Hari-hariku kini sudah tertata dengan rapi. Setiap pagi bangun selalu menyiapkan sarapan untuk aku dan Bang Angga lalu bersiap untuk pergi kuliah. Saat ini aku pun mengambil kuliah pagi karena bang Angga tidak memperbolehkanku untuk pergi malam-malam. Lagian, aku juga sudah tidak bekerja lagi di rumah sakit setelah semua abangku melarang. Selain karena alasannya jauh dari tempat pengangkat tinggal, mereka juga takut aku kelelahan.Tentu perhatian dari semua abang-abang ku itu membuatku merasa terharu sekaligus. Meskipun kadang kasihan melihat Bang Angga yang kelelahan Ketika pulang bekerja."Tumben akhir akhir ini pulangnya jadi malam?" Tanyaku pada bang Angga yang sampai di rumah setelah waktu salat Isya."Tadi ada kerjaan tambahan di bengkel dan abang ambil lembur biar bisa tambahin uang jajan kamu. Nih!" Dia memberikan uang lembaran hijau biru dan merah kepada ku."Kok dikasihkan sama aku?" Tanyaku."Itu buat sangu besok kamu kuliah. Pasti kebutuhan kuliah bukan hanya cuman transpo
*Pagi aku sangat sibuk menyiapkan bekal untuk Bang Angga. Suara salam dari luar Bahkan tidak aku dengar dan aku pun menuju keluar setelah masakan selesai. Terlihat Bang Angga sedang berbincang dengan Kiara, wanita itu sedang menangis dan duduk di samping Bang Angga."Ya udah sih orang laki-laki nggak cuma dia aja kok. Sekiranya memang laki-laki itu nggak tulus sama kamu ya tinggalin aja! Kalian kan belum menikah jadi hal untuk putus nyambung itu sudah biasa. Lain kali carilah yang lebih dewasa biar nggak malah disakiti dan bikin aku jadi nggak tega lihatnya," ucap bang Angga yang terdengar seperti sedang menenangkan Kiara."Masalahnya aku udah …"Aku tidak ingin mendengarkan percakapan kedua orang di depan itu lebih lanjut dan memilih untuk mandi serta bersiap untuk kuliah. Daripada menguping pembicaraan orang dewasa lebih baik aku sibuk mempersiapkan diriku sendiri melakukan aktivitas hari ini. Sepertinya bang Angga memang ada hubungan dengan Kiara yang cukup serius entah itu sahaba
Fildan mengajar di kelasku cukup baik. Dia benar-benar profesional ketika bekerja dan tidak menyapaku seperti orang yang mengenal sebelumnya. Aku pun berusaha untuk tidak kenal apalagi mengaku-ngaku sebagai teman lama. Selepas pelajaran selesai aku pun berkemas dan bersiap untuk mengikuti materi kelas selanjutnya. Ada jeda 1 jam sebelum pelajaran dimulai dan aku memutuskan untuk pergi ke kantin terlebih dahulu."Nin," panggil seseorang dari arah belakang. Aku dan Siska menengok."Eh, Pak Dosen. Kok Nina saja yang dipanggil, saya tidak, Pak?" tanya Siska genit."Maaf, saya nggak hafal nama kamu. Saya hanya ada butuh dan perlu dengan Nina sebentar, bisa?" tanya Fildan."Oh, iya, Pak. Silahkan! Tapi, Saya ingin memperkenalkan ulang Nama saya. Saya Siska," ucap Siska dengan senyum-senyum yang dibuat-buat."Ya. Nin, ikut aku!"Fildan menarikku, membuat banyak pasang mata mengarah dan melirik arahku yang sedang ditarik oleh Fildan."Apasih?" tanyaku saat sudah sampai di ruang kelas yang ko
Pov AhmadAku benar-benar bingung Bagaimana menghadapi masalah ini. Dina memutuskan untuk pergi dari rumah dan tidak mau menungguku selesai dengan permasalahan keluarga yang benar-benar pelik. Ditambah saat ini keadaan Mbak Mita yang tidak stabil lantaran suaminya korupsi dan membawa uang kantor, juga berselingkuh dengan salah satu karyawan yang sama di tempat mereka bekerja. Bukan masalah yang selesai melainkan bertambah dengan masalah yang lain sehingga membuatku tidak bisa keluar dalam waktu yang cepat seperti waktu yang aku janjikan.Sore itu, keputusan untuk ke Banjarnegara dan menjemputnya agar menemaniku di rumah. Aku tidak bisa seperti ini terus dan aku merindukan istriku. Resikonya pasti akan dimarahi oleh Minah, tapi aku tetap harus mencari keadilan untuk istriku sendiri."Mau ke mana kamu?" tanya Ibu."Ahmad ingin menjemput Nina untuk pulang ke rumah.""Pulang ke rumah? “ tanya Ibu yang terlihat kaget.“Ahmad nggak bisa ingkar janji. Ahmad sudah janji akan menjemput Nina s
"Besok ikut Abang untuk menuju ke pengadilan agama dan menggugat cerai Ahmad. Perkataan dari lelaki yang tidak bisa dipegang ucapannya tidak usah kamu pedulikan lagi!" sungut Bang Angga.Aku baru saja di sidang di tengah-tengah keluargaku tentang ketidak kedatangan Mas Ahmad di rumah ini dan menjemputku untuk membawanya ke rumah ibu. Mas Ahmad mengabari bahwa dia tidak bisa pulang lagi untuk menyelesaikan ini dan dia meminta perpanjangan waktu tetapi langsung ditolak oleh Bang Hadi dan Abangku yang lain. Pernikahanku seperti dipermainkan dan kini barulah aku sadari bahwa cinta Mas Ahmad sudah luntur untukku dan dia sudah tidak lagi menyayangiku setelah pengorbanan yang aku berikan 5 tahun lamanya untuk bertahan bersamanya dengan segala kekurangan yang dimiliki.Sebenarnya kalau dari awal sudah menjelaskan tidak sanggup untuk mempertahankan Aku pun tidak akan menunggu sampai selama ini. Namun nyatanya Mas Ahmad terlihat sangat meyakinkan akan menyelesaikan permasalahannya dengan Minah
"Kamu yang sabar ya Nina. Cara Tuhan memang unik dan sepertinya ini yang terbaik untuk suamimu. Dia mungkin sangat mencintai kamu tetap tetapi terhalang oleh banyak hal dan tidak bisa menepati janjinya ditekan oleh keluarga ibunya dan juga mantan kekasihnya. Abang juga tidak habis pikir dengan keluargamu yang Justru malah tidak simpati dengan kematian Ahmad malah mengatakan hal yang buruk buruk. Makanya abang pulang sore karena mengantarnya peristirahatan terakhir.""Tidak, Mas Ahmad," isakku. Aku tidak menyangka bakalan seperti ini endingnya. Aku tidak menyangka jika Mas Ahmad meninggalkanku tanpa menemuiku terlebih dahulu. Dia benar-benar pergi selamanya dan tidak menepati janji untuk menjadikan aku satu-satunya dan pulang kembali ke rumahnya.Aku benar-benar tidak habis pikir dengan kematian Mas Ahmad. Abang-abang ku menceritakan kejadian saat di sana dan aku rasanya tidak kuasa mendengar semua pengakuan yang Mas Ahmad pesankan untukku lewat tetanggaku."Sudah beberapa kali dia me
Pagi ini Aku diantar menuju ke pemakaman Mas Ahmad. Tentu saja dengan perasaan yang sangat-sangat berduka. Aku diantar oleh bang Cakra menggunakan mobil karena takutnya aku benar-benar tidak bisa tegak untukku berdiri di depan pemakamannya.Di depan makam yang masih basah ini, aku bersimpuh dan menangis meminta maaf. Semua terasa sangat menyakitkan endingnya Karena setelah pergi hanya kalimat cinta Yang aku dengarkan dari Mas Ahmad dan janji untuk menjemput yang belum terlaksana sampai sekarang. Hal yang tentunya membuat ku semakin merasa nelangsa, hingga akhirnya menangis tersedu-sedu bermenit-menit lamanya.Setelah membacakan Yasin aku pun menaburkan bunga dan menyiramkan air di atas pemakaman. Aku mengusap air mataku dan berulang kali dikuatkannya Abangku agar tetap bisa berdiri di atas kakiku sendiri."Mas, Maafkan istrimu ini yang belum bisa berbakti sepenuhnya. Hati ini tidak menerima atas pernikahan kedua yang masih lakukan meskipun itu berlandaskan sebuah pengorbanan keluar
Kehamilan ini menjadi sebuah kabar yang sekaligus menyedihkan karena tidak ada masalah di sisiku untuk selalu menemaniku dalam proses kehamilan ini. Setelah mengetahui aku hamil aku pun menghubungi bang Angga dan menanyakan jam berapa dia pulang."Bang," isakku.Aku nelangsa meskipun ini adalah kabar bahagia. Nelangsa Akan hamil tanpa suami dan telah pasti aku akan sendirian nantinya ketika melahirkan."Kenapa Dek? Kamu lagi di mana? Nggak jadi pulang ke rumah kah?" Bang Angga pasti khawatir karena aku menelponnya dalam keadaan menangis."Nina di rumah Bang, Abang pulang jam berapa?" Tanyaku."Ya udah di rumah saja, nanti … ah, ini Abang mau pulang langsung."Panggilan langsung diputuskan Padahal aku ingin menyampaikan sesuatu ini. Sepertinya memang harus berbicara di rumah saja dan aku pun tiduran di atas kasur karena mendadak kepala pusing dan juga badan seperti meriang.Suara motor bang Angga terdengar berhenti di halaman rumah. Aku yang memang merasa sakit kepala memutuskan untuk
Aku baru tahu ternyata papa sengaja mengundang keluarga besar. Papa merencanakan untuk menghadiahkan kami tiket liburan bersama dengan keluarga besar. Kali ini liburan kami bukan kaleng kaleng. Selain ke tanah suci untuk umrah bersama, Papa juga memberikan liburan ke Dubai dan juga perjalanan wisata keluarga ke kota kota wisata di sekitarnya. Keluarga besar Papa diajak untuk ikut dan niatnya kami akan seminggu di luar negeri untuk menghabiskan waktu bersama-sama. Semua sengaja mengosongkan waktu bahkan yang membuatku bahagia adalah Papa dan keluarga mama papa yang patungan membiayai semua perjalanan bulan madu ini."Di mana-mana Kalau bulan madu itu ya hanya berdua. Kok bisa-bisanya satu keluarga diikutkan semua?" Tanya Cinta."Emang elo aja yang pengin have fun?" Tanya Fildan. "Memangnya nggak mau ngintip pengantin baru belah duren? Kalau gue sih, hayo aja!" kekeh Fildan."Huu …." Om Yudistira melempar kulit kacang pada Fildan yang jadi sponsor rencana papa liburan bersama."Berhu
Sejak Mama menampakkan penerimaannya terhadap keberadaanku, aku dan Mama sudah tak lagi seperti air dan minyak. Mama mulai perlahan mau mengajakku mengobrol. Dari hal yang sepele, sampai hal yang cukup pribadi seperti sekarang.“Papa mertua kamu itu, sibuknya minta ampun akhir akhir ini. Mama jadi kesepian dan sebal sama dia,” ucap Mama.“Sabar ya, Ma. Namanya juga aki aki, kalau nggak lambat kerjanya ya … lambat pekanya,” kekehku.“Iya juga ya?”“Huum, kan memang begitu. Mama harus sering doakan Papa, semoga sehat dan bisa selalu ada di sampung kita. Mama nggak mau kan papa kenapa napa?”“Kadang kalau sibuk begini suka kasihan, semua anak anaknya sibuk juga. Untung ada Ashraf yang juga bantu usaha papanya,” ucap Mama.“Bang Ashraf nguli juga?” tanyaku.“Kok nguli?”“Lah, kerja sama Papa namanya nguli lah. Kalau buka usaha sendiri, baru namanya bos,” jawabku.Mama tersenyum, meski hanya sekilas. “Itu juga setelah menikahi kamu, Ashraf mau bantuin Ppaa.”“Eh,, gitu?”“Iya, dari dulu an
"Mama kok bisa kepikiran nyusul ke sini?" tanyaku saat kami sudah kembali dari sawah."Pengin," jawab mama singkat.Aku tersenyum saja. Padahal saat di sawah tadi Mama begitu menikmati pemandangan bahkan bertepuk tangan Saat melihatku mencari banyak Tutut di tengah-tengah sawah yang sedang dipanen padinya. Mama bahkan menggendong Altaf yang saat aku tinggalkan untuk mencari tutut dan memanen genjer yang ada di sekitar tanaman-tanaman padi."Ma, aku harus balik ke rumah sakit. Fildan bilang, dokter yang piket malam mendadak minta libur karena istrinya meninggal.""Innalillahi, kasihan sekali. Iya, ayo! Kita pulang sekarang!" ajak Mama. "Altaf gendong, Ash," perintah mama sembari memberikan Altaf pada Bang Ashraf. Aku tersenyum, perilaku mama yang seperti ini aku anggap menggemaskan karena secara tidak sengaja memintaku untuk pulang dan ikut dengan Mama."Bang," panggilku."Altaf nggak bisa jauh dari ibunya jadi lebih baik kamu berkemas dan ikut Abang pulang. Lain kali kita main lagi
Abang abangku sudah kembali ke tempat mereka bekerja karena aja tahu libur mereka sudah habis. Kini tinggallah Aku di rumah ini bersama dengan anakku dan juga Ibu serta Abang Hadi dan istrinya.Pagi ini aku membantu ibu menyiapkan bekal menuju ke sawah. Bang Hadi sedang panen dan aku ingin melihat mereka memanen padi di sawah."Nina ikut ya, Bang," ucapku."Kamu di rumah saja sama Altaf. Di sawah itu panas dan nanti kulit kamu jadi gosong dan jelek. Bisa-bisa nanti suamimu ala pangling saat tahu kamu berubah jadi item dan dekil," balas Bang Hadi."Mana ada seharian di bawah sinar matahari langsung hitam? Lagian dari awal juga udah sama matang. Bosen banget di rumah kalau nggak ada temen ngobrol, Mbak Aminah juga ikut ke pasar sama Nisa. Nina ikut ya, Bang?" rengekku."Udah, Hadi. Biarkan saja adikmu itu. Barangkali dia pengen nyicipin air sawah," sahut Ibu.Ye, akhirnya aku diperbolehkan untuk ikut ke sawah setelah hampir satu minggu aku di rumah ibu. Aku mengajak Altaf dan menggendon
Ternyata aku yang sudah menikah ini masih diperlakukan seperti bayi oleh Abang abangku. Mereka menanyakan apakah aku bahagia menikah dengan Bang Ashraf, apa aku tercukupi kebutuhannya, apa aku diterima keluarga suamiku. Mereka layaknya ayah yang terlahir kembali dalam hidupku. Malam ini Abang Abangku mengadakan syukuran. Ibu bilang, Bang Cakra naik jabatan dan akan dipindah tugaskan ke luar kota. Ibu tak menangisi atau sedih akan hal ini. Bahkan, Ibu begitu senang dan malah mendoakan agar Bang Cakra bisa sukses dan kembali dengan kabar bahagia.“Bu, Cakra sekalian mau minta izin lamar anak orang tahun ini. Bukan apa, Cakra udah nggak muda. Takutnya ketuaan kalau nunggu sukses dulu. Boleh, Bu?” tanya Bang Cakra di sela sela kami mengemasi sisa sisa makanan di ruang tamu.“Ya Allah, tentu boleh, Nak. Ibu sedang menunggu anak anak ibu ini laku, tapi kalau mau jadi bujang lama juga gak apa apa. Ibu gak pernah melarang anak anak Ibu menikah. Siapa aja, boleh. Asal bisa menerima anak Ib
Aku sampai terbengong saat bangun tidur dan duduk begitu lama di sisi tempat tidur. Hingga suara pintu terbuka dan panggilan kakak ipar mengagetkanku."Aku kira kamu belum bangun, Nin. Ibu tadi berpesan kalau kamu bangun suruh langsung mandi. Tadi ibu udah masakin air anget.""Memang udah sore?""Tadi kan kamu tidur siang lama banget sekarang udah sore."Aku melirik ke arah jam dinding yang ada di sisi lemari dan ternyata memang sudah jam setengah lima. Altaf terlihat sudah tidak ada di sisiku."Altaf ke mana, Mbak?""Tadi dibawa ibu ke warung depan. Kamu tidurnya pules banget sampai nggak denger anaknya nangis."Aku tersenyum dan bangkit dari tempat tidur. Aku langsung mandi terlebih dahulu.Selesai mandi aku langsung shalat ashar dan menyusul ibu yang ternyata sudah pulang dari warung bersama dengan Altaf. Altaf juga sudah mandi dan wangi sepertinya karena sudah berganti pakaian."Anak mama udah ganteng, tadi mandi sama siapa nih?" Tanyaku sambil menciumi pipi Altaf."Tadi nangis ka
Aku disambut baik oleh Bang Hadi dan juga Ibu. Mereka sangat senang melihatku pulang bersama dengan Bang Ashraf. Kami juga membawa banyak oleh-oleh yang sengaja dibeli di jalan untuk orang tuaku dan keluarga abangku."Mau pulang ke rumah nggak ngomong-ngomong," sambut Ibu sambil berpelukan denganku dan bersalaman dengan Bang Ashraf."Ini juga nggak sengaja karena kebetulan Bang Ashraf lagi nggak kerja pagi ini. Dia piket malam jadi bisa nganter Nina pulang pagi ini," jawabku sambil memberikan Altaf pada ibu yang sudah mengulurkan tangannya dan meminta Altaf untuk digendong oleh beliau."Kangen sekali sama cucu nenek, tambah gemuk saja tinggal sama papanya," ucap Ibu sambil mencium kedua pipi Altaf."Kalian sehat?" Tanya Bang Hadi."Alhamdulillah Bang. Mbak Mel, ada hadiah di Bagasi buat Mbak Mel. Mbak Mel mau?" tanyaku."Mau dong, masa dikasih hadiah nggak mau."Bang Ashraf dan Bang Hadi masuk ke dalam membawa Altaf dan ibu sedangkan aku dan Mbak Amelia membongkar oleh-oleh yang sudah
"Baru bangun, ya?" tanyaku. "Biasa, bujang mah tidurnya bebas apalagi kalau hari libur. Dari mana gendut?" tanya Fildan sambil mencubit pipi anakku dan akhirnya anakku menangis karena cubitan Fildan pastilah keras dan sakit. "Aduh, Omnya pagi-pagi udah bikin anak orang nangis," sahut Papa yang juga sudah siap dengan pakaian olahraganya. "Hehehe, Papa nih. Mau ke mana, Pa?" tanya Fildan sambil menggaruk kepalanya tidak kasar karena ketahuan mencubit Altaf. "Olahraga lah, mumpung anak-anak semuanya di rumah. Nin, olahraga yuk!" ajak Papa. "Tadi Nina udah olahraga, Pa. Altaf juga udah keringetan dan pengen mandi. Mama dan Bang Ashraf masih di depan kok, lagi minum susu sama makan camilan," jawabku. "Weh, udah akur tah?" tanya Fildan. "Emangnya dari kemarin kita nggak akur? Kita kan Besti," kekehku yang langsung berjalan membawa Altaf masuk ke dalam kamar. Terlihat keduanya saling melirik saat aku hendak pergi tadi. Semudah itu mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Meskipun ke
Saat aku bangun ternyata Bang Ashraf sudah pulang. Entah jam berapa suamiku sampai di rumah yang jelas aku sangat gelap malam ini hingga tidak sadar jika suamiku sudah pulang pagi-pagi buta.Aku tersenyum saat melihat wajah polos Bang Ashraf yang terlihat sangat kelelahan. Dia sudah memakai piyamanya saat tidur dan itu menambah kesan menggemaskan brondong yang aku nikahi saat ini.Berondong? Bahkan umur dia lebih tua dariku tetapi karena aku yang lebih dulu menikah jadinya aku merasa lebih tua darinya. Aku sama sekali tidak kelihatan jika harus mengalah dalam segala hal termasuk Jika dia mendadak seperti anak kecil seperti sekarang. Tidur dengan memelukku dan menaikkan satu kakinya di atas pinggul.Aku angkat kakinya perlahan agar dia tidak terbangun tetapi rupanya dia sengaja malah menghukum tubuhku agar tidak bangkit."Sudah jam 04.40 lah, Bang. Nanti keburu Altaf bangun aku belum setting sarapan," ucapku sambil berbalik dan menatap wajahnya yang tersenyum meskipun masih memejamkan