Bab57
"Eemm. Mengenai Nuna, aku mendengar jelas tadi. Papa kamu bilang, kalian dulu satu sekolah dan bersahabat, apa itu benar?"
"Menurut kamu bagaimana?" Aku mentapnya.
"Jawablah. Bukannya bertanya balik, nggak sopan." Wajah Bryan cemberut, membuatku merasa lucu.
"Dulu iya, sekarang lain lagi ceritanya."
"Why?"
"Karena kamu!"
"Hah?" Bryan melongok seperti orang bego, membuatku tidak bisa menahan tawa.
"Nggak usah sok kegantengan, Tuan Bryan," decakku sebal, melihat ekspresi konyolnya itu.
"It's oke. Bukan urusanku," katanya sambil menaikkan bahu, dan bangkit dari duduknya.
"Istirahatlah, aku masih ada urusan."
"Ya." Kutatap lamat-lamat punggung lelaki itu, lelaki yang kini menghilang di balik pintu kamarku.
Meninggalkanku seorang diri di sini. Meratapi segala sunyi dan pe
Bab58Usai sarapan, aku berusaha bangkit, dan berjalan perlahan menuju pintu keluar.Terdengar suara orang yang sedang mengobrol di ruang tamu. Aku berjalan semakin pelan, agar langkah kakiku tidak begitu terdengar.Kutajamkan pendengaran, untuk memastikan, siapa tamu Bryan sepagi ini."Papanya sudah tidak sabar ingin bertemu. Bryan, kamu harusnya bisa membujuknya." Terdengar jelas, seperti suara Bunda Jelita.Aku berjalan lebih dekat lagi, berdiri di dinding penyekat antara ruang tamu dan ruang bersantai."Bunda, Ganesa masih sakit.""Bryan tolonglah Tante. Papa Ganesa sangat kecewa pada keluarga kita." Tante Alia terdengar memohon pada Bryan."Bukan urusan Bryan. Salah Bunda sendiri, selalu seenaknya menilai orang," cecar Bryan."Bryan, kamu jangan begitu, Nak. Bunda kan nggak tau, kalau Ganesa anak orang kaya. Bunda pikir, kamu mungut anak panti asuhan," sahut Bunda Jelita.Astagfirullah, sakit rasanya hati ini
Bab59"Ganesa, maaf." Lagi-lagi ucapan Tante Alia terjeda.Aku hanya diam menatapnya, tanpa mau melempar tanya.Tarikan napas Tante Alia terdengar jelas."Ganesa, Tante tidak tahu jelas, tentang semua masalah kamu dan Mas Zaki. Tetapi ada baiknya, kamu beri dia kesempatan untuk bicara. Selama ini, dia sudah mencari kamu kemana-mana. Hingga berat badannya kini semakin menyusut."Aku masih terdiam. Rasanya sakit hati ini mengingat Papa, lelaki yang tega menelantarkan buah hatinya itu, jujur, bukan hanya kecewa yang mendalam di hati ini. Tapi juga benci."Ganesa, Tante mohon, temuilah Papa kamu, sayang. Biar bagaimana pun, dia sangat menyayangi kamu.""Sayang seperti apa yang Papa punya? Aku bertahun-tahun terlantar, hingga nasibku sehancur ini. Dan Tante bisa- bisanya bilang begitu? Tante boleh suka sama Papa, aku jelas tidak perduli. Tapi jangan membelanya,
Bab60"Maafkan saya," ucapku gugup. Bunda Jelita memindaiku, tatapan dingin itu tiba-tiba menguap, dan berganti senyuman manis secepat kilat.Begitu cepat sekali perubahannya, membuatku sedikit merasa takut padanya."Its oke, sayang. Maafkan Bunda, jika kemarin keterlaluan. Semua itu Bunda lakukan, untuk menguji keseriusan kamu, yang ingin menjadi menantu kami."Rasanya aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiran Bunda. Jujur saja, Bunda seperti orang, yang memiliki kepribadian ganda."Kok bengong? Peluk Bunda sini," pinta Bunda Jelita, membuatku semakin terperangah dengan keramahannya."Ganesa," panggilnya lagi, membuyarkan lamunanku.Aku pun memaksakan senyum, dan menghambur ke pelukannya."Terimakasih Bunda, sudah mau memberi maaf, pada Ganesa yang lancang dan tidak sopan," kataku lagi.Bunda Jelita membelai rambut hit
Bab61Aku membuang napas kasar, juga membuang pandang darinya."Mengapa aku dibawa kemari?" tanyaku, tanpa mau melihatnya."Ganesa, maafkan Papa ya, Nak. Papa tahu kamu kecewa dan sakit hati. Maafkan Papa, yang tidak tahu apa-apa, dan terlalu percaya pada Maura."Aku berusaha duduk dari rebahan, namun kepalaku begitu pusing."Ganesa, rebahan dulu, Nak.""Papa tuh jahat, aku benci sama Papa, juga benci sama Mama. Kalian kejam, tega menelantarkan aku seorang diri," teriakku.Aku menangis terisak. "Apakah Papa tau, bagaimana aku menjalani hidup selama ini? Bukan hanya kesepian dan penghinaan yang aku alami. Bukan cuma kelaparan dan kedinginan menghantamku. Bukan pula panasnya hari. Tapi kemarahan yang tidak tahu harus kemana aku lampiaskan, tidak punya sandaran, tidak punya siapa-siapa, aku sebatang kara Papa."Aku menangis sejadi-jadinya, meluapakan luka di hati, yang selama ini kusandang dengan bersusah payah seorang diri.
Bab62Flashback.Bryan menuju kantornya, karena mendapatkan laporan dari Boby, mengenai sidak hari ini di kantornya."Bos, Alvaro sepertinya ada main.""Kenapa kamu bisa bicara begitu?" tanya Bryan. "Dia orang lama di kantor ini, dan dia juga sepupuku. Rasanya mustahil."Boby menghela napas. "Aku yakin, sidak hari ini cukup jelas mencurigakan. Bapak Alvaro dan Manager keuangan melakukan tindak korupsi." Boby menyerahkan beberapa lembar bukti, bukti yang kuat untuk mencurigai sumber kekayaan Alvaro.Bryan menarik kasar rambutnya. Lelaki itu begitu kesal, ketika mulai aktif kembali masuk kantor. Malah disuguhkan berbagai masalah, yang tidak pernah dia duga sebelumnya.Alvaro yang menjadi orang kepercayaannya selama ini, tiba-tiba bermain dengan uang kantor.Bahkan saat ini, Alvaro sedang asik berlibur. Dan untuk itu, Bryan menahan diri, untuk bersabar menunggu kepulangan Alvaro."Panggil Manager keuangan," pinta Bryan.&nbs
Bab63"Keluar!" bentak Zaki, menatap sengit ke arah Bryan."Papa," tegur Ganesa, yang ternyata melangkah keluar kamar."Ganesa," seru Zaki terkejut. "Mengapa kamu keluar? Sudah makannya?" lanjut Zaki kembali bertanya.Ganesa mengangguk. "Aku ingin pulang bersama Bryan," kata Ganesa lembut.Zaki sedikit terkejut. "No. Ganesa, kalian belum menikah, Papa tidak izinkan kamu tinggal dengannya.""Pa, selama ini, Bryan lah yang bersamaku. Sedangkan Papa kemana? Asik membahagiakan Maura. Apakah Papa pernah mengingatku, walau hanya sedikit?" tanya Ganesa dengan pancaran mata yang penuh luka."Ganesa, kamu tidak tahu perasaan Papa sangat tersiksa selama ini. Mencari kamu kemana-mana, akan tetapi, kamu begitu sulit Papa temukan. Papa berusaha tetap sukses, meski ditengah kekacauan rumah tangga Papa dan Maura, berakhir hancur. Demi kamu, demi masa depan kamu, Papa tetap berusaha sukses.""Aku tidak butuh semua itu," terang Ganesa."
Bab64Seorang wanita turun dari taksi, dengan ekspresi wajah yang nampak kesal.Dia keluar, dengan tatapan tajam, menatap kediaman keluarga Andin."Ini rumah Papa?" batin wanita itu. "Enak sekali mereka, menikmati hasil kerja keras Papaku. Sedangkan aku dan Mama, hidup dalam derita," gumamnya.Dengan langkah lebar, wanita itu membuka pagar rumah berwarna bata itu. Perasaannya kini tidak karuan, melihat kesetiap sudut rumah, yang begitu nampak indah dan nyaman.Berbeda sekali dengan rumahnya dan sang Mama, yang mulai lapuk dan banyak dinding yang sudah rusak.Dia memutar kenop pintu, dan mendorong pelan. Pintu terbuka lebar, karena memang tidak dikunci.Rumahnya nampak sepi, dia pun celingukkan, melihat-lihat kondisi di dalam rumah."Apaan, rumah sepi begini," batinnya lagi. Dia pun berjalan pelan, menuju ke dalam rumah.Terdengar suara rintihan kenikmatan, yang berasal dari dalam kamar."Gila, pagi-pagi masih saja
Bab65"Kamu percaya? Lihatlah anak kamu di kamar sana! Aku barusan ngasih dia obat. Katanya badannya panas," jawab Rasid dengan santai."Gaby sakit?" Andin mengernyit, ketika tahu Gaby sakit."Hhhmmm, sana cek sendiri. Dan kamu Naura, ayo bicara berdua," pinta Rasid, menatap tajam wajah Naura."Tante jangan bodoh, deh. Buaya di pelihara." Lagi-lagi Naura berkata tajam, tidak lagi dia perdulikan, pipinya yang masih panas akibat tamparan sang Papa.Naura jelas tidak menyangka, bahwa Papanya segila itu.Meskipun gugup di hati mengganggu langkah Naura, tapi dia tetap memaksakan diri, mengikuti langkah Rasid.Rasid membuka ruang kerjanya yang kedap suara, dan juga meminta Naura masuk."Duduk!" titah Rasid. Dan disambut angggukan oleh Naura.Mereka duduk berhadapan, dengan meja kerja lebar di depan mereka, yang menjadi penyekatnya."Mengapa kamu datang kemari, dengan gaya seperti maling?" tanya Rasid, dengan t