Bab51
"Sudah Bunda kabari?" tanya Rakjasa.
"Sudah Ayah."
Rakjasa kembali menonton tivi. Namun, tiba-tiba handphone miliknya, mendapat panggilan telepon.
"Siapa Yah?" tanya Bunda Jelita.
Rakjasa pun meraih ponselnya, dan melihat nama si pemanggil di layar pipihnya.
"Alia."
"Alia?" tanya Bunda Jelita memastikan.
"Iya. Katanya kemarin mau datang hari ini, sama rekan bisnisnya juga."
"Oh ya? Kebetulan sekali ini. Bunda akan masak banyak," sahut Bunda Jelita dengan senang.
Bryan yang sudah memasuki gerbang rumah orang tuanya, dan memarkirkan mobilnya di tempat biasa pun, mulai membangunkan Ganesa.
Ganesa berusaha membuka matanya, dengan mengerjap-ngerjap, memaksakan kantuknya hilang.
"Kita dimana?" tanya Ganesa memindai sekitar. Dia merasa bingung.
"Di rumah orang tuaku. Bunda Jelita meminta datang, katanya penting. Lekaslah keluar, aku tidak ingin lama-lama di sini."
Ganesa pun mengangguk,
Bab52Usai berkata semacam itu, Bryan pun berpamitan untuk pulang. Sedangkan Ganesa, hanya terdiam, mengikuti apapun permintaan Tuannya.Dia sadar, dia bukanlah siapa-siapa di mata Bryan. Jadi wajar, jika Bryan memperlakukan Ganesa seperti itu."Ganesa, ayo ikut saya ke belakang." Raut wajah Bunda Jelita sangat berubah dratis.Yang tadinya ada Bryan sangat ramah dan lembut. Kini, berubah dingin. Sedangkan Rakjasa, sedari tadi memang mengacuhkan kehadiran Bryan dan Ganesa.Ganesa pun mengikuti langkah Bunda Jelita, menuju ke dapur."Kamu cuci piring dulu ya! Setelah itu baru nyuci baju. Jangan pake mesin cuci, hemat listrik."Ganesa hanya mengangguk, tanpa berani membantah. Dia pun mulai melakukan tugas yang di perintahkan, meskipun dalam hatinya sangat sedih.Sedangkan Bunda Jelita, mulai menghubungi Nuna, untuk mengajaknya memasak bersama
Bab53"Ganesa, kamu tata dengan rapi, seluruh masakan ini, ya. Saya dan Nuna mau ke depan, menyambut Bryan dan tamu penting kami."Ganesa lagi-lagi, hanya bisa mengangguk.Nuna memeluk lengan Bunda Jelita, dan berjalan beriringan dengan manja. Nuna berharap Ganesa sadar, bahwa hanya Nuna lah, sosok yang di terima sebagai menantu, bukan Ganesa.Meski lelah dan teramat pusing, Ganesa tetap mengikuti perintah Bunda Jelita."Mana teman lelakimu? Katanya mau ikut datang kemari?" tanya Bunda Jelita, sembari memeluk Alia, yang ternyata sudah datang."Katanya dia menyusul. Tadi dia masih ada meeting." Wanita yang bernama Alia itu menyahut."Oh. Oya, kenalkan." Bunda Jelita menunjuk Nuna. "Calon istrinya Bryan," katanya.Alia tersenyum, dan bersalaman dengan Nuna. "Bryan memang pinter mencari calon, cantik!" puji Alia."Terimakasih, Tante. Tante juga cantik," puji Nuna juga."Berasa jadi obat nyamuk," seru Rakj
Bab54Bryan menatap Ganesa, dan tidak mau lagi berdebat dengan sang Bunda."Mama, jangan tinggalkan Ganesa," lirib wanita itu, dengan mata, yang masih tertutup rapat.Bunda Jelita dan Nuna saling tatap. Sedangkan Bryan, menepuk pelan pipi wanita itu, dan menggenggam tangannya."Ganesa," bisiknya pelan. Namun wanita itu tidak kunjung membuka mata.Ganesa terus menggaungkan kata Mama."Bryan, dimana Ibu Ganesa?" tanya Bunda Jelita penasaran.Bryan tidak menyahut, dia hanya terfokus pada Ganesa, yang sulit untuk dia bangunkan.Sedangkan Nuna hanya terdiam, melihat Ganesa seperti ini. Ada rasa kasihan di hatinya, namun juga rasa marah yang begitu berkembang, membuatnya memupuk rasa benci yang lebih besar dari rasa empati.******"Halo, Mas." Alia menyapa Zaki, dan asik mengobrol bersama Rakjasa.
Bab55"Diam, kalau kamu terus mengoceh, aku akan mengurung kamu di kamar ini," ancam Bryan yang mulai kesal.Ganesa pun terdiam, tidak lagi berani bersuara."Rebahkanlah kepalamu di pundakku, dan tutup mata. Buat dirimu senyaman mungkin," pinta Bryan. Dan Ganesa pun menurutinya.Dia menutup mata, dan membenamkan wajahnya di dada bidang Bryan. Mereka melewati ruang keluarga."Bryan, dia belum siuman?" tanya Alia, ketika melihat Bryan menggendong Ganesa."Sudah sadar, Bryan akan membawanya pulang ke apartemen.""Pulang ke apartemen? Dia pembantu kamu ya?" tanya Alia dengan polos. Mendengar pertanyaan Tantenya itu, Bryan menghentikan langkahnya.Zaki hanya melihat sekilas, dan kembali menatap layar ponselnya, karena ada beberapa kiriman pesan, yang berupa informasi penting bagi proyek yang baru digarapnya."Pembantu, kenapa Tante bisa berkata begitu?" tanya Bryan penasaran."Tadi kata Bunda kamu, dia itu-
Bab56"Ganesa ...." Bryan menatapku. Aku menyeka pelan air mata, mencoba menghentikan isakkan tangis, yang tidak kunjung berhenti juga."Maaf jika aku bertanya. Teman Tante Alia tadi, itu benar Papa kamu?" tanya Bryan kepadaku.Aku menunduk, rasanya tidak kusangka, bahwa aku bisa bertemu Papa lagi. Apakah ini sebuah kebetulan? Kurasa dalam hidup ini, tidak ada yang kebetulan.Semuanya sudah atas kehendak Allah."Iya," sahutku pelan."Kenapa reaksimu seperti tadi? Maafkan aku, Ganesa. Yang kutahu dari Bunda. Papa kamu itu lelaki sukses, yang memiliki aset miliarran. Ada apa dengan kamu? Mengapa ada di tempat Mami Ara?"Aku menatap Bryan dengan perasaan yang terluka. Bukan karena perkataannya, melainkan karena nasibku yang kurang beruntung."Wanita itu menipuku!" sahutku cepat tanpa ragu. "Dia menahan ijazahku. Dia membawaku dari Kalimantan ke Jakarta, dengan iming-iming kerjaan sebagai ART. Aku yang saat itu memang kesulit
Bab57"Eemm. Mengenai Nuna, aku mendengar jelas tadi. Papa kamu bilang, kalian dulu satu sekolah dan bersahabat, apa itu benar?""Menurut kamu bagaimana?" Aku mentapnya."Jawablah. Bukannya bertanya balik, nggak sopan." Wajah Bryan cemberut, membuatku merasa lucu."Dulu iya, sekarang lain lagi ceritanya.""Why?""Karena kamu!""Hah?" Bryan melongok seperti orang bego, membuatku tidak bisa menahan tawa."Nggak usah sok kegantengan, Tuan Bryan," decakku sebal, melihat ekspresi konyolnya itu."It's oke. Bukan urusanku," katanya sambil menaikkan bahu, dan bangkit dari duduknya."Istirahatlah, aku masih ada urusan.""Ya." Kutatap lamat-lamat punggung lelaki itu, lelaki yang kini menghilang di balik pintu kamarku.Meninggalkanku seorang diri di sini. Meratapi segala sunyi dan pe
Bab58Usai sarapan, aku berusaha bangkit, dan berjalan perlahan menuju pintu keluar.Terdengar suara orang yang sedang mengobrol di ruang tamu. Aku berjalan semakin pelan, agar langkah kakiku tidak begitu terdengar.Kutajamkan pendengaran, untuk memastikan, siapa tamu Bryan sepagi ini."Papanya sudah tidak sabar ingin bertemu. Bryan, kamu harusnya bisa membujuknya." Terdengar jelas, seperti suara Bunda Jelita.Aku berjalan lebih dekat lagi, berdiri di dinding penyekat antara ruang tamu dan ruang bersantai."Bunda, Ganesa masih sakit.""Bryan tolonglah Tante. Papa Ganesa sangat kecewa pada keluarga kita." Tante Alia terdengar memohon pada Bryan."Bukan urusan Bryan. Salah Bunda sendiri, selalu seenaknya menilai orang," cecar Bryan."Bryan, kamu jangan begitu, Nak. Bunda kan nggak tau, kalau Ganesa anak orang kaya. Bunda pikir, kamu mungut anak panti asuhan," sahut Bunda Jelita.Astagfirullah, sakit rasanya hati ini
Bab59"Ganesa, maaf." Lagi-lagi ucapan Tante Alia terjeda.Aku hanya diam menatapnya, tanpa mau melempar tanya.Tarikan napas Tante Alia terdengar jelas."Ganesa, Tante tidak tahu jelas, tentang semua masalah kamu dan Mas Zaki. Tetapi ada baiknya, kamu beri dia kesempatan untuk bicara. Selama ini, dia sudah mencari kamu kemana-mana. Hingga berat badannya kini semakin menyusut."Aku masih terdiam. Rasanya sakit hati ini mengingat Papa, lelaki yang tega menelantarkan buah hatinya itu, jujur, bukan hanya kecewa yang mendalam di hati ini. Tapi juga benci."Ganesa, Tante mohon, temuilah Papa kamu, sayang. Biar bagaimana pun, dia sangat menyayangi kamu.""Sayang seperti apa yang Papa punya? Aku bertahun-tahun terlantar, hingga nasibku sehancur ini. Dan Tante bisa- bisanya bilang begitu? Tante boleh suka sama Papa, aku jelas tidak perduli. Tapi jangan membelanya,
Bab145"Mamah Helena mohon! Helena janji akan jadi anak yang baik untuk Mamah dan Papah. Helena juga akan menuruti, apapun kemauan kalian," kata Helena memohon pada Ganesa.Ganesa terdiam, terpaku mendengarkan tangisan pertama anak gadisnya."Ganesa, bukannya maksud Mamah ingin ikut campur. Tapi tolong kamu pikirkan lagi, demi anak kalian. Beri Najib kesempatan sekali lagi, jika dia berulah kembali, maka apapun yang terjadi, Mamah akan dukung kamu 100 persen, Nak.""Iya Ganesa, bukannya kakak tidak mengerti perasaan kamu. Kakak ngerti banget. Tapi tidak ada salahnya, jika kamu pikirkan lagi."Terdengar langkah kaki pelan seseorang, berjalan ke arah mereka. Najib, memandang sayu ke arah mereka bertiga."Ganesa," panggil Najib. Ganesa pun tidak menoleh ke arah lelaki itu, dia hanya terdiam, dengan pikirannya yang terus berperang dengan hati.
Bab144 "Jadi ini, laki-laki yang menjadi selingkuhan kamu? Dan berarti benar yang dikatakan Jesika, kamu gadaikan rumah, demi lelaki ini," tunjuk Najib. Julian mengernyit. "Najib, kamu nggak malu di lihat orang? Kamu lagi berdongeng?" tanya Ganesa dengan tenang menanggapi Najib. "Ayo pulang!" ajak Najib. Ganesa berdiri, dan menatap Najib sengit. "Kamu pikir kamu siapa? Seenaknya mengusir aku dari rumahku sendiri, demi wanita lain. Dan kini datang kesini, hanya untuk mempermalukan aku?" "Ganesa, kamu itu masih istriku yang sah." "Oh ya? Sekarang baru kamu merasa aku istrimu! Sebelumnya bukan? Sehingga kamu seenaknya menyakitiku, dan selalu membela wanitamu. Ah, sudahlah, aku malas untuk berdebat. Sekarang pergi dari sini, atau kami
Bab143"Berapa lama?" Najib masih bertanya."Seminggu. Berangkatnya tadi pagi.""Seminggu? Lama sekali."Najib merasa kesal dan ingin marah. Tapi dia tidak tahu, harus marah pada siapa.Najib pulang ke rumah, dengan perasaan frustasi."Kenapa kamu?" tanya Ratna."Nggak apa-apa," sahut Najib seadanya. Ia pun menaiki anak tangga dengan gontai, menuju ke kamarnya.Di dalam kamar, dia membayangkan wajah Ganesa, wanita yang kini sangat dia rindukan. Bahkan Najib tidak bisa marah sama sekali, ketika tahu Ganesa menggadaikan rumah ini.Najib tahu, Ganesa tidak berniat jahat. Jika dia jahat, maka rumah ini tidak lagi dia gadaikan, tetapi dia jual."Ganesa, mas rindu sekali, sayang," lirih Najib memeluk guling.Sedangkan di Butik Ganesa, wanita i
Bab142●Pov Najib●"Mah, Najib menyesal," lirihku."Sudah Mamah ingatkan berkali-kali sebelumnya. Tapi kamu, tetap kekeh berkelakuan di belakang. Kalau sudah begini bagaimana.""Mah, biarkan saja sudah kalau begini. Besok kita balik ke Bandung lagi. Lagian, ini itu salahnya Najib sendiri," kata kak Aya dengan raut wajah kecewa.Aku tahu, aku yang salah dan terlalu angkuh dengan pencapaianku sendiri. Terlebih, Jesika selalu memujiku tampan, baik dan rupawan, juga hartawan. Aku melayang, dengan kesombongan diri yang berakhir kacaunya rumah tanggaku.Aku selalu memandang tak suka pada Ganesa. Entah mengapa, aku menganggap Ganesa layaknya wanita yang serba gagal.Gagal menjadi Ibu yang baik bagi anakku, dan gagal menjadi istri, yang bisa membuat suaminya setia.Bagaimana dia bisa membuatku setia? Jika setiap
Bab141"Astagfirullah, kak Najib," seru Jesika, dengan mata membulat karena terkejut, melihat Najib yang begitu marah."Apa yang kamu katakan tadi? Berani sekali kamu berkata seburuk itu pada Putriku," bentak Najib berang."Mas, kami hanya bercanda." Jesika membujuk."Bohong, Pah. Tante dari tadi menghina dan memakiku."Mendengar penuturan Putrinya, Najib semakin marah pada Jesika."Helena, kok kamu ngomong begitu, sih. Tega kamu sama Tante," lirih Jesika sembari menunjuk. Tangannya memilin-milin baju dengan gemetar."Sebaiknya, kamu angkat kaki dari rumah ini," pinta Najib dengan dingin.Jesika mendongak. "Sayang, kok ngomong begitu. Janganlah pake emosi gitu, kita kan bisa bicara baik-baik.""Aku mendengar semuanya. Demi menjaga mental anakku, pergilah dari rumah ini. Kamu dan aku,
Bab140Entah keyakinan dari mana, Jesika memberanikan diri menelpon mertuanya, juga kakak iparnya.Tangis palsu Jesika pecah, ketika menceritakan deritanya bersama Najib di rumah ini."Jesika, nggak mungkin Ganesa melakukan itu! Kamu jangan mengada ngada ya," kata Aya, Kakak tertua Najib."Sumpah kak. Ganesa pergi dari rumah ini, dan hidup bersama lelaki lain. Bahkan dia gadaikan rumah Kak Najib ini, demi membahagiakan lelakinya.""Astagfirullah, kakak akan hubungi Ganesa dulu." Sambungan telepon seketika di matikan begitu saja.Jesika meradang. "Sialan, dasar bedebah," pekik Jesika.Ia pun menghubungi Ratna, mertuanya itu, untuk mengompori wanita tua itu juga."Ada apa, Jesika," tanya Ratna. Ketika menjawab panggilan telepon Jesika."Mah, rumah kak Najib digadaikan Ganesa ke Bank. Bahkan, kak Ganesa tidak mau membayarnya lagi dan pergi dari rumah, bersama laki-laki lain.""Jesika, kamu jangan coba mengada-n
Bab139Mendengar ucapan Najib, dada Jena bergetar, sembari memandangi sesaat wajah Andre, suami yang baru sah pagi tadi menjadi miliknya."Mas, kenapa ada orang kedua yang berucap tentang hal ini. Jika saat itu, Lena kamu katakan berhalusinasi, lalu itu tadi apa?" tanya Jena, ketika mereka duduk di pelaminan."Aku akan jelaskan nanti, usai resepsi ini selesai, bisa kan?" tanya Andre kembali, merasa tidak nyaman.Jena hanya menghela napas berat, menatap Andre dengan tatapan kekecewaan."Salah diri ini, memilih menyimpan bangkai, di bandingkan bercerita kepadanya. Kalau sudah begini, aku hanya menimbulkan getar keraguan di mata Jena," batin Andre.Kini perasaan keduanya menjadi gamang. Sedangkan Ganesa, hanya menatap biasa kepada pasangan itu.Meskipun awal kedatangan Ganesa, sempat membuat Andre gelisah. Namun ketika Ganesa ti
Bab138"Ya, ada apa? Ibu kenal?" tanya Jena.Aku menatap Jena sesaat."Cuma tahu, kalau mengenal banget sih, nggak."Jena mengangguk. "Datang ya, Bu.""Insya Allah," jawabku.Jena pun keluar dari ruanganku, karena memang hanya memberikanku undangan pernikahannya.Aku menyandarkan tubuh di kursi, sambil menscroll status teman-teman kontak whatappku.Terlihat Jesika mengunggah sebuah foto, yang memperlihatkan kemesraannya dengan suamiku. Padahal berkas permohonan perceraian kami, baru masuk beberapa hari yang lalu.Tapi wanita ini, sudah sangat percaya diri, untuk memperlihatkan kemesraan mereka.Aku tersenyum kecut, melihat foto itu. Disusul ketikan status, status yang nyaris 100% memburukkanku."Wanita yang tega meninggalkan suaminya, hanya demi ambisinya. Ka
Bab137●Pov Ganesa●"Helena, yang sopan sama Tante Jesika!" bentak mas Najib, lelaki itu bangkit dan menatap tajam anak perempuan kami itu."Cepat minta maaf," titah mas Najib lagi pada Helena.Jesika menangis keras. "Ya Allah, mengapa aku hidup begini? Lebih baik aku mati saja, dari pada hidup menjadi beban dan hinaan mereka saja.""Jesika, kamu apa-apaan sih?" Mas Najib memindai Jesika dengan aneh."Mas, anak kamu sekarang tega menyakiti hatiku. Tega sekali, membuat hatiku bergejolak sakit.""Uuwu sekali," seruku, ketika melihat sikap Jesika, yang terang-terangan, berani memegangi lengan suamiku."Cepatlah pergi, sebelum rumah ini semakin hancur."Aku berjalan menaiki tangga, melewati Helena yang sudah aku diam kan beberapa hari ini. Tidak lagi kutegur, mau pun aku pedulikan.