Pesantren putri gaduh. Pukul delapan malam di mana seharusnya semua santriwati belajar dengan tenang menyimak guru membaca kitab, kini penuh dengan suara teriakan memanggil nama seseorang. Pasalnya putri Kiyai Rozak menghilang. "Ning Salwa!" Seruan menggema. Bukan hanya seluruh mbak-mbak abdi ndalem, ustazah yang mengajar pun terpaksa meninggalkan kelas --dengan memberi tugas santriwati agar mereka tenang-- untuk turut mencari keberadaan Salwa, anak bungsu kyai. Salwa sudah berada di luar gerbang putri dengan mengendap-endap. Ia sengaja menggunakan pakaian hitam agar tidak mencolok pandangan di gelapnya malam. "Kenapa mereka masih memanggilku, Ning. Mbak Nayya pasti belum selesai menatar mbak-mbak itu." Salwa mengomel sambil berjalan tergesa-gesa. Gadis berusia 18 tahun itu sudah membulatkan tekad meninggalkan pesantren. Mengumpulkan seluruh keberanian menerima resiko dari pilihannya. Masalah ini harus selesai. "Aku bukan kabur Paklek, tapi menghindar sementara sebelum semua Pa
Salwa membuka kaki, tangannya telah mengepal. Posisi badan gadis itu kini sudah membentuk kuda-kuda. Tak ada jalan lain, selain duel. Apa gunanya dibantu dari preman, tapi ternyata yang menolong adalah kepalanya. Memuakkan. "Ayo, kita duel sampai mati! Mungkin aku cuma seorang wanita tapi aku adalah pelatih silat di pesantren." Tatapan mata Salwa menghunus pada Elvis. Kyai Rozak mengajarkannya untuk tidak lemah bahkan dalam kondisi terdesak. Seorang muslim itu kuat, jangan menyerah pada keadaan. Jika pun ia mati karena membela harga dirinya, maka ia mati dalam jihad. Elvis yang menyilang tangan di dada dengan santai tersenyum. Salwa terlihat sangat konyol. "Oh, jadi kamu dari pesantren.""Tidak perlu banyak bicara Tuan Preman!" ucap Salwa menekan. Ada api di matanya yang menunjukkan posisi tak gentar. "Ah, sudahlah. Ayo aku antar pulang." Elvis mengayunkan tangan, tidak ada gunanya buang waktu. Karena anak buahnya cepat atau lambat akan menemukan mereka di sana. "Apa?""Kamu ber
"Masuklah!" Elvis berjalan ke arah pintu kemudi. "Apa bagasinya sudah dibuka?" Salwa bertanya polos. "Bagasi?" Elvis menoleh. "Em." Gadis yang menggendong ransel itu mengangguk. "Untuk apa?""Supaya tak ada yang melihat, 'kan?""Hah? Hahaha. Kamu pikir kita sedang main film? Cepatlah masuk, kamu akan aman di dalam mobil bersamaku."Salwa menahan senyum karena malu. Ia terlalu kuno untuk memikirkan hal ini. Tanpa ragu lagi, masuk ke dalam mobil. Tangannya yang akan membuka pintu mobil terhenti, ketika Elvis menghardiknya. "Jangan duduk di belakang. Tapi di depan. Kamu pikir aku sopirmu!"Salwa pun urung membuka pintu belakang, beralih ke pintu depan. Mobil melaju, sesekali Elvis menekan klakson tanpa membuka kaca jendela menyapa anak buahnya yang bertebaran di terminal. Pria itu tersenyum melihat Salwa menundukkan kepala agar tak terlihat."Mereka tidak akan berani menghentikan mobil ini."Namun, gadis itu tak peduli. Ia merasa lebih aman bersembunyi. "Apa orang-orang yang Anda s
"Kamu pasti bercanda, Nona." Elvis tersenyum. "Ayo keluar lah, tidak ada wanita baik-baik yang ikut pergi preman," imbuhnya lagi sembari mencondongkan badan membuka pintu mobil di samping Salwa. Salwa sempat melotot karena tubuh mereka begitu dekat. Namun, sekarang bukan waktu tepat untuk menuruti perasaan aneh atau marah. "Em. Tidak Tuan. Tolong bawa aku jauh dari tempat ini. Setelah itu aku akan pergi." Salwa benar-benar memerlukan bantuan. "Oya, ini ada uang untuk mengganti bensinnya." Salwa merogoh dua lembar uang lima puluh ribuan di kantong kecil dalam ransel. Elvis memandang gadis itu dengan iba. Seolah masalah yang tengah dihadapi tak sesederhana yang dia pikirkan. "Aku janji akan berikan apa pun asal Tuan bisa menjauhkanku dari tempat ini.""Apa pun?" Dari sisi lain tiga santri tengah berjalan menuju gerbang putri untuk menyerahkan laporan pada ustaz Ramdhani, di mana rumah ustaz Ramdhani ada di balik pintu pertama. Ketiganya melambatkan langkah karena ada mobil sport me
Ingatan Salwa berputar pada Elvis, saat di dalam mobil menuju apartment. Pria itu memintanya menjelaskan semua masalah yang menimpanya, hingga gadis itu memilih kabur. "Tepati janjimu, kamu bilang akan memberikan apa pun. Jika tidak aku akan melaporkan pada pihak pesantren."'Pandai sekali laki-laki ini mencari kelemahan orang lain!' Salwa merutuk dalam hati. Meski kesal dengan ancaman itu, akhirnya Salwa bicara panjang lebar. "Wah, mengerikan sekali. Kupikir hanya mafia yang berebut kekuasaan, rupanya dalam pesantren juga ada yang seperti itu." Elvis merespon cerita Salwa. "Hem, betul. Ini bukan hanya soal keluarga kami. Tapi juga nama pesantren dan ribuan santri yang ada di dalamnya.""Kalau, begitu aku yakin. Paklekmu bukan hanya bergerak sendiri. Pasti ada orang luar yang berpengaruh seperti pejabat atau pengusaha kaya yang mendukung.""Entah, aku tidak yakin. Yang jelas, sekarang aku tidak bisa ada di dekat paklek tanpa Abi dan Bang Rofik." Salwa mengucap lesu. "Kalau begitu
Salwa masih tak percaya ia akan bermalam dengan pria di apartemen itu. Elvis berjalan begitu saja melewatinya dan merebahkan diri dengan nyaman di atas sofa. "Lakukan apa pun yang kamu suka, anggap aku tidak ada. Oke?!" Pria itu bicara sambil memejamkan mata menyilangkan tangan di dada. Dengan perasaan tak enak, kaki Salwa melangkah ke lemari es dan menuang minuman dari sana. Selesai dengan itu, ia segera kembali ke kamar dengan buru-buru. Memastikan pintunya terkunci rapat. Di atas ranjang, gadis itu menutupi seluruh tubuh seperti sedang ketakutan. "Dia itu preman, bagaimana jika nanti dia mabuk dan mendobrak pintu dan ... Oh Ya Allah selamatkan hamba." Salwa berpikir macam-macam. "Aku harus siap siaga." Ia pun bangkit mengambil benda kejut listrik di dalam tasnya. Pagi hari, selesai sholat subuh dan wirid. Salwa ke luar kamar. Ia menghentikan langkah, melihat Elvis yang terpejam di pangkuan seorang wanita. Wajah pria itu terlihat sangat lelah. "Stt. Pergilah ke dapur. Kakaknya
Ayash yang membawa ransel besar di punggungnya ketika akan meminta maaf dan berpamitan pada abine menghentikan langkah, saat pria sepuh itu menyebut sebuah nama dengan seseorang di ujung telepon. "Jadi Salwa ada di pusat perbelanjaan. Yah, lakukan apa pun. Tak peduli jika ia melawan dan kalian terpaksa menyakitinya, aku hanya butuh sidik jari, karena tanda tangannya bisa kupalsukan."Ketika ponsel Salwa menyala, dengan cepat kelompok mafia itu menemukan lokasinya. Mendengar itu Ayash urung melanjutkan masuk ke dalam. Ia meletakkan ransel dan berlari ke tempat yang dimaksud abine. Ayash sampai di sana tepat waktu, beberapa orang yang berjalan beriringan dengan pakaian berbeda dengan yang lain, membuat Ayash yakin bahwa mereka adalah orang-orang suruhan abine. Ia tak menyangka abine sangat jahat pada ponakannya sendiri. Pemuda itu berlari, mendekati mereka. Keributan terjadi saat salah seorang anak buah Baroon memukul Ayash. Suasana yang ramai, mengalihkan perhatian Salwa dan membua
"Ada apa, El?" Hanya dengan melihat raut wajah putranya ketika menerima telepon, wanita berdarah Inggris itu bisa menangkap kegusaran di sana."Em. Tidak apa-apa, Mi. Ini soal biasa." Elvis memaksa bibirnya untuk tersenyum. Sang ibu manggut-manggut karena itu. Ia lalu berlalu dari tiga pemuda yang kini ada di tempat tinggalnya. Wanita itu selalu punya pekerjaan di rumah yang seolah tak pernah habis. Berbeda dengan Salwa dan Ayash. Ini kali pertama mereka terlibat dengan mafia yang tadinya mereka pikir hanya preman pasar. "Apa ini ada sangkut pautnya denganku?" Salwa melebarkan mata pada Elvis. "Hem. Bisa jadi." Pria yang baru mendapat panggilan itu menjawab cepat. Tangan kekar pria itu kembali mengangkat ponsel menelepon seseorang. "Hem. Ya. Aku akan ke sana membawa gadis itu. Persiapkan diri kalian." Selesai dengan itu, ponsel kembali disimpan ke kantong celananya. "Maksudnya?" Ayash ingin tahu lebih jelas maksud Elvis. "Kamu!" Tangan anak mafia itu menunjuk pada Salwa. "Ikut d
Ayash meletakkan kembali ponselnya ke dalam saku jas koko yang ia kenakan. Sudah lebih dari tiga jam Fathan dan Hamidah pergi, tapi belum ada tanda-tanda keduanya akan pulang. Barusan Ayash menelepon Fathan, pria itu mengatakan bahwa kedua anaknya masih betah jalan-jalan menikmati suasana kota."Bagaimana Bi?" tanya Raudah pada Ayash."Fathan bilang mereka masih belum mau pulang terutama kedua anaknya," jawab Ayash."Oh ya sudah kalau begitu, mungkin mereka sedang ingin menghabiskan waktu dan mencoba sesuatu yang baru yang tidak mereka temui di Mesir," ucap Raudah sambil bangkit dan berjalan ke belakang guna membuatkan minuman untuk Ayash.Selang beberapa menit Raudah sudah kembali dan duduk di samping suaminya sambil meletakkan gelas di atas meja."Tidak usah khawatir, Bi. Toh mereka pergi bersama Ustadz Yusuf, jadi pasti aman dan baik-baik saja.""Iya juga, cuma Abi heran aja, mereka kok nggak mau diantar sama kita, ya?""Mungkin karena Fathan tahu bahwa kita punya kewajiban mengaja
"Jika anda menganggap ini hutang, maka kami akan mengembalikannya. Uang dibayar dengan uang, tidak ada perjanjian bayaran yang lainnya," jawab Ayash penuh penekanan. Pengasuh pondok pesantren Almujahid itu meradang karena Hendra mempermainkannya.Mendengar jawaban dari Ayash, Hendra sontak tertawa. Pria itu sepertinya sangat puas mendengarnya."Manis sekali Ustaz. Jadi anda akan tetap mempertahankan istri anda yang cantik itu dan rela kehilangan harta benda untuk mendapatkan uang sesuai jumlah yang tertera di sini " Hendra menunjuk surat tagihan yang dulu ia berikan pada Ayash."Tentu saja, bagaimana pun kehormatan pesantren dan kehormatan diri saya dipertaruhkan disini. Jadi setelah ini saya harap urusan kita selesai." Ayash mengeluarkan uang di dalam tasnya yang dimasukkan ke dalam sebuah amplop lalu ia meletakkannya di hadapan Hendra.Sementara Hendra masih tersenyum menyeringai melihat benda yang disodorkan oleh Ayash."Bagaimana kalau saya tidak bisa menerima uang ini dan tetap m
"Eum ... ini ada tamu mencari Abi.""Tamu? Tamu siapa?""Dia bilang tidak boleh memberitahu dulu Abi. Pokoknya ini tamu dari jauh.""Oh, ya, baiklah. Abi akan segera pulang. Ini sedang dalam perjalanan." "Iya, Bi. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Sambungan telepon terputus. Ayash sedikit berpikir siapa tamu yang dimaksud oleh istrinya."Kita langsung pulang ke pesantren saja Ustaz, istri ana barusan menelepon katanya ada tamu yang sedang menunggu ana," ucap Ayash pada Ustaz Yusuf yang kali ini bertugas mengemudikan mobil."Baik Ustaz, awalnya juga kita tidak ada rencana mampir ke mana-mana 'kan" jawab Ustaz Yusuf."Iya juga, sih." Ayash terkekeh. Pikirannya sedikit kalut, pasalnya orang yang baru saja hendak dia temui dan bermaksud menyelesaikan permasalahan yang cukup menyita dan mengganggu pikirannya sedang tidak ada di tempat. Ayash kira saat ini masalah dengan Hendra sudah selesai tapi nyatanya pria itu terlalu sibuk dengan berbagai kegiatannya. Atau jangan-jangan sengaja men
Melihat pemandangan di hadapannya Ayash memalingkan wajahnya, ia tidak bisa membayangkan jika suatu saat Gaza tahu siapa sebenarnya Gus Rofiq. Bagaimana kalau anak itu berpaling darinya. Ayash tidak ingin kehilangan Ghaza, walau bagaimana anak itu sudah dia urus sejak bayi. Bagaimana ia berusaha membagi waktu antara mengajar dan menjaga bayi itu. Ayash berusaha membagi waktunya untuk menghadirkan sosok Ayah dalam kehidupan Ghaza. Hingga anak itu seakan sudah menjadi bagian dari nafasnya.Ayash tersentak ketika Ghaza kembali ke dalam pangkuannya."Apa ana boleh pergi, Abi?" Ghaza mendongak menatap wajah Ayash"Sebentar lagi, ya, temani Abi di sini," ucap Ayash sambil mengelus kepala anak sambungnya. Ia mengerti bahwa Gus Rofiq tentu masih ingin bertemu dengan anaknya, makanya Ayash berusaha menahan Ghaza supaya tidak cepat pergi.Ghaza sendiri biasanya anteng ketika Gus Rofiq datang menjenguknya. Tapi entah apa yang terjadi, kali ini anak itu meminta izin untuk cepat pergi dari sana.
"Bude Atikah itu sedang sakit, kenapa Ghaza bertanya seperti itu?""Karena Bude Atikah memakai selimut, orang yang memakai selimut 'kan orang yang kedinginan." Ghaza yang menjawab dengan mimik lucu."Bude itu sakit demam, orang yang sedang demam itu menggigil dan kedinginan meski suhu tubuhnya terasa panas, jadi Bude harus ke selimut." Raudah mencoba menjelaskan karena sepertinya Ghaza belum mengerti tentang kondisi Bude Atikah."Sekarang Ghaza duduk disini, ya, jangan nakal. Berdoa supaya Bude cepet sembuh," lanjut Raudah meminta supaya Ghaza duduk di ruang tengah sementara dia pergi ke dapur membantu abdi dalam yang sedang membereskan dapur.Sementara Ghaza menurut apa yang diperintahkan oleh Uminya, anak itu mengangguk lalu duduk di sana. Hal inilah yang membuat Raudah selalu bersyukur memiliki anak penurut dan tidak pernah membantah.Itu tak lepas dari didikannya selama ini juga didikan Bude Atikah dan Abi Ayash yang selalu mengajari Ghaza dengan penuh kasih sayang. Lagi, Raudah m
"Sekali lagi terima kasih Ustadzah. Ayo Ghaza kita masuk." Setelah berterima kasih pada Ustadzah Nara, Ayash mengulurkan tangannya dan meminta Ghaza supaya masuk rumah."Umi di mana?" tanya Ghaza karena tidak melihat Uminya, biasa' ketika dia pulang maka yang pertama menyambutnya adalah Umminya."Umi sedang beres-beres di kamar, tunggu di sini, ya!" Ayash meminta Ghaza untuk duduk di ruang tengah, sementara ia kembali ke kamarnya dan mendapat Raudah sedang bersiap akan mandi."Umi mau mandi duluan,ya," kata Raudah seraya masuk ke kamar mandi. "Ah ya, siapa yang datang?" Wanita itu urung melangkah ke kamar mandi lalu menoleh ke arah suaminya."Ghaza bersama Ustadzah Nara, katanya anak itu bersikeras ingin pulang," jawab Ayash."Sekarang Ghaza-nya di mana?" Raudah menoleh lagi ke arah suaminya."Abi memintanya menunggu di ruang tengah," sahut Ayash enteng.Lalu tanpa sengaja Raudah melirik kancing jas koko Ayash yang tidak pas."Astagfirullah, Abi!" Mata Raudah terbelalak dan tanganny
Kemudian Raudah mengusap wajahnya yang berada dibalik cadar. Ia tidak mau terus larut dalam bayangan Gus Rofiq yang sudah tidak menjadi siapa-siapanya lagi, meskipun darah pria itu mengalir di tubuh anaknya tetapi tidak sepantasnya Raudah terus mengingat dia. Wanita itu berusaha menormalkan irama jantungnya sambil terus beristighfar dan berdzikir dalam hatinya. Raudah berharap Ayash akan segera datang untuk mengalihkan perhatiannya dari Gus Ubed."Apa Bude Atikah tertidur," tanya Ayash begitu sampai di depan orang wanita yang sangat ia sayangi itu.Kedatangan Ayash cukup mengagetkan Raudah, pasalnya ia masih menormalkan ingatannya terhadap pria yang baru saja ia lihat berjalan dari kejauhan."Sepertinya Mbak Atikah memang tertidur," jawab Raudah sambil melirik pada kakak iparnya."Afwan, jika lama menunggu. Di apotek sangat mengantri. Biar ana gendong saja," ucap Ayash sambil menyerahkan obat yang baru saja ia ambil dari apotek pada Raudah lalu meraih tubuh Atikah dan menggendongnya m
Melihat Masa LaluBeberapa tahun kemudian ...."Bude Atikah tadi pagi menelepon dan dia mengatakan kalau sedang tidak enak badan," ucap Raudah kepada Ayash yang baru saja pulang mengajar kelas pagi. Beberapa hari setelah mendapatkan surat tagihan dari Hendra wajah Ayash memang terlihat murung, pria itu lebih banyak diam."Oh ya, kebetulan tadi Abi tergesa-gesa masuk kelas jadi tidak sempet mampir ke kediaman Mbak atikah," jawab Ayash.Setelah patah hatinya, ia akhirnya memutuskan kembali ke Pesantren Pamannya dan memulai hidup baru dengan melupakan Salwa. Dia bahkan menikah dengan Raudah yang dulu adalah temannya di Mesir saat sama –sama study di sana. "Setelah ini disempatkan melihat beliau, kami juga belum pergi ke sana karena baru saja selesai membereskan rumah." Yang dimaksud kami oleh Raudah adalah dirinya dan Ghaza. Ghaza adalah putra sambung Ayash yang dibawa Raudah dengan pernikahan sebelumnya. Ayash sendiri sebelum ini juga sempat menikah, akan tetapi istrinya meninggal saa
Melihat pemuda yang baru saja menghalalkannya itu kesakitan, Salwa menjadi salah tingkah. Dia ingin mendekat dan mengurangi rasa sakit itu, tapi hatinya ragu. Akhirnya Salwa hanya berdiri dengan gerakan tangan yang tak menentu."Sakali lagi, saya minta maaf, Tuan. Sungguh, saya tidak sengaja." Salwa menangkupkan kedua tangannya.Elvis nampak berpikir sejenak sebelum akhirnya dia berbicara."Sepertinya sulit untuk dimaafkan.""Saya tidak sengaja. Salah Tuan sendiri main pegang tanpa permisi." Salwa agak meradang mendengar Elvis seakan menghukumnya karena ketidaksengajaan."Baiklah, jadi aku harus meminta izin dulu?""Eum ... nggak juga ... tapi ya .... " Salwa malah bicara gugup.Elvis berjalan mendekati Salwa yang terlihat semakin salah tingkah."Tu-tuan mau apa?" "Aku mau minta izin," ujar Elvis sambil terus mendekat dan perlahan tangannya terulur menyentuh pipi gadis itu. Sementara Salwa semakin dalam menunduk. Ia mau melarang Elvis supaya jangan menyentuh pipinya tapi dia tahu ba