"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.Cinta merupakan perasaan jiwa, getaran hati, pancaran naluri. Setiap orang punya hak untuk mencintai dan dicintai. Didalam Islam ada tatacara bagaimana merawat cinta supaya sesuai dengan syariat dan menjadi ibadah.Pertama, meluruskan niat. Agar cinta berbuah ibadah, sucikan niat dalam bercinta karena Allah SWT semata. Kedua, mencintai secara proporsional. Ketiga, memproklamirkan cinta. Nabi SAW bersabda, "Jika seseorang mencintai saudaranya hendaklah memberitahukan kepadanya bahwa ia mencintainya." (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).Keempat, memandang dengan penuh cinta. Kelima, kunjungan cinta. Agar tanaman cinta bertambah subur, hendaklah saling mengunjungi.Keenam, merawat tanaman cinta secara berkala, taburkan pupuk cinta secara merata, pasti akan menuai buah cinta.Ketujuh, mengokohkan cinta dengan doa. Nabi SAW mengajarkan, "Ya Allah, sesungguhnya aku memohon anugerah cinta-Mu, dan cinta orang-orang yang mencintai-Mu, serta usaha yang dapa
Pria paruh baya itu meletakkan ponselnya di atas meja yang berada disamping tempat duduknya. Raut wajahnya tak bisa digambarkan dengan kalimat sederhana.Entah sudah yang keberapa kalinya dia menerima panggilan dari pengacaranya terkait surat kuasa atas pesantren ini. Beliau didesak untuk segera mendapatkan tanda tangan asli dari Kiai Rozak, kakak iparnya.Sebelum panggilan terakhir barusan, pengacara memperlihatkan vidio tausiyah Kiai Rozak."Lihatlah! Bahkan dia masih leluasa berdakwah melalui media sosial dan terlihat baik-baik saja." Kalimat itu diucapkan oleh pengacara sesaat setelah vidio selesai ditonton.Apalagi tema yang diambil oleh Kiai Rozak adalah tentang pengkhianatan. Beliau mengatakan bahwa pengkhianatan sering dilakukan oleh orang terdekat yang sangat dipercaya. Mendengar hal itu Abine merasa tersindir dan semakin meradang.Abine mengusap wajahnya kasar, emosinya sudah di ubun-ubun. Tinggal satu langkah lagi rencananya merebut pesantren ini, ternyata gagal karena mafi
Elvis masih mondar mandir di dalam kamarnya. Sebentar duduk lalu kembali berdiri.'Ayo Elvis balas! Kamu itu laki-laki, masa tidak ada keberanian membalas pesan dari gadis itu.' batinnya.Dengan bismillah dia memberanikan diri mengetik pesan balasan untuk kekasih hati.[Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.]Terkirim.Lalu ia letakkan ponsel itu diatas kasur. Hatinya bertambah tak karuan, dia membayangkan gadis itu sedang membaca pesan balasan darinya sambil tersenyum lalu pipinya merona.Elvis berdiri sambil sesekali melirik ke arah ponselnya, berharap segera terdengar notifikasi pesan balasan. Bibirnya tak henti mengukir senyum.Satu menit,Dua menit.Hingga senyum bahagia di wajah pemuda itu berubah menjadi raut cemas dan kecewa karena tak juga mendapat pesan balasan.'Ah, mungkin saja gadis itu sudah tak memegang ponsel karena Elvis lambat membalas salamnya tadi.' batinnya lagi.Pria itu menyesali sikapnya tadi yang terlalu banyak menimbang hanya untuk sekedar membalas pesan
Tak cukup hanya tersenyum sambil menggeleng pelan, Kiai Rozak bangkit lalu berjalan mendekati putrinya yang masih tersipu sambil mendekap ponselnya. Hingga tak menyadari tingkahnya ini sejak tadi diawasi oleh Abinya, bahkan Kiai Rozak sekarang sudah berada di samping tempat duduk Salwa."Yang habis menerima kabar rindu, bawaannya kok pengin senyum-senyum sendiri ya," ujar kiai seraya mengusap bahu gadis itu.Terang saja gadis itu seketika menghentikan senyumnya dan terkejut menatap Abinya yang sudah ada disampingnya tanpa tahu sejak kapan."Eh, Abi, iya ... kok ... itu ... bukan, sejak kapan Abi ada di sini? Kok aku nggak tahu?" tanya Salwa gugup, pipinya makin merona karena malu ketahuan Abinya sedang tersenyum sendirian."Sejak tadi, Abi juga tahu kamu teleponan sama kakaknya si Elvis itu," ucap Kiai sambil tersenyum, lalu duduk di samping Puteri kesayangannya."Masa sih?" Salwa melirik Abinya sekilas lalu kembali menunduk lagi."Iya, itu karena kamu saking seriusnya ngobrol sama ka
Pria paruh baya itu mencoba menggerakkan tangannya, berusaha untuk lepas dari tali yang mengikatnya. Tapi tenaga tuanya sedikitpun tidak dapat membantu, tangannya hanya bergerak sedikit tanpa mempengaruhi simpul yang ternyata sangat kuat itu.Sadar bahwa tangannya tidak bisa bergerak, Abine beralih menggerakkan kakinya, namun hasilnya tetap sama. Malah lebih parah lagi, ketika dia menggerakkan kakinya, kursi yang dia duduki sedikit bergeser dan itu sangat membahayakan dirinya. Sedikit saja dia terpeleset maka tubuh tuanya akan menjadi santapan buaya-buaya di dasar kolam."Sial! Siapa yang telah melakukan ini padaku? Apa dia tidak tahu kalau aku punya tangan kanan seorang mafia?" makinya dengan suara ditahan, matanya beredar pada sekeliling yang hanya nampak buaya-buaya kelaparan itu.Mata Abine terpejam, mengumpulkan konsentrasinya dan berusaha mencari solusi supaya bisa lepas dari ikatan. Tapi begitu dia membuka mata, ekor matanya menangkap bayangan seseorang tengah berjalan mendekat
Gadis itu mencebik kesal membaca pesan balasan dari Elvis yang meminta dia mengulang lagi mengirim pesan yang susah payah dia tulis dengan tangan gemetar.[Maaf Tuan, tapi Tuan bisa membaca ulang bukan?] Salwa sedikit geram pada pemuda yang sedang berbalas pesan dengannya itu.[Aku males membuka pesan terdahulu.][Saya juga tidak mau mengetik ulang.][Tinggal salin apa susahnya?]Salwa beristighfar di dalam hatinya berkali-kali. [Baiklah, kalau kamu tidak mau mengirim ulang pesan itu, aku akan menelepon saja supaya aku bisa mendengarnya langsung.]Karena lama tidak mendapat balasan dari Salwa, akhirnya Elvis mengirim pesan seperti itu. Sementara Salwa kaget ketika Elvis berkata akan meneleponnya. Bagiamana dia bisa berbicara dengan Elvis lewat telepon sedangkan menulis pesan saja dia gemetaran.[Baiklah, saya akan kirim ulang.]Kemudian Salwa menyalin pesan pertamanya dan mengirimkan kembali kepada Elvis dengan tangan tetap gemetar.[Ini beneran Kiai yang meminta atau kamu sendiri y
***Bramanta berjalan mondar mandir di ruangan lantai atas istananya. Dia baru saja mendapat laporan dari anak buahnya bahwa kediaman Maminya Elvis kosong. Dia sudah berusaha menghubungi Elvis dan Ellea tapi ponsel kedua anaknya tidak aktif."Sial! Aku kecolongan. Sebenarnya mereka pergi ke mana?" Suaranya menggema di dalam ruangan yang luas itu.Apartemen tempat kedua anaknya dan ibu mereka tinggal memang sudah tidak dijaga seketat dulu. Anak buahnya hanya sesekali datang mengecek atas perintah Bramanta. Selama ini mereka jarang pergi bersama-sama, dan Bramanta curiga mereka sedang melakukan sesuatu karena pergi bersama.Pria itu beralih menoleh pada ponselnya yang ternyata panggilan dari anak buahnya."Ya.""Mereka sudah kembali, Bos.""Bertiga?""Iya, bos.""Apa mereka membawa sesuatu yang mencurigakan?""Tidak ada. Mereka sepertinya baru menghadiri acara resmi, bos. Terlihat dari pakaian mereka yang rapi.""Acara resmi?""Sepertinya begitu, Bos."Bramanta menutup panggilan secara
Mendengar jawaban Ayash yang terang-terangan menyangkal tuduhannya, Elvis membuang pandangan sambil mencebik. Lalu kembali menatap Ayash sambil membuang nafas kasar. Kedua mata pemuda yang sama-sama menyimpan rasa pada Salwa itu beradu.Elvis masih menatap dengan tatapan garang, sementara Ayash terlihat berusaha untuk tenang karena dia tidak merasa bersalah dalam hal ini."Apa yang terjadi?" Kiai Rozak datang."Maaf Kiai, ketika lamaran kemarin, tidak ada orang lain yang tahu, lalu tiba-tiba berita itu tersebar di media. Siapa lagi kalau bukan dia, karena dia yang punya perasaan cinta pada Salwa." Elvis nampak berusaha menahan amarahnya. "Astaghfirullah," ucap Kiai Rozak. Dia menatap Ayash tak percaya lalu beralih melihat ke arah Elvis yang diam menatap Ayash. Dada pemuda itu naik turun pertanda dia sedang menahan amarah yang besar.Beberapa saat kemudian kiai menggelengkan kepalanya dan berbalik kembali ke dalam rumah."Yai, saya tidak mungkin melakukan itu. Elvis mungkin hanya sala
Ayash meletakkan kembali ponselnya ke dalam saku jas koko yang ia kenakan. Sudah lebih dari tiga jam Fathan dan Hamidah pergi, tapi belum ada tanda-tanda keduanya akan pulang. Barusan Ayash menelepon Fathan, pria itu mengatakan bahwa kedua anaknya masih betah jalan-jalan menikmati suasana kota."Bagaimana Bi?" tanya Raudah pada Ayash."Fathan bilang mereka masih belum mau pulang terutama kedua anaknya," jawab Ayash."Oh ya sudah kalau begitu, mungkin mereka sedang ingin menghabiskan waktu dan mencoba sesuatu yang baru yang tidak mereka temui di Mesir," ucap Raudah sambil bangkit dan berjalan ke belakang guna membuatkan minuman untuk Ayash.Selang beberapa menit Raudah sudah kembali dan duduk di samping suaminya sambil meletakkan gelas di atas meja."Tidak usah khawatir, Bi. Toh mereka pergi bersama Ustadz Yusuf, jadi pasti aman dan baik-baik saja.""Iya juga, cuma Abi heran aja, mereka kok nggak mau diantar sama kita, ya?""Mungkin karena Fathan tahu bahwa kita punya kewajiban mengaja
"Jika anda menganggap ini hutang, maka kami akan mengembalikannya. Uang dibayar dengan uang, tidak ada perjanjian bayaran yang lainnya," jawab Ayash penuh penekanan. Pengasuh pondok pesantren Almujahid itu meradang karena Hendra mempermainkannya.Mendengar jawaban dari Ayash, Hendra sontak tertawa. Pria itu sepertinya sangat puas mendengarnya."Manis sekali Ustaz. Jadi anda akan tetap mempertahankan istri anda yang cantik itu dan rela kehilangan harta benda untuk mendapatkan uang sesuai jumlah yang tertera di sini " Hendra menunjuk surat tagihan yang dulu ia berikan pada Ayash."Tentu saja, bagaimana pun kehormatan pesantren dan kehormatan diri saya dipertaruhkan disini. Jadi setelah ini saya harap urusan kita selesai." Ayash mengeluarkan uang di dalam tasnya yang dimasukkan ke dalam sebuah amplop lalu ia meletakkannya di hadapan Hendra.Sementara Hendra masih tersenyum menyeringai melihat benda yang disodorkan oleh Ayash."Bagaimana kalau saya tidak bisa menerima uang ini dan tetap m
"Eum ... ini ada tamu mencari Abi.""Tamu? Tamu siapa?""Dia bilang tidak boleh memberitahu dulu Abi. Pokoknya ini tamu dari jauh.""Oh, ya, baiklah. Abi akan segera pulang. Ini sedang dalam perjalanan." "Iya, Bi. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Sambungan telepon terputus. Ayash sedikit berpikir siapa tamu yang dimaksud oleh istrinya."Kita langsung pulang ke pesantren saja Ustaz, istri ana barusan menelepon katanya ada tamu yang sedang menunggu ana," ucap Ayash pada Ustaz Yusuf yang kali ini bertugas mengemudikan mobil."Baik Ustaz, awalnya juga kita tidak ada rencana mampir ke mana-mana 'kan" jawab Ustaz Yusuf."Iya juga, sih." Ayash terkekeh. Pikirannya sedikit kalut, pasalnya orang yang baru saja hendak dia temui dan bermaksud menyelesaikan permasalahan yang cukup menyita dan mengganggu pikirannya sedang tidak ada di tempat. Ayash kira saat ini masalah dengan Hendra sudah selesai tapi nyatanya pria itu terlalu sibuk dengan berbagai kegiatannya. Atau jangan-jangan sengaja men
Melihat pemandangan di hadapannya Ayash memalingkan wajahnya, ia tidak bisa membayangkan jika suatu saat Gaza tahu siapa sebenarnya Gus Rofiq. Bagaimana kalau anak itu berpaling darinya. Ayash tidak ingin kehilangan Ghaza, walau bagaimana anak itu sudah dia urus sejak bayi. Bagaimana ia berusaha membagi waktu antara mengajar dan menjaga bayi itu. Ayash berusaha membagi waktunya untuk menghadirkan sosok Ayah dalam kehidupan Ghaza. Hingga anak itu seakan sudah menjadi bagian dari nafasnya.Ayash tersentak ketika Ghaza kembali ke dalam pangkuannya."Apa ana boleh pergi, Abi?" Ghaza mendongak menatap wajah Ayash"Sebentar lagi, ya, temani Abi di sini," ucap Ayash sambil mengelus kepala anak sambungnya. Ia mengerti bahwa Gus Rofiq tentu masih ingin bertemu dengan anaknya, makanya Ayash berusaha menahan Ghaza supaya tidak cepat pergi.Ghaza sendiri biasanya anteng ketika Gus Rofiq datang menjenguknya. Tapi entah apa yang terjadi, kali ini anak itu meminta izin untuk cepat pergi dari sana.
"Bude Atikah itu sedang sakit, kenapa Ghaza bertanya seperti itu?""Karena Bude Atikah memakai selimut, orang yang memakai selimut 'kan orang yang kedinginan." Ghaza yang menjawab dengan mimik lucu."Bude itu sakit demam, orang yang sedang demam itu menggigil dan kedinginan meski suhu tubuhnya terasa panas, jadi Bude harus ke selimut." Raudah mencoba menjelaskan karena sepertinya Ghaza belum mengerti tentang kondisi Bude Atikah."Sekarang Ghaza duduk disini, ya, jangan nakal. Berdoa supaya Bude cepet sembuh," lanjut Raudah meminta supaya Ghaza duduk di ruang tengah sementara dia pergi ke dapur membantu abdi dalam yang sedang membereskan dapur.Sementara Ghaza menurut apa yang diperintahkan oleh Uminya, anak itu mengangguk lalu duduk di sana. Hal inilah yang membuat Raudah selalu bersyukur memiliki anak penurut dan tidak pernah membantah.Itu tak lepas dari didikannya selama ini juga didikan Bude Atikah dan Abi Ayash yang selalu mengajari Ghaza dengan penuh kasih sayang. Lagi, Raudah m
"Sekali lagi terima kasih Ustadzah. Ayo Ghaza kita masuk." Setelah berterima kasih pada Ustadzah Nara, Ayash mengulurkan tangannya dan meminta Ghaza supaya masuk rumah."Umi di mana?" tanya Ghaza karena tidak melihat Uminya, biasa' ketika dia pulang maka yang pertama menyambutnya adalah Umminya."Umi sedang beres-beres di kamar, tunggu di sini, ya!" Ayash meminta Ghaza untuk duduk di ruang tengah, sementara ia kembali ke kamarnya dan mendapat Raudah sedang bersiap akan mandi."Umi mau mandi duluan,ya," kata Raudah seraya masuk ke kamar mandi. "Ah ya, siapa yang datang?" Wanita itu urung melangkah ke kamar mandi lalu menoleh ke arah suaminya."Ghaza bersama Ustadzah Nara, katanya anak itu bersikeras ingin pulang," jawab Ayash."Sekarang Ghaza-nya di mana?" Raudah menoleh lagi ke arah suaminya."Abi memintanya menunggu di ruang tengah," sahut Ayash enteng.Lalu tanpa sengaja Raudah melirik kancing jas koko Ayash yang tidak pas."Astagfirullah, Abi!" Mata Raudah terbelalak dan tanganny
Kemudian Raudah mengusap wajahnya yang berada dibalik cadar. Ia tidak mau terus larut dalam bayangan Gus Rofiq yang sudah tidak menjadi siapa-siapanya lagi, meskipun darah pria itu mengalir di tubuh anaknya tetapi tidak sepantasnya Raudah terus mengingat dia. Wanita itu berusaha menormalkan irama jantungnya sambil terus beristighfar dan berdzikir dalam hatinya. Raudah berharap Ayash akan segera datang untuk mengalihkan perhatiannya dari Gus Ubed."Apa Bude Atikah tertidur," tanya Ayash begitu sampai di depan orang wanita yang sangat ia sayangi itu.Kedatangan Ayash cukup mengagetkan Raudah, pasalnya ia masih menormalkan ingatannya terhadap pria yang baru saja ia lihat berjalan dari kejauhan."Sepertinya Mbak Atikah memang tertidur," jawab Raudah sambil melirik pada kakak iparnya."Afwan, jika lama menunggu. Di apotek sangat mengantri. Biar ana gendong saja," ucap Ayash sambil menyerahkan obat yang baru saja ia ambil dari apotek pada Raudah lalu meraih tubuh Atikah dan menggendongnya m
Melihat Masa LaluBeberapa tahun kemudian ...."Bude Atikah tadi pagi menelepon dan dia mengatakan kalau sedang tidak enak badan," ucap Raudah kepada Ayash yang baru saja pulang mengajar kelas pagi. Beberapa hari setelah mendapatkan surat tagihan dari Hendra wajah Ayash memang terlihat murung, pria itu lebih banyak diam."Oh ya, kebetulan tadi Abi tergesa-gesa masuk kelas jadi tidak sempet mampir ke kediaman Mbak atikah," jawab Ayash.Setelah patah hatinya, ia akhirnya memutuskan kembali ke Pesantren Pamannya dan memulai hidup baru dengan melupakan Salwa. Dia bahkan menikah dengan Raudah yang dulu adalah temannya di Mesir saat sama –sama study di sana. "Setelah ini disempatkan melihat beliau, kami juga belum pergi ke sana karena baru saja selesai membereskan rumah." Yang dimaksud kami oleh Raudah adalah dirinya dan Ghaza. Ghaza adalah putra sambung Ayash yang dibawa Raudah dengan pernikahan sebelumnya. Ayash sendiri sebelum ini juga sempat menikah, akan tetapi istrinya meninggal saa
Melihat pemuda yang baru saja menghalalkannya itu kesakitan, Salwa menjadi salah tingkah. Dia ingin mendekat dan mengurangi rasa sakit itu, tapi hatinya ragu. Akhirnya Salwa hanya berdiri dengan gerakan tangan yang tak menentu."Sakali lagi, saya minta maaf, Tuan. Sungguh, saya tidak sengaja." Salwa menangkupkan kedua tangannya.Elvis nampak berpikir sejenak sebelum akhirnya dia berbicara."Sepertinya sulit untuk dimaafkan.""Saya tidak sengaja. Salah Tuan sendiri main pegang tanpa permisi." Salwa agak meradang mendengar Elvis seakan menghukumnya karena ketidaksengajaan."Baiklah, jadi aku harus meminta izin dulu?""Eum ... nggak juga ... tapi ya .... " Salwa malah bicara gugup.Elvis berjalan mendekati Salwa yang terlihat semakin salah tingkah."Tu-tuan mau apa?" "Aku mau minta izin," ujar Elvis sambil terus mendekat dan perlahan tangannya terulur menyentuh pipi gadis itu. Sementara Salwa semakin dalam menunduk. Ia mau melarang Elvis supaya jangan menyentuh pipinya tapi dia tahu ba