Share

episode 5

“Untuk apa?” Tanya Bu Dinar yang memotong ucapan Fitri.

“Bu... Kenapa enggak ketuk pintu dulu kalau mau masuk ke kamar Angga.” Ucap Angga yang kesal karena Bu Dinar sudah masuk tanpa mengetuk pintu.

Wanita yang sekitaran umur 50 tahunan itu tidak terima dengan ucapan Angga.

“Terserah Ibu dong! rumah-rumah Ibu, Jadi Ibu bebas keluar masuk kapan saja yang Ibu mau.” Ketus Bu Dinar.

“Iya, mungkin dulu Ibu masih bebas keluar masuk. Tapi sekarang sudah beda Bu, Angga sudah punya istri.” Tegas Angga yang berusaha untuk menjelaskan kepada ibunya, bahwa sekarang ini ia sudah memiliki keluarga kecil dan memiliki privasi sendiri.

“Lalu, kenapa kalau kamu sudah punya istri? Ibu tidak berhak untuk menemui anak Ibu sendiri, gitu!” ucap Bu Dinar, sedangkan Fitri ia hanya diam mematung tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

“Dan kamu,” tunjuk Bu Dinar dengan tatapan tidak suka, “sudah bicara apa kamu sama anak saya? sehingga dia berani melarang ibunya untuk menemuinya.” Sambungnya dengan menuduh Fitri yang sudah menghasut Angga.

“A—aku tidak bicara apa-apa, Bu.” Jawab Fitri yang merunduk.

“Halah... Gak usah bohong kamu! pasti kamu sudah bilang macam-macam dan memfitnah Ibu kan, dasar wanita m4ndul!” hardik Bu Dinar.

Perempuan mana yang tidak sakit hati saat di cemooh oleh ibu mertuanya sendiri.

Memang dari sejak awal saat Angga meminta untuk menikahi Fitri, Bu Dinar tidak merestui hubungan mereka berdua, hanya karena Fitri berasal dari kampung dan tidak memiliki kekayaan seperti mereka. Di tambah lagi, sekarang ini Fitri belum kunjung hamil.

“Sudah cukup, Bu! Ibu tidak usah mem4k1 istriku dengan sebutan m4ndul.” Timpal Angga yang mulai terpancing emosi.

Melihat suaminya yang mulai terpancing emosi, Fitri hanya bisa menenangkan dengan cara menggenggam erat tangan suaminya.

“Sudah, Mas.”

“Lihat! Semenjak Angga menikah denganmu, anak saya berubah menjadi pembangkang seperti ini!” tuduh Bu Dinar yang memandang penuh dengan kebencian, “lagian apa sih spesialnya perempuan ini! Sehingga kamu lebih memilih dia di banding dengan Tantri.” Tambahnya dengan berjalan memutari Fitri dan melihatnya dari atas sampai bawah.

Untuk yang ke sekian kalinya, ia di bandingkan dengan mantan kekasih Angga yang mempunyai kekayaan yang sama dengan mereka. Beda jauh dengan Fitri yang hanya hidup dengan serba kekurangan.

“Cukup, Bu. Cukup! Jangan pernah sebut nama wanita itu lagi di depanku apalagi di depan istriku, Bu.”

“Kenapa tidak boleh? Bukannya dulu kalian saling mencintai? Dan gara-gara kamu Fitri anak saya menolak perjodohannya dengan Tantri!” sudah puas dengan penghinaan yang di lontarkannya, Bu Dinar pun pergi dari kamar Angga dan juga Fitri.

Brak!

“Astagfirullah,” ucap Angga yang mendengar sang Ibu menutup pintu dengan sekuat tenaganya.

Pria tampan itu menatap wajah istrinya yang sudah basah dengan air mata.

“Besok kita pindah ya, Sayang.” Ujar Angga.

Hangat dan nyaman ketika Angga memeluk tubuh wanita yang baru dua tahun melengkapi hidupnya, ia semakin terisak di dalam pelukan itu.

“Maafkan aku, Mas. Gara-gara berhutang budi ke Bapak, kamu batal menikah dengan Mbak Tantri.” Ungkap Fitri yang semakin tersedu.

“Kenapa harus meminta maaf? Tidak ada yang salah di antara kita. Memang benar kita menikah karena aku yang berhutang nyawa ke Bapak kamu. Tapi... Aku tidak sama sekali menyesali itu, justru aku sudah merasa menjadi lelaki yang paling beruntung, sudah memiliki istri yang cantik luar dalam seperti kamu.” Imbuh Angga yang mencium pucuk kepala Fitri.

Memang benar Angga menikahi Fitri karena mempunyai hutang nyawa kepada Pak Bimo, Pak Bimo sudah menyelamatkan Angga yang mengalami kecelakaan pada malam hari. Di tempat itu tidak ada orang yang berlalu lalang untuk menolong Angga yang dalam keadaan kritis, dan kebetulan ayah dari Fitri itu baru saja pulang dari bekerja dan melewati tempat Angga kecelakaan.

“Aku hanya wanita yang tidak mempunyai apa pun, Mas. Berbeda dengan Mbak Tantri yang...”

“Ssst... Enggak boleh berbicara seperti itu ya, Sayang. Memiliki kamu saja sudah lebih dari cukup,” ujar Angga, “sudah ya, jangan nangis. Daripada nangis mending kita buat dede bayi saja, bagaimana?” tambahnya.

Wanita cantik itu tersipu malu, ia tau jika sekarang ini suaminya sedang merasakan rindu berat. Karena sudah lima bulan tidak bertemu alias LDR.

“Aku malu, Mas.” Ungkap Fitri yang menenggelamkan wajahnya di dada bidang milik Angga.

*

*

Di lain ruangan, Bu Dinar dan Kiran sedang merasakan amarah yang sangat membuncah. Mereka kira jika Fitri itu sudah mengadu kepada anaknya, padahal Fitri tidak sama sekali berbicara apa pun tentang mereka.

“Arrgh... Kurang ajar! berani-beraninya si benalu itu sudah mengatakan yang sebenarnya.” Teriak Bu Dinar.

“Ibu serius dia sudah mengadu ke Mas Angga?” tanya Kiran yang memastikan.

“Iya, buktinya pas Ibu masuk ke dalam kamar mereka, Kakak kamu Marah tidak terima.” Jelas Bu Dinar dengan nafas yang memburu.

“Astaga Ibu... Jelas saja Mas Angga marah, orang Ibu main nyelonong saja tanpa mengetuk pintu,” sahut Kiran yang menertawai sikap ibunya.

“Loh, salahnya di mana?”

Kiran menghampiri sang ibu dan mengajaknya untuk duduk di kasur agar menjadi lebih rileks.

“Bu, Kiran jelasin ya? Begini Bu, kan Mas Angga baru pulang dari luar kota, kemungkinan dia kangen dong sama istrinya yang jelek itu. Nah mungkin saja mereka lagi bikin dedek bayi, terus dengan tiba-tiba Ibu datang dan mengacaukan semuanya, gitu Bu hahah.” Jelas Kiran panjang lebar.

Mendengar penjelasan dari putrinya, Bu Dinar malah ketawa keras karena ia sudah berhasil menggagalkan mereka yang akan ibadah indahnya.

“Ibu tidak mau mempunyai cucu dari wanita dekil itu, Ibu hanya mau cucu dari Nak Tantri.”

Setelah itu, tiba-tiba saja muncul ide jahat yang terlintas di kepala Karin untuk di lakukan kepada sang menantu.

“Bu, Kiran punya ide.” Usulnya dan membisikkan sesuatu di telinga Bu Dinar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status