"Kamu belum menjawab pertanyaanku." Rofiq menoleh sebentar pada orang yang duduk mengemudi di sampingnya.Lalu melihat pada Salwa yang duduk di kursi belakang. Rofiw mendesah. Lalu mengeluh pelan sambil geleng-geleng."Kalian pasti telah banyak melewati waktu berduaan begini."Salwa tersenyum tipis. Yang dikata sang kakak benar. Mereka telah melalui banyak hal bersama. Keadaan seolah memaksa mereka untuk terus bersama-sama. Padahal status mereka bukan siapa-siapa, yang dibolehkan untuk terus-terusan berkhalwat."Benar, Bang. Itu alasan kami ingin mengikatnya dengan ikatan halal." Salwa mengucap dengan tenang. Tak ingin terdengar oleh Elvis sebagai sebuah hal yang diingini."Hem. Dia benar." Elvis menyahut. "Jujur saya risih setiap kali dia mengatakan. 'Jangan dekat-dekat! Jangan ini! Jangan itu!' Huft! Dia pikir saya ini pria cabul. Anggapan itu menjatuhkan harga diri saya." "Hisss." Salwa mendesis kesal karena jawaban Elvis. Pria itu paling bisa bicara asal."Hemh. Ya. Aku suka cara
Tanpa menunggu lama, Elvis memutar balik mobilnya. Meski pun belum tahu kemana tujuannya saat ini. Yang penting mereka harus menjauh dulu dari tempat ini, karena khawatir anak buah Papinya akan mengetahui kehadiran mereka."Sial!" Pria itu memukul setir sementara pandangannya lurus ke depan."Ada apa?" tanya Salwa sambil menatap punggung pria itu.Elvis terlihat membuang pandangan ke luar jendela mobil. Lalu menghela panjang sebelum kemudian dia berkata."Anak buah Papi berjaga di sekitar apartemen Mami."Salwa melebarkan mata sambil memegang dadanya, sementara Rofiq memandang pria di sampingnya yang fokus memegang kemudi dengan tatapan keheranan. Hatinya semakin tak yakin menyerahkan adiknya kepada pria ini."Terus, sekarang kita akan ke mana?" tanya Salwa lemah."Sedang aku pikirkan, saat ini memang hanya tempat Mami yang aman, tapi sepertinya Papi sudah mulai curiga.""Salwa, apa kamu yakin dengan keputusanmu, dek?" tanya Rofiq sambil melirik Elvis."Bang, jangan dulu membahas itu,
Mendengar tanggapan Kiai yang menjadi panutannya perihal rencana pernikahan Ning Salwa dan pemuda bertato di hadapannya, membuat Ayash ingin menepuk dada sekarang juga. Karena dia sangat yakin bahwa Kiai Rozak tidak akan sembarangan menikahkan putrinya dengan pemuda seperti Elvis.Tapi dia hanya bisa bersorak di dalam hati, mengingat di sini tidak hanya ada dirinya dan pemuda itu. Tapi ada kiai Rozak yang tentu saja kehadiran beliau membuat Ayash tidak bisa berbuat luasa."Maaf Yai, apa sebaiknya kiai beristirahat di dalam saja. Mengingat kiai baru saja keluar dari rumah sakit." Ayash menunduk sambil mengarahkan jempol kanannya ke dalam kamar."Iya, apa yang dikatakan Ayash betul. Abi masih harus banyak beristirahat. Ayok, Bi, Rofiq bantu."Rofiq meraih tangan kiai Rozak dan membawanya ke dalam kamar."Abi masih ingin bercerita dengan kalian, masih belum hilang rindu ini kepada anak-anak Abi, " bisik kiai Rozak sambil melangkah perlahan."Iya, Bi. Kami akan menemani Abi beristirahat,"
Elvis menjalankan mobil seperti kesetanan. Dia geram pada pemuda bernama Ayash yang bersikap seenaknya terhadap dirinya."Dia pikir dia siapa? Bisa mengusirku seenaknya hanya karena dia muridnya kiai." Elvis memukul setir, berkali-kali menghela dan membuang nafas kasar.Mobilnya terus melesat membelah jalanan kota yang ramai menjelang siang ini. Sesekali dia membunyikan klakson dengan emosi, ketika ada yang menghalangi aksi kebut-kebutannya.Tiba di area apartemen milik Mami, dia berhenti sejenak ketika melihat anak buah Papinya masih berjaga-jaga di sana."Sial! Sebenarnya apa maunya si tua itu? Apa dia mau bermain-main dengan anak kecil ini?" umpatnya di dalam hati.Dia memutar otak, mencari cara supaya bisa mengelabui anak buah Papinya itu. Mereka tentu akan melaporkan apapun tentang apa saja yang dilihatnya.Perlahan Elvis turun dari mobil lalu membanting pintunya dengan keras. Sontak membuat mereka yang berjaga melihat ke arahnya. Para preman itu serempak berdiri dan saling panda
"Sebaiknya kita cepat pergi dari sini, Gus. Khawatir menimbulkan kecurigaan." Ayash berbisik kepada Rofiq sambil melihat sekeliling mesjid yang sudah lengang."Baiklah, kami permisi dulu. Tetap awasi keadaan pesantren karena lain waktu kami akan datang lagi ke sini.""Baik kang."Keduanya lalu melangkah diam-diam dan berusaha untuk bersikap natural untuk menghindari kecurigaan. Namun di luar dugaan mereka, seorang santri tiba-tiba berteriak."Kang Ayash!"Ayash yang merasa namanya dipanggil sontak berhenti, dia lupa kalau mereka sedang menyamar."Jangan menoleh!" bisik Rofiq reflek.Ayash baru menyadari kecerobohannya lalu berjongkok pura-pura membetulkan sepatu. Sehingga kesannya barusan dia berhenti bukan karena ada yang memanggil tapi karena akan membetulkan sepatunya.Beberapa saat kemudian Ayash bangkit lagi lalu keduanya kembali berjalan, kali ini dengan agak tergesa-gesa. Beruntung begitu sampai ke tepi jalan ada angkutan umum yang lewat, jadi mereka bisa langsung naik ke da
Sebenarnya bukan jawaban itu yang diharapkan kiai. Beliau berharap Salwa berkata kalau dia tidak akan pergi kemana pun dan akan menikah dengan siapapun, kecuali pilihan Abinya."Sebenarnya kalau boleh meminta, Abi tidak ingin kamu pergi jauh-jauh setelah menikah nanti.""Maksud Abi, siapapun yang menjadi jodoh Salwa, maka dia harus mau tinggal di pesantren?" tanya Salwa sedikit ragu, karena dia berpikir bukan itu maksud Abinya.Kiai Rozak tersenyum tipis, lalu duduk memperhatikan putrinya yang cekatan meracik makanan."Bukan itu yang Abi maksud, Nduk."Salwa yang sedang dalam posisi membelakangi Abinya, sejenak menghentikan aktivitasnya. Hatinya berdebar kencang menanti kalimat Kiai selanjutnya. Bagaimana kalau Abinya ingin menyampaikan bahwasanya beliau telah menyiapkan jodoh untuknya.Namun hingga beberapa saat, sang Kiai tidak terdengar melanjutkan kalimatnya. Penasaran Salwa menoleh ke belakang dan tidak mendapati siapapun di sana.Sebelah tangannya terangkat lalu mengusap dada sa
"Huft." Elvis membuang napas kasar karena bosan.Lebih tepatnya bosan dan gelisah.Pergantian siang ke malam terasa lambat bagi hati yang mendamba perjumpaan. Begitupun sebaliknya, malam hanya menyisakan dingin dan gelapnya saja, tanpa bisa membawanya terlelap.Di antara bintang dan bulan yang yang hanya bisa berdampingan tanpa bisa bersatu, ada beribu kidung rindu dia titipkan pada gemerisik angin malam untuk hati yang selalu membayangi malamnya.Hingga langit timur menjadi jingga kembali dan perlahan berubah menjadi lebih terang, pemuda itu masih duduk di atas kursi malasnya menghadap jendela kaca besar di dalam kamarnya.Seperti malam-malam sebelumnya dia hanya diam memperhatikan langit malam di ketinggian apartemen milik Maminya. Di sana seakan dia melihat mata indah milik gadis yang telah mencuri hatinya. Manik hitam yang kerap melebar kala diam-diam dia memperhatikannya. Gadis yang selalu menjaga diri dan hatinya untuk tidak mudah luluh pada tatapan mata birunya. Ya, Elvis sang
***Pasca kedatangan pemuda berwajah blesteran tadi sore, malam ini Abine nampak gelisah. Berkali-kali dia bangun dari tidurnya lalu duduk di kursi dekat jendela. Tak lama dia kembali tidur terlentang di samping istrinya yang sudah terlelap.Dia teringat ucapan pemuda itu tentang ayahnya yang merupakan orang kepercayaan dalam hal melancarkan aksinya.Dia tahu siapa Bramanta, hanya sebatas orang yang bisa dia andalkan untuk berbuat sesuai perintahnya. Tapi ucapan Elvis tadi sore telah membuka hatinya tentang satu hal, bahwa orang jahat seperti Bramanta bisa tiba-tiba berubah menjadi berbahaya.Karena sajatinya tidak ada persekongkolan yang murni karena solidaritas antar orang-orang jahat. Yang ada mereka hanya akan bergerak berdasarkan kepentingan dan kebutuhan semata.Abine kembali duduk dan mengusap wajahnya. Rupanya aksinya yang berkali-kali bangun dan tidur telah mengganggu nyenyak tidur sang istri."Abine, apakah ada yang mengganggu pikiranmu?" tanya umine seraya ikut duduk di ata
Ayash meletakkan kembali ponselnya ke dalam saku jas koko yang ia kenakan. Sudah lebih dari tiga jam Fathan dan Hamidah pergi, tapi belum ada tanda-tanda keduanya akan pulang. Barusan Ayash menelepon Fathan, pria itu mengatakan bahwa kedua anaknya masih betah jalan-jalan menikmati suasana kota."Bagaimana Bi?" tanya Raudah pada Ayash."Fathan bilang mereka masih belum mau pulang terutama kedua anaknya," jawab Ayash."Oh ya sudah kalau begitu, mungkin mereka sedang ingin menghabiskan waktu dan mencoba sesuatu yang baru yang tidak mereka temui di Mesir," ucap Raudah sambil bangkit dan berjalan ke belakang guna membuatkan minuman untuk Ayash.Selang beberapa menit Raudah sudah kembali dan duduk di samping suaminya sambil meletakkan gelas di atas meja."Tidak usah khawatir, Bi. Toh mereka pergi bersama Ustadz Yusuf, jadi pasti aman dan baik-baik saja.""Iya juga, cuma Abi heran aja, mereka kok nggak mau diantar sama kita, ya?""Mungkin karena Fathan tahu bahwa kita punya kewajiban mengaja
"Jika anda menganggap ini hutang, maka kami akan mengembalikannya. Uang dibayar dengan uang, tidak ada perjanjian bayaran yang lainnya," jawab Ayash penuh penekanan. Pengasuh pondok pesantren Almujahid itu meradang karena Hendra mempermainkannya.Mendengar jawaban dari Ayash, Hendra sontak tertawa. Pria itu sepertinya sangat puas mendengarnya."Manis sekali Ustaz. Jadi anda akan tetap mempertahankan istri anda yang cantik itu dan rela kehilangan harta benda untuk mendapatkan uang sesuai jumlah yang tertera di sini " Hendra menunjuk surat tagihan yang dulu ia berikan pada Ayash."Tentu saja, bagaimana pun kehormatan pesantren dan kehormatan diri saya dipertaruhkan disini. Jadi setelah ini saya harap urusan kita selesai." Ayash mengeluarkan uang di dalam tasnya yang dimasukkan ke dalam sebuah amplop lalu ia meletakkannya di hadapan Hendra.Sementara Hendra masih tersenyum menyeringai melihat benda yang disodorkan oleh Ayash."Bagaimana kalau saya tidak bisa menerima uang ini dan tetap m
"Eum ... ini ada tamu mencari Abi.""Tamu? Tamu siapa?""Dia bilang tidak boleh memberitahu dulu Abi. Pokoknya ini tamu dari jauh.""Oh, ya, baiklah. Abi akan segera pulang. Ini sedang dalam perjalanan." "Iya, Bi. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Sambungan telepon terputus. Ayash sedikit berpikir siapa tamu yang dimaksud oleh istrinya."Kita langsung pulang ke pesantren saja Ustaz, istri ana barusan menelepon katanya ada tamu yang sedang menunggu ana," ucap Ayash pada Ustaz Yusuf yang kali ini bertugas mengemudikan mobil."Baik Ustaz, awalnya juga kita tidak ada rencana mampir ke mana-mana 'kan" jawab Ustaz Yusuf."Iya juga, sih." Ayash terkekeh. Pikirannya sedikit kalut, pasalnya orang yang baru saja hendak dia temui dan bermaksud menyelesaikan permasalahan yang cukup menyita dan mengganggu pikirannya sedang tidak ada di tempat. Ayash kira saat ini masalah dengan Hendra sudah selesai tapi nyatanya pria itu terlalu sibuk dengan berbagai kegiatannya. Atau jangan-jangan sengaja men
Melihat pemandangan di hadapannya Ayash memalingkan wajahnya, ia tidak bisa membayangkan jika suatu saat Gaza tahu siapa sebenarnya Gus Rofiq. Bagaimana kalau anak itu berpaling darinya. Ayash tidak ingin kehilangan Ghaza, walau bagaimana anak itu sudah dia urus sejak bayi. Bagaimana ia berusaha membagi waktu antara mengajar dan menjaga bayi itu. Ayash berusaha membagi waktunya untuk menghadirkan sosok Ayah dalam kehidupan Ghaza. Hingga anak itu seakan sudah menjadi bagian dari nafasnya.Ayash tersentak ketika Ghaza kembali ke dalam pangkuannya."Apa ana boleh pergi, Abi?" Ghaza mendongak menatap wajah Ayash"Sebentar lagi, ya, temani Abi di sini," ucap Ayash sambil mengelus kepala anak sambungnya. Ia mengerti bahwa Gus Rofiq tentu masih ingin bertemu dengan anaknya, makanya Ayash berusaha menahan Ghaza supaya tidak cepat pergi.Ghaza sendiri biasanya anteng ketika Gus Rofiq datang menjenguknya. Tapi entah apa yang terjadi, kali ini anak itu meminta izin untuk cepat pergi dari sana.
"Bude Atikah itu sedang sakit, kenapa Ghaza bertanya seperti itu?""Karena Bude Atikah memakai selimut, orang yang memakai selimut 'kan orang yang kedinginan." Ghaza yang menjawab dengan mimik lucu."Bude itu sakit demam, orang yang sedang demam itu menggigil dan kedinginan meski suhu tubuhnya terasa panas, jadi Bude harus ke selimut." Raudah mencoba menjelaskan karena sepertinya Ghaza belum mengerti tentang kondisi Bude Atikah."Sekarang Ghaza duduk disini, ya, jangan nakal. Berdoa supaya Bude cepet sembuh," lanjut Raudah meminta supaya Ghaza duduk di ruang tengah sementara dia pergi ke dapur membantu abdi dalam yang sedang membereskan dapur.Sementara Ghaza menurut apa yang diperintahkan oleh Uminya, anak itu mengangguk lalu duduk di sana. Hal inilah yang membuat Raudah selalu bersyukur memiliki anak penurut dan tidak pernah membantah.Itu tak lepas dari didikannya selama ini juga didikan Bude Atikah dan Abi Ayash yang selalu mengajari Ghaza dengan penuh kasih sayang. Lagi, Raudah m
"Sekali lagi terima kasih Ustadzah. Ayo Ghaza kita masuk." Setelah berterima kasih pada Ustadzah Nara, Ayash mengulurkan tangannya dan meminta Ghaza supaya masuk rumah."Umi di mana?" tanya Ghaza karena tidak melihat Uminya, biasa' ketika dia pulang maka yang pertama menyambutnya adalah Umminya."Umi sedang beres-beres di kamar, tunggu di sini, ya!" Ayash meminta Ghaza untuk duduk di ruang tengah, sementara ia kembali ke kamarnya dan mendapat Raudah sedang bersiap akan mandi."Umi mau mandi duluan,ya," kata Raudah seraya masuk ke kamar mandi. "Ah ya, siapa yang datang?" Wanita itu urung melangkah ke kamar mandi lalu menoleh ke arah suaminya."Ghaza bersama Ustadzah Nara, katanya anak itu bersikeras ingin pulang," jawab Ayash."Sekarang Ghaza-nya di mana?" Raudah menoleh lagi ke arah suaminya."Abi memintanya menunggu di ruang tengah," sahut Ayash enteng.Lalu tanpa sengaja Raudah melirik kancing jas koko Ayash yang tidak pas."Astagfirullah, Abi!" Mata Raudah terbelalak dan tanganny
Kemudian Raudah mengusap wajahnya yang berada dibalik cadar. Ia tidak mau terus larut dalam bayangan Gus Rofiq yang sudah tidak menjadi siapa-siapanya lagi, meskipun darah pria itu mengalir di tubuh anaknya tetapi tidak sepantasnya Raudah terus mengingat dia. Wanita itu berusaha menormalkan irama jantungnya sambil terus beristighfar dan berdzikir dalam hatinya. Raudah berharap Ayash akan segera datang untuk mengalihkan perhatiannya dari Gus Ubed."Apa Bude Atikah tertidur," tanya Ayash begitu sampai di depan orang wanita yang sangat ia sayangi itu.Kedatangan Ayash cukup mengagetkan Raudah, pasalnya ia masih menormalkan ingatannya terhadap pria yang baru saja ia lihat berjalan dari kejauhan."Sepertinya Mbak Atikah memang tertidur," jawab Raudah sambil melirik pada kakak iparnya."Afwan, jika lama menunggu. Di apotek sangat mengantri. Biar ana gendong saja," ucap Ayash sambil menyerahkan obat yang baru saja ia ambil dari apotek pada Raudah lalu meraih tubuh Atikah dan menggendongnya m
Melihat Masa LaluBeberapa tahun kemudian ...."Bude Atikah tadi pagi menelepon dan dia mengatakan kalau sedang tidak enak badan," ucap Raudah kepada Ayash yang baru saja pulang mengajar kelas pagi. Beberapa hari setelah mendapatkan surat tagihan dari Hendra wajah Ayash memang terlihat murung, pria itu lebih banyak diam."Oh ya, kebetulan tadi Abi tergesa-gesa masuk kelas jadi tidak sempet mampir ke kediaman Mbak atikah," jawab Ayash.Setelah patah hatinya, ia akhirnya memutuskan kembali ke Pesantren Pamannya dan memulai hidup baru dengan melupakan Salwa. Dia bahkan menikah dengan Raudah yang dulu adalah temannya di Mesir saat sama –sama study di sana. "Setelah ini disempatkan melihat beliau, kami juga belum pergi ke sana karena baru saja selesai membereskan rumah." Yang dimaksud kami oleh Raudah adalah dirinya dan Ghaza. Ghaza adalah putra sambung Ayash yang dibawa Raudah dengan pernikahan sebelumnya. Ayash sendiri sebelum ini juga sempat menikah, akan tetapi istrinya meninggal saa
Melihat pemuda yang baru saja menghalalkannya itu kesakitan, Salwa menjadi salah tingkah. Dia ingin mendekat dan mengurangi rasa sakit itu, tapi hatinya ragu. Akhirnya Salwa hanya berdiri dengan gerakan tangan yang tak menentu."Sakali lagi, saya minta maaf, Tuan. Sungguh, saya tidak sengaja." Salwa menangkupkan kedua tangannya.Elvis nampak berpikir sejenak sebelum akhirnya dia berbicara."Sepertinya sulit untuk dimaafkan.""Saya tidak sengaja. Salah Tuan sendiri main pegang tanpa permisi." Salwa agak meradang mendengar Elvis seakan menghukumnya karena ketidaksengajaan."Baiklah, jadi aku harus meminta izin dulu?""Eum ... nggak juga ... tapi ya .... " Salwa malah bicara gugup.Elvis berjalan mendekati Salwa yang terlihat semakin salah tingkah."Tu-tuan mau apa?" "Aku mau minta izin," ujar Elvis sambil terus mendekat dan perlahan tangannya terulur menyentuh pipi gadis itu. Sementara Salwa semakin dalam menunduk. Ia mau melarang Elvis supaya jangan menyentuh pipinya tapi dia tahu ba