Pagi ini Aku merasa sangat lesu dan tidak bersemangat banget karena masih kepikiran tentang kelahiran anak lelaki Minah yang sangat disayang oleh Mas Ahmad. Masih saja hati ini inginkan buah hati yang tumbuh di rahim agar Mas Ahmad bisa mempunyai cinta yang khusus kepadaku dan anak-anakku nanti. Sayangnya harapan itu seperti sirna apalagi ketika pagi ini beberapa dokter diminta datang ke ruang rawat Minah.“Abang diminta untuk jadi saksi pernikahannya Minah dan suamimu. Abang sudah menolak tetapi mereka bilang hanya butuh dua dokter sebagai saksi dan Apa kamu mau mendampingiku melihat proses menikahnya sama mantannya itu?” Tanya bang Ashraf yang terlihat serius dengan pernyataannya.Sudah kuduga hari ini akan tiba. Ternyata apa yang aku khawatirkan akan terjadi juga. Sebenarnya berat sih untuk melihat posisi akad nikah suamiku bersama dengan Minah tetapi jika tidak berada di sana Aku tidak bisa mengetahui apa yang terjadi. Aku berusaha beranikan diri untuk menyetujui ajakan Bang Ashraf
Berapa menit berada di kamar mandi aku merasa sudah lebih baik. Hampir semua air mataku keluarkan hingga saat aku keluar aku sudah merasa lebih enteng. “Sudah lega?” Ternyata Bang Ashraf menungguku di luar kamar mandi. Aku hanya mengangguk dan mengikuti langkahnya tanpa mengeluarkan suara apa-apa.Kami menuju ke ruangan kerja Bang Ashraf. Dia mengambilkan aku air lalu memberikan tisu.“Kalau masih ada sisa air mata dikeluarkan saja biar nggak jadi penyakit. Aku yang ada di sana aja udah bisa membayangkan gimana sedihnya kamu menyaksikan pernikahan suamimu sendiri. Masih mau dipertahankan?”Aku masih belum bisa menjawab apa-apa dan tentu saja hanya bisa merata sampai mengusap kembali sisa-sisa air mata dengan tisu yang diberikan oleh Bang Asraf."Kalau seandainya kamu merasa rumah tanggamu nggak baik-baik saja lebih baik sudahi ini dengan baik-baik juga. K kebahagiaan bukan bisa didapatkan dari suamimu saja dan masih banyak kesempatan di luar sana untuk bisa membuatmu lebih bahagia b
Rintik-rintik hujan seakan menjadi tanda bahwa alam pun bersedih atas hal yang terjadi di dalam hidupku. Aku juga tidak tahu mengapa semuanya jadi serumit ini padahal tadinya aku sudah berusaha untuk ikhlas melepas Mas Ahmad sementara waktu. Aku dan Mas Ahmad sama-sama berjanji untuk memperbaiki semuanya tetapi malah pernikahan itu justru membuatku ragu karena di sana tidak ada yang terlihat merasa bersedih atau memikirkan perasaanku. Semua sibuk dengan pernikahan Minah yang mengharukan dan mereka tidak ada yang membahas tentang diriku sama sekali.Aku dan Bang Ashraf masih berada di gubuk yang ada di baturaden. Tempat wisata ini menjadi saksi kesedihanku yang mendalam dan hujan menjadi pertanda bahwa hatiku sedang kacau seperti layaknya rintik-rintik hujan yang menembus ke dalam tanah di bumi ini."Kayaknya kita nggak bisa pulang ke Cilacap kalau kondisinya seperti ini terus. Nggak mungkin juga kita nginap berdua di sini, kan?" tanya Bang Ashraf."Kenapa tidak mungkin? Di sini cuacan
Setelah menelpon Bang Ashraf, aku jadi mempertimbangkan tentang baik buruknya jika berbohong. Akan ada hal besar dan kejadian besar jika sampai masalah seperti ini terungkap nantinya. Toh, Mas Ahmad tidak mungkin diajak kerjasama untuk berbohong juga. Diajak ke sini, jelas dia jadi akan tahu rumahku dan bisa bisa nanti membawa Ibu dan yang lain jadi datang. Mau tak mau, hanya Bang Hadi dan keluarganya yang akan aku ajak ke sini dulu.Pagi hari aku sudah bersiap untuk kuliah. Kali ini, semangatku tak pupus untuk meraih harapan. Ada Bang Ashraf yang berdiri di belakangku memberikan semangat. Ada juga cita cita membuat Mas Ahmad bisa melunasi hutangnya dan aku kembali pada suamiku. Mungkin ini akan terkesan menyakitkan Bang Ashraf jika sampai nanti aku tak bisa seperti yang dia inginkan, tapi setidaknya mengusahakan rumah tanggaku baik baik saja adalah niatku kini. Kuliah kali ini masih belum ada matkul serius. Masih pengenalan dan hanya pengenalan beberapa materi materi mata kuliah ya
“Kenapa kamu nggak bilang dari awal, Nina? Kalau bilang dari awal kan kami bisa mengusahakan membantu. Abang abangmu yang lain akanmurka pada keluarga suamimu kalau tahu dia menjual suamimu demi melunasi hutang. Ini sudah benar benar keterlaluan,” ucap Bang Hadi terlihat murka. "Masalahnya rencana itu juga mereka sembunyikan dari Nina jauh-jauh hari. Nina sama sekali nggak tahu apa-apa dan Nina tahunya setelah Mas Ahmad dua hari nggak pulang dari rumah sakit untuk menemani wanita itu mau melahirkan. Awalnya kesal sekali karena mas Ahmad terlihat tidak menolak tetapi setelah melihat kondisi si wanita yang memang kritis karena mengidap penyakit kronis makanya Nina berusaha untuk ikhlas. Wanita itu mengidap kanker yang harus melakukan operasi saat hendak melahirkan dan bagaimana mungkin Nina berani untuk melabrak dia dan memaki dia di saat kondisinya juga antara hidup dan mati." Aku tahu ini adalah hal yang berat untuk keluargaku bisa menerima dengan mudah tetapi aku sudah menjelask
Aku tidak diperbolehkan untuk ikut Bang Hadi menemui mas Ahmad. Aku diminta untuk menunggu kabar selanjutnya setelah bang Hadi pergi dari sana. Hari ini pun aku meminta untuk libur terlebih dahulu tidak berangkat ke rumah sakit karena harus menemani kakak iparku di rumah. Rasanya tidak etis kalau jauh-jauh datang dari luar kota tetapi malah sama aku ditinggal kerja."Kamu kerja di mana memangnya, Nin?" Tanya Mbak Aminah."Di rumah sakit Medika, sebenarnya cuman jadi asisten dokter saja dan nggak kerja yang kayak dokter-dokter begitu. Kebetulan yang jadi dokter itu teman Nina saat masih di bangku SMA. Dia juga yang ngebantu Nina buat deketin beasiswa di universitas yang sekarang jadi tempat kuliah Nina," ucapku yang bercerita apa adanya kepada sang kakak ipar.Kakak iparku yang satu ini berbeda dengan iparku yang biasa tinggal di rumah mertuaku. Istri dari Abang ini sangat ramah dan penyayang sehingga aku pun dekat dengan beliau sejak baru menikah. Orangnya tidak pernah menyinggung per
Bang Ashraf datang ke rumah ini jam 16.00 sore karena dia tidak bisa meninggalkan pasien di rumah sakit. Bang Hadi pun memaklumi dan tidak bermasalah tentang hal itu karena memang seorang dokter tidak bisa sesuka hati untuk meninggalkan tempat bekerja. Datang dengan mengendarai mobilnya Bang Ashraf tiba sendirian di rumah ini. Dia tidak mengajak serta adiknya atau keluarganya yang lain karena memang Bang Hadi meminta untuk bertemu empat mata."Saya Hadi, abangnya Nina," ucap Bang Hadi memperkenalkan diri."Ashraf."Aku hendak menyajikan minuman untuk Bang Ashraf dan juga bang Hadi yang sudah duduk di ruang tamu. Mbak Aminah tidak ikut menguping dan memilih untuk membantuku menyediakan camilan di depan."Pantes kamu tidak keberatan dibantu sama dia, ganteng gitu orangnya," kekeh Mbak Aminah."Ganteng mah relatif, Mbak," jawabku.Tentu saja jika dibandingkan dengan mas Ahmad kalah jauh tetapi dulu juga Mas Ahmad sangat ganteng saat masih bujangan. Sekarang saja karena sudah menikah den
"Yakin?" tanya Bang Hadi.“Iya, Bang. Misal Abang khawatir saya akan meminta kembali, boleh kita lakukan perjanjian di atas materai. Saya sangat bersalah pada Nina lantaran dulu tak memperjuangkan dia mendapatkan restu keluarga saya. Jadinya, dengan apa yang saya lakukan kini, saya harap hidup saya akan lebih baik dan tertata. Setelah selama ini dibayang bayangi penyesalan tentunya, dengan begini saya merasa lebih baik. Sungguh, saya ikhlas. Bahkan, jika rumah ini menjadi milik Nina pun saya ikhlas. Saya tak pamrih asal dia selalu bahagia,” ucap Bang Ashraf membuatku benar benar terharu. Bagaimana tidak, sebegitu ikhlasnya sampai Bang Ashraf rela dan mau untuk melakukan tanda tangan di atas materai.“Baguslah kalau begitu, kamu benar benar lelaki yang sangat baik. Saya akan membawa Nina pulang,, sementara ini dia nggak bisa lanjut kerja. Dia masih tanggung jawab saya dan untuk kuliahnya, semoga nanti kami ada biaya untuk memberikan keringanan agar Mas Asraf nggak begitu berharap. Say