Setelah membacanya segera aku mengetik pesan untuk membalasnya.[Owh ya, tunggu sebentar, Pak. Ini lagi perjalanan pulang.]Akupun langsung menyimpan Ponselnya kembali ke dalam tas. Lalu masuk ke mobil dan mengemudikannya.Sesampainya rumah sudah ada beberapa orang yang sedang Mondar-mandir mengintari depan Rumah, dilihat dari pakaiannya sih seperti pekerja kantoran.Tak ingin lama-lama aku segera menghampiri mereka dan menyalami mereka satu persatu. “Sherly, ini calon pembeli rumah, Kamu. Pak Wibowo namanya. Sepertinya sangat tertarik dengan rumah ini.“Aku mengangguk dan mengulaskan senyum ke arahnya.“Saya Sherly, Pak. “Setelahnya aku meminta ijin lalu membukakan pintu untuk mereka. Mereka pun langsung berkeliling rumah. Sementara aku mengekori mereka.Aku mengayunkan Amira yang sedang berada di gendonganku. Perasaanku was-was. Ada ketakutan tersendiri, bagaimana kalau sampai ia menjadi tidak tertarik dan membatalkan keinginannya setelah melihat kondisi rumah ini?Bagaimanapun wa
“Ia meninggal saat ingin melahirkan anak pertama kami,”Ia mengucapkan kata itu sembari mendongakkan kepalanya.“Terus sekarang anak, Bapak dirawat sama siapa?“ tanyaku simpati.“Ikut meninggal di dalam kandungan.““Inalillahi wa Inna ilaihi Raji'un. Yang sabar ya, Pak. Aku tidak tahu kalau ceritanya bakal seperti ini, kulihat, Pak Herman terlalu bahagia karena selalu tersenyum. Ternyata dibalik itu ...““Aku melakukan ini semata tuntutan kerja. Sebagai sales harus terlihat ramah seramah mungkin untuk menggaet pembeli.“Aku terpaku dalam lamunanku, kini canggung mulai menggerayangi diriku. Ingin sekali mengajak ngobrol tapi takut hanya akan menyinggung perasaannya.“Aku pamit dulu ya, Sher. Sudah sore. Aku harus kembali ke kantor,” pamitnya.“Makasih ya, pak. Kalau ada sesuatu jangan sungkan hubungi saya.““Harusnya aku yang ngomong gitu ke, kamu Sherly. Ya sudah nanti beri kabar ya kalau ada masalah!““Siap.“Aku memandangi punggung tegaknya yang melangkah keluar. Terimakasih ya Alla
Pov Pram.Akhirnya liburan panjang kami telah usai, sungguh berada di Bali dan sekitarnya membuat lupa diri. Membuat khilap semua orang. Bahkan uang saku pun tidak tersisa sama sekali, untungnya Sherly sudah memesankan tiket pulang pergi, tinggal nanti kasih kabar untuk menjemput kamu di bandara.Aku menyenderkan di kursi pesawat dan sebelahnya Clara, dia tertidur dalam duduknya. Aku membelai rambutnya. Kami melakukan terus tiap ada kesempatan bak bulan madu. Kami sudah meninggalkan Pulau Dewata.Sekarang hanya menunggu tiba di bandara. Aku belum memberi kabar ke Sherly untuk menjemput, ditambah sekarang ponsel harus dimatikan. Sepertinya lebih baik istirahat. Aku meraih kepala Clara lalu menyenderkan di bahuku. Setelahnya kami pun tertidur.**Setelah sampai kami turun dari pesawat, Alhamdulillah semua kondisi aman, tidak ada yang mengalami jetlag atau apalah itu.Kami pun duduk di kursi tunggu, sementara aku menghidupkan latar ponsel kembali. Sekian menit data kembali pulih, seger
Aku tertegun saat melihat pemandangan yang berbeda kali ini. Pagar rumah terbuka lebar. Dan ada beberapa tukang yang sedang sibuk dengan pekerjaannya.“Mereka lagi ngapain, Pram?“ tanya Bapak yang sudah berdiri di sebelahku.Aku bergeming. Aku juga tidak tahu, sepertinya rumah juga sudah pas sesuai keinginanku, hanya garasi saja yang perlu dirubah. Tapi ini Kenapa tembok depan dibobol begitu? Kenapa Sherly tidak koordinasi sama sekali sebelum menyuruh para tukang ini?“Pram, rumahnya mau diapain, Pram?“ Kini ibu yang ikut menanyaiku.Aku masih belum bisa menjawab. “Bapak, barangnya sudah saya turunkan semua, silahkan bayar tagihan dulu, Pak,” ucap Bapak sopir ke arahku.Aku tergagap. Merogoh semua kantong baju, tapi kosong. Aku baru sadar uangku habis. Aku pun masuk ke rumah, siapa tahu di dalam ada Sherly. Ataupun nemu duit di bawah ranjang.“Sherly! Kamu di mana?“teriakku melengking di dalam rumah, tidak aku perdulikan beberapa tukang yang menatapku keheranan.Aku mengintari semua
25. POV PRAM.Kulipat tanganku di depan mereka sembari menunggu mandornya datang dari beli paku. Bapak Ibu pun hanya berdiri di luar pagar sembari berhilir mudik. Sementara Clara mengibas-ibaskan tangannya di wajahnya. Sepertinya kepanasan.Aku menatap ke arah jalan gang pintu kampung. Sekian menit berlalu.Tidak lama seorang lelaki memakai topi melangkah masuk menenteng kantong plastik. Sepertinya dia yang jadi mandor.Aku merapikan posisiku, lebih menegakkan punggung ini. Tatapanku tidak terhenti hingga ia benar-benar berdiri di depanku.“Ehem .. Ehem.“ Sengaja aku berpura-pura batuk di depannya.Kulihat wajahnya terlihat kebingungan, dilihat berulangkali menatap kami secara bergantian.Tidak ingin membuang waktu yang lebih lama lagi, aku menyodorkan tanganku ke arahnya.“Perkenalkan saya Pram. Pemilik rumah ini,” sapaku secara langsung.Ia menyambut tanganku, tapi bukan jawaban yang aku terima, melainkan perubahan wajahnya yang semakin kebingungan.“Em, Maaf, Pak. Sepertinya Bapak
Aku mencerna kata-katanya, teringat saat ada pemutihan sertifikat dan aku meminta agar sertifikat itu atas nama Sherly. Aku tidak akan pernah menyangka efeknya akan begini, siapa yang tahu kalau rumah di jual oleh istrinya sendiri! Berarti kemarin aku ke Bali emang sudah bagian dari rencananya?Supaya kami pergi dan dia bebas bertransaksi jual beli rumah ini?! Argh! Kenapa aku bisa kecolongan seperti ini!“Sherly sialan!“Aku membanting ponselku sendiri ke tembok, tidak kupedulikan lagi sekarang bentuknya seperti apa. Aku segera melangkah keluar. Aku harus ketemu Sherly! Dia pasti bersembunyi tidak jauh dari sini!“SHERLY!!!““SHERLY! KELUAR KAU!“ “Pram kenapa teriak-teriak begini sih, Hah! Malu dilihat tetangga!“ sungut Ibu menghentikan langkahku.“Bu! Rumah ini sudah dijual sama Sherly, Bu!““APAAAAAA!??“ “Pak, tolong bayar tagihan saya dulu,” rengek pak sopir menarik lenganku.Aku menoleh dengan mata melotot. Tidak mengerti kah dengan kondisiku saat ini? Hanya uang kecil kini k
BUGH!Kutinju pipi salah satu tukang diantaranya. Aku masuk menyusuri setiap ruangan termasuk kamar mandi. Kosong!Semua kudapati kosong. Tidak ada selembar baju pun tersisa. Bagaimana nasibku besok?Sungguh Sherly wanita durhaka!“Emas! Emas ... Emasku di mana, Pram!?“ tanya Ibu yang ikut masuk dengan suara histeris.Aku menoleh dengan tatapan lesu. Aku menggeleng ke arahnya. Percuma, nasibnya sudah tidak sama lagi mulai sekarang. Sudah menjadi gembel!Aku yakin pasti sebentar lagi Clara akan meninggalkanku.“Pram, tas Ibu? Pokoknya cari sampai ketemu, Pram. Ibu tidak mau semua barang Ibu hilang! Cepat telepon Sherly, Pram!“ teriaknya sembari hilir mudik tidak karuan.“Pram! Kenapa isi kardusnya cuma punya Bapak, Pram. Di mana yang lainnya, Pram!“ Tidak lama ibu berteriak lagi.Aku melangkah keluar, bahkan langkahku sudah sampai lahan belakang namun masih kosong.Aku membuka cover mobil dengan perasaan tidak menentu.Sekarang mana ini kuncinya?!Aku langsung menendang ban roda mobil
POV Ibu mertua.Aku syok bukan main, bahkan aku sendiri tidak bisa menggambarkan seperti apa kemarahanku saat ini. Bagaimana mungkin semua hilang dalam sekejap. Bahkan rumah ini, rumah satu-satunya yang aku wariskan ke Pram hilang begitu saja. Bagaimana aku tinggal sekarang, ke mana kaki ini melangkah?Aku berjanji dengan diri ini, kalau sampai ketemu Sherly sudah kupastikan tidak kubiarkan lolos begitu saja. Akan kupastikan dia membayar mahal apa yang ia perbuat!Emosiku masih menggelora, lihatlah dalam keadaan seperti ini, Bapak masih terlihat linglung. Tidak ada niatan untuk menenangkanku atau apalah. Ia hanya sibuk dengan ponselnya. Aku segera ke dapur. Aku harus mencari sesuatu untuk melampiaskan emosi ini.Kuraih piring yang masih bertengger di lemari. Lalu ...PRANG! Aku membantingnya ...PRANG! PRANG!Sampai habis.Pecahan beling berserakan di depanku. Argh! Kulihat Bapak masuk ke rumah,Aku pun membuntutinya untuk melihat apa yang akan dilakukan. Tidak lama ia memunguti