Aku terdiam duduk di kursi pelanggan melihat ruangan cafe telah sepi pengunjung. Astaghfirullah cobaan apa lagi ini?Ingatanku traveling saat kemarin terjadi insiden di cafe. Setelah ambulance membawa pergi pasien yang mengalami keracunan, aku melihat para pelanggan sibuk menggunjingkan cafe ini. Tatapan mereka sangat tajam seperti menusuk jantungku tapi tak berdarah.“Oh ini ya pemiliknya.”“Ya… masih muda sok belagu.”“Owalah, pantes dia sering duduk di situ, ngawasin kita.”“Dia ngawasin siapa yang mati lebih dulu.”“Eh, kan ada yang meninggal dulu, katanya satpam ditusuk.”“Ih, kok jadi angker ya.”“Kasihan, mungkin ulah hantu kali nyari korban siapa yang mati lebih dulu.”Suara-suara mereka benar-benar berisik di telingaku. Omongan mereka nyelekit sepedas cabe. Belum ada info detail apakah benar keracunan minuman dari cafe atau hal lain. Namun mereka sudah membuat cerita sendiri seakan sutradara yang memahami dan membuat alur setiap adegannya. Begini rasanya bullying verbal. “A
Sampailah kami ke Black Coffee. Belum sempat kami melangkah masuk, ada seorang seorang waitres keluar dari cafe. Aku bisa melihatnya jelas dari seragamnya. Dia menatap kami dengan mata melebar dan mengedipkannya berkali-kali. Arah pupilnya ke segala arah. Terlihat jelas pria muda itu gugup.“Maaf permisi.” Pelayan pria itu berbalik arah kembali masuk.Kulihat punggungnya saat dia berbalik. Spontan pandanganku mengarah ke leher. Tepat dugaanku, dialah pemilik tato M. Dialah pelakunya.Tak kusia-siakan kesempatan itu. Aku langsung menarik bahu kirinya agar berbalik menghadapku. Pandangan matanya heran menatapku.“Ya mbak?” Tanyanya heran.“Aku perlu… Ini…” ucapku datar."Hiyaat!" jeritku mengeluarkan tenaga dalam.Seketika itu aku melayangkan kaki kananku menendang keras ke alat vitalnya dengan sekuat tenaga.“Aaaggh!” jerit pria itu.“Aku panggil polisi!” tegasku mengancamnya.Aku melihat pria itu meringkuk merintih kesakitan sampai ke ubun-ubun. Aku mengambil kesempatan lagi untuk me
Bab 45 – Nyinyiran Orang“Hebat ya. Durasi videonya lama. Padahal adegan berkelahinya aja gak ada. Kok bisa ya.” Cibir Doni padaku sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding.“Eh, ada kok mas Doni. Ini lho keren banget.” Mbak Diana tampak tersenyum sendiri menatap layar ponselnya.“Eh, Mas Doni tetep paling keren kok. Walau cuma sedetik videonya, serangan Mas Doni di imajinasiku durasinya panjang tak berujung.” Senyum mbak Diana benar-benar terpancar hanya untuk mas Doni seorang.“Ehem… Baru aja aku dapat fans, tapi sekejap itu direbut sama actor kelas teri.” Sindirku sambil memainkan bola mata malas.Mbak Diana bakal jadi fans setia Doni nih.“Bos, aku padamu kok. Fans beratmu mmuaaah…” Siska memainkan jemarinya berbentuk hati kecil sambil mengedipkan mata genit. Aku kembali mendekatkan wajahku ke layar ponsel milik mbak Diana yang bersandar pada penyangga ponsel diatas meja.Video yang diupload tiga hari lalu itu kini viral dan viewer-nya tembus ratusan ribu. Masuk trending topik nih!
Dekorasi ruangan tampak putih dengan dihiasi bunga-bunga segar berwarna warni yang menempel pada panggung di samping aku duduk. Di depanku persis tampak beberapa lelaki yang duduk saling berhadapan. Salah satunya kulihat sosok Mas Rayyan.“Saya terima nikah dan kawinnya Ria Khadijah binti Abdurrahman dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai.” Ucap mas Rayyan sambil menyalami ayahku.“Sah?” ucap penghulu.“Sah.” Ucap saksi.Aku duduk di kursi belakang membelakangi Mas Rayyan sambil menahan isak tangis yang sulit kubendung. Ucapan Mas Rayyan benar-benar merdu di telinga. Jantung ini seperti mau copot karena debarannya tak kuasa kutahan. “Aku gak setuju!” terdengar suara mbak Wenda dari balik pintu kamar membuyarkan dunia halusinasiku. “Ihh!” gerutuku sebal.Bayangkan, lagi asik menonton film pernikahan secara syar’i sambil membayangkan diriku berada di sana. Aku merasa menjadi tokoh utama wanita yang duduk membelakangi pasangannya saat prosesi pengucapan ijab qobul. Di
Bab 47 – Kala Mentari Tertutup Awan Mendung“Mbak Wenda kasih nama bayi ini siapa?” tanyaku sambil menggendong bayi perempuan. Ny. Wenda Fatimah, nama yang tertera di kertas yang melingkar pada kaki kanan bayi mungil ini.Alhamdulillah Mbak Wenda telah melahirkan secara caesar di sebuah rumah sakit swasta. Ini sudah hari kelima kami menginap di ruang VIP. Hanya aku, mbak Wenda, dan bayi ini. Masya Allah bayi mungil ponakanku. Ingatanku melayang saat mbak Wenda berjuang keras melahirkannya.Aku dan mas Revan menunggu di luar ruang operasi. Kata Bu Dokter Ajeng, spesialis kandungan menjelaskan bahwa Mbak Wenda harus segera di caesar karena tali pusarnya melilit si bayi, sehingga denyut nadi turun.Entah kenapa tanganku menjadi dingin dan berkeringat. Apa mungkin rasa takut menyelimuti tubuh ini? Kugigit kuku berkali-kali untuk melampiaskan kecemasanku. Ini moment pertama yang aku tunggu-tunggu. Mungkin ini juga momen spesial bagi Mas Revan di sebelahku yang terpaut satu kursi.Kul
Bab 48 – Indahnya Pelangi setelah Hujan“Mbak Wenda, makan yuk.” Aku membujuknya yang berdiri di sisi pintu kamar.Kulihat Mbak Wenda meringkuk di kasur, sementara bayi perempuannya yang dibedong sedang tertidur pulas di sebelahnya.Ini sudah hari ke tiga mas Revan meninggalkan kami untuk selamanya. Aku dan Mbak Wenda tak percaya secepat itu Mas Revan pergi begitu saja tanpa mengatakan apa-apa. Mungkin dibanding denganku, mbak Wenda lebih terpukul atas kematian Mas Revan. Sudah tiga hari Mbak Wenda hanya terdiam dengan pandangan kosong. Perutnya hanya terisi dengan air putih dan susu formula ibu menyusui. Namun tidak ada satupun makanan yang masuk ke pencernaannya. Padahal aku sudah membujuknya baik dengan cara halus maupun cara kasar. Berkali-kali kuajak makan, tetapi tidak digubrisnya. Aku sekarang memahami bagaimana rasanya menjadi seorang ibu yang berusaha menyuapi anaknya yang susah makan.Aku tahu memang menyedihkan bagimu mbak Wenda, tapi tidak perlu membuat orang sekitarmu g
“Sah.” Ucap para saksi yang membuat bulu romaku berdiri.Kulihat punggung seorang pria yang duduk di kursi tepat di depanku. Gagah sekali dengan setelan jas hitam. Sementara aku memakai dress dengan balutan hijab menjuntai hingga dada. Aku didampingi mbak Wenda dan mama di sebelah kanan dan kiriku yang juga memakai kebaya. Apa ini mimpi? Gak! Ini gak lagi nonton film romantis kok. Ini nyata. Sadar Ria. Ini momen spesial untukmu. Aku masih tidak menyangka bisa menikah di KUA. Memang tidak seperti pernikahanku sebelumnya yang di gedung dengan dekorasi hiasan bunga-bunga cantik serta banyak tamu undangan dan makanan. Kali ini memang berbeda. KUA tempat sakral untukku dan Mas Rayyan.Kami sepakat memilih di KUA dengan alasan menghindari nyinyiran orang. Memang menurut orang-orang sekitar kami belum bisa memahami bagaimana bisa ada pernikahan silang antara aku dan mantan kakak iparku. Cukuplah KUA menjadi saksi pernikahan kami.“Ri, maju.” Mbak Wenda menyenggol lengan kiriku.Kulihat ba
“Revania, hati-hati jatuh nak!” Tegur Mbak Wenda yang melihat putrinya sedang mencoba menaiki tangga.Segera Mbak Wenda beranjak dari sofa dan bergegas menggendong putrinya yang berusia dua tahun. Tak lupa dia menutupnya dengan pagar kecil agar putrinya tidak menaikinya lagi.“Biarkan aja mbak.” Jawabku santai sambil menyeruput secangkir teh hangat.“Eh, ya gak gitu. Nanti kalau jatuh, kamu mau tanggung jawab Ri!” sewotnya.“Maksudku, mbak biarkan aja Revania naik tangga, gak papa. Nah, mbak jagain dari belakang.” Jelasku dengan tersenyum.“Lah, masalahnya aku lagi ngadepnya sama kamu, tante manyun!” Gerutunya sambil mengarahkan Revania ke tempat perosotan mini di ruang tengah.“Hahahha…” Aku tertawa lepas.“Nte Antik… No no no!” ucap Revania dengan gemesnya mencucu.“Tante cantik ya sayang ya. Bunda bilang tante manyun itu salah ya. Harusnya cantik ya?!” ucapku meyakinkannya sambil nyengir berseri.“Oya, udah ketemu mama papa?” tanya Mbak Wenda yang menoleh sebentar padaku lalu fokus
Ayash meletakkan kembali ponselnya ke dalam saku jas koko yang ia kenakan. Sudah lebih dari tiga jam Fathan dan Hamidah pergi, tapi belum ada tanda-tanda keduanya akan pulang. Barusan Ayash menelepon Fathan, pria itu mengatakan bahwa kedua anaknya masih betah jalan-jalan menikmati suasana kota."Bagaimana Bi?" tanya Raudah pada Ayash."Fathan bilang mereka masih belum mau pulang terutama kedua anaknya," jawab Ayash."Oh ya sudah kalau begitu, mungkin mereka sedang ingin menghabiskan waktu dan mencoba sesuatu yang baru yang tidak mereka temui di Mesir," ucap Raudah sambil bangkit dan berjalan ke belakang guna membuatkan minuman untuk Ayash.Selang beberapa menit Raudah sudah kembali dan duduk di samping suaminya sambil meletakkan gelas di atas meja."Tidak usah khawatir, Bi. Toh mereka pergi bersama Ustadz Yusuf, jadi pasti aman dan baik-baik saja.""Iya juga, cuma Abi heran aja, mereka kok nggak mau diantar sama kita, ya?""Mungkin karena Fathan tahu bahwa kita punya kewajiban mengaja
"Jika anda menganggap ini hutang, maka kami akan mengembalikannya. Uang dibayar dengan uang, tidak ada perjanjian bayaran yang lainnya," jawab Ayash penuh penekanan. Pengasuh pondok pesantren Almujahid itu meradang karena Hendra mempermainkannya.Mendengar jawaban dari Ayash, Hendra sontak tertawa. Pria itu sepertinya sangat puas mendengarnya."Manis sekali Ustaz. Jadi anda akan tetap mempertahankan istri anda yang cantik itu dan rela kehilangan harta benda untuk mendapatkan uang sesuai jumlah yang tertera di sini " Hendra menunjuk surat tagihan yang dulu ia berikan pada Ayash."Tentu saja, bagaimana pun kehormatan pesantren dan kehormatan diri saya dipertaruhkan disini. Jadi setelah ini saya harap urusan kita selesai." Ayash mengeluarkan uang di dalam tasnya yang dimasukkan ke dalam sebuah amplop lalu ia meletakkannya di hadapan Hendra.Sementara Hendra masih tersenyum menyeringai melihat benda yang disodorkan oleh Ayash."Bagaimana kalau saya tidak bisa menerima uang ini dan tetap m
"Eum ... ini ada tamu mencari Abi.""Tamu? Tamu siapa?""Dia bilang tidak boleh memberitahu dulu Abi. Pokoknya ini tamu dari jauh.""Oh, ya, baiklah. Abi akan segera pulang. Ini sedang dalam perjalanan." "Iya, Bi. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Sambungan telepon terputus. Ayash sedikit berpikir siapa tamu yang dimaksud oleh istrinya."Kita langsung pulang ke pesantren saja Ustaz, istri ana barusan menelepon katanya ada tamu yang sedang menunggu ana," ucap Ayash pada Ustaz Yusuf yang kali ini bertugas mengemudikan mobil."Baik Ustaz, awalnya juga kita tidak ada rencana mampir ke mana-mana 'kan" jawab Ustaz Yusuf."Iya juga, sih." Ayash terkekeh. Pikirannya sedikit kalut, pasalnya orang yang baru saja hendak dia temui dan bermaksud menyelesaikan permasalahan yang cukup menyita dan mengganggu pikirannya sedang tidak ada di tempat. Ayash kira saat ini masalah dengan Hendra sudah selesai tapi nyatanya pria itu terlalu sibuk dengan berbagai kegiatannya. Atau jangan-jangan sengaja men
Melihat pemandangan di hadapannya Ayash memalingkan wajahnya, ia tidak bisa membayangkan jika suatu saat Gaza tahu siapa sebenarnya Gus Rofiq. Bagaimana kalau anak itu berpaling darinya. Ayash tidak ingin kehilangan Ghaza, walau bagaimana anak itu sudah dia urus sejak bayi. Bagaimana ia berusaha membagi waktu antara mengajar dan menjaga bayi itu. Ayash berusaha membagi waktunya untuk menghadirkan sosok Ayah dalam kehidupan Ghaza. Hingga anak itu seakan sudah menjadi bagian dari nafasnya.Ayash tersentak ketika Ghaza kembali ke dalam pangkuannya."Apa ana boleh pergi, Abi?" Ghaza mendongak menatap wajah Ayash"Sebentar lagi, ya, temani Abi di sini," ucap Ayash sambil mengelus kepala anak sambungnya. Ia mengerti bahwa Gus Rofiq tentu masih ingin bertemu dengan anaknya, makanya Ayash berusaha menahan Ghaza supaya tidak cepat pergi.Ghaza sendiri biasanya anteng ketika Gus Rofiq datang menjenguknya. Tapi entah apa yang terjadi, kali ini anak itu meminta izin untuk cepat pergi dari sana.
"Bude Atikah itu sedang sakit, kenapa Ghaza bertanya seperti itu?""Karena Bude Atikah memakai selimut, orang yang memakai selimut 'kan orang yang kedinginan." Ghaza yang menjawab dengan mimik lucu."Bude itu sakit demam, orang yang sedang demam itu menggigil dan kedinginan meski suhu tubuhnya terasa panas, jadi Bude harus ke selimut." Raudah mencoba menjelaskan karena sepertinya Ghaza belum mengerti tentang kondisi Bude Atikah."Sekarang Ghaza duduk disini, ya, jangan nakal. Berdoa supaya Bude cepet sembuh," lanjut Raudah meminta supaya Ghaza duduk di ruang tengah sementara dia pergi ke dapur membantu abdi dalam yang sedang membereskan dapur.Sementara Ghaza menurut apa yang diperintahkan oleh Uminya, anak itu mengangguk lalu duduk di sana. Hal inilah yang membuat Raudah selalu bersyukur memiliki anak penurut dan tidak pernah membantah.Itu tak lepas dari didikannya selama ini juga didikan Bude Atikah dan Abi Ayash yang selalu mengajari Ghaza dengan penuh kasih sayang. Lagi, Raudah m
"Sekali lagi terima kasih Ustadzah. Ayo Ghaza kita masuk." Setelah berterima kasih pada Ustadzah Nara, Ayash mengulurkan tangannya dan meminta Ghaza supaya masuk rumah."Umi di mana?" tanya Ghaza karena tidak melihat Uminya, biasa' ketika dia pulang maka yang pertama menyambutnya adalah Umminya."Umi sedang beres-beres di kamar, tunggu di sini, ya!" Ayash meminta Ghaza untuk duduk di ruang tengah, sementara ia kembali ke kamarnya dan mendapat Raudah sedang bersiap akan mandi."Umi mau mandi duluan,ya," kata Raudah seraya masuk ke kamar mandi. "Ah ya, siapa yang datang?" Wanita itu urung melangkah ke kamar mandi lalu menoleh ke arah suaminya."Ghaza bersama Ustadzah Nara, katanya anak itu bersikeras ingin pulang," jawab Ayash."Sekarang Ghaza-nya di mana?" Raudah menoleh lagi ke arah suaminya."Abi memintanya menunggu di ruang tengah," sahut Ayash enteng.Lalu tanpa sengaja Raudah melirik kancing jas koko Ayash yang tidak pas."Astagfirullah, Abi!" Mata Raudah terbelalak dan tanganny
Kemudian Raudah mengusap wajahnya yang berada dibalik cadar. Ia tidak mau terus larut dalam bayangan Gus Rofiq yang sudah tidak menjadi siapa-siapanya lagi, meskipun darah pria itu mengalir di tubuh anaknya tetapi tidak sepantasnya Raudah terus mengingat dia. Wanita itu berusaha menormalkan irama jantungnya sambil terus beristighfar dan berdzikir dalam hatinya. Raudah berharap Ayash akan segera datang untuk mengalihkan perhatiannya dari Gus Ubed."Apa Bude Atikah tertidur," tanya Ayash begitu sampai di depan orang wanita yang sangat ia sayangi itu.Kedatangan Ayash cukup mengagetkan Raudah, pasalnya ia masih menormalkan ingatannya terhadap pria yang baru saja ia lihat berjalan dari kejauhan."Sepertinya Mbak Atikah memang tertidur," jawab Raudah sambil melirik pada kakak iparnya."Afwan, jika lama menunggu. Di apotek sangat mengantri. Biar ana gendong saja," ucap Ayash sambil menyerahkan obat yang baru saja ia ambil dari apotek pada Raudah lalu meraih tubuh Atikah dan menggendongnya m
Melihat Masa LaluBeberapa tahun kemudian ...."Bude Atikah tadi pagi menelepon dan dia mengatakan kalau sedang tidak enak badan," ucap Raudah kepada Ayash yang baru saja pulang mengajar kelas pagi. Beberapa hari setelah mendapatkan surat tagihan dari Hendra wajah Ayash memang terlihat murung, pria itu lebih banyak diam."Oh ya, kebetulan tadi Abi tergesa-gesa masuk kelas jadi tidak sempet mampir ke kediaman Mbak atikah," jawab Ayash.Setelah patah hatinya, ia akhirnya memutuskan kembali ke Pesantren Pamannya dan memulai hidup baru dengan melupakan Salwa. Dia bahkan menikah dengan Raudah yang dulu adalah temannya di Mesir saat sama –sama study di sana. "Setelah ini disempatkan melihat beliau, kami juga belum pergi ke sana karena baru saja selesai membereskan rumah." Yang dimaksud kami oleh Raudah adalah dirinya dan Ghaza. Ghaza adalah putra sambung Ayash yang dibawa Raudah dengan pernikahan sebelumnya. Ayash sendiri sebelum ini juga sempat menikah, akan tetapi istrinya meninggal saa
Melihat pemuda yang baru saja menghalalkannya itu kesakitan, Salwa menjadi salah tingkah. Dia ingin mendekat dan mengurangi rasa sakit itu, tapi hatinya ragu. Akhirnya Salwa hanya berdiri dengan gerakan tangan yang tak menentu."Sakali lagi, saya minta maaf, Tuan. Sungguh, saya tidak sengaja." Salwa menangkupkan kedua tangannya.Elvis nampak berpikir sejenak sebelum akhirnya dia berbicara."Sepertinya sulit untuk dimaafkan.""Saya tidak sengaja. Salah Tuan sendiri main pegang tanpa permisi." Salwa agak meradang mendengar Elvis seakan menghukumnya karena ketidaksengajaan."Baiklah, jadi aku harus meminta izin dulu?""Eum ... nggak juga ... tapi ya .... " Salwa malah bicara gugup.Elvis berjalan mendekati Salwa yang terlihat semakin salah tingkah."Tu-tuan mau apa?" "Aku mau minta izin," ujar Elvis sambil terus mendekat dan perlahan tangannya terulur menyentuh pipi gadis itu. Sementara Salwa semakin dalam menunduk. Ia mau melarang Elvis supaya jangan menyentuh pipinya tapi dia tahu ba