaan Debbie.
Bab 150"Apa aku tidak salah dengar?" Debbie tak percaya. "Tidak, Debbie." Debbie yang mendengar kata-kata yang di ucapkan oleh Arza tidak bisa percaya begitu saja."Ha ... ha..." tiba-tiba terdengar gadis itu tertawa lepas."Jangan bercanda kamu," "Aku tidak bercanda, Debbie." "Lalu? Oooh ... aku tahu sekarang, mungkin saja kau sedang menghalu. Atau, atau kau adalah lelaki yang mengidap kelainan mental?" mata Debbie membulat. "Astagaaa ... Mengapa Zea menghubungkan aku dengan pria yang tak waras macam kamu. Wajar saja jika sedari tadi kau tampak aneh. Rupanya kejiwaanmu tidak normal." Debbie memperbaiki kancing blezzernya. "Tidak, Debbie. Aku tidak gila. Aku normal. Ini aku, Arza. Aku ayahmu. Kau tentu masih ingatkan? Dulu kita pernah
Selamat sejahtera untuk semua pembaca Novel KKBS (Kubiarkan Kau Bersama Selingkuhanmu) 🤚🤚🤚 Author mau kasih info terbaru nih buat teman-teman pembaca semua. Author kasih tahu kalau sekarang udah update sekuel novel KKBS ya. Dengan judul : Ketika Istriku Mulai Membangkang Pembaca boleh kepoin novelnya sekarang ya, hehee. Othor usahain akan update rutin setiap hari. Jadi para pembaca semua tidak usah khawatir kalo nanti Author jarang update, jarang nongol, apalagi sampai novelnya nggak tamat. Oh iya, Author boleh minta dukungannya ya, dukung Author dengan rate bintang lima, terus tambahkan novelnya ke pustaka. Hehee ... Makaciih semua pembacaku... Semoga novel "Ketika Istriku Mulai Membangkang" ini bisa menghibur para pembaca semua. Amiiin Suksesnya seorang Author tak lepas dari dukungan para pembaca setianya. peluk jauh dari Author....😘😘😘😘😘
Bab 162 "Aduuuh!" Zea menengadahkan kepala. Menahan sakit. Sekarang sakit itu kian naik ke ubun-ubun. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Di tengah malam sepi ini ia sendiri berbaring di ranjang rumah sakit. "Ya Tuhan tolong aku!" dalam kegelisahannya, Zea mengadu dan memohon kepada Tuhan. Karena kesakitan yang ia rasakan, sejenak ia melupakan derita masalah ekonomi yang tengah ia hadapi. Ya, malam ini adalah malam terakhir Zea dirawat di rumah sakit ini. Sebenarnya masih panjang riwayat perawatan yang harus ia kalani, namun karena semua biaya yang mengalir benar-benar telah menguras kering semua isi tabungan. sekaligus kendaraan dan apapun yang dimiliki telah hangus terjual tanpa tersisa. Tidak ada lagi yang bisa ia gunakan untuk menjalani prosedur kesehatan. Untuk selan
Bab 161 "Ibu!" Arza tergagap. Arza kembali mencoba menyentuh telapak tangan sang Bunda. Lagi lagi hanya dingin terasa. Mendadak Arza jatuh lunglai. "Ibu ...!" gumamnya lirih. Air matanya menetes. Namun sebanyak apapun tetesan air mata yang meleleh di pipinya, semua itu tidak akan pernah mengembalikan nyawa ke raga sang ibu yang kini telah terbaring dingin dan kaku. Arza menangis sendiri. Memperhatikan keadaan orang tuanya yang terbaring sendirian sejak malam menjelang. Arza menyesal. Setelah menemui ibunya yang telah terbujur dengan kaku. Sepertinya nyawa telah lama melayang meninggalkan raga si ibu. Sedangkan Arza baru saja menyadari bahwa ibunya telah tiada sejak semalam.***  
Bab 160 "Silakan kamu bayar dulu uang tunggakan kontrakan selama 2 bulan belakangan ini Arza!" suara Bu Dian terdengar kasar. Muka Arza memerah menahan rasa malu sebab suara Bu Dian menggema dan didengar oleh orang-orang yang menguping pertengkaran mereka. "Tuh orang kaya, bayar dulu kontrakanmu! Katanya kaya, tapi kontrakan nunggak, mana selama dua bulan lagi. Aduh, kaya dari mana? Aku saja yang merasa orang miskin tidak pernah Tunggak menunggak. Nggak malu tuh ngaku-ngaku sebagai orang kaya?" suara laki-laki yang tadi bertengkar dengannya membuat kuping Arza memanas. Dengan bergegas ArzaMelangkah mendekati Bu Dian. "Iya Bu, saya pasti bayar kok tapi tolong bicaranya jangan terlalu keras. Bisa malu saya kalau didengar sama tetangga." Arza berusaha untuk merayu. "Kalau mau
Bab 159"Kau pasti sudah dengar kalau aku bilang apa?" pria tua tersebut memandang tajam. "Jangan pernah kau merendahkan aku seperti tadi, Pria tua busuk!" sergah Arza. "Nah jika kau tidak ingin dibilangi tak baik, seharusnya kau juga jangan keterlaluan bicara kotor dan menyinggung perasaan lawan bicaramu. Bagaimana kau sakit hati mendengar ucapan buruk orang terhadapmu, maka begitu juga perasaan orang lain ketika menerima ucapanmu!" Arza menghela nafas panjang. Kekesalan nampak jelas pada raut wajahnya. Arza sungguh tidak terima akan ucapan laki-laki tersebut. "Tapi kau tidak bisa balik mengatakan aku seperti itu" Arza menunjuk muka lelaki itu."Mengapa tidak? Nukankah aku juga bisa bicara, Arza?" "Tapi aku tidak bisa terima kau bilang aku miskin." sergah Arza. "Lhoo, kenapa nggak bi
Bab 158Arza duduk dan menikmati secangkir kopi di teras kontrakan. menyeruput kopi hangat sambil memperhatikan gadis-gadis remaja berlalu lalang di depan kontrakan. Mereka sedang berjalan menuju ke sekolah terdekat. Sesekali nampak bibir Aeza tersenyum nakal.Deretan kontrakan tersebut memang terlihat kumuh. Di tambah dengan ketersediaan air bersih yang kurang memadai. keadaan itu membuat sebagian besar penduduk pergi kesungai yang tidak bisa di bilang bersih untuk mencuci pakaian dan sebagainya. Untuk minum, mereka menggantungkan kebutuhan air minum pada saluran pdam yang kecil dan hanya tersedia di siang hari saja. Itupun terkadang tidak menentu. Oleh sebab itulah mereka terpaksa menggantungkan kebutuhan selain untuk minun pada air sungai yang jauh dari standar kesehatan. Karena nampak jelas jika aliran sungai tersebut menghitam dan bau. namun karena keterpaksaan, mereka terpaksa melakukan itu. Apalagi pada cuaca panas kala ini.
Bab 157 "Pak Arza, saya punya kabar besar buat Bapak." Farid datang tergopoh-gopoh menghampiri Arza yang tengah duduk beristirahat. "Kabar apa?" Arza tak terlalu mempedulikan pria yang baru saja datang padanya. Sebenarnya ia tak terlalu suka terhadap sosok Farid yang beberapa waktu lalu Arza anggap taelah merendahkan harga diri Arza. "Pak, ini kabar sangaat penting. Apa Bapak ingin dengar?" Farid memainkam sebelah mata "Jangan bertele-tele. Katakan saja terus terang." sergah Arza. "Pak Arza ... tidak bisa asal memberitahu doang, dong. Kita perlu ini .." Farid terkekeh seraya mengisyaratkan jarinya. Bermaksud mengatakan jika Arza harus membayar. "Kau ingin meminta bayaran hanya untuk sebuah berita yang kau bawa?" "Tentu saja!" Pak Farid tersenyum. &n
Bab 156 "Ada apa ini, Pak? Apa-apaan ini?" Zea bertanya kaget.Tentu saja ua kaget melihat orang-orang itu datang secara tiba-tiba. "Kami membawa surat perintah penangkapan terhadap Ibu Zea Marlinda. Atas dugaan tersangka kasus percobaan pembunuhan." Seorang lelaki menyodorkan selembar kertas surat perintah. Zea menyipitkan mata. Merasa aneh dan bingung.Dalam kebingungannya, Zea memperhatikan durat perintah itu dengan seksama. Mata Zea menelisik huruf demi huruf, poin demi poin yang tertera di sana. Tak terasa air mata Zea meleleh. "Apaaa?" Zea terkesiap melihat data dirinya memang tertera dengan jelas di sana. "Ini tidak mungkin." Zea menggelengkan kepala. "Ini semua sudah berdasarkan fakta se
Bab 155 Zea duduk di sisi sofa menghadap televisi yang tengah menyala. Namun perhatian perempuan itu bukanlah tertuju pada layar televisi. Melainkan kembali teringat pada ucapan-ucapan dokter spesialis yang ia datangi tadi siang. "Aku akan ikuti semua saran dokter. Tak peduli jika aku harus mengeringkan isi rekening." Zea bertekad dalam hati. Untuk melakukan semua prosedur pengobatan, Zea sadar jika ia harus menguras banyak uang.Sekarang, yang menjadi masalahnya adalah, ia mempertanyakan apakah seluruh isi rekeningnya cukup untuk melakukan seluruh biaya pengobatan tersebut Atau tidak?Zea sadar, ia harus segera mencari bantuan. sebab uang di rekening yang telah jauh menipis akibat hidup foya-foyayang ia lakukan sebelumnya.Untuk mencoba mencari jalan keluar buat menghadapi kemungkinan tersebut, Zea menghubungi beberapa teman seperjuangan yang ia mili