Tidak lama kemudian Fikri kembali dari kantin.
"Mana cewek-cewek yang tadi sama kamu? "Deni bertanya ketika melihat Fikri ke kelas sendiri.
"Mereka masih di kantin, aku tadi ke sini diam-diam." Jawabnya sambil tersenyum tipis.
"Kelihatannya, cewek-cewek di sini langsung suka semua deh sama kamu di hari pertama kamu di sekolah. "
"Pastilah, aku kan tampan." Fikri nyengir sambil membanggakan dirinya sendiri.
"Kepedean banget kamu." Tertawa kecil.
"Siapa yang pede coba, lihat aja tadi semuanya ngantri pengen kenalan sama aku."
"Iya.. iya.. tuan tampan, tapi yang perlu kamu ingat adalah jangan pernah mempermainkan hati wanita." Deni memberi nasehat.
"Tapi aku nggak janji ya."
"Maksudnya?" Deni bingung.
"Ya.. aku nggak janji, bagaimana kalau cewek-cewek itu yang gangguin aku terus."
"Terserah kamu deh cuma aku kan cuma memberi nasehat." Deni kembali sibuk dengan bukunya.
Begitulah Fikri, hari pertama di sekolah baru tidak membuatnya merasa sulit dan asing. dia adalah tipe cowok yang mudah berteman, percaya diri, dan kadang cukup lebay. Wajahnya memang cowok tampan sehingga membuat siswa-siswi banyak yang menyukainya. Kadang dia care dengan cewek-cewek yang berusaha mendekatinya namun terkadang dia juga merasa risih.
***
"Bagaimana sekolah kamu hari ini Fikri?" seorang wanita berumur 30 tahunan dengan memakai jilbab biru dan dengan wajah yang masih terlihat cukup mudah bertanya padanya. Membuka percakapan malam itu di meja makan.
"Baik." Jawab Fikri singkat
"Alhamdulillah, kamu suka sekolahnya?"
"Suka."
"Besok kalau kamu berangkat ke sekolah, Mama yang akan antar ya..."
"Udah deh tante, enggak usah sok baik gitu. aku ini bukan anak Tante. Lagi pula aku punya sepeda motor, aku bisa pergi sendiri."
"Fikri, jaga bicaramu." Seorang laki-laki dengan nada yang tinggi membentak Fikri.
"Emangnya kenapa Pah? Kenyataannya memang dia itu bukan mama aku kan, walaupun sekarang dia sudah menjadi istri papah, tapi jangan pernah berharap aku akan menerima dia sebagai mamaku."
" FIKRI!!! " Spontan ayah Fikri, Pak Kusuma bangkit dari tempatnya duduk.
"Sekali lagi kamu bicara seperti itu sama Mama kamu, papah akan..." Ayah Fikri terhenti. Fikri pun bangkit dari tempatnya duduk. Memandang ayahnya yang sedang berada dihadapannya itu dengan tatapan yang penuh dengan kemarahan.
"Papah akan apa? Akan usir aku, atau mau pukul aku. aku kecewa sama papah, semenjak mama meninggal papah udah nggak sayang lagi sama aku." Fikri pun berlalu dari meja makan dan segera masuk ke kamarnya.
***
Pagi ini Fikri datang ke sekolah begitu awal, ia berangkat ke sekolah dengan cepat karena alasan tidak ingin bertengkar lagi dengan ayahnya. Masih sedikit siswa yang datang pagi itu, keadaan sekolah masih terlihat sepi. Hanya nyanyian burung yang sesekali memecah keheningan. Baru kali ini dia ke sekolah begitu awal. Padahal di sekolahnya yang dulu dia adalah salah satu siswa yang sering terlambat. Namun hari ini dia ingin pergi lebih awal karena semakin tidak suka dengan ibu tirinya, dia tidak ingin melihat ibunya dia tidak ingin merusak harinya di pagi ini. Ketika masuk ke kelas Fikri terkejut melihat seseorang berdiri dari balik jendela kelasnya. Sepertinya dia tahu gadis itu siapa, dengan jilbab panjangnya Fikri langsung tahu siapa dia. Dan benar saja saat gadis itu berbalik tanpa kelas sosok yang selalu Fikri perhatikan setelah beberapa minggu pindah ke sekolah tersebut. Zahra, Zahra Salsabila. Pandangan mereka tidak sengaja bertemu, tanpa disangka oleh Fikri, Zahra tersenyum padanya seketika jantung Fikri berdegup kencang, 'ada apa ini?' gumam Fikri dalam hati. Dengan agak kaku dia membalas senyuman Zahra, dan segera duduk di bangkunya.
Setelah beberapa lama, terlihat Zahra keluar dari kelas. Fikri memutuskan untuk keluar dari kelas juga titik terlihat Zahra sedang berada di depan perpustakaan. Ya, perpustakaan yang berada di samping kelas mereka itu memang masih tutup. Zahra duduk di teras perpustakaan itu, dengan nyaman memegang buku di tangannya. Zahra memang gemar membaca, meski baru beberapa hari Fikri mengenal Zahra tapi dia sudah tahu beberapa hal tentang Zahra, Fikri selalu memperhatikannya secara sembunyi-sembunyi. Fikri pun menghampirinya dan mengajaknya berkenalan. Meskipun dia sudah tahu nama Zahra tetap saja dia ingin mengajaknya berkenalan, setidaknya ada alasan untuk mengajaknya berbicara. "Hai, kamu Zahra kan?" Tanyanya dengan pertanyaan yang bodoh, dan duduk disampingnya. Namun tanpa diduga oleh Fikri, Zahra bergeser dari tempatnya duduk. Menjauh dari Fikri. Ya... Walaupun jarak mereka memang tidak terlalu dekat, tetapi tetap saja kelihatannya Zahra kurang nyaman dengan hal itu. "Maaf, tidak baik k
Malam itu Fikri yang sedang tertidur di kamarnya terkejut setelah beberapa kali seseorang memanggil dari luar dan mengetuk pintu. Dia tahu betul siapa yang memanggilnya. Dia enggan membuka pintu kamarnya dan memilih untuk tetap terlelap dalam tidur. perlahan suara tersebut sudah tidak terdengar lagi dan pintu telah berhenti diketuk."Sepertinya Fikri tidak mau makan Pah, dia mungkin masih marah sama aku. " Ibu Rani nampak sedih."Udah lama, mungkin dia lagi tidur. Mama makan saja, Fikri akan makan kalau dia sudah lapar nanti. ""Iya, Pah."Pasangan suami istri itu pun makan berdua tanpa adanya Fikri. Pak Kusuma, ayah kandung Fikri sejak setahun belakangan ini telah menikah dengan ibu Rani. Yah... ibu Rani adalah ibu tiri Fikri, iya adalah sahabat dari mendiang ibu kandung Fikri. Fikri yang tidak suka ayahnya menikah lagi saya akan memberontak, sejak ayahnya menikah lagi sikapnya berubah 180 derajat. Dari anak yang pintar, rajin dan tidak per
Beberapa Minggu ini Fikri sering datang lebih awal ke sekolah, agar dia bisa bertemu dengan Zahra yang juga selalu datang lebih awal. mereka jadi sering bertegur sapa, walaupun singkat. Tapi Fikri selalu menantikan hal itu. Alasan lainnya adalah dia tidak mau bertemu dengan mama tirinya. Suasana sekolah masih sepi sama seperti hari-hari sebelumnya, hanya beberapa siswa yang baru datang pagi itu. Fikri yang sedang duduk termenung di bangkunya terkejut dengan kedatangan Dewi. Ia agak bingung karena baru melihat Dewi datang pagi-pagi sekali ke sekolah, maklumlah dia salah satu siswa yang terkadang terlambat ke sekolah. "Hai Fikri." "Eh... Dewi?!" "Iya aku, ada apa, kamu menunggu seseorang? " "Eh,... tidak kok." Fikri pun berjalan menuju ke depan kelasnya dengan sedikit kecewa ia menghela nafas panjang. Dia sangat berharap hari ini bisa mengobrol dengan Zahra seperti kemarin tapi hari ini mungkin tidak. Dia hanya duduk di teras kelasnya sambil sesekali melihat siswa-siswi yang berdata
Sudah tiga hari ini Fikri tidak masuk ke sekolah,itu pun tanpa keterangan atau bisa dibilang dia bolos sekolah. Ada beberapa teman yang melapor kepada ibu Asnia selaku wali kelas XII.IPA 1 bahwa mereka melihat Fikri tadi pagi di sekolah tapi entah kenapa anak itu tidak pernah masuk ke kelas. Konsekuensinya adalah dikirimkan lah surat pemberitahuan dari sekolah ke rumah Fikri. Dan akibatnya Pak Kusuma menjadi sangat marah melihat tingkah laku anaknya itu yang belum juga bisa berubah. Siang itu seperti biasa Fikri pulang ke rumah pukul 14.00 seperti jam pulangnya di sekolah. Ayahnya sudah menunggu di ruang tengah. Dengan amarahnya masih belum mereda, Fikri melangkah masuk menuju kamarnya tapi Pak Kusuma menghentikan langkahnya saat berada di ruang tengah. "Fikri, kemari kamu!" Perintah Pak kusuma. dengan langkah yang berat Fikri memaksakan dirinya untuk mengikuti perintah ayahnya. Fikri pun duduk di kursi tengah berhadapan dengan ayahnya. Sementara ibu Rani sedang tidak berada di ruma
Krrriiinnggg...Suara alarm berbunyi nyaring di kamar cowok tampan itu. Dengan masih setengah sadar dia meraih jam weker di atas meja kecil di samping tempat tidurnya dan langsung mematikannya. Terlihat pukul 05.30 segera dia bangkit dari tempat tidurnya dan masuk ke kamar mandi.setelah bersiap-siap dia pun segera mengambil kunci sepeda motor dan berjalan keluar rumah, di tengah langkahnya terdengar suara memanggil." Fikri, sarapan dulu nak! " Ajak ibu Rani yang sudah pulang dari rumah saudaranya." Tidak. " Jawabnya dengan dingin dan melanjutkan langkahnya. Tanpa menoleh sedikit pun pada wanita yang mengajaknya berbicara. Sesampainya di luar rumah dia menyalakan motornya dan segera berangkat ke sekolah.Hari ini seperti biasa dia berangkat ke sekolah dengan cepat. Tetapi secepat-cepatnya dia ada yang selalu mendahuluinya sampai ke kelas. Dia adalah Zahra, Zahra memang murid yang paling teladan di sekolah
Malam ini... Cahaya rembulan menemaniku ...Mengungkap wajahnya... Di balik tabir hati Yang selalu ku samarkan Perlahan...Ku uraikan perasaan yang terpendam Mengalirkan cerita pada sang maha cinta Tentang dia Yang hadirnya tersimpan indah Dalam rajutan jiwa Gemerlapnya bintang-bintang Hanya nampak di malam hari Berperasaan yang kini terpendam Yang menyalakan lampu cintanya Di sunyinya malam dalam doa Mencintaimu dalam sunyi Itulah caraku Membiarkan kesunyian ini datang Dan kau pun menyapa dalam angan Malam itu satu puisi tercipta dari seorang cowok tampan yang sedang jatuh cinta. Jatuh cinta? Entahlah. Dia pun belum tahu apa nama perasaan yang kini ia rasakan. Yah... hari ini dengan pembicaraan di perpustakaan tadi pagi di sekolah bersama Zahra membuatnya semakin kagum pada gadis cantik itu. Menurutnya Zahra begitu bijak, ia memiliki pemikiran yang dewasa. Tidak sama sepertinya yang masih bersikap kanak-kanak. Melalui nasehat Zahra tadi sedikit banyak telah membuka m
Sama seperti hari-hari yang lain Fikri berangkat ke sekolah cukup pagi, ya... tanpa sarapan, padahal pagi ini Bu Rani mengira bahwa Fikri akan sarapan bersama dia dan ayahnya lagi sama seperti malam tadi, tapi ternyata tidak. Fikri berangkat ke sekolah dengan awal seperti sebelumnya. Setiap pagi Fikri selalu ingin datang lebih awal, karena dia yakin pasti Zahra sudah ada di sekolah sekarang. Dan jika beruntung ke rumah dia bisa berbicara dengan Zahrah. Hari ini dia begitu semangat untuk berangkat ke sekolah, dia ingin mengatakan kepada Zahra bahwa dia sudah mulai belajar untuk menerima semuanya. Dia ingin mengatakan kalau dia berjanji akan berubah menjadi pria yang lebih baik lagi. Dan ada sesuatu hal yang lain yang ingin diungkapkan. Dengan terburu-buru dia melaju bersama sepeda motornya kembali menaikkan km sepeda motor yang ia bawa, karena pada saat itu jalan raya masih cukup sepi. Jadi Fikri berpikir mungkin tidak masalah jika ia membalas sedikit. Melaju dengan kecepatan 80 km/ja
Sesampainya di rumah sakit orang tua Fikri pun segera mencari ruangan anaknya, dan segera menuju ke sana. Dibukanya pintu ruang ICU itu dengan tidak sabaran. Dan terlihatlah Fikri yang sedang terbaring lemah dengan selang infus di tangannya, perban pembalut di kepala depan dekat dahinya, dan beberapa perban lagi di kaki dan tangannya. Pak Kusuma dan Ibu Rani sangat sedih melihat keadaan anak mereka sekarang. Ibu Rani duduk di samping tempat tidur Fikri yang masih belum sadar, memegang tangan cowok yang sudah dianggap seperti anak kandungnya itu, dan terlihat air mata kini menghiasi pipinya. Bagi orang tua, rasa sakit yang sangat besar adalah ketika melihat anaknya sakit. Dan seperti itulah yang kini dirasakan oleh Pak Kusuma dan Ibu Rani. Keesokan harinya, kabar tentang Fikri sampai di sekolah. Ibu Asnia sendiri yang memberitahukan kepada anak-anak kelas XII IPA 1. mereka semua sangat terkejut mendengar bahwa Fikri kecelakaan, begitu pun dengan Zahra. Ketika i
Tok tok tok“Zah, kamu udah selesai nak? Tanya Bu ….Zahra yang mendengar Bundanya mengetuk pintu segera membukanya. “Zahra lagi siap-siap Bun.” Terlihat Zahra sedang mengeringkan rambutnya dengan hair dryer yang ada di atas meja rias. Bu… tidak masuk dan hanya berdiri di ambang pintu.“Ya sudah siap-siapnya jangan kelamaan, teman keja kamu sudah menunggu di bawah, dia mau jempt kamu katanya.”Zahra mengerutkan keningnya.“Hah teman kerja? Si Deni?”“Bukan, bukan Deni, yang ini juga ibu gak kenal.”“Perasaan Zahra tidak menyuruh siapa pun untuk menjemput. Atau….” Zahra tampak berpikir.Ia membulatkan bola matanya saat nama seseorang terlintas di benaknya.“Bun, apa dia orangnya tinggi, tampan, dan memakai kacamata?” “Iya. Tuh kamu tahu, ya sudah ibu tunggu di bawa yah, cepetan siap-siap tidak enak kalau dia menunggu kamu terlalu lama.” Bu … menepuk pundak Zahra dan tersenyum, lalu meninggalkna kamar anaknya itu. Zahra kembali menutup pintunya, entah kenapa ia merasa aga kesal kar
Sejak kejadian itu, Kenzo tinggal bersama dengan keluarga Fikri. Kedua riang tua Fikri memperlakukannya seperti anak mereka sendiri. Menyekolahkannya, dan memberinya kasih sayang dan perhatian. Yah, ia memiliki keluarga baru yang begitu menyayanginya. Memiliki Kakak angkat membuat Fikri sangat bahagia, ia tidak merasa kesepian lagi di rumah, seseorang akan ada untuknya berbagi keluh kesahnya saat kedua orangtuanya sedang bekerja. Ia akan jadi memiliki teman untuk mengobrol hal-hal yang menyenangkan, dan merasa terlindungi karena memiliki seorang kakak. Kenzo merasa sangatlah berhutang Budi pada keluarga Fikri, dan ia berjanji akan selalu mengabdi pada keluarga tersebut, memberikan yang terbaik dan melakukan yang terbaik untuk Fikri dan kedua orang tuanya. ***Kenzo menyeka air matanya yang menetes karena mengenang masa lalunya. Bukan air mata kesedihan, melainkan air mata dari perasaan haru dan bahagia. Baginya Fikri adalah adik yang sangat ia sayangi, walau kadang bertengkar, namu
Fikri duduk di tepi kolam renang, membiarkan separuh kakinya terendam di dasar kolam. Merilekskan pikirannya yang sempat kacau karena berusaha mengingat sesuatu yang ia sendiri tidak tahu apa. Aneh?? Yah, memang tampak aneh, tapi itulah yang ia rasakan. "Sebenarnya siapa dia?" Gumam Fikri lirih.Sementara Kenzo yang baru sampai di rumah Tuan mudanya itu segera menuju ke arah kolam renang di rumah tersebut, ia tahu kalau Fikri ada di sana dari salah satu pengawal yang berjaga di rumah itu. Langkah besarnya telah membawanya sampai ke sana, melihat punggung Tuan Mudanya yang memunggunginya. Ia menarik nafas leganya. "Permisi Tuan Muda." Sapa Kenzo. Fikri berbalik sejenak saat mendengar suara asisten pribadinya itu. "Ah, iya. Apa meeting-nya sudah selesai?" Tanyanya."Iya Tuan Muda, meeting-nya sudah selesai dan berjalan dengan lancar. Perusahaan GCF resmi bekerja sama dengan perusahaan kita." "Alhamdulillah kalau semuanya berjalan dengan lancar. Kamu memang bisa diandalkan Kenzo."
Zahra berjalan dengan terburu-buru menuju gerbang kampus, dengan beberapa buku yang ada di tangannya. Hari ini jadwalnya di kampus hanya sampai pukul 12 siang. Begitu kelasnya selesai, dengan cepat ia segera memesan driver online. "Aku harus cepat, sebelum..." "Bu Zahra!" Teriak seseorang dari belakang . Terdengar suara langkah kaki yang berlari kecil menuju ke arahnya. Yah, lagi-lagi lelaki tampan itu, Zaki. "Aduh, tuh kan." Ucap Zahra kecil. Ia masih berusaha untuk menghindari pria itu dengan lebih mempercepat langkah kakinya. Namun, tentu saja ia kalah cepat."Bu Zahra!" Tanyanya dengan nafas yang terengah."E... eh, pak Zaki." Sapa Zahra kikuk. "Ibu kok jalannya cepat banget sih, saya juga dari tadi panggilin ibu loh.""Maaf Pak saya tidak dengar. Ini lagi buru-buru mau pulang, hhmmmm.... kalau gitu saya permisi yah Pak." Ucapnya ingin melangkah pergi. "Biar saya saja yang antar Bu, motornya kan masih ada di bengkel." Zahra merinding mendengar kata-kata itu. Ia melihat ke se
Seorang supir dengan langkah terburu-buru Segeran membungkukkan badannya sembari membukakan pintu mobil untuk tuannya. "Selamat siang Tuan Muda." Sapa Pak Edo, supir pribadi Fikri. "Iya." Jawab Fikri singkat, lalu langsung masuk ke mobil. "Kita akan ke mana Tuan Muda?" Tanya Pak Edo yang telah duduk di kursi kemudi. "Jalan saja Pak, nanti akan ku tunjukkan jalannya." Jawabnya sambil memainkan tablet ditangannya. "Baik Tuan Muda." 20 menit kemudian, mereka telah sampai di halaman sebuah Masjid yang cukup luas. "Tuan akan sholat Dzuhur di sini?" Pak Edi kembali bertanya. "Iya." "Kenapa tidak di mushola perusahaan saja Pak? Atau mungkin di Masjid yang cukup dekat dari kantor." Tak ada jawaban, hal itu membuat Pak Edi merasa tak enak hati. Ia mungkin sudah terlalu lancang karena terus bertanya pada tuannya."Maaf kalau saya lancang bertanya Tuan Muda. Lupakan saja pertanyaan saya, sekali lagi saya minta maaf Tuan." Takut-takut Pak Edo menghadapi lelaki muda yang sudah enam bulan
Zahra dan Zaki berjalan beriringan menuju Fakultas. Sesekali Zahra menjaga jaraknya pada pria tampan disampingnya itu. Ia tak ingin menyulut api amarah pada kaum hawa yang masih dengan setia menatap iri benci padanya. Zahra tak bersuara dan hanya mengangguk atau menggelengkan kepala saja saat Zaki bertanya padanya. Zaki sadar bahwa dia telah menciptakan kehebohan di kampus hari ini, namun ia juga hanya ingin menunjukkan kepada semua wanita Yanga selalu mengejar-ngejarnya kalau ia sudah memiliki wanita istimewa disisinya. walau dia tahu bila situasi ini mungkin tidak cukup baik untuk Zahra nantinya, namun ia berjanji pada dirinya sendiri, akan selalu berada di samping gadis ini saat seseorang ingin melakukan hal yang berbahaya karena telah dianggap merebut lelaki yang banyak disukai wanita. Hal lainnya adalah ia juga bisa menjauhkan para lelaki yang juga menyukai gadisnya. Tak bisa dipungkiri bahwa Zahra Salsabila adalah wanita yang sangat cantik dan manis. Kulit putih, hidung mancun
"Bunda, ayah, Zahra berangkat yah." Ucap Zahra seraya mencium kedua telapak tangan kedua orang tuanya yang sekarang duduk di meja makan. "Kenapa tidak sarapan dulu Zah?" Tanya ayah Zahra, Pak Herman."Zahra lagi buru-buru banget ayah, ada yang harus Zahra kerjakan secepatnya di sekolah." "Hhmm... ya sudah, hati-hati yah nak." Kata Bu Manda. "Iya Bun, Zahra berangkat yah. Assalamualaikum." "Wa'alaikumussalam." Jawab Bu Manda dan Pak Herman bersamaan. Sebenarnya hari ini Zahra memang sengaja untuk datang lebih awal ke sekolah. Hanya satu tujuannya, ia ingin tahu siapa si penggemar rahasia yang selalu meletakkan bunga dan cokelat di meja kerjanya. Dia yakin orang itu yang ia sebut si BuCok (alias manusia bunga dan cokelat) selalu datang sangat pagi untuk meletakkan hadiah itu di mejanya. Indah melakukan sepeda motornya menuju ke sekolah dengan kecepatan sedang. Jalan belum tampak terlalu ramai pagi ini. Zahra menikmati perjalanannya dengan merasakan hembusan angin yang masih sangat
Saat telah sampai di meja kerjanya, Zahra kembali terkejut mendapati bunga dan cokelat yang sudah ada di sana, dengan sebuah kartu ucapan kecil di sela-sela tangkai bunga itu.*Untuk perempuan tercantik yang pernah ku temui, semoga kamu suka bunga dan cokelat ini.*bunyi tulisan itu. "Huufftt..." Zahra menghembuskan nafas kasar. Ia memilih duduk dan tak ingin mempedulikan hadiah tersebut. Yah, sudah beberapa kali Zahra mendapatkan kiriman bunga beserta sebatang cokelat setiap pagi di atas meja kerjanya, tanpa ada nama pengirim di sana.Deni yang melihat Zahra dengan wajah cemberut lantas menghampirinya. Yah, sebenarnya dia sudah tahu apa yang sudah merusak mood Zahra pagi ini."Ciee... yang dapat bunga dan cokelat lagi. wah wah wah, penggemar rahasiamu itu menarik juga yah." Ledek Deni."Kamu ini apaan sih, selalu saja ngeledekin aku." Zahra semakin cemberut, memajukan bibirnya beberapa senti."Habis yah, aku tuh penasaran tahu gak, siapa sih yang bela-belain datang pagi-pagi banget
Suatu hari, gadis cantik itu terkejut dengan pengakuan sahabatnya Dewi, bahwa dia menyukai Fikri. Dia sangat sedih mendengar apa yang baru saja diungkapkan oleh sahabatnya itu. Namun dia berusaha menyembunyikannya. Sejak hari itu dia selalu memikirkan tentang sahabatnya yang menyukai laki-laki yang ia juga suka. Hari demi hari hatinya mulai terbuka, ia mulai memikirkan apa yang selama ini ia lakukan, ia baru sadar bahwa apa yang selama ini dia lakukan itu salah. dia salah karena selalu memandang seseorang yang bukan mahramnya itu. Dan sejak hari itulah dia tidak pernah lagi datang ke sekolah begitu awal. Dia hanya akan datang saat bel sudah mau berbunyi. Dia tidak lagi menunggu Fikri dari balik jendela itu. Dan hari yang paling berat itu pun tiba bagi gadis itu, saat Fikri mengungkapkan perasaannya padanya di hari terakhir sekolah, ketika mereka sudah melihat pengumuman hasil kelulusan UN mereka di sekolah, di dekat Masjid di dekat sekolahnya. Masjid An-Nur, menjadi saksi bisu tentan