Salwa berdiri tegak menatap Elvis yang kesakitan dengan perasaan benci dan jijik. ..Salwa meninggalakan Tuan Muda itu dengan masih bersungut-sungut. Elvis tak bisa mencegahnya. Menyusul pun pasti akan membuat keadaan kian runyam. Akhirnya, ia memilih diam melihat sosok gadis itu menjauhinya hingga hilang di belokan. Tak ingin larut dalam rasa khawatir, pria berusia 25 tahun itu mengeluarkan ponsel dan menelepon seseorang. "Ya, hallo! Lekas kemari dan awasi gadis itu!" serunya pada seorang pria yang biasa berjaga di dekat apartemen mami dan kakaknya. Setelah merasa lebih baik, Elvis bangkit dan berdiri tegak dengan meringis karena nyeri yang dirasa belum sepenuhnya hilang. Melihat dari kejauhan, keributan masih berlangsung langkahnya dengan cepat menuju ke sana. Setelah sebelumnya ia menelepon lebih banyak bala bantuan untuk menyeimbangi kelompok "Black Wolf."Di tempat lain, Salwa terus berjalan. Ia tak peduli ada sepasang mata yang mengintainya, karena kenyataannya ia tahu betu
"Soal ituuu ... sudahlah. Ini keadaan darurat. Apa golongan darahnya?""A.""Aku juga A. Tunggu!" Salwa berlari tergesa ke kamar untuk berganti pakaian dan memakai cadarnya. Saking khawatirnya, lupa beberapa waktu lalu berseteru dengan Elvis dan mengatakan tak ingin pergi dengan pria itu. Mobil terus melaju membelah jalanan kota. Pandangan Salwa melihat ke luar jendela, di mana kerusuhan tadi pagi terjadi. Ia menghela napas begitu ingat kejadian tadi pagi dengan Elvis. Jika dipikir, tawuran yang terjadi sangat brutal. Bisa saja musuh Elvis menangkap mereka jika Salwa berteriak dan mendorong tubuh Elvis ke luar dari sela pagar. "Sepertinya kita butuh satu wanita lagi, agar kamu tidak canggung dan berpikir buruk tentangku. Banyak hal yang harus kita selesaikan. Jadi mau tak mau kita akan terus bekerja sama dan pergi bersama." Elvis mengucap datar sambil menyetir. Meski merasa benar, ia berusaha memahami posisi Salwa yang begitu keras menjaga kehormatan nya. "Hem. Aku setuju, tapi aku
Abine mengangkat ponsel yang berdering. Tak ia hiraukan ketika seorang santri membawakannya segelas minuman, lantas meminta santri itu enyah segera, dengan isyarat tangan. Takut kalau-kalau perbincangan dengan orang di ujung telepon terdengar. "Anda boleh saja rakus, tapi tidak seharusnya bodoh." Ucapan papi Elvis menekan begitu saja tanpa ada kalimat pembuka. "Apa maksud njenengan?" Dahi yang mulai terlihat garis keriput milik abine berkerut-kerut. Ingin marah lantaran makian yang didapat, tapi apa daya? Ia mengerti bahwa mafia sekelas Bramanta tidak memerlukan adab dalam bicara, jika pun melawan dan membuatnya kesal bisa-bisa nyawa lah yang melayang."Hubungi nomor ponakanmu!" seru Bramanta sebelum menutup panggilan.Menurutnya kiai penjilat pejabat itu bukan hanya sampah tak tahu diri, tapi juga otaknya tidak berfungsi dengan benar. Bagaimana dia tidak curiga sedikitpun mengenai keberadaan Salwa, padahal nomor gadis itu masih aktif hingga sekarang. Abine menatap ponsel dengan h
Seorang pria dengan jaket hoddie dan ransel melekat di punggung ikut berjubel di antara santri dalam masjid. Di pesantren tersebut memang sholat berjamaah setiap waktu, dan memberi kesempatan orang dari luar pesantren bisa ikut serta dengan bebas."Yah, memang kasian sekali. Siapa yang sangka begitu besar ujian Kiai kami, Mas." Seorang santri menutup penuturannya dengan raut yang meredup. Beruntung santri tersebut tidak mengenalinya setelah jambangnya dibiarkan tumbuh lebat di wajah tampan pria berdarah Jawa itu. Puas ia mencari tahu tentang keluarga pesantren yang dirundung masalah besar. Sang Kiai, pimpinan pesantren yang sakit dan belum diperbolehkan pulang ditambah Ning mereka yang kecelakaan. Pasalnya gadis itu kabur, barangkali tak tahan sikap Abine yang banyak mengatur dibanding orang tuanya. Terakhir Ning mereka dikabarkan kabur dengan seorang pria, siapa yang tahu dia mati dibunuh oleh pria tersebut belum lagi sang kakak, Gus Thariq yang diisukan hilang setelah kabur dari te
Rofiq sangat bahagia, bahwa ternyata adik yang dia pikir telah mati, kini berdiri di hadapannya. Meski ada pria lain di sisinya. Tapi tetap saja, hubungan keduanya harus diluruskan. Walau pun calon suami, tapi mereka belum halal untuk berduaan seperti sekarang.Rofiq makin tak mengerti dengan jalan pikiran adiknya, mungkin kah gosip di pesantren itu benar, bahwa Salwa telah berubah karena jatuh cinta pada pria yang tak tepat. "Eum, maaf Bang. Salwa terpaksa melakukan ini." Salwa seketika merasa bersalah. Hanya saja dia memilki alasan melakukan hal yang membuat Rofiq bertanya-tanya."Terpaksa?""Ya, karena Salwa memerlukan perlindungan?" sahutnya.Rofiq mendesah. Jika ia memerlukan perlindungan, kenapa harus pada pemuda berpenampilan fuck boy di depannya? Ia tahu bahwa tipikal seperti itu adalah pria yang suka mempermainkan hati wanita."Kenalkan saya Elvis." Tanpa ragu Elvis menyodorkan tangannya pada seseorang yang membuat Salwa tampak bahagia. Seseorang yang membuat Salwa lebih be
"Salwa adalah gadis baik, itu kenapa aku hanya ingin memberikan yang terbaik untuknya." Kiai terus bicara, mengingat banyak hal mengenai Salwa. Tentang kebaikan gadis itu, dan sederet rencana besar yang dipersiapkan. Namun, siapa yang sangka bahwa takdir berjalan di rel lain dari pada rencananya.Sementara itu, pikiran Ayash juga mengembara jauh. Membayangkan di mana posisinya sekarang. Bahwa Elvis tampak memilliki ketertarikan besar pada Salwa, calon istrinya. Hem, ya ... Ayash bisa menganggap begitu, sebab ucapan Kiai tadi.______________Di tempat lain ...."Sebaiknya kita pergi dari tempat ini sekarang!" ajak Elvis yang merasa bahwa mereka sekarang sedang tidak aman. Tak ada satu pun yang menjamin, bahwa papinya tidak mengirim mata-mata atau pun penyadap yang entah dipasang di mana. Sejak mengenal dunia mafia sejak kecil, kecanggihan teknologi terus berkembang. Terutama di dunia mereka.Rofiq yang merasa banyak hal terjadi dan belum jelas baginya, sontake menoleh ke arah Elvis.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku." Rofiq menoleh sebentar pada orang yang duduk mengemudi di sampingnya.Lalu melihat pada Salwa yang duduk di kursi belakang. Rofiw mendesah. Lalu mengeluh pelan sambil geleng-geleng."Kalian pasti telah banyak melewati waktu berduaan begini."Salwa tersenyum tipis. Yang dikata sang kakak benar. Mereka telah melalui banyak hal bersama. Keadaan seolah memaksa mereka untuk terus bersama-sama. Padahal status mereka bukan siapa-siapa, yang dibolehkan untuk terus-terusan berkhalwat."Benar, Bang. Itu alasan kami ingin mengikatnya dengan ikatan halal." Salwa mengucap dengan tenang. Tak ingin terdengar oleh Elvis sebagai sebuah hal yang diingini."Hem. Dia benar." Elvis menyahut. "Jujur saya risih setiap kali dia mengatakan. 'Jangan dekat-dekat! Jangan ini! Jangan itu!' Huft! Dia pikir saya ini pria cabul. Anggapan itu menjatuhkan harga diri saya." "Hisss." Salwa mendesis kesal karena jawaban Elvis. Pria itu paling bisa bicara asal."Hemh. Ya. Aku suka cara
Tanpa menunggu lama, Elvis memutar balik mobilnya. Meski pun belum tahu kemana tujuannya saat ini. Yang penting mereka harus menjauh dulu dari tempat ini, karena khawatir anak buah Papinya akan mengetahui kehadiran mereka."Sial!" Pria itu memukul setir sementara pandangannya lurus ke depan."Ada apa?" tanya Salwa sambil menatap punggung pria itu.Elvis terlihat membuang pandangan ke luar jendela mobil. Lalu menghela panjang sebelum kemudian dia berkata."Anak buah Papi berjaga di sekitar apartemen Mami."Salwa melebarkan mata sambil memegang dadanya, sementara Rofiq memandang pria di sampingnya yang fokus memegang kemudi dengan tatapan keheranan. Hatinya semakin tak yakin menyerahkan adiknya kepada pria ini."Terus, sekarang kita akan ke mana?" tanya Salwa lemah."Sedang aku pikirkan, saat ini memang hanya tempat Mami yang aman, tapi sepertinya Papi sudah mulai curiga.""Salwa, apa kamu yakin dengan keputusanmu, dek?" tanya Rofiq sambil melirik Elvis."Bang, jangan dulu membahas itu,
Ayash meletakkan kembali ponselnya ke dalam saku jas koko yang ia kenakan. Sudah lebih dari tiga jam Fathan dan Hamidah pergi, tapi belum ada tanda-tanda keduanya akan pulang. Barusan Ayash menelepon Fathan, pria itu mengatakan bahwa kedua anaknya masih betah jalan-jalan menikmati suasana kota."Bagaimana Bi?" tanya Raudah pada Ayash."Fathan bilang mereka masih belum mau pulang terutama kedua anaknya," jawab Ayash."Oh ya sudah kalau begitu, mungkin mereka sedang ingin menghabiskan waktu dan mencoba sesuatu yang baru yang tidak mereka temui di Mesir," ucap Raudah sambil bangkit dan berjalan ke belakang guna membuatkan minuman untuk Ayash.Selang beberapa menit Raudah sudah kembali dan duduk di samping suaminya sambil meletakkan gelas di atas meja."Tidak usah khawatir, Bi. Toh mereka pergi bersama Ustadz Yusuf, jadi pasti aman dan baik-baik saja.""Iya juga, cuma Abi heran aja, mereka kok nggak mau diantar sama kita, ya?""Mungkin karena Fathan tahu bahwa kita punya kewajiban mengaja
"Jika anda menganggap ini hutang, maka kami akan mengembalikannya. Uang dibayar dengan uang, tidak ada perjanjian bayaran yang lainnya," jawab Ayash penuh penekanan. Pengasuh pondok pesantren Almujahid itu meradang karena Hendra mempermainkannya.Mendengar jawaban dari Ayash, Hendra sontak tertawa. Pria itu sepertinya sangat puas mendengarnya."Manis sekali Ustaz. Jadi anda akan tetap mempertahankan istri anda yang cantik itu dan rela kehilangan harta benda untuk mendapatkan uang sesuai jumlah yang tertera di sini " Hendra menunjuk surat tagihan yang dulu ia berikan pada Ayash."Tentu saja, bagaimana pun kehormatan pesantren dan kehormatan diri saya dipertaruhkan disini. Jadi setelah ini saya harap urusan kita selesai." Ayash mengeluarkan uang di dalam tasnya yang dimasukkan ke dalam sebuah amplop lalu ia meletakkannya di hadapan Hendra.Sementara Hendra masih tersenyum menyeringai melihat benda yang disodorkan oleh Ayash."Bagaimana kalau saya tidak bisa menerima uang ini dan tetap m
"Eum ... ini ada tamu mencari Abi.""Tamu? Tamu siapa?""Dia bilang tidak boleh memberitahu dulu Abi. Pokoknya ini tamu dari jauh.""Oh, ya, baiklah. Abi akan segera pulang. Ini sedang dalam perjalanan." "Iya, Bi. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Sambungan telepon terputus. Ayash sedikit berpikir siapa tamu yang dimaksud oleh istrinya."Kita langsung pulang ke pesantren saja Ustaz, istri ana barusan menelepon katanya ada tamu yang sedang menunggu ana," ucap Ayash pada Ustaz Yusuf yang kali ini bertugas mengemudikan mobil."Baik Ustaz, awalnya juga kita tidak ada rencana mampir ke mana-mana 'kan" jawab Ustaz Yusuf."Iya juga, sih." Ayash terkekeh. Pikirannya sedikit kalut, pasalnya orang yang baru saja hendak dia temui dan bermaksud menyelesaikan permasalahan yang cukup menyita dan mengganggu pikirannya sedang tidak ada di tempat. Ayash kira saat ini masalah dengan Hendra sudah selesai tapi nyatanya pria itu terlalu sibuk dengan berbagai kegiatannya. Atau jangan-jangan sengaja men
Melihat pemandangan di hadapannya Ayash memalingkan wajahnya, ia tidak bisa membayangkan jika suatu saat Gaza tahu siapa sebenarnya Gus Rofiq. Bagaimana kalau anak itu berpaling darinya. Ayash tidak ingin kehilangan Ghaza, walau bagaimana anak itu sudah dia urus sejak bayi. Bagaimana ia berusaha membagi waktu antara mengajar dan menjaga bayi itu. Ayash berusaha membagi waktunya untuk menghadirkan sosok Ayah dalam kehidupan Ghaza. Hingga anak itu seakan sudah menjadi bagian dari nafasnya.Ayash tersentak ketika Ghaza kembali ke dalam pangkuannya."Apa ana boleh pergi, Abi?" Ghaza mendongak menatap wajah Ayash"Sebentar lagi, ya, temani Abi di sini," ucap Ayash sambil mengelus kepala anak sambungnya. Ia mengerti bahwa Gus Rofiq tentu masih ingin bertemu dengan anaknya, makanya Ayash berusaha menahan Ghaza supaya tidak cepat pergi.Ghaza sendiri biasanya anteng ketika Gus Rofiq datang menjenguknya. Tapi entah apa yang terjadi, kali ini anak itu meminta izin untuk cepat pergi dari sana.
"Bude Atikah itu sedang sakit, kenapa Ghaza bertanya seperti itu?""Karena Bude Atikah memakai selimut, orang yang memakai selimut 'kan orang yang kedinginan." Ghaza yang menjawab dengan mimik lucu."Bude itu sakit demam, orang yang sedang demam itu menggigil dan kedinginan meski suhu tubuhnya terasa panas, jadi Bude harus ke selimut." Raudah mencoba menjelaskan karena sepertinya Ghaza belum mengerti tentang kondisi Bude Atikah."Sekarang Ghaza duduk disini, ya, jangan nakal. Berdoa supaya Bude cepet sembuh," lanjut Raudah meminta supaya Ghaza duduk di ruang tengah sementara dia pergi ke dapur membantu abdi dalam yang sedang membereskan dapur.Sementara Ghaza menurut apa yang diperintahkan oleh Uminya, anak itu mengangguk lalu duduk di sana. Hal inilah yang membuat Raudah selalu bersyukur memiliki anak penurut dan tidak pernah membantah.Itu tak lepas dari didikannya selama ini juga didikan Bude Atikah dan Abi Ayash yang selalu mengajari Ghaza dengan penuh kasih sayang. Lagi, Raudah m
"Sekali lagi terima kasih Ustadzah. Ayo Ghaza kita masuk." Setelah berterima kasih pada Ustadzah Nara, Ayash mengulurkan tangannya dan meminta Ghaza supaya masuk rumah."Umi di mana?" tanya Ghaza karena tidak melihat Uminya, biasa' ketika dia pulang maka yang pertama menyambutnya adalah Umminya."Umi sedang beres-beres di kamar, tunggu di sini, ya!" Ayash meminta Ghaza untuk duduk di ruang tengah, sementara ia kembali ke kamarnya dan mendapat Raudah sedang bersiap akan mandi."Umi mau mandi duluan,ya," kata Raudah seraya masuk ke kamar mandi. "Ah ya, siapa yang datang?" Wanita itu urung melangkah ke kamar mandi lalu menoleh ke arah suaminya."Ghaza bersama Ustadzah Nara, katanya anak itu bersikeras ingin pulang," jawab Ayash."Sekarang Ghaza-nya di mana?" Raudah menoleh lagi ke arah suaminya."Abi memintanya menunggu di ruang tengah," sahut Ayash enteng.Lalu tanpa sengaja Raudah melirik kancing jas koko Ayash yang tidak pas."Astagfirullah, Abi!" Mata Raudah terbelalak dan tanganny
Kemudian Raudah mengusap wajahnya yang berada dibalik cadar. Ia tidak mau terus larut dalam bayangan Gus Rofiq yang sudah tidak menjadi siapa-siapanya lagi, meskipun darah pria itu mengalir di tubuh anaknya tetapi tidak sepantasnya Raudah terus mengingat dia. Wanita itu berusaha menormalkan irama jantungnya sambil terus beristighfar dan berdzikir dalam hatinya. Raudah berharap Ayash akan segera datang untuk mengalihkan perhatiannya dari Gus Ubed."Apa Bude Atikah tertidur," tanya Ayash begitu sampai di depan orang wanita yang sangat ia sayangi itu.Kedatangan Ayash cukup mengagetkan Raudah, pasalnya ia masih menormalkan ingatannya terhadap pria yang baru saja ia lihat berjalan dari kejauhan."Sepertinya Mbak Atikah memang tertidur," jawab Raudah sambil melirik pada kakak iparnya."Afwan, jika lama menunggu. Di apotek sangat mengantri. Biar ana gendong saja," ucap Ayash sambil menyerahkan obat yang baru saja ia ambil dari apotek pada Raudah lalu meraih tubuh Atikah dan menggendongnya m
Melihat Masa LaluBeberapa tahun kemudian ...."Bude Atikah tadi pagi menelepon dan dia mengatakan kalau sedang tidak enak badan," ucap Raudah kepada Ayash yang baru saja pulang mengajar kelas pagi. Beberapa hari setelah mendapatkan surat tagihan dari Hendra wajah Ayash memang terlihat murung, pria itu lebih banyak diam."Oh ya, kebetulan tadi Abi tergesa-gesa masuk kelas jadi tidak sempet mampir ke kediaman Mbak atikah," jawab Ayash.Setelah patah hatinya, ia akhirnya memutuskan kembali ke Pesantren Pamannya dan memulai hidup baru dengan melupakan Salwa. Dia bahkan menikah dengan Raudah yang dulu adalah temannya di Mesir saat sama –sama study di sana. "Setelah ini disempatkan melihat beliau, kami juga belum pergi ke sana karena baru saja selesai membereskan rumah." Yang dimaksud kami oleh Raudah adalah dirinya dan Ghaza. Ghaza adalah putra sambung Ayash yang dibawa Raudah dengan pernikahan sebelumnya. Ayash sendiri sebelum ini juga sempat menikah, akan tetapi istrinya meninggal saa
Melihat pemuda yang baru saja menghalalkannya itu kesakitan, Salwa menjadi salah tingkah. Dia ingin mendekat dan mengurangi rasa sakit itu, tapi hatinya ragu. Akhirnya Salwa hanya berdiri dengan gerakan tangan yang tak menentu."Sakali lagi, saya minta maaf, Tuan. Sungguh, saya tidak sengaja." Salwa menangkupkan kedua tangannya.Elvis nampak berpikir sejenak sebelum akhirnya dia berbicara."Sepertinya sulit untuk dimaafkan.""Saya tidak sengaja. Salah Tuan sendiri main pegang tanpa permisi." Salwa agak meradang mendengar Elvis seakan menghukumnya karena ketidaksengajaan."Baiklah, jadi aku harus meminta izin dulu?""Eum ... nggak juga ... tapi ya .... " Salwa malah bicara gugup.Elvis berjalan mendekati Salwa yang terlihat semakin salah tingkah."Tu-tuan mau apa?" "Aku mau minta izin," ujar Elvis sambil terus mendekat dan perlahan tangannya terulur menyentuh pipi gadis itu. Sementara Salwa semakin dalam menunduk. Ia mau melarang Elvis supaya jangan menyentuh pipinya tapi dia tahu ba