Bab 37 – Dunia Halu Wanita“Apa aku boleh berharap semuanya itu terwujud?” tanya Mas Rayyan yang menatapku penuh harap.“Aku menunggu Mas Rayyan kembali… dan… Sahkan aku.” Aku yang sedari tadi menatapnya langsung tertunduk dan memejamkan mata.“Tunggu aku kembali Ri, insya Allah.” Mas Rayyan mengembangkan senyuman paling tampan yang dimilikinya. Senyumannya… Tatapannya… Aku terkesima menatapnya. Artis Korea mah buang jauh dah. Dia lebih keren dari mereka. Apa karena aku jatuh cinta? Apa karena mataku hanya tertuju padanya? Apapun itu, dia tetap perfect masya Allah.“Ehem… mbak Ria… mbak Ria!” Doni mengagetkanku. Membuyarkan mimpi indahku. Bukan mimpi, tapi kenyataan yang belum bisa move on. Dia menepuk bahuku berkali-kali hingga aku sadar dan menoleh ke arahnya.“Ya ya… tahu.” Gerutuku.Tidak bisa lihat orang bahagia apa? Mau menghayal aja gak boleh. Sebel!Netraku menyapu area cafe ternyata sudah penuh dengan pelanggan yang duduk di kursi. Alhamdulillah progres yang sangat bagus sej
Bab 38 – Hijrahnya Seorang Wanita “Assalamu’alaikum.” Suara Mas Rayyan yang sangat kurindukan menggema dari balik ponsel yang kupegang.“Wa’alaikumsalam Mas Rayyan.” Aku tersenyum sambil melipat kedua bibirku karena tak percaya.Jantungku berdegup kencang mendengar suaranya. Apa karena satu purnama tidak ada kabar darinya?“Alhamdulillah sepertinya ramai di cafe ya Ri?”Mungkin Mas Rayyan mendengar riuh keramaian di cafeku. Terang saja, aku pun juga harus menekan tombol loadspeaker di ponselku. Karena kalau tidak, bukannya obrolan makin romantis malah yang ada cuman suara gemuruh.“Di sana ada Mas Doni ya?” tanyanya lagi.Kulihat Doni masih sibuk dengan para wanita yang ingin berfoto dengan banner foto LeeMinHo. Idenya sih brilian. Namun kupikir lagi, lha dia malah tidak bekerja. Tugasnya itu meladeni pelanggan, bukan meladeni fans fanatik! Hadeh! Perlu dibilangin ini orang. Nanti deh.“Ya Mas, Doni membantuku alhamdulillah. Ada juga Siska di sini.” Aku menunjukkan bahwa di cafe ini
“Cewek apa cowok, Dok?” tanya Wenda yang sedari tadi berbaring di ranjang pasien sembari dokter melakukan USG.“Ya belum Bun. Ini masih sekitar 3 bulan 2 minggu. Belum kelihatan apa-apa. Alhamdulillah panjang dan beratnya normal.”“Alhamdulillah.” Timpalku yang selalu berharap keponakanku baik-baik aja. “Vitaminnya sudah habis?” Dokter mencuci tangannya pertanda dia menyudahi pemeriksaan. Wenda pun turun dari ranjang.Aku yang dari tadi duduk manis sambil menyisir seisi ruangan serba putih seperti baju Dokter Obgyn yang barusan duduk di hadapanku. Tak lama Wenda menyusul duduk di sampingku. “Tinggal 2 tablet, Dok.”“Saya tambah vitaminnya ya bun.” Dokter menulis di secarik kertas lalu menyerahkannya ke perawat di sampingnya.“Makasih Dok.” Wenda mengembangkan senyuman lalu mengambil kertas tersebut dari tangan perawat.Kami keluar dari ruangan obgyn lalu segera menuju loket pembayaran dan apotek yang letaknya bersebelahan. Kulihat raut wajah mbak Wenda tampak sumeringah. Tumben tid
“Cewek apa cowok, Dok?” tanya Wenda yang sedari tadi berbaring di ranjang pasien sembari dokter melakukan USG.“Ya belum Bun. Ini masih sekitar 3 bulan 2 minggu. Belum kelihatan apa-apa. Alhamdulillah panjang dan beratnya normal.”“Alhamdulillah.” Timpalku yang selalu berharap keponakanku baik-baik aja. “Vitaminnya sudah habis?” Dokter mencuci tangannya pertanda dia menyudahi pemeriksaan. Wenda pun turun dari ranjang.Aku yang dari tadi duduk manis sambil menyisir seisi ruangan serba putih seperti baju Dokter Obgyn yang barusan duduk di hadapanku. Tak lama Wenda menyusul duduk di sampingku. “Tinggal 2 tablet, Dok.”“Saya tambah vitaminnya ya bun.” Dokter menulis di secarik kertas lalu menyerahkannya ke perawat di sampingnya.“Makasih Dok.” Wenda mengembangkan senyuman lalu mengambil kertas tersebut dari tangan perawat.Kami keluar dari ruangan obgyn lalu segera menuju loket pembayaran dan apotek yang letaknya bersebelahan. Kulihat raut wajah mbak Wenda tampak sumeringah. Tumben tid
Aku dan Mbak Wenda duduk bersebelahan di sofa. Bola mata kami sama-sama menyorot tajam ke makhluk di depan kami. Wanita asing yang baru saja kami kenal, tepatnya kami harus terpaksa berteman dengannya karena Mas Revan yang membujuk kami.Aku masih tidak terima dengan apa yang dikatakan Mas Revan. Entah karena aku sudah terlanjur pikiranku menjadi negatif pada lelaki itu? atau karena sulit masuk logika di otakku?Aku mencoba mengingat kembali adegan saat kami semua berada di teras.“Udah Ri, kita masuk rumah aja. Gak enak sama tetangga.” Ucap Mbak Wenda yang melirik ke kanan dan ke kiri.Benar juga ya.Pandanganku beralih ke Mas Revan dan wanita itu, Diana. Aku menggerakkan kepala sedikit ke arah kanan mengkodenya untuk mengajaknya masuk.Aku dan Mbak Wenda duduk bersebelahan.Kulihat mas Revan mengarahkan Mbak Diana untuk duduk di sofa sebelah mbak Wenda, sementara dia berada di sofa terpisah dengan kami bertiga. Kami sempat diam menatap canggung satu sama lain.“Diana itu…” Ucapan Ma
“Ice matcha espresso satu, ice caramel latte satu, hot americano satu, french fraise dua. Ada tambahan lagi?” Mbak Diana mencatat di secarik kertas yang dipegangnya di tangan kiri.“Gak mbak cantik.” Ucap seorang pelanggan pria.Dia bersama dua pria lainnya yang dari tadi senyum-senyum menatap mbak Diana. “Ehem.” Seorang teman di sebelahnya duduk tiba-tiba mencolek pinggang Mbak Diana tanpa permisi.Sontak Mbak Diana kaget dan mundur selangkah.Aku sedari tadi duduk manis di kursi pelanggan paling pojok dekat ruang dapur sambil memantau cafe dengan syantik. Kulihat salah satu meja pelanggan tepat di seberangku ditempati orang-orang yang sepertinya tidak bersahabat dengan mbak Diana. Ihh dasar cowok-cowok mesum!Penampilan mereka bertiga dengan kaos oblong dan jeans robek. Ada yang tindik di telinga, ada yang di hidung, ada yang di alis. Sejak mereka datang, seperti membawa aura kegelapan di cafe ini.Duh, kenapa di hari pertama Mbak Diana kerja sebagai pelayan di sini, ada orang-ora
Aku terdiam duduk di kursi pelanggan melihat ruangan cafe telah sepi pengunjung. Astaghfirullah cobaan apa lagi ini?Ingatanku traveling saat kemarin terjadi insiden di cafe. Setelah ambulance membawa pergi pasien yang mengalami keracunan, aku melihat para pelanggan sibuk menggunjingkan cafe ini. Tatapan mereka sangat tajam seperti menusuk jantungku tapi tak berdarah.“Oh ini ya pemiliknya.”“Ya… masih muda sok belagu.”“Owalah, pantes dia sering duduk di situ, ngawasin kita.”“Dia ngawasin siapa yang mati lebih dulu.”“Eh, kan ada yang meninggal dulu, katanya satpam ditusuk.”“Ih, kok jadi angker ya.”“Kasihan, mungkin ulah hantu kali nyari korban siapa yang mati lebih dulu.”Suara-suara mereka benar-benar berisik di telingaku. Omongan mereka nyelekit sepedas cabe. Belum ada info detail apakah benar keracunan minuman dari cafe atau hal lain. Namun mereka sudah membuat cerita sendiri seakan sutradara yang memahami dan membuat alur setiap adegannya. Begini rasanya bullying verbal. “A
Sampailah kami ke Black Coffee. Belum sempat kami melangkah masuk, ada seorang seorang waitres keluar dari cafe. Aku bisa melihatnya jelas dari seragamnya. Dia menatap kami dengan mata melebar dan mengedipkannya berkali-kali. Arah pupilnya ke segala arah. Terlihat jelas pria muda itu gugup.“Maaf permisi.” Pelayan pria itu berbalik arah kembali masuk.Kulihat punggungnya saat dia berbalik. Spontan pandanganku mengarah ke leher. Tepat dugaanku, dialah pemilik tato M. Dialah pelakunya.Tak kusia-siakan kesempatan itu. Aku langsung menarik bahu kirinya agar berbalik menghadapku. Pandangan matanya heran menatapku.“Ya mbak?” Tanyanya heran.“Aku perlu… Ini…” ucapku datar."Hiyaat!" jeritku mengeluarkan tenaga dalam.Seketika itu aku melayangkan kaki kananku menendang keras ke alat vitalnya dengan sekuat tenaga.“Aaaggh!” jerit pria itu.“Aku panggil polisi!” tegasku mengancamnya.Aku melihat pria itu meringkuk merintih kesakitan sampai ke ubun-ubun. Aku mengambil kesempatan lagi untuk me
Ayash meletakkan kembali ponselnya ke dalam saku jas koko yang ia kenakan. Sudah lebih dari tiga jam Fathan dan Hamidah pergi, tapi belum ada tanda-tanda keduanya akan pulang. Barusan Ayash menelepon Fathan, pria itu mengatakan bahwa kedua anaknya masih betah jalan-jalan menikmati suasana kota."Bagaimana Bi?" tanya Raudah pada Ayash."Fathan bilang mereka masih belum mau pulang terutama kedua anaknya," jawab Ayash."Oh ya sudah kalau begitu, mungkin mereka sedang ingin menghabiskan waktu dan mencoba sesuatu yang baru yang tidak mereka temui di Mesir," ucap Raudah sambil bangkit dan berjalan ke belakang guna membuatkan minuman untuk Ayash.Selang beberapa menit Raudah sudah kembali dan duduk di samping suaminya sambil meletakkan gelas di atas meja."Tidak usah khawatir, Bi. Toh mereka pergi bersama Ustadz Yusuf, jadi pasti aman dan baik-baik saja.""Iya juga, cuma Abi heran aja, mereka kok nggak mau diantar sama kita, ya?""Mungkin karena Fathan tahu bahwa kita punya kewajiban mengaja
"Jika anda menganggap ini hutang, maka kami akan mengembalikannya. Uang dibayar dengan uang, tidak ada perjanjian bayaran yang lainnya," jawab Ayash penuh penekanan. Pengasuh pondok pesantren Almujahid itu meradang karena Hendra mempermainkannya.Mendengar jawaban dari Ayash, Hendra sontak tertawa. Pria itu sepertinya sangat puas mendengarnya."Manis sekali Ustaz. Jadi anda akan tetap mempertahankan istri anda yang cantik itu dan rela kehilangan harta benda untuk mendapatkan uang sesuai jumlah yang tertera di sini " Hendra menunjuk surat tagihan yang dulu ia berikan pada Ayash."Tentu saja, bagaimana pun kehormatan pesantren dan kehormatan diri saya dipertaruhkan disini. Jadi setelah ini saya harap urusan kita selesai." Ayash mengeluarkan uang di dalam tasnya yang dimasukkan ke dalam sebuah amplop lalu ia meletakkannya di hadapan Hendra.Sementara Hendra masih tersenyum menyeringai melihat benda yang disodorkan oleh Ayash."Bagaimana kalau saya tidak bisa menerima uang ini dan tetap m
"Eum ... ini ada tamu mencari Abi.""Tamu? Tamu siapa?""Dia bilang tidak boleh memberitahu dulu Abi. Pokoknya ini tamu dari jauh.""Oh, ya, baiklah. Abi akan segera pulang. Ini sedang dalam perjalanan." "Iya, Bi. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Sambungan telepon terputus. Ayash sedikit berpikir siapa tamu yang dimaksud oleh istrinya."Kita langsung pulang ke pesantren saja Ustaz, istri ana barusan menelepon katanya ada tamu yang sedang menunggu ana," ucap Ayash pada Ustaz Yusuf yang kali ini bertugas mengemudikan mobil."Baik Ustaz, awalnya juga kita tidak ada rencana mampir ke mana-mana 'kan" jawab Ustaz Yusuf."Iya juga, sih." Ayash terkekeh. Pikirannya sedikit kalut, pasalnya orang yang baru saja hendak dia temui dan bermaksud menyelesaikan permasalahan yang cukup menyita dan mengganggu pikirannya sedang tidak ada di tempat. Ayash kira saat ini masalah dengan Hendra sudah selesai tapi nyatanya pria itu terlalu sibuk dengan berbagai kegiatannya. Atau jangan-jangan sengaja men
Melihat pemandangan di hadapannya Ayash memalingkan wajahnya, ia tidak bisa membayangkan jika suatu saat Gaza tahu siapa sebenarnya Gus Rofiq. Bagaimana kalau anak itu berpaling darinya. Ayash tidak ingin kehilangan Ghaza, walau bagaimana anak itu sudah dia urus sejak bayi. Bagaimana ia berusaha membagi waktu antara mengajar dan menjaga bayi itu. Ayash berusaha membagi waktunya untuk menghadirkan sosok Ayah dalam kehidupan Ghaza. Hingga anak itu seakan sudah menjadi bagian dari nafasnya.Ayash tersentak ketika Ghaza kembali ke dalam pangkuannya."Apa ana boleh pergi, Abi?" Ghaza mendongak menatap wajah Ayash"Sebentar lagi, ya, temani Abi di sini," ucap Ayash sambil mengelus kepala anak sambungnya. Ia mengerti bahwa Gus Rofiq tentu masih ingin bertemu dengan anaknya, makanya Ayash berusaha menahan Ghaza supaya tidak cepat pergi.Ghaza sendiri biasanya anteng ketika Gus Rofiq datang menjenguknya. Tapi entah apa yang terjadi, kali ini anak itu meminta izin untuk cepat pergi dari sana.
"Bude Atikah itu sedang sakit, kenapa Ghaza bertanya seperti itu?""Karena Bude Atikah memakai selimut, orang yang memakai selimut 'kan orang yang kedinginan." Ghaza yang menjawab dengan mimik lucu."Bude itu sakit demam, orang yang sedang demam itu menggigil dan kedinginan meski suhu tubuhnya terasa panas, jadi Bude harus ke selimut." Raudah mencoba menjelaskan karena sepertinya Ghaza belum mengerti tentang kondisi Bude Atikah."Sekarang Ghaza duduk disini, ya, jangan nakal. Berdoa supaya Bude cepet sembuh," lanjut Raudah meminta supaya Ghaza duduk di ruang tengah sementara dia pergi ke dapur membantu abdi dalam yang sedang membereskan dapur.Sementara Ghaza menurut apa yang diperintahkan oleh Uminya, anak itu mengangguk lalu duduk di sana. Hal inilah yang membuat Raudah selalu bersyukur memiliki anak penurut dan tidak pernah membantah.Itu tak lepas dari didikannya selama ini juga didikan Bude Atikah dan Abi Ayash yang selalu mengajari Ghaza dengan penuh kasih sayang. Lagi, Raudah m
"Sekali lagi terima kasih Ustadzah. Ayo Ghaza kita masuk." Setelah berterima kasih pada Ustadzah Nara, Ayash mengulurkan tangannya dan meminta Ghaza supaya masuk rumah."Umi di mana?" tanya Ghaza karena tidak melihat Uminya, biasa' ketika dia pulang maka yang pertama menyambutnya adalah Umminya."Umi sedang beres-beres di kamar, tunggu di sini, ya!" Ayash meminta Ghaza untuk duduk di ruang tengah, sementara ia kembali ke kamarnya dan mendapat Raudah sedang bersiap akan mandi."Umi mau mandi duluan,ya," kata Raudah seraya masuk ke kamar mandi. "Ah ya, siapa yang datang?" Wanita itu urung melangkah ke kamar mandi lalu menoleh ke arah suaminya."Ghaza bersama Ustadzah Nara, katanya anak itu bersikeras ingin pulang," jawab Ayash."Sekarang Ghaza-nya di mana?" Raudah menoleh lagi ke arah suaminya."Abi memintanya menunggu di ruang tengah," sahut Ayash enteng.Lalu tanpa sengaja Raudah melirik kancing jas koko Ayash yang tidak pas."Astagfirullah, Abi!" Mata Raudah terbelalak dan tanganny
Kemudian Raudah mengusap wajahnya yang berada dibalik cadar. Ia tidak mau terus larut dalam bayangan Gus Rofiq yang sudah tidak menjadi siapa-siapanya lagi, meskipun darah pria itu mengalir di tubuh anaknya tetapi tidak sepantasnya Raudah terus mengingat dia. Wanita itu berusaha menormalkan irama jantungnya sambil terus beristighfar dan berdzikir dalam hatinya. Raudah berharap Ayash akan segera datang untuk mengalihkan perhatiannya dari Gus Ubed."Apa Bude Atikah tertidur," tanya Ayash begitu sampai di depan orang wanita yang sangat ia sayangi itu.Kedatangan Ayash cukup mengagetkan Raudah, pasalnya ia masih menormalkan ingatannya terhadap pria yang baru saja ia lihat berjalan dari kejauhan."Sepertinya Mbak Atikah memang tertidur," jawab Raudah sambil melirik pada kakak iparnya."Afwan, jika lama menunggu. Di apotek sangat mengantri. Biar ana gendong saja," ucap Ayash sambil menyerahkan obat yang baru saja ia ambil dari apotek pada Raudah lalu meraih tubuh Atikah dan menggendongnya m
Melihat Masa LaluBeberapa tahun kemudian ...."Bude Atikah tadi pagi menelepon dan dia mengatakan kalau sedang tidak enak badan," ucap Raudah kepada Ayash yang baru saja pulang mengajar kelas pagi. Beberapa hari setelah mendapatkan surat tagihan dari Hendra wajah Ayash memang terlihat murung, pria itu lebih banyak diam."Oh ya, kebetulan tadi Abi tergesa-gesa masuk kelas jadi tidak sempet mampir ke kediaman Mbak atikah," jawab Ayash.Setelah patah hatinya, ia akhirnya memutuskan kembali ke Pesantren Pamannya dan memulai hidup baru dengan melupakan Salwa. Dia bahkan menikah dengan Raudah yang dulu adalah temannya di Mesir saat sama –sama study di sana. "Setelah ini disempatkan melihat beliau, kami juga belum pergi ke sana karena baru saja selesai membereskan rumah." Yang dimaksud kami oleh Raudah adalah dirinya dan Ghaza. Ghaza adalah putra sambung Ayash yang dibawa Raudah dengan pernikahan sebelumnya. Ayash sendiri sebelum ini juga sempat menikah, akan tetapi istrinya meninggal saa
Melihat pemuda yang baru saja menghalalkannya itu kesakitan, Salwa menjadi salah tingkah. Dia ingin mendekat dan mengurangi rasa sakit itu, tapi hatinya ragu. Akhirnya Salwa hanya berdiri dengan gerakan tangan yang tak menentu."Sakali lagi, saya minta maaf, Tuan. Sungguh, saya tidak sengaja." Salwa menangkupkan kedua tangannya.Elvis nampak berpikir sejenak sebelum akhirnya dia berbicara."Sepertinya sulit untuk dimaafkan.""Saya tidak sengaja. Salah Tuan sendiri main pegang tanpa permisi." Salwa agak meradang mendengar Elvis seakan menghukumnya karena ketidaksengajaan."Baiklah, jadi aku harus meminta izin dulu?""Eum ... nggak juga ... tapi ya .... " Salwa malah bicara gugup.Elvis berjalan mendekati Salwa yang terlihat semakin salah tingkah."Tu-tuan mau apa?" "Aku mau minta izin," ujar Elvis sambil terus mendekat dan perlahan tangannya terulur menyentuh pipi gadis itu. Sementara Salwa semakin dalam menunduk. Ia mau melarang Elvis supaya jangan menyentuh pipinya tapi dia tahu ba