Bab130
●Pov Ganesa●
Apapun itu, kutelan saja dulu pahitnya, hingga diri ini sudah tidak kuat lagi.
Hari ini, Helena memasuki Universitas Perguruan Tinggi ternama di kota kami. Aku hanya bisa ikut senang, tanpa bisa ikut mengantarnya ke kampus.
Hanya Mas Najib dan Ibu mertua yang berangkat mengantar Helena. Aku hanya terdiam, sembari menahan getir didada.
Anakku bahkan tidak mau bersalaman padaku, dan itu juga aku pahami.
Mereka pergi meninggalkan halaman rumah, meninggalkanku yang mati-matian menahan air mata, untuk tidak keluar.
Entah apa salahku, sehingga anak sendiri membenciku sedalam itu.
Aku pergi ke Butik milikku, dan berusaha kembali fokus menciptakan karya-karya baru. Ditemani Jena, yang merupakan asisten baruku.
Jena memiliki kelebihan khusus, dan melengkapi Butik ini dengan
Bab131●Pov Ganesa"Kamu mengusir Mamah?" tanyaku dengan suara serak."Ya." Helena membuang pandang."Kamu tahu, di dunia ini, yang paling hebat membunuh kebahagiaan seorang Ibu, adalah ketika anak yang dia lahirkan, berani membentaknya."Helena tidak merespon. "Mamah tidak tahu, mengapa kamu bisa membenci Mamah. Tapi 1 hal yang Mamah tau, cinta Mamah pada Helena tidak pernah padam. Meskipun hari ini, Helena sukses memadamkan kebahagiaan Mamah.""Aku benci sama Mamah. Wanita itu bilang, Mamah saudara kembar Ibu dari wanita itu. Ibu wanita itu mengerikan, dan selalu menyiksa Kakak yang menculikku itu. Dia bilang, aku pun nantinya akan disiksa, sama seperti dia, yang disiksa saudara kembar Mamah.""Dan kamu percaya itu? Memangnya Mamah pernah menyiksa kamu?""Itu tidak menutup kemungkinan, kalian saudara kembar, memiliki hati yang sama dan pikiran yang sama.""Omong kosong macam apa itu? Untuk apa kamu sekolah,
Bab132●Pov Ganesa●"Mamah mau pulang saja, Nesa."Aku mengurai pelukan. "Kenapa Mah?" tanyaku dengan suara bergetar.Wajah tua Ibu mertuaku memandangku dengan perasaan terluka. Aku tahu dia mengasihaniku, dan ini semakin menambah luka dihati kian perih."Mamah nggak sanggup, melihat kamu begini.""Setidaknya Mamah selalu menguatkan Ganesa." Aku memegang kedua tangan Ibu mertuaku. "Ada Mamah di sini, Ganesa tidak lagi merasa sendiri. Ganesa merasa memiliki Ibu kembali. Bahkan, Ibu yang begitu peduli pada Ganesa.""Mamah kuatir dengan mulut Mamah ini. Jika Mamah tetap di sini, Mamah takut akan berkata tidak baik pada Helena dan juga Najib.""Ya Allah, Mamah." Aku kembali memeluknya."Jika Mamah nggak ada, Ganesa bagaimana."Mamah mengurai pelukanku. Wanita yang kini berusia nyaris 50 tahun lebih itu, memegangi lembut kedua pipiku."Mamah tahu kamu kuat, Nak. Apapun terjadi, teruslah berpras
Bab133●Pov Ganesa●"Mamah mau kemana?" tanya Najib. Ketika melihat Ibu mertua menarik kopernya."Mamah mau pulang," sahut Ibu mertuaku.Aku hanya terdiam di dapur, sambil membuat sarapan."Kok tiba-tiba, nggak ada bilang-bilang pula.""Untuk apa? Memangnya kamu peduli?" Terdengar suara dingin Ibu mertua."Mah, ada apa sih? Jangan-jangan ini karena Ganesa ya? Mamah nggak betah juga di rumah ini, pasti karena dia," tuduh Mas Najib kepadaku, jahat memang."Bukan. Tapi karena kamu! Najib.""Memangnya Najib salah apa?"Masih terdengar suara keributan dua orang itu."Nenek mau kemana?" Terdengar juga suara Helena."Nenek kamu mau pulang, Na. Memang kamu ada buat salah?" tanya Mas Najib.Aku menghentikan aktivitasku, dan berjalan menuju keluar rumah."Nggak ada, Pah. Nenek kenapa mau pulang mendadak? Kata Nenek, kan mau tinggal sebulan di sini. Ini baru 3 hari, Nek." Helena pun me
Bab134"Apa? Kenapa dengan Arif?" kejarku."Arif kecelakaan. Dan kata Jesika tadi, Arif meninggal di tempat.""Astagfirullah. Inalillahi wa inailaihi roji'un." Aku memusut dada, dan Ibu mertua, pingsan seketika."Mas ...." Aku berteriak karena terkejut.Mas Najib berlari, dan membantuku membawa tubuh Ibu mertua masuk ke dalam kamarnya. Aku meminta supir, membawa kembali koper Ibu mertua.Mas Najib terlihat panik."Mas, dimana Arif kecelakaan?" tanyaku."Nggak usah banyak nanya, aku lagi pusing," jawabnya ketus.Aku terdiam, dan berusaha untuk tetap diam.Terlihat mas Najib terus menerima panggilan telepon, dan juga sibuk menelpon siapa aku pun tidak tahu."Bersihkan rumah, dan panggil para tetangga. Mayat Arif, akan di bawa ke rumah ini," titahnya."Mas, kamu gila? Nyuruh aku semua.""Terus aku suruh siapa lagi, hah?" bentak Mas Najib dengan suara keras. "Jangan tahunya terus membantah! Ke
Bab135"Kenapa Om Arif, bisa menikahi wanita seperti tante Jesika," bisik Helena pada Ratna, sang Nenek.Ratna memindai wajah Putranya yang sudah pucat. Lelaki itu nampak tersenyum tipis, dengan wajah sedikit memiliki luka."Maafkan Mamah, Nak. Tidak sepenuhnya bisa membuat kamu bahagia. Dan kini, kamu lebih dulu menghadap Sang Ilahi. Andai Mamah bisa menggantikan posisi kamu," desah Ratna."Mamah, jangan berkata begitu. Kita sayang sama Arif, tapi Allah lebih sayang lagi." Ganesa memeluk Ibu mertuanya itu.Ratna terisak, meratap pilu, ditinggalkan anaknya secepat ini, rasanya bagiakan raga yang terbang jauh dari raganya. Ratna kehilangan semangatnya kini."Apakah Najib sudah menghubungi keluarga yang di Bandung?" tanya Ratna, dengan sisa-sisa tenaga yang ada."Ganesa belum bertanya, Mah. Nanti Ganesa tanyakan, kalau Mas Naji
Bab136●pov Ganesa●Sabarku kini terkikis, diamku semakin diinjak. Apalah artinya semua yang aku lakukan, jika diri ini, tidak lagi dihargai.Bukan duka berganti tawa. Tapi duka semakin meluka. Apakah guna aku bertahan, jika semakin aku bertahan, semakin pula aku diserang.Apakah harus kupatahkan bingkai rumah tangga yang sudah bertahun lamanya aku bina? Bagaimana bisa aku jalani, jika rumah tangga ini sudah tidak sehat lagi.Sabar bukan mengobati, malah semakin menyengsarakan diri.Kututup pintu kamar, dan kukunci. Kurebahkan diri, memandangi langit-langit kamar yang remang. Seremang hatiku kini.Belum usai duka berlalu, namun hati ini kembali dilabuhi luka. Meski anakku kini tidak lagi sedingin sebelumnya. Namun diri ini terlanjur sakit hati dan kecewa.Ketukan di daun pintu kamar, mengejutkanku dari la
Bab137●Pov Ganesa●"Helena, yang sopan sama Tante Jesika!" bentak mas Najib, lelaki itu bangkit dan menatap tajam anak perempuan kami itu."Cepat minta maaf," titah mas Najib lagi pada Helena.Jesika menangis keras. "Ya Allah, mengapa aku hidup begini? Lebih baik aku mati saja, dari pada hidup menjadi beban dan hinaan mereka saja.""Jesika, kamu apa-apaan sih?" Mas Najib memindai Jesika dengan aneh."Mas, anak kamu sekarang tega menyakiti hatiku. Tega sekali, membuat hatiku bergejolak sakit.""Uuwu sekali," seruku, ketika melihat sikap Jesika, yang terang-terangan, berani memegangi lengan suamiku."Cepatlah pergi, sebelum rumah ini semakin hancur."Aku berjalan menaiki tangga, melewati Helena yang sudah aku diam kan beberapa hari ini. Tidak lagi kutegur, mau pun aku pedulikan.
Bab138"Ya, ada apa? Ibu kenal?" tanya Jena.Aku menatap Jena sesaat."Cuma tahu, kalau mengenal banget sih, nggak."Jena mengangguk. "Datang ya, Bu.""Insya Allah," jawabku.Jena pun keluar dari ruanganku, karena memang hanya memberikanku undangan pernikahannya.Aku menyandarkan tubuh di kursi, sambil menscroll status teman-teman kontak whatappku.Terlihat Jesika mengunggah sebuah foto, yang memperlihatkan kemesraannya dengan suamiku. Padahal berkas permohonan perceraian kami, baru masuk beberapa hari yang lalu.Tapi wanita ini, sudah sangat percaya diri, untuk memperlihatkan kemesraan mereka.Aku tersenyum kecut, melihat foto itu. Disusul ketikan status, status yang nyaris 100% memburukkanku."Wanita yang tega meninggalkan suaminya, hanya demi ambisinya. Ka