Pertolongan Yuda Arini terpaku menatap wanita yang masih bersikeras dengan pendapatnya. Matanya memanas dan hampir tak bisa menahan air matanya untuk luruh. Namun melihat Wulandari yang memintanya untuk tetap tenang membuat Arini merasa dia tidak sendiri. Wulandari tak berada dalam lokasi yang sama dengannya saat kejadian berlangsung. Tetapi melihat dia begitu gigih, hal itu menguatkan Arini untuk membela dirinya. Apalagi kondisi makin tak terkendali. Hilangnya barang belanjaan pengunjung baru kali ini terjadi. "Apa susahnya pihak swalayan ganti rugi. Toh hanya satu karton minyak. Jangan pelit, apalagi ini menyangkut nama baik dan tanggung jawab swalayan. Jangan sampai membela satu orang pegawai justru membuat tempat ini sepi," ucap seorang wanita lanjut usia yang sepertinya sudah terpengaruh dengan tuduhan waktu berblouse warna biru itu. Arini mengusap wajahnya kasar. Suara-suara sumbang itu mulai membuat mentalnya kacau. Di benaknya terbayang wajah Umi yang lagi-lagi harus dihad
KEPERCAYAAN UMI Arini mengusap wajahnya yang memanas. Ditatapnya bayangan dirinya di depan cermin. Wajah yang makin tirus digerus oleh tempaan nasib yang membuat hidupnya makin terombang-ambing. Meski masih terlihat jelas jejak kecantikannya yang tak luntur, namun siapapun sepakat bahwa Arini terlihat makin layu. Tak cukupkah derita hidupnya selama ini? Mengapa banyak sekali orang yang berlomba-lomba membuat mentalnya jatuh seperti ini? Apakah untungnya jika Arini mendapatkan kesialan yang bertubi-tubi?Umi sudah mendengar apa yang menimpa wanita itu sepulangnya dari urusan di luar. Dia langsung mendapat laporan dari orang kepercayaannya. Wanita itu langsung memanggil Arini dan meminta penjelasan dari karyawannya itu. "Sejauh ini Umi percaya dengan apa yang kau katakan, Arini." Kalimat singkat Umi Hasyim membuat Arini tak mampu menahan lagi sesak yang dia rasakan. Wanita itu terlampau baik padanya. Bahkan dia tak menunjukkan keraguannya sedikit pun. Arini tergugu. Apa yang menimp
Pelaku Sebenarnya Pagi ini suasana mendadak gempar. Kedatangan Arini ke swalayan disambut tatapan prihatin dari beberapa temannya. Desas-desus Umi berhasil menemukan pelaku sebenarnya membuat suasana menjadi sedikit berbeda dari biasanya. "Rin, jam rehat nanti dipanggil Umi ke atas." Wulandari yang hari ini berangkat lebih awal darinya mengatakan pesan yang dia terima untuk Arini. Wajah temannya itu langsung terlihat bingung."Tenang saja. Kau aman. Pelaku sebenarnya sudah ketahuan." Ucapan Wulandari membuat mata Arini terbuka lebar. Benarkah secepat itu Umi menemukan siapa pelakunya?"Lan? Serius? Siapa?" Arini mengikuti langkah kaki Wulandari yang tengah bersiap-siap di depan cermin besar di ruang belakang khusus karyawan. Wanita itu menoleh. "Mana aku tahu, Rin. Aku pun belum dengar, hanya dengar pelakunya sudah berhasil Umi temukan. Aku senang akhirnya namamu kembali bersih." Ucapan Wulandari membuat Arini terpaku. Wulandari paham dengan ekspresi kebingungan wanita itu. "Jan
MAAF DARI ARINI "Dewi. Ada yang ingin kau katakan?" Bidikan Umi langsung tertuju ke arah wanita itu. Dewi terlihat amat syok. Wajahnya pucat pasi. Tubuhnya bergetar hebat. Tak ada aksara yang keluar dari bibirnya. Wanita yang biasa menghadiahi Arini dengan kata-kata tajam itu mendadak kehilangan daya. Arini menatapnya tak percaya. Rista sendiri terlihat tak bereaksi. "Apa tujuanmu menyembunyikan belanjaan wanita itu?" Umi kehilangan kesabarannya. Dia tak lagi bisa menunggu sampai Dewi berucap jujur. "Umi? Apakah Umi menuduhku?" Umi menegakkan tubuhnya. Dewi terlihat berkelit padahal bukti yang sudah dia dapatkan mengatakan dengan sejujurnya. "Dewi, katakan sekali lagi. Apa tujuanmu melakukan hal memalukan ini?" Umi mengeraskan kalimatnya. Wanita yang terbiasa bersikap santun dan lembut itu mendadak seperti sosok yang lain. Tentu hal ini membuat Dewi ketakutan. "U-mi. Ini salah paham. Seseorang tengah memfitnahku!" Dewi menaikkan suaranya. Dia tak terima dengan tuduhan itu. Umi
“Terima kasih.” Dewi mengucapkan terima kasih saat menyadari Arini melewati tempatnya berdiri. Wanita itu sedang membawa beberapa label harga yang harus diganti karena tanggal diskon sudah tidak berlaku lagi.“Sama-sama, Dew … tunggu!” Arini menahan tangan Dewi yang ingin pergi begitu saja. Terlihat sekali rekan kerjanya itu berusaha menghindarinya.Setelah saling bermaafan di ruangan Umi tadi, mereka bergegas kembali bekerja lagi. Umi akhirnya sepakat dengan keputusan Arini untuk memberi kesempatan pada Dewi. Umi hanya memberikan sanksi dengan memotong dua puluh lima persen gaji Dewi dan diberikan pada Arini sebagai kompensasi selama tiga bulan.“Aku tidak tahu kenapa kau sangat membenciku. Ini kesekian kalinya kau melakukan hal yang hampir membuat aku dikeluarkan. Kau ….”“Pada kenyataannya tidak ‘kan? Kau masih bekerja disini bahkan semakin menjadi anak emas.” Dewi menghentakkan tangan Arini. Dia menatap Arini sambil tersenyum sinis. Sungguh, dia muak dengan wajah polos yang selalu
Dewi mendengus kesal. Kalau tahu akan begini, mana mungkin dia mau membantu Diandra. Gajinya yang dipotong hampir sejuta setiap bulan tidak nutup dengan uang lima juta yang Diandra berikan.Diandra menjanjikan akan membayar Dewi sebesar sepuluh juta jika berhasil mengerjai Arini. Nominal yang sangat besar itu membuat Dewi tergiur. Dengan uang itu, dia bisa membeli kebutuhan rumah dan membeli mesin cuci yang sudah rusak sejak dua bulan lalu.“Kalau tidak mau uang ini, ya sudah. Baguslah aku jadi tidak keluar biaya.” Diandra menyimpan kembali amplop berisi uang ke tasnya. “Lagian, kerja nggak beres kok minta bayaran. Malu lah.”“Kalau Mbak membayar sesuai perjanjian, saya akan membongkar kalau otak kerusuhan ini adalah Mbak Diandra pada Arini. Saya juga akan mengatakan cerita ini pada Mas Yuda.” Dewi melipat tangan di dada. “Jangan salah, mantan suami Arini atau yang sekarang tunangan Mbak itu cukup sering mampir ke swalayan. Bahkan, tadi dia juga yang membantu Arini hingga rencana ini
KADO ULANG TAHUN NAYAArini tersenyum bahagia saat mengecek saldo ATMnya sudah bertambah. Gajian yang amat dia tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Bahkan dia tak sabar menunggu jam kepulangan karyawan shift pagi. Kaki jenjang wanita itu melangkah ke arah booth ATM di sudut halaman swalayan. Dia tak mampu menahan senyumnya saat membayangkan Naya yang hari ini ulangtahun akan mendapatkan kue tart impiannya. Bayangan gadis kecilnya berjingkat riang membuat mata Arini sedikit basah. Kali ini keinginan amat sederhana dari putrinya itu mampu dia wujudkan. “Mama, Naya minta kue kuda poni,” ucap Naya saat Arini tengah mendekapnya menjelang tidur. Aroma minyak telon dari tubuh putrinya menjadi candu bagi wanita itu. Setiap malam Arini tak boleh absen mengoleskan cairan itu di sekujur tubuh Naya. Entah mengapa meski sudah dinyatakan sembuh, beberapa kali dalam seminggu anak perempuannya itu pasti mengalami demam hingga membuatnya menggigil. Satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah membalur
PERTEMUAN DI TOKO KUE Arini mengeratkan tangannya pada tali tas selempang yang dia gunakan. Hatinya tersayat, meski berusaha sekali untuk dia tutupi. Beruntung posisinya yang membelakangi pasangan tersebut memungkinkannya untuk tak terlihat oleh keduanya. “Mas, teman-temanku semua akan datang. Mereka sudah penasaran dengan konsep yang sudah kusiapkan matang. Jangan menghancurkannya dengan memilihkan kue jadul seperti itu! Ayolah, Mas! Jangan membuatku badmood seperti ini! Atau aku telepon Ibu?” Diandra menggunakan cara licik untuk menekan Yuda. Dia tau sekali Yuda tak bisa berkutik saat dia membawa serta nama ibunya. “Ayolah, Di! Jangan terus-menerus mengaitkan segala persoalan kita pada Ibu. Apakah kau tak kasihan padanya? Bukankah dia pun butuh ketenangan?” Diandra menghentakkan kakinya. Beruntung tak banyak pengunjung yang ada di ruangan tersebut hingga Yuda tak perlu menahan malu akibat perbuatan calon istrinya yang masih amat kekanakan itu. “Mas. Ibu pun ingin pesta ini lai
“Mama, senyum! Lihat kemari!” ucap Rafa sambil melambaikan tangan ke arah ibunya. Sebuah buket raksasa berisi foto-foto ibunya dihadiahkan anak laki-laki itu pada Arini. Wanita itu pun memeluk buketnya meski sedikit kepayahan. Berbagai karangan bunga berisi ucapan selamat untuk para wisudawan menghiasi setiap sudut halaman auditorium yang digunakan untuk acara wisuda kali ini.Senyum Arini mengembang sempurna. Suaminya berhasil menegakkan kepala wanita yang sempat kehilangan seluruh kepercayaan dirinya. Yovan pun terlihat amat puas dengan hasil kerjanya membujuk wanita itu. Senyuman menawan laki-laki itu membuat Arini merasa begitu dicintai laki-laki pemilik hidung mancung itu.“Papa ambil posisi di sebelah Mama. Jangan lupa Mama dipeluk!”Arahan dari Rafa membuat Arini dan Yovan tertawa. Mereka takjub sekali dengan perubahan pada diri Rafa. Apalagi setelah dia diberitahu bahwa adiknya akan lahir dalam hitungan hari. Dia makin menunjukkan sikap protektifnya pada sang ibu.“Sekarang Pa
Tentang Bahagia Arini memperhatikan pantulan dirinya di depan cermin. Kebaya berwarna hijau sage dengan kain batik yang membelit tubuh bagian bawahnya tak membuat dirinya berpuas diri. Matanya berkaca-kaca saat berkali-kali memutar dirinya di depan cermin. Kehamilannya di usia sembilan bulan ini membuat berat tubuhnya melonjak drastis. Pipinya membulat sempurna, belum lagi dagu yang seolah berjumlah dua hingga membuat dia kesusahan mengenakan kerudung untuk menutupi mahkotanya.Arini menjatuhkan dirinya di atas tepian kasur. Acara wisuda yang akan dilaksanakan beberapa jam lagi tiba-tiba membuat dirinya meragu. Penampilannya yang dia nilai akan menjadi bahan tertawaan banyak orang membuat Arini hampir menyerah untuk mempersiapkan diri. Sebuah ketukan ringan dari arah pintu membuat kepalanya menoleh.“Loh, belum siap juga? Kita harus datang di gedung satu jam lagi. Kenapa toga pun belum kamu pakai?” Suara suaminya membuat Arini makin tak bisa menahan laju air matanya. Make up natural
“Diminum, Bu.” Arini meletakkan es jeruk dan setoples kue kering. Wanita itu langsung duduk di sofa yang kosong. Dia tersenyum tipis saat melihat sejak tadi tangan Ratna terus-terusan memegang tanga Rafa.“Terima kasih.” Ratna mengambil gelas dan meminumnya beberapa tegukan. Rasa asam, manis dan segar memenuhi mulut Ratna. Minuman itu cocok sekali dinikmati saat hari cerah seperti siang ini. “Sudah berapa bulan?” Ratna memperhatikan perut Arini yang mulai menyembul.“Masuk lima.” Arini refleks mengelus perut. “Apa yang mau dibicarakan, Bu? Tidak biasanya Ibu pergi sendirian. Jarak rumah kesini lumayan jauh.” Arini memperhatikan wajah Ratna yang sejak tadi tampak mendung. Mata wanita tua itu dipenuhi kabut seakan menyimpan kesedihan yang tak berujung.“Ibu mau minta maaf ….” Ucapan Ratna terpotong karena tangis. Mantan mertua Arini mendadak terisak kencang. Dia tidak bisa mengendalikan air mata saat mengingat perlakuan buruknya pada Arini dulu. “Ibu mau minta maaf atas semua kesalahan
“Jadi, nanti perut Mama akan membesar ya, Ma? Terus Adik bayinya keluar dari mana?”Arini menarik napas panjang. Rafa memang banyak bertanya setelah mengetahui kalau di perutnya ada bayi. Anak lelaki itu sangat senang sekaligus juga penasaran. Berbagai pertanyaan dia lontarkan. Pertanyaan yang kadang membuat Arini harus memutar otak dengan keras agar bisa menjawab sesuai dengan umur dan pemahaman anaknya.“Manusia akan melalui tiga alam selama hidup. Pertama, alam dunia, tempat kita saat ini. Kedua, alam barzah, tempat kita menanti hari kiamat tiba. Ketiga, alam akhirat, tempat kita mempertanggungjawabkan semua perbuatan.” Arini menjawab setelah cukup lama terdiam. “Sudah dapat pelajaran di sekolah ‘kan tentang alam-alam ini?” Arini mengelus kepala Rafa pelan.Rafa mengangguk pelan. Anak itu ingat kata guru agamanya, kalau anak nakal, nanti dia akan mendapat balasan di akhirat. Kalau mencuri tangannya akan dipotong berkali-kali. Sebaliknya, kalau dia menjadi anak rajin dan senang memb
IRI “Mas, sudah kubilang percuma kita kemari. Memang Tuhan itu belum ngasih karena dia lihat Mas Yuda belum mampu menafkahi anak kita nantinya, jadi dia lebih milih buat nunda. Kok kamu jadi maksa-maksa gini? Buang-buang waktu tahu nggak?”Diandra mendekap kedua tangannya. Baru saja dia dan Yuda sampai di sebuah klinik kandungan yang direkomendasikan salah seorang temannya. Klinik yang saat Diandra melihat list harga konsultasi dan tindakan yang dilakukan cukup membuat matanya melotot tak percaya. Rasanya sayang sekali uang sebesar itu digunakan untuk hal tidak penting seperti ini.“Mas. Mending uangnya buat liburan atau memanjakan diri di spa seharian. Paling tidak untuk senang-senang dari pada ngendon di rumah seharian. Bukan nggak mungkin gara-gara stress di rumah yang membuatku susah hamil begini!”Yuda hampir membentak istrinya jika tak menyadari posisi mereka saat ini. Rasanya telinganya gatal mendengar istrinya berbicara kasar seolah ibunyalah penyebab dia belum juga diberi ke
KECEMASAN ARINI Arini meremas tangan suaminya. Laki-laki itu tersenyum. Setelah perdebatan panjang akhirnya Arini bersedia ke klinik yang sudah direkomendasikan dokter Wisnu saat Yovan menanyakan dokter kandungan yang bagus untuk istrinya. Sebenarnya bisa saja dia membawa Arini ke klinik yang dulu selalu dia datangi bersama Raline saat istri pertamanya itu hamil.Tetapi dia mengurungkan hal tersebut demi menjaga perasaan istrinya. Pasti Arini akan merasa tak nyaman karena menganggap Yovan sengaja membawa dirinya ke tempat dimana kenangannya bersama Raline sebagian besar terekam di sana. “Mas?”“Ya?” Senyum di bibir Yovan belum juga pudar. Bayangan tentang detik-detik pertama istrinya memberikan benda yang dia angsurkan sebelumnya membuat laki-laki itu tak bisa kehilangan kebahagiannya. Arini menunjukkan trip dua pada benda yang dibeli suaminya melalui layanan aplikasi belanja online itu. Yovan yang sebelumnya berdiri menyederkan tubuhnya di tembok depan itu hampir melompat kegiranga
TEST PACKMata Yovan kembali menyipit. Dia tak tahu apa yang terjadi dengan istrinya saat ini. Yang dia lakukan langsung beranjak ke kamar mereka di lantai dua. Dia kehilangan daya saat melihat istrinya bermuram hingga tak berani sama sekali dia mendebatnya. Laki-laki itu pun merasa mati langkah saat hari liburnya justru bertepatan dengan jadwal Rafa di rumah Yuda.Laki-laki itu bahkan ingin sekali melarang anaknya pergi ke rumah ayah kandungnya jika tak ingat hal itu akan membuat suasana sejuk yang tercipta dengan laki-laki itu akan kembali memanas dan tentu akan berdampak pada hubungan mereka. Apalagi Yuda sudah menjanjikan anaknya melakukan kegiatan yang sama lagi seperti saat itu. Memancing di danau dan membakar ikan di tepian yang membuat bibir mungil Rafa tak henti-hentinya bercerita aktivitas yang menyenangkan itu.Baru saja hendak memakai kaos berwarna merah miliknya, Arini yang tiba-tiba masuk mencegah laki-laki itu.“Jangan yang itu, Mas. Warna itu merusak pandangan mataku.
SIKAP ANEH ARINIArini duduk di atas sofa ruang belakang. Tatapannya tertuju ke arah luar jendela dimana pohon palem yang berderet rapi di halaman terlihat meliuk-liuk diterpa angin. Hujan yang turun membuat pepohonan di luar sana tampak segar. Aroma petrikor yang berasal dari tanah kering yang tersiram air hujan terasa sekali di indra penciuman Arini.Tetapi kali ini reaksi yang dirasakan Arini terasa lain. Tidak seperti biasanya saat hatinya bersorak menikmati aroma khas yang keluar saat awal-awal hujan turun. Arini bahkan beranjak dari posisi duduknya saat ini demi menutup jendela berharap bau khas itu segera menghilang secepatnya.“Kucari-cari kenapa justru di sini?”Suara suaminya membuat Arini tersentak. Beberapa saat kemudian dia membetulkan anak rambut yang berkeliaran bebas di dahinya. Keheningan rumah itu membuat mood Arini mudah sekali memburuk. Suaminya itu langsung mengambil posisi berhimpitan dengannya. Aneh, seketika Arini menggeser tubuhnya hingga menambah jarak di ant
“Mama!” Rafa berteriak senang saat mobil Yovan memasuki halaman. Bocah laki-laki itu langsung berlari saat Arini keluar dari mobil. “Kangen.” Rafa tertawa-tawa saat Arini memeluknya erat-erat. Dia semakin terkekeh geli saat Arini menciumi wajahnya bertubi-tubi.“Papa.” Rafa langsung menyalami Yovan setelah berhasil lepas dari pelukan Arini. Dia mengangguk senang saat Yovan dengan mudah mengangkat tubuhnya.Disini, Yuda mengeluh pelan melihat keharmonisan keluarga di hadapannya. Rafa tampak sangat senang digendong Yovan. Sementara Arini menggandeng tangan Yovan dengan sebelah tangan menenteng paper bag biru. Keluarga kecil yang terlihat sangat harmonis. Siapapun pasti akan mengira kalau Rafa adalah anak Arini dan Yovan.“Assalamualaikum, Mas.”“Waalaikumussalam.” Lamunan Yuda terhenti mendengar salam Arini. Dia langsung berdiri dan membalas jabat tangan Arini dan Yovan. “Masuk dulu. Mama dan Diandra sedang keluar. Mama mertua mau mengadakan hajatan jadi mereka bantu-bantu.”“Kami dilua