Bab 149
Ada apa, Pak?" Debbie kaget dengan sikap laki-laki di hadapannya yang berubah secara mendadak.
"Ah tidak. Tidak ada apa-apa. Cuma mata ini agak kurang enak. Sepertinya hanya kelilipan kali." Arza menyebutkan alasan sekenanya saja. masih terlalu berat baginya untuk berkata jujur.Sementara dalam hati, Arza sedang memikirkan sesuatu yang lain.
"Apa dia ini benar-benar Debbie? Putriku yang dulu terlahir dari rahim Zorah? Astaga ... artinya? Artinya aku hampir saja meniduri putriku sendiri, darah dagingku sendiri." Arza masi belum bisa bersikap normal di hadapan Debbie. Debbie semakin mencium adanya kejanggalan. "Pak, Anda tidak bisa berbohong. Jika Bapak tengah menyimpan sesuatu dariku, katakan saja!" Debbie mendekat. Arza semakin gelisah, merasa terlalu diintegorasi oleh pertanyaan Debbie.Bab 150"Apa aku tidak salah dengar?" Debbie tak percaya. "Tidak, Debbie." Debbie yang mendengar kata-kata yang di ucapkan oleh Arza tidak bisa percaya begitu saja."Ha ... ha..." tiba-tiba terdengar gadis itu tertawa lepas."Jangan bercanda kamu," "Aku tidak bercanda, Debbie." "Lalu? Oooh ... aku tahu sekarang, mungkin saja kau sedang menghalu. Atau, atau kau adalah lelaki yang mengidap kelainan mental?" mata Debbie membulat. "Astagaaa ... Mengapa Zea menghubungkan aku dengan pria yang tak waras macam kamu. Wajar saja jika sedari tadi kau tampak aneh. Rupanya kejiwaanmu tidak normal." Debbie memperbaiki kancing blezzernya. "Tidak, Debbie. Aku tidak gila. Aku normal. Ini aku, Arza. Aku ayahmu. Kau tentu masih ingatkan? Dulu kita pernah
Bab 151 "Debby jangan bicara seperti itu! Jangan bersikap durhaka kepada orang tua." Debbie yang mendengarnya dibuat tertawa terkekeh. Gadis itu kembali menyeruput minuman yang tersaji di atas meja. Kemudian, dengan santainya wanita tersebut menghisap rokok dalam-dalam. "Apa kau telah merasa menjadi orangtua yang baik untukku?" Debbie bertanya balik. "Tidak begitu juga. Tapi sekarang aku sedang berusaha untuk menjadi ayah yang baik buatmu!" jawab Arza. "Haduuh! Sebaiknya kamu tidak usah terlalu banyak bicara orang tua! Orang sepertimu mana tahu caranya untuk menjadi orang tua yang baik.""Orang tua yang baik tidak hanya bisa berpikir tentang anak durhaka! Tapi mereka juga tahu bahwa ada yang namanya orang tua durjana. Salah satu orang tua durjana seperti itu adalah kau!" Arza gugup. Sungguh i
Bab 152 Malam ini Zea gelisah dan bingung terhadap kondisi yang tengah ia rasakan. Rasa perih, gatal, nyeri, di iringi dengan keluarnya cairan beraroma tak sedap dari area sensitif, semakin membuat kekhawatiran perempuan itu semakin memuncak.Di samping itu, ucapan Bagas akan berita kepulangan Roni kembali ke pelukan sang Maha Kuasa, semakin menambah pilu hatinya. Teringat kembali bayang-bayang wajah Roni yang dulu begitu imut dan menggemaskan. Ada setitik penyesalan menyentuh mata hati Zea. Wajah imut dan menggemaskan itu jarang sekali terkena sentuhan lembut seorang ibu. Yang ada hanyalah tatapan mata sinis dan sentuhan tangan tak bersimpati yang anak kecil itu dapatkan dari wanita yang ia panggil "Mama". Dalam diamnya, ada buliran bening yang mengalir perlahan dari sudut mata. Buliran bening yang mengiringi ingatan dari masa lalu yang tak akan pernah bisa terulang k
Bab 153 "Cukup, Mbak! Aku sudah tahu bagaimana sifat asli Mbak yang sebenarnya. Baiklah aku akan pergi sekarang juga! karena seandainya aku mau, aku bisa menyewa apartemen yang jauh lebih mahal daripada apartemen ini! Jangan Mbak pikir aku tidak mampu melakukan itu"tandas Debby menyombongkan diri. Dengan kondisi menahan sakit, Zea perlahan bangkit. Dengan berusaha menahan sabar, ia duduk di sisi tempat tidur. Nafasnya kian tak teratur. "Baiklah Debbie, jika kau memang mampu membayar apartemen yang jauh lebih mahal daripada apartemen yang aku sewa ini, mengapa tidak sedari dahulu saja kau melakukannya? Sehingga dengan demikian kau tidak perlu repot-repot menumpang di sini. Lagipula aku memang merasa keberatan jika terus-menerus direpotkan oleh wanita yang tidak tahu berterima kasih seperti dirimu." ucapan Zea menusuk jantung Debbie. Gadis itu menggenggam jari-jarinya erat.
Bab 154"Arza, apa yang telah kau lakukan terhadap Debbie? Mengapa anak itu malah marah-marah padaku?" ucap Zea dari sbungan panggilan seluler. "Tidak, Zea! Aku tidak melakukan apapun padanya." suara jawaban Arza terdengar dari ujung panggilan. "Bohong! Mengapa kau selalu mendatangkan masalah untukku, Arza? Kau tidak tahu apa sekarang saja keadaanku sangat buruk! Aku sedang sakit, malah Debbie tiba-tiba datang dan membuat keadaan semakin buruk. Semua itu karena ulahmu!" tuduh Zea. "Tidak! saya sungguh tidak melakukan kejahatan seperti apapun pada gadis tersebut." Arza tetap bersikeras dengan ucapannya. "Kalau kau tidak melakukan kesalahan apapun, dia pasti tidak akan marah-marah sedemikian besarnya padaku." serobot Zea tak senang. "Sebentar, apakah Debbie mengatakan padamu kesalahan apa yang telah kuperbuat?"
Bab 155 Zea duduk di sisi sofa menghadap televisi yang tengah menyala. Namun perhatian perempuan itu bukanlah tertuju pada layar televisi. Melainkan kembali teringat pada ucapan-ucapan dokter spesialis yang ia datangi tadi siang. "Aku akan ikuti semua saran dokter. Tak peduli jika aku harus mengeringkan isi rekening." Zea bertekad dalam hati. Untuk melakukan semua prosedur pengobatan, Zea sadar jika ia harus menguras banyak uang.Sekarang, yang menjadi masalahnya adalah, ia mempertanyakan apakah seluruh isi rekeningnya cukup untuk melakukan seluruh biaya pengobatan tersebut Atau tidak?Zea sadar, ia harus segera mencari bantuan. sebab uang di rekening yang telah jauh menipis akibat hidup foya-foyayang ia lakukan sebelumnya.Untuk mencoba mencari jalan keluar buat menghadapi kemungkinan tersebut, Zea menghubungi beberapa teman seperjuangan yang ia mili
Bab 156 "Ada apa ini, Pak? Apa-apaan ini?" Zea bertanya kaget.Tentu saja ua kaget melihat orang-orang itu datang secara tiba-tiba. "Kami membawa surat perintah penangkapan terhadap Ibu Zea Marlinda. Atas dugaan tersangka kasus percobaan pembunuhan." Seorang lelaki menyodorkan selembar kertas surat perintah. Zea menyipitkan mata. Merasa aneh dan bingung.Dalam kebingungannya, Zea memperhatikan durat perintah itu dengan seksama. Mata Zea menelisik huruf demi huruf, poin demi poin yang tertera di sana. Tak terasa air mata Zea meleleh. "Apaaa?" Zea terkesiap melihat data dirinya memang tertera dengan jelas di sana. "Ini tidak mungkin." Zea menggelengkan kepala. "Ini semua sudah berdasarkan fakta se
Bab 157 "Pak Arza, saya punya kabar besar buat Bapak." Farid datang tergopoh-gopoh menghampiri Arza yang tengah duduk beristirahat. "Kabar apa?" Arza tak terlalu mempedulikan pria yang baru saja datang padanya. Sebenarnya ia tak terlalu suka terhadap sosok Farid yang beberapa waktu lalu Arza anggap taelah merendahkan harga diri Arza. "Pak, ini kabar sangaat penting. Apa Bapak ingin dengar?" Farid memainkam sebelah mata "Jangan bertele-tele. Katakan saja terus terang." sergah Arza. "Pak Arza ... tidak bisa asal memberitahu doang, dong. Kita perlu ini .." Farid terkekeh seraya mengisyaratkan jarinya. Bermaksud mengatakan jika Arza harus membayar. "Kau ingin meminta bayaran hanya untuk sebuah berita yang kau bawa?" "Tentu saja!" Pak Farid tersenyum. &n
Selamat sejahtera untuk semua pembaca Novel KKBS (Kubiarkan Kau Bersama Selingkuhanmu) 🤚🤚🤚 Author mau kasih info terbaru nih buat teman-teman pembaca semua. Author kasih tahu kalau sekarang udah update sekuel novel KKBS ya. Dengan judul : Ketika Istriku Mulai Membangkang Pembaca boleh kepoin novelnya sekarang ya, hehee. Othor usahain akan update rutin setiap hari. Jadi para pembaca semua tidak usah khawatir kalo nanti Author jarang update, jarang nongol, apalagi sampai novelnya nggak tamat. Oh iya, Author boleh minta dukungannya ya, dukung Author dengan rate bintang lima, terus tambahkan novelnya ke pustaka. Hehee ... Makaciih semua pembacaku... Semoga novel "Ketika Istriku Mulai Membangkang" ini bisa menghibur para pembaca semua. Amiiin Suksesnya seorang Author tak lepas dari dukungan para pembaca setianya. peluk jauh dari Author....😘😘😘😘😘
Bab 162 "Aduuuh!" Zea menengadahkan kepala. Menahan sakit. Sekarang sakit itu kian naik ke ubun-ubun. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Di tengah malam sepi ini ia sendiri berbaring di ranjang rumah sakit. "Ya Tuhan tolong aku!" dalam kegelisahannya, Zea mengadu dan memohon kepada Tuhan. Karena kesakitan yang ia rasakan, sejenak ia melupakan derita masalah ekonomi yang tengah ia hadapi. Ya, malam ini adalah malam terakhir Zea dirawat di rumah sakit ini. Sebenarnya masih panjang riwayat perawatan yang harus ia kalani, namun karena semua biaya yang mengalir benar-benar telah menguras kering semua isi tabungan. sekaligus kendaraan dan apapun yang dimiliki telah hangus terjual tanpa tersisa. Tidak ada lagi yang bisa ia gunakan untuk menjalani prosedur kesehatan. Untuk selan
Bab 161 "Ibu!" Arza tergagap. Arza kembali mencoba menyentuh telapak tangan sang Bunda. Lagi lagi hanya dingin terasa. Mendadak Arza jatuh lunglai. "Ibu ...!" gumamnya lirih. Air matanya menetes. Namun sebanyak apapun tetesan air mata yang meleleh di pipinya, semua itu tidak akan pernah mengembalikan nyawa ke raga sang ibu yang kini telah terbaring dingin dan kaku. Arza menangis sendiri. Memperhatikan keadaan orang tuanya yang terbaring sendirian sejak malam menjelang. Arza menyesal. Setelah menemui ibunya yang telah terbujur dengan kaku. Sepertinya nyawa telah lama melayang meninggalkan raga si ibu. Sedangkan Arza baru saja menyadari bahwa ibunya telah tiada sejak semalam.***  
Bab 160 "Silakan kamu bayar dulu uang tunggakan kontrakan selama 2 bulan belakangan ini Arza!" suara Bu Dian terdengar kasar. Muka Arza memerah menahan rasa malu sebab suara Bu Dian menggema dan didengar oleh orang-orang yang menguping pertengkaran mereka. "Tuh orang kaya, bayar dulu kontrakanmu! Katanya kaya, tapi kontrakan nunggak, mana selama dua bulan lagi. Aduh, kaya dari mana? Aku saja yang merasa orang miskin tidak pernah Tunggak menunggak. Nggak malu tuh ngaku-ngaku sebagai orang kaya?" suara laki-laki yang tadi bertengkar dengannya membuat kuping Arza memanas. Dengan bergegas ArzaMelangkah mendekati Bu Dian. "Iya Bu, saya pasti bayar kok tapi tolong bicaranya jangan terlalu keras. Bisa malu saya kalau didengar sama tetangga." Arza berusaha untuk merayu. "Kalau mau
Bab 159"Kau pasti sudah dengar kalau aku bilang apa?" pria tua tersebut memandang tajam. "Jangan pernah kau merendahkan aku seperti tadi, Pria tua busuk!" sergah Arza. "Nah jika kau tidak ingin dibilangi tak baik, seharusnya kau juga jangan keterlaluan bicara kotor dan menyinggung perasaan lawan bicaramu. Bagaimana kau sakit hati mendengar ucapan buruk orang terhadapmu, maka begitu juga perasaan orang lain ketika menerima ucapanmu!" Arza menghela nafas panjang. Kekesalan nampak jelas pada raut wajahnya. Arza sungguh tidak terima akan ucapan laki-laki tersebut. "Tapi kau tidak bisa balik mengatakan aku seperti itu" Arza menunjuk muka lelaki itu."Mengapa tidak? Nukankah aku juga bisa bicara, Arza?" "Tapi aku tidak bisa terima kau bilang aku miskin." sergah Arza. "Lhoo, kenapa nggak bi
Bab 158Arza duduk dan menikmati secangkir kopi di teras kontrakan. menyeruput kopi hangat sambil memperhatikan gadis-gadis remaja berlalu lalang di depan kontrakan. Mereka sedang berjalan menuju ke sekolah terdekat. Sesekali nampak bibir Aeza tersenyum nakal.Deretan kontrakan tersebut memang terlihat kumuh. Di tambah dengan ketersediaan air bersih yang kurang memadai. keadaan itu membuat sebagian besar penduduk pergi kesungai yang tidak bisa di bilang bersih untuk mencuci pakaian dan sebagainya. Untuk minum, mereka menggantungkan kebutuhan air minum pada saluran pdam yang kecil dan hanya tersedia di siang hari saja. Itupun terkadang tidak menentu. Oleh sebab itulah mereka terpaksa menggantungkan kebutuhan selain untuk minun pada air sungai yang jauh dari standar kesehatan. Karena nampak jelas jika aliran sungai tersebut menghitam dan bau. namun karena keterpaksaan, mereka terpaksa melakukan itu. Apalagi pada cuaca panas kala ini.
Bab 157 "Pak Arza, saya punya kabar besar buat Bapak." Farid datang tergopoh-gopoh menghampiri Arza yang tengah duduk beristirahat. "Kabar apa?" Arza tak terlalu mempedulikan pria yang baru saja datang padanya. Sebenarnya ia tak terlalu suka terhadap sosok Farid yang beberapa waktu lalu Arza anggap taelah merendahkan harga diri Arza. "Pak, ini kabar sangaat penting. Apa Bapak ingin dengar?" Farid memainkam sebelah mata "Jangan bertele-tele. Katakan saja terus terang." sergah Arza. "Pak Arza ... tidak bisa asal memberitahu doang, dong. Kita perlu ini .." Farid terkekeh seraya mengisyaratkan jarinya. Bermaksud mengatakan jika Arza harus membayar. "Kau ingin meminta bayaran hanya untuk sebuah berita yang kau bawa?" "Tentu saja!" Pak Farid tersenyum. &n
Bab 156 "Ada apa ini, Pak? Apa-apaan ini?" Zea bertanya kaget.Tentu saja ua kaget melihat orang-orang itu datang secara tiba-tiba. "Kami membawa surat perintah penangkapan terhadap Ibu Zea Marlinda. Atas dugaan tersangka kasus percobaan pembunuhan." Seorang lelaki menyodorkan selembar kertas surat perintah. Zea menyipitkan mata. Merasa aneh dan bingung.Dalam kebingungannya, Zea memperhatikan durat perintah itu dengan seksama. Mata Zea menelisik huruf demi huruf, poin demi poin yang tertera di sana. Tak terasa air mata Zea meleleh. "Apaaa?" Zea terkesiap melihat data dirinya memang tertera dengan jelas di sana. "Ini tidak mungkin." Zea menggelengkan kepala. "Ini semua sudah berdasarkan fakta se
Bab 155 Zea duduk di sisi sofa menghadap televisi yang tengah menyala. Namun perhatian perempuan itu bukanlah tertuju pada layar televisi. Melainkan kembali teringat pada ucapan-ucapan dokter spesialis yang ia datangi tadi siang. "Aku akan ikuti semua saran dokter. Tak peduli jika aku harus mengeringkan isi rekening." Zea bertekad dalam hati. Untuk melakukan semua prosedur pengobatan, Zea sadar jika ia harus menguras banyak uang.Sekarang, yang menjadi masalahnya adalah, ia mempertanyakan apakah seluruh isi rekeningnya cukup untuk melakukan seluruh biaya pengobatan tersebut Atau tidak?Zea sadar, ia harus segera mencari bantuan. sebab uang di rekening yang telah jauh menipis akibat hidup foya-foyayang ia lakukan sebelumnya.Untuk mencoba mencari jalan keluar buat menghadapi kemungkinan tersebut, Zea menghubungi beberapa teman seperjuangan yang ia mili