Pemuda itu membanting pintu mobil dengan keras, amarahnya belum reda. Sejak dia tahu pemberitaan yang tersebar di media sosial tentang lamarannya pada Salwa yang berujung menyudutkan dan cenderung mem-bully Kiai Rozak, Elvis dikuasai amarah.Sebenarnya dia marah pada diri sendiri, Elvis menyesali kenapa tidak jadi orang baik sejak dulu. Hingga cintanya pada gadis itu bisa bisa dinilai wajar oleh semua orang.Bukan seperti sekarang, karena latar belakang kehidupan mereka yang berbeda, cintanya terhadap gadis soleha itu dianggap hal tidak wajar dan berujung pada bully-an.Baginya, pandangan miring masyarakat sudah biasa. Bukan sekali dua kali orang-orang memandang rendah pada penampilannya. Karena sampai saat ini tatto masih menjadi ikon yang kurang baik bagi seseorang.Tapi bagi Kiai Rozak dan keluarganya yang notabene orang-orang baik dan selama ini tidak pernah digunjingkan. Tentu saja kejadian ini akan sangat berimbas pada psikis mereka.Hal itulah yang membuat Elvis emosi. Dia mera
Setibanya di apartemen, Elvis tidak langsung ke kamarnya. Dia menemui Mami yang tengah duduk bersama Ellea kakaknya. "Dari mana, sayang?" tanya Mami sambil menatap Elvis yang duduk di sebelahnya."Ternyata benar, Mi. Papi yang melakukan ini, dia menyuruh anak buahnya untuk menyebar berita tentang lamaranku tempo hari.""Kamu mendatangi dia?" Mami menatap lekat anaknya seakan tak sabar menanti jawaban dari Elvis.Elvis menggeleng."Aku mendatangi anak buahnya di markas untuk memaksa mereka mengakui perbuatan mereka. Dan ternyata benar, Papi yang melakukan itu supaya aku batal menikah dengan Salwa." Elvis menatap lurus ke depan dengan nafas tak beraturan."Bramanta memang tak pandang bulu, bahkan anaknya sendiri tak luput dari kekejamannya," gumam Mami dengan gigi gemelutuk."Aku jadi merasa tidak enak dengan keluarga Kiai Rozak. Aku juga khawatir Salwa akan berpikir lain tentang diriku. Bahkan tadi aku sempat menuduh Ayash yang melakukan ini.""Minta maaf, El. Belajarlah untuk mengaku
***Setelah berbasa-basi sebentar, Ropiq meninggalkan dua orang yang kerap berperang dingin itu berduaan. Dia percaya bahwa Ayash dan Elvis bisa menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa harus ada campur tangan dari orang lain.Sepeninggal Rofiq, kedua pemuda itu masih larut dalam pikirannya masing-masing. Elvis masih ragu dan mencari kalimat yang tepat untuk memulai percakapan. Sementara Ayash seperti biasa tetap berusaha untuk tenang dan menunggu Elvis memulai percakapan.Sesekali mereka saling lirik sekilas. Akhirnya Elvis berdehem untuk mengurangi kecanggungan."Soal kemarin .... " Elvis menjeda ucapannya. Lalu menarik nafas dalam-dalam."Ya?" tanya Ayash yang tidak sabar menunggu ucapan selajutnya dari Elvis."Aku minta maaf atas tuduhan itu, aku yang salah tidak berpikir ulang dan mencari kebenarannya dulu.""Kamu hanya berpikir karena aku cemburu lalu melakukan apa saja untuk memisahkan kalian?" Ayash balik bertanya."Ya seperti itulah,""Apa kamu sadar bahwa sesungguhnya yang ber
Sesuai dengan rencana, hari ini Kiai Rozak dan kedua anaknya serta Ayash pulang ke pesantren. Mereka berkemas dari sejak selesai mengerjakan solat subuh. Salwa merasa bahagia bercampur haru, karena pada akhirnya mereka bisa kembali ke pesantren. Dia ingat bagaimana perjuangannya ketika malam itu berusaha pergi dari pesantren. Hingga dia dipertemukan dengan seorang pemuda yang pada akhirnya bisa menghadirkan getaran aneh di hatinya.Ternyata kepergiannya malam itu justru menghantarkan pada jodohnya. Semoga. Salwa melirik Elvis yang tengah mengemudi. Pemuda itu nampak tidak bebas melirik Salwa yang duduk di jok belakang bersama Rofiq dan Ayash. Karena kiai Rozak duduk di samping pria itu.Sementara Rofiq yang duduk di sebelah Salwa menyadari kalau adiknya itu tengah diam-diam melirik calon suaminya."Jangan dilihatin terus, sebentar lagi juga kalian halal, kamu akan bebas memandangnya bahkan lebih dari itu," bisik Rofiq pada adiknya. Sontak membuat gadis itu tersipu.Ayash yang secara
Elvis mengalihkan pandangan ke arah lain, meski Bramanta terlihat serius, tapi Elvis tidak bisa percaya begitu saja pada Papinya itu. Karena selama ini keduanya memang tidak akur dan Elvis merasa ada jarak diantara mereka."Apakah aku harus percaya?" "Terserah. Papi tidak akan memaksamu, El. Asal kamu tahu, Papi tidak ingin kehilangan momen bahagia ini." Bramanta bangkit dari duduknya lalu menghampiri Elvis dan menepuk pundaknya. Setelah itu dia pergi dari hadapan mereka.Sepeninggal Bramanta, Elvis menghela nafas panjang. Sangat sulit untuk mempercayai Bramanta kalau mengingat sikapnya ke belakang. Bagaimana bisa orang yang terang-terangan mengibarkan bendera perang lalu tiba-tiba datang berdamai. Meski pun pada kenyataannya dia adalah Papinya sendiri."Apa dia bisa dipercaya, Mam?"Tidak langsung menjawab, Mami tersenyum seakan mengerti apa yang dipikirkan anaknya."Mami kira dia serius.""Aku hanya tidak ingin dia mengacaukan momen yang sangat penting dalam hidupku.""Mami tahu k
*Elvis bernafas lega setelah akad selesai diucapkan. Ada beberapa hal yang membuat dia terus-terusan menyungging senyum tipis. Yang pertama tentu saja karena dia sudah sah menjadi suami gadis yang masih malu-malu di sampingnya. Kedatangan Bramanta yang sempat dikhawatirkan akan mengacaukan pernikahannya juga ternyata tidak benar. Papinya datang dengan niat tulus ingin menyaksikan langsung momen yang sangat penting untuk anaknya. Apalagi ketika tadi dia mengatakan bahwa dia merestuinya.Selanjutnya kiai Rozak memberikan wejangan untuk anak dan menantunya. Bagaimana seharusnya pernikahan itu dijalankan sesuai dengan syariat. Selama Kiai memberikan nasehat, diam-diam Elvis melirik istrinya. Dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya. Ia ingin puas menatap wajah istrinya itu. Sebab sekarang tidak ada alasan Salwa untuk melarangnya.Sementara gadis disampingnya itu sadar kalau lelaki halalnya tengah mencuri-curi pandang padanya. Ia pun melirik sekilas dengan malu-malu. Bukannya t
Melihat pemuda yang baru saja menghalalkannya itu kesakitan, Salwa menjadi salah tingkah. Dia ingin mendekat dan mengurangi rasa sakit itu, tapi hatinya ragu. Akhirnya Salwa hanya berdiri dengan gerakan tangan yang tak menentu."Sakali lagi, saya minta maaf, Tuan. Sungguh, saya tidak sengaja." Salwa menangkupkan kedua tangannya.Elvis nampak berpikir sejenak sebelum akhirnya dia berbicara."Sepertinya sulit untuk dimaafkan.""Saya tidak sengaja. Salah Tuan sendiri main pegang tanpa permisi." Salwa agak meradang mendengar Elvis seakan menghukumnya karena ketidaksengajaan."Baiklah, jadi aku harus meminta izin dulu?""Eum ... nggak juga ... tapi ya .... " Salwa malah bicara gugup.Elvis berjalan mendekati Salwa yang terlihat semakin salah tingkah."Tu-tuan mau apa?" "Aku mau minta izin," ujar Elvis sambil terus mendekat dan perlahan tangannya terulur menyentuh pipi gadis itu. Sementara Salwa semakin dalam menunduk. Ia mau melarang Elvis supaya jangan menyentuh pipinya tapi dia tahu ba
Melihat Masa LaluBeberapa tahun kemudian ...."Bude Atikah tadi pagi menelepon dan dia mengatakan kalau sedang tidak enak badan," ucap Raudah kepada Ayash yang baru saja pulang mengajar kelas pagi. Beberapa hari setelah mendapatkan surat tagihan dari Hendra wajah Ayash memang terlihat murung, pria itu lebih banyak diam."Oh ya, kebetulan tadi Abi tergesa-gesa masuk kelas jadi tidak sempet mampir ke kediaman Mbak atikah," jawab Ayash.Setelah patah hatinya, ia akhirnya memutuskan kembali ke Pesantren Pamannya dan memulai hidup baru dengan melupakan Salwa. Dia bahkan menikah dengan Raudah yang dulu adalah temannya di Mesir saat sama –sama study di sana. "Setelah ini disempatkan melihat beliau, kami juga belum pergi ke sana karena baru saja selesai membereskan rumah." Yang dimaksud kami oleh Raudah adalah dirinya dan Ghaza. Ghaza adalah putra sambung Ayash yang dibawa Raudah dengan pernikahan sebelumnya. Ayash sendiri sebelum ini juga sempat menikah, akan tetapi istrinya meninggal saa
Ayash meletakkan kembali ponselnya ke dalam saku jas koko yang ia kenakan. Sudah lebih dari tiga jam Fathan dan Hamidah pergi, tapi belum ada tanda-tanda keduanya akan pulang. Barusan Ayash menelepon Fathan, pria itu mengatakan bahwa kedua anaknya masih betah jalan-jalan menikmati suasana kota."Bagaimana Bi?" tanya Raudah pada Ayash."Fathan bilang mereka masih belum mau pulang terutama kedua anaknya," jawab Ayash."Oh ya sudah kalau begitu, mungkin mereka sedang ingin menghabiskan waktu dan mencoba sesuatu yang baru yang tidak mereka temui di Mesir," ucap Raudah sambil bangkit dan berjalan ke belakang guna membuatkan minuman untuk Ayash.Selang beberapa menit Raudah sudah kembali dan duduk di samping suaminya sambil meletakkan gelas di atas meja."Tidak usah khawatir, Bi. Toh mereka pergi bersama Ustadz Yusuf, jadi pasti aman dan baik-baik saja.""Iya juga, cuma Abi heran aja, mereka kok nggak mau diantar sama kita, ya?""Mungkin karena Fathan tahu bahwa kita punya kewajiban mengaja
"Jika anda menganggap ini hutang, maka kami akan mengembalikannya. Uang dibayar dengan uang, tidak ada perjanjian bayaran yang lainnya," jawab Ayash penuh penekanan. Pengasuh pondok pesantren Almujahid itu meradang karena Hendra mempermainkannya.Mendengar jawaban dari Ayash, Hendra sontak tertawa. Pria itu sepertinya sangat puas mendengarnya."Manis sekali Ustaz. Jadi anda akan tetap mempertahankan istri anda yang cantik itu dan rela kehilangan harta benda untuk mendapatkan uang sesuai jumlah yang tertera di sini " Hendra menunjuk surat tagihan yang dulu ia berikan pada Ayash."Tentu saja, bagaimana pun kehormatan pesantren dan kehormatan diri saya dipertaruhkan disini. Jadi setelah ini saya harap urusan kita selesai." Ayash mengeluarkan uang di dalam tasnya yang dimasukkan ke dalam sebuah amplop lalu ia meletakkannya di hadapan Hendra.Sementara Hendra masih tersenyum menyeringai melihat benda yang disodorkan oleh Ayash."Bagaimana kalau saya tidak bisa menerima uang ini dan tetap m
"Eum ... ini ada tamu mencari Abi.""Tamu? Tamu siapa?""Dia bilang tidak boleh memberitahu dulu Abi. Pokoknya ini tamu dari jauh.""Oh, ya, baiklah. Abi akan segera pulang. Ini sedang dalam perjalanan." "Iya, Bi. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Sambungan telepon terputus. Ayash sedikit berpikir siapa tamu yang dimaksud oleh istrinya."Kita langsung pulang ke pesantren saja Ustaz, istri ana barusan menelepon katanya ada tamu yang sedang menunggu ana," ucap Ayash pada Ustaz Yusuf yang kali ini bertugas mengemudikan mobil."Baik Ustaz, awalnya juga kita tidak ada rencana mampir ke mana-mana 'kan" jawab Ustaz Yusuf."Iya juga, sih." Ayash terkekeh. Pikirannya sedikit kalut, pasalnya orang yang baru saja hendak dia temui dan bermaksud menyelesaikan permasalahan yang cukup menyita dan mengganggu pikirannya sedang tidak ada di tempat. Ayash kira saat ini masalah dengan Hendra sudah selesai tapi nyatanya pria itu terlalu sibuk dengan berbagai kegiatannya. Atau jangan-jangan sengaja men
Melihat pemandangan di hadapannya Ayash memalingkan wajahnya, ia tidak bisa membayangkan jika suatu saat Gaza tahu siapa sebenarnya Gus Rofiq. Bagaimana kalau anak itu berpaling darinya. Ayash tidak ingin kehilangan Ghaza, walau bagaimana anak itu sudah dia urus sejak bayi. Bagaimana ia berusaha membagi waktu antara mengajar dan menjaga bayi itu. Ayash berusaha membagi waktunya untuk menghadirkan sosok Ayah dalam kehidupan Ghaza. Hingga anak itu seakan sudah menjadi bagian dari nafasnya.Ayash tersentak ketika Ghaza kembali ke dalam pangkuannya."Apa ana boleh pergi, Abi?" Ghaza mendongak menatap wajah Ayash"Sebentar lagi, ya, temani Abi di sini," ucap Ayash sambil mengelus kepala anak sambungnya. Ia mengerti bahwa Gus Rofiq tentu masih ingin bertemu dengan anaknya, makanya Ayash berusaha menahan Ghaza supaya tidak cepat pergi.Ghaza sendiri biasanya anteng ketika Gus Rofiq datang menjenguknya. Tapi entah apa yang terjadi, kali ini anak itu meminta izin untuk cepat pergi dari sana.
"Bude Atikah itu sedang sakit, kenapa Ghaza bertanya seperti itu?""Karena Bude Atikah memakai selimut, orang yang memakai selimut 'kan orang yang kedinginan." Ghaza yang menjawab dengan mimik lucu."Bude itu sakit demam, orang yang sedang demam itu menggigil dan kedinginan meski suhu tubuhnya terasa panas, jadi Bude harus ke selimut." Raudah mencoba menjelaskan karena sepertinya Ghaza belum mengerti tentang kondisi Bude Atikah."Sekarang Ghaza duduk disini, ya, jangan nakal. Berdoa supaya Bude cepet sembuh," lanjut Raudah meminta supaya Ghaza duduk di ruang tengah sementara dia pergi ke dapur membantu abdi dalam yang sedang membereskan dapur.Sementara Ghaza menurut apa yang diperintahkan oleh Uminya, anak itu mengangguk lalu duduk di sana. Hal inilah yang membuat Raudah selalu bersyukur memiliki anak penurut dan tidak pernah membantah.Itu tak lepas dari didikannya selama ini juga didikan Bude Atikah dan Abi Ayash yang selalu mengajari Ghaza dengan penuh kasih sayang. Lagi, Raudah m
"Sekali lagi terima kasih Ustadzah. Ayo Ghaza kita masuk." Setelah berterima kasih pada Ustadzah Nara, Ayash mengulurkan tangannya dan meminta Ghaza supaya masuk rumah."Umi di mana?" tanya Ghaza karena tidak melihat Uminya, biasa' ketika dia pulang maka yang pertama menyambutnya adalah Umminya."Umi sedang beres-beres di kamar, tunggu di sini, ya!" Ayash meminta Ghaza untuk duduk di ruang tengah, sementara ia kembali ke kamarnya dan mendapat Raudah sedang bersiap akan mandi."Umi mau mandi duluan,ya," kata Raudah seraya masuk ke kamar mandi. "Ah ya, siapa yang datang?" Wanita itu urung melangkah ke kamar mandi lalu menoleh ke arah suaminya."Ghaza bersama Ustadzah Nara, katanya anak itu bersikeras ingin pulang," jawab Ayash."Sekarang Ghaza-nya di mana?" Raudah menoleh lagi ke arah suaminya."Abi memintanya menunggu di ruang tengah," sahut Ayash enteng.Lalu tanpa sengaja Raudah melirik kancing jas koko Ayash yang tidak pas."Astagfirullah, Abi!" Mata Raudah terbelalak dan tanganny
Kemudian Raudah mengusap wajahnya yang berada dibalik cadar. Ia tidak mau terus larut dalam bayangan Gus Rofiq yang sudah tidak menjadi siapa-siapanya lagi, meskipun darah pria itu mengalir di tubuh anaknya tetapi tidak sepantasnya Raudah terus mengingat dia. Wanita itu berusaha menormalkan irama jantungnya sambil terus beristighfar dan berdzikir dalam hatinya. Raudah berharap Ayash akan segera datang untuk mengalihkan perhatiannya dari Gus Ubed."Apa Bude Atikah tertidur," tanya Ayash begitu sampai di depan orang wanita yang sangat ia sayangi itu.Kedatangan Ayash cukup mengagetkan Raudah, pasalnya ia masih menormalkan ingatannya terhadap pria yang baru saja ia lihat berjalan dari kejauhan."Sepertinya Mbak Atikah memang tertidur," jawab Raudah sambil melirik pada kakak iparnya."Afwan, jika lama menunggu. Di apotek sangat mengantri. Biar ana gendong saja," ucap Ayash sambil menyerahkan obat yang baru saja ia ambil dari apotek pada Raudah lalu meraih tubuh Atikah dan menggendongnya m
Melihat Masa LaluBeberapa tahun kemudian ...."Bude Atikah tadi pagi menelepon dan dia mengatakan kalau sedang tidak enak badan," ucap Raudah kepada Ayash yang baru saja pulang mengajar kelas pagi. Beberapa hari setelah mendapatkan surat tagihan dari Hendra wajah Ayash memang terlihat murung, pria itu lebih banyak diam."Oh ya, kebetulan tadi Abi tergesa-gesa masuk kelas jadi tidak sempet mampir ke kediaman Mbak atikah," jawab Ayash.Setelah patah hatinya, ia akhirnya memutuskan kembali ke Pesantren Pamannya dan memulai hidup baru dengan melupakan Salwa. Dia bahkan menikah dengan Raudah yang dulu adalah temannya di Mesir saat sama –sama study di sana. "Setelah ini disempatkan melihat beliau, kami juga belum pergi ke sana karena baru saja selesai membereskan rumah." Yang dimaksud kami oleh Raudah adalah dirinya dan Ghaza. Ghaza adalah putra sambung Ayash yang dibawa Raudah dengan pernikahan sebelumnya. Ayash sendiri sebelum ini juga sempat menikah, akan tetapi istrinya meninggal saa
Melihat pemuda yang baru saja menghalalkannya itu kesakitan, Salwa menjadi salah tingkah. Dia ingin mendekat dan mengurangi rasa sakit itu, tapi hatinya ragu. Akhirnya Salwa hanya berdiri dengan gerakan tangan yang tak menentu."Sakali lagi, saya minta maaf, Tuan. Sungguh, saya tidak sengaja." Salwa menangkupkan kedua tangannya.Elvis nampak berpikir sejenak sebelum akhirnya dia berbicara."Sepertinya sulit untuk dimaafkan.""Saya tidak sengaja. Salah Tuan sendiri main pegang tanpa permisi." Salwa agak meradang mendengar Elvis seakan menghukumnya karena ketidaksengajaan."Baiklah, jadi aku harus meminta izin dulu?""Eum ... nggak juga ... tapi ya .... " Salwa malah bicara gugup.Elvis berjalan mendekati Salwa yang terlihat semakin salah tingkah."Tu-tuan mau apa?" "Aku mau minta izin," ujar Elvis sambil terus mendekat dan perlahan tangannya terulur menyentuh pipi gadis itu. Sementara Salwa semakin dalam menunduk. Ia mau melarang Elvis supaya jangan menyentuh pipinya tapi dia tahu ba