Di dalam sebuah hotel suite di Bali, seseorang sedang menggeliat malas di atas ranjang yang ia bagi dengan teman kencannya akibat sebuah dering ponsel yang ia pikir adalah miliknya.
Melempar dengan kasar tangan yang merengkuhnya hingga ia kesulitan bergerak, Mona, perempuan muda yang berstatus model itu bangun, duduk di kasur, mengabaikan bahwa dirinya tak mengenakan sehelai kain pun, ia mengangkat panggilan masuk itu.
Hubby, panggilan masuk itu berasal dari kekasihnya yang mungkin saat ini sedang duduk manis di ruang kerjanya di Jakarta.
"Mona?"
"Hai, sayang," serunya riang. Ia merindukan laki-laki itu. "Kamu merindukanku?"
"Temani aku Sabtu ini kepernikahan adikku," Leo berkata datar. Ia sebenarnya enggan membawaa Mona, atau membawa perempuan pada umumnya, namun daripada semua orang mempertanyakan hubungan asrama atau lebih buruk lagi mencoba menjodohkannya. Ya, mereka terlalu sering menanyakan sexual orientation-nya karena ia jarang terlihat bersama seorang perempuan dimuka umum.
"Okay, do you miss me?"
"Hemm... "
"Bener?" Mona bersorak, hingga laki-laki yang diranjangnya itu menggeliat beberapa kali lalu membuka mata, sedikit terganggu oleh suara yang dibuat oleh Mona. Ia bangun dan menarik Mona ke dalam pelukannya kembali, "Mmm.... " Mona mendesah, menyukai permainan teman kencannya itu. Rasa senang, gairah yang mulai membara juga rasa takut Leo mencurigainya membaur menjadi satu. Kecemasan di dalam hatinya hanya semakin membuatnya semakin bergairah.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Leo santai, ia sedikit terganggu dengan desahan Mona yang tidak pada tempatnya.
Mona tertawa pelan, ia mencium mesra laki-laki yang kini menindih tubuhnya itu, "Mmmuach... men.... menciummu... mmm.... " jawab Mona terbata ketika berhasil membuka mulut.
"Kita makam malam di tempat biasa nanti,"
Laki-laki yang berada diatas tubuh Mona itu mulai gemas dengan sikap Mona, ia ingin menyingkirkan ponsel itu dari Mona dan memulai percintaan panas mereka kembali. Ia masih belum puas meski semalam mereka bermain hingga pagi. Perempuan liar itu paling pandai mengungah hasratnya, belum ada perempuan yang bisa ia ajak bermain sepanjang malam selama ini. Mona adalah perempuan pertamanya.
"NO!" Mona menepis tangan laki-laki itu, melotot tajam sebelum kembali bersuara dengan manja, "Aku tidak bisa, sayang, aku sedang ada pemotretan di Bali." katanya dengan napas tersenggal-senggal, sementara tangannya kirinya membungkam mulut laki-laki yang hendak mencumbunya lagi. Ia sudah mulai kehilangan kosentrasi, ia harus menyelesaikan pembicaraannya dengan Leo sebelum terjun kedalam permainan panas atau ia akan mengacaukan semuanya.
Leo menyergitkan alis dalam, ia tidak senang dengan apa yang ia dengar, tetapi tetap ingin mendengar penjelasan perempuan itu.
"Aku sedang mandi dan kamu pasti tahu.... Bye!" ia hampir saja kembali menjerit ketika laki-laki itu tak bisa mentolelir bahwa dirinya dinomer duakan, merebut paksa ponsel Mona, dengan cepat mematikan sambungan telpon itu sepihak sebelum mulai menyantap sarapan paginya, tentu saja setelah melempar ponsel itu, entah kemana. Selama beberapa hari kedepan sarapan pagi yang dimaksud bukanlah nasi atau roti ataupu jenis makanan pada umumnya melainkan Mona. Ya, mereka sepakat untuk bermain selama mereka mengerjakan project di Bali kali ini. Mona sendiri, ia menyerah senang, seandainya kekasihnya itu bisa memuaskannya seperti laki-laki normal, ia tak akan lari ke ranjang laki-laki lain. Namun apa boleh buat, ia terlalu menyukai pemujaan yang dilakukan laki-laki terhadap tubuhnya sesuatu yang tak bisa ia dapatkan selama empat bulan mengencani Leo. Hanya ciuman dan cumbuan yang ia terima untuk kecantikan yang ia rawat dengan sempurna. Sungguh mengecewakan!
Lain kali kamu yang akan menggantikan laki-laki brutal ini, Leo, batinnya tersenyum puas saat mereka mencapai kepuasan puncak.
Leo menarik napas panjang, bukannya ia terangsang oleh desahan Mona yang selalu ia lakukan setiap kali menerima telpon darinya, ia malah dibuat kesal oleh kenyataan itu. Apakah setiap kali ia menelpon perempuan itu dalam keadaan mandi? Rasanya terlalu aneh. Namun daripada memikirkan Mona yang tak lebih dari teman kencan tanpa tujuan, lebih baik ia memikirkan hal yang lebih masuk akal semisal bagaimana cara menghabiskan dua macam roti dihadapannya itu. Ia alergi dengan makanan berbahan dasar gandum, tak mungkin ia memakan makanan itu. Namun membuangnya juga bukan pilihan.
Menyeruput pelan jus lemonnya, Leo mengamati jajaran pot bunga kaktus di sepanjang jendela kaca, sudut bibirnya melengkung ke atas, terima kasih untuk bunga-bunga mungil itu, ia berhasil membawa senyum pertama Leo pagi ini. Mungkin, pikirnya, menjadi bunga kaktus pastilah bahagia meski seorang diri, ia hanya cukup dengan menemukan seseorang yang akan merawatnya.
Sambil mengunyah pelan Panini yang ternyata rasanya hampir sama dengan buatan ibu tirinya, Leo berpikir, mungkin sebaiknya ia melupakan kebenciannya kepada ibu yang mengasuhnya sejak kecil. Tak dapat dipungkiri, ia telah dibesarkan penuh cinta oleh perempuan yang ternyata dulu adalah sahabat ibu kandungnya.
Leo merasa dadanya sesak setiap kali memikirkan ibu yang telah melahirkannya, jika saja ayahnya sedikit lebih perhatian kepada ibunya di awal pernikahannya, mungkin tidak akan pernah ada perceraian diantara mereka, mereka akan menjadi keluarga yang utuh dan bahagia, tetapi kenyataan berkata lain. Ibunya yang mengalami baby blues malah ditinggal seorang diri di dalam rumah besar di negara asing dimana tak ada seorangpun yang bisa ia ajak bicara, tentu saja tekanan itu semakin memperparah kondisi mentalnya. Jika ia memaafkan ayah dan ibu tirinya, itu artinya ia telah menghianati ibu kandungnya yang menderita sepanjang sisa hidupnya dan membenarkan tindakan ayahnya. Tidak, ia tidak bisa memaafkan mereka begitu saja.
Menurut pengakuan kakeknya, Ibunya sering mabuk-mabukan sejak pulang ke rumah mereka yang terletak di kota Vancouver. Sempat menikah selama lima tahun dengan seorang laki-laki, teman sekolahnya dulu namun bercerai karena ibunya tak bisa melupakan perasaan cintanya kepada suami pertamanya. Pernikahannya itu membuatnya memiliki seorang adik perempuan yang kini tinggal dengan ayahnya di kota itu.
Leo kembali menarik napas panjang, silsilah keluarganya berantakan, kisah percintaannya sama berangtakannya, tujuh tahun tinggal bersama ibu kandungnya sebelum perempuan berparas cantik itu meninggal membuatnya tersadar, bahwa pernikahan bukanlah sebuah permainan. Bahwa cinta tidak sepatutnya diberikan secara cuma-cuma, itupun kalau cinta benar-benar ada.
Jari-jari panjangnya meraih gelas piala itu kembali, mengangkatnya dan meletakkannya disela-sela giginya yang putih terawat, dicumbunya dengan mesra gelas kaca itu. Satu tegukan, dua tegukan, air lemon menyegarkan itu ludes tak bersisa. Ia bahkan harus mengangkat gelasnya tinggi-tingga agar bisa menikmati tetesan terakhir dari minuman kesukaannya itu.
Merasa belum puas dengan segelas jus yang disajikan dalam porsi pelit, mungkin sebaiknya ia memberikan kritikan saran kepada pemilik kafe, ia berencana untuk menambah gelasnya.
"Mas," panggilnya kepada seorang pelayan dengan tangan terangkat setelah tak menemukan sosok pelayan yang melayaninya tadi. Perempuan pendek bersepatu putih.
Dito meninggalkan mejanya dan menghampiri Leo. "Iya? Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya ingin memesan segelas lagi, kalau bisa gelasnya lebih besar," kata Leo tanpa rasa malu. Dito menyergitkan alisnya heran, ia mengerti maksud laki-laki berhidung mancung itu setelah beberapa saat saling bertatap-tatapan, "Oh, ok," menyahut sambil tersenyum meski dalam hati mencibir, dia pasti turis yang kehabisan uang saku, Dito segera mohon diri setelah menyanggupi.
"Ya, pasti begitu. Ya, sekarang banyak bule yang terlantar," gumannya.
"Kenapa, Dit?" Alya yang baru turun dari tangga menghampiri Dito yang bicara sendiri, ia ingin memastikan bahwa Dito tidak berbicara buruk tentang dirinya atau iya yakin akan memecat karyawan setianya itu meski dengan hati yang terpaksa.
Dito yang sibuk dalam pemikirannya sendiri dikejutkan oleh suara Alya, sempat mengumpat pelan, "Mbak bisa nggak sih, nggak nongol seenak dengkul kayak gitu?"
"Lo ngomong apa?"
"Tuh, kayaknya pelangan kita turis terlantar mbak," Dito memberi isyarat dengan kepalanya sekaligus mengalihkan pembicaraan, ia yakin Alya mendengar ucapannya cukup jelas. Alya mengikuti arah pergerakan kepala Dito.
"Turis miskin?" Alya bersuara.
"Hush.... jangan kenceng-kenceng ngomongnya mbak, kalo orangnya denger gimana?" ditegurnya majikan yang ceplas-ceplos itu.
"Kok tahu kamu kalau dia turis miskin?"
"Saya nggak bilang turis miskin, mbak! Mbak yang bilang begitu!" Dito membela diri.
"Sama aja," Alya mendesis, "Terus?"
"Terus apanya?"
"Kok tahu kalo dia itu turis miskin?" Alya berbicara gemas, suaranya turun beberapa desibel dengan ekspresi wajah yang unik.
"Dia pesan jus lemon lagi minta gelasnya yang agak gede," sahut Dito berterus terang.
"Oh, ya udah. Sini biar gue aja yang layanin," Alya tersenyum riang, "Oh iya, ambilin andonan pancake di kulkas sama buah blueberry." Alya berjalan riang menuju area pantry.
"Mbak masih laper?" Dito tak kuasa untuk bertanya. Dari penjelasan Reno beberapa menit yang lalu, sebagai pengganti menu sarapan rutin paginya, ia meminta Reno menyiapkan paninies dan pancake plus semangkuk salad buah.
"Udah cepetan!" desak Alya, lalu masuk ke dalam dapur dimana Reno telah sibuj dengan pekerjaannya, "Ren, buatin salad buah kek tadi."
"Mbak masih laper?"
Bibir Alya maju dua senti, cemberut. Mengapa semua orang berburuk sangka kepadanya?
"Iya-iya. Udah buruan, sebelum cacing di perut gue ngamuk!"
"Ok, tapi sabar, saya masih menyiapkan adonan pizza untuk pelanggan. Mbak nggak keburu, 'kan?"
"Nggak bisa, gue dulu! Siapin salad gue, ASAP!" Alya bersi keras.
Reno bersuara, "Dimana-mana pelanggan harus diutamakan, mbak?" ungkapan protes yang akhirnya jatuh ke telingga keledai.
"Anggap aja gue pelanggan entar gue bayar." Alya kembali sewot.
"Iya, bentar saya selesaikan ini dulu." Menyerah adalah pilihan teraman bagi Reno daripada ia mengulang drama yang dibintangi oleh Mario dan Alya tadi pagi.
"Thank you, lo emang chef paling baik sedunia!" kata Alya hendak menghambur ke Reno untuk memberikan kecupan di pipi laki-laki berbadan tipis namun padat itu, sayangnya terhalang oleh tangan kiri Reno yang mendorong kepala Alya menjauh bahkan sebelum Alya menjatuhkan tubuhnya di pelukan Reno.
"No.... No! sekarang mbak ke depan, biar saya kerjanya cepat? Oke?" usir Reno tegas.
Manyun, Alya menyahut "Oke, ganteng!" namun tersenyum bahagia, ia kembali ke pantry depan untuk menyiapkan jus lemon dan pancake dengan hati yang lebih gembira, ia akan segera berkenalan dengan calon tokoh utama novel yang akan segera ia tulis. Atau jika ia beruntung, mungkin mereka berjodoh?
"Ini, mbak." Dito telah membawa adonan pancake yang ia minta.
"Tolong buatin pancakenya, awas jangan terlalu gosong, pakek saus blueberry."
"Hmmm..., "
"Buatin sepuluh biji."
"Banyak amat, mbak, mana cukup adonannya cuma segini?"
"Ya udah, buatin semuanya."
"Hmmm.... " dengan berat hati Dito menerima tanggung jawab itu, melangkah menuju kompor induksi untuk segera mengeksekusi.
"Siska belum dateng? Lama banget? Kemana .... "
Sambil menyiapakan jus Lemon, Alya mulai mengoceh mengapa Siska memakan waktu lebih banyak hanya untuk pergi ke supermarket membeli sebuah pembalut, sementara Dito dan Bagus menyiapkan pesanan sambil mendengarkan ocehan Alya dengan terpaksa, jika saja mereka memiliki pilihan mereka ingin berkerja dengan tenang. Hanya saja itu bukan pilihan untuk saat ini.
Beberapa menit kemudian, Dito telah menghasilkan dua pasang pancake disambar Alya dengan cepat, ia meletakkannya di sebuah piring cantik yang ia pegang sejak Dito mulai menggoreng pancake yang pertama. Menatanya secantik mungkin lalu menuangkan saus blueberry diatasnya serta menambahkan tiga buah blueberry sebagai hiasan akhir. "Tak ada yang bisa menolak pancake dengan saus Blueberry," gumannya.
"Dit, ambilin salad di Reno, dong," perintahnya tanpa menatap wajah Dito yang baru saja mengangkat pancake dari wajan.
Sambil mendesah, ia menyahut, "Bentar mbak!" meletakan adonan baru di atas wajan anti lengket sebelum menjemput salad pesanan Alya.
Sementara di bangku depan kafe, Leo menunggu dengan gusar, apakah selama itu waktu yang diperlukan untuk menyiapkan segelas jus lemon?
Daripada waktunya terbuang sia-sia, Leo memutuskan untuk menghubungi sekretarisnya,
"Em, tolong kirimkan jadwal Haidar hari ini kepadaku, kamu sesuaikan dengan jadwalku, aku akan mengantikan semua jadwalnya yang bisa aku gantikan," katanya saat telepon tersambung.
"Baik, pak."
"Kamu atur gimana caranya supaya jadwalku tidak bertabrakan."
"Baik, pak."
"Oh, iya. Satu lagi, pesankan aku satu set perhiasan untuk kado pernikahan adikku Sabtu ini."
"Baik, Pak. Apa ada catatan khusus, misal emas atau berlian atau mungkin budget minimalnya?"
"Berlian saja, pilihkan yang menurutmu paling bagus, harga tidak masalah, " jawab Leo. "Nanti kamu sekalian bungkuskan, beri kartu ucapan juga."
"Baik, pak. Apa bapak memiliki ide untuk kartu ucapannya?"
"Kamu pikirkan saja, atau kamu bisa meminta bantuan penjualnya nanti."
"Baik, pak."
"Ya, sudah. Itu saja. Aku akan ke kantor satu jam lagi."
"Baik, pak. Selamat pagi."
Leo memutus sambungan telponnya bersamaan dengan datangnya minuman pesananya. Nampan yang bukan hanya berisi jus lemon itu diletakkan di atas meja tepat di hadapannya. Dari nampan Leo beralih menatap wajah seseorang yang dengan beraninya duduk di depannya tanpa permisi.
"Ini meja saya," tegur Leo dingin. Ia tak suka berbagi meja dengan orang lain, lebih tepatnya tak suka berbagi apapun dengan orang lain. Namun betapa terkejutnya ia ketika menyadari perempuan yang duduk di depannya itu adalah pramusaji yang melayaninya pertama kali.
Ada apa dengan 'Kopi dan Lemon'? Apa semua pegawai mereka bersikap tidak sopan?
Kerutan di dahi Leo semakin dalam, menunggu jawaban.
######
Dengan gugup, Alya berjalan menuju meja Leo, dengan nampan di atas tangan, ia bisa merasakan detak jantungnya yang berpacu semakin cepat dengan jarak diantara mereka yang semakin rapat. Mengedipkan mata berkali-kali, Alya berhenti sejenak hanya untuk menarik napas panjang, entah sudah yang keberapa kalinya, mengumpulkan keberanian. Syukurlah bahasa Inggrisnya cukup memadai. Terima kasih untuk Rara yang selalu memanas-manasinya hingga ia berhasil mengenal bahasa tersebut. "Jangan lupa bilang, 'Hi Mister' dulu sebelum ngomong macem-macem!" Alya memperingatkan dirinya sambil kembali menapaki jalanan rata namun terasa menaiki tangga karena kini napasnya mulai berantakan kembali. Ia harus menenangkan diri sebelum mempermalukan diri, mempermalukan perempuan Indonesia. Ia membawa nama baik perempuan Indonesia di pundaknya, ia harus bersikap baik dan memberi kesan yang sama baiknya. Alya merasa lega ketika laki-laki itu masih menelpon, ia menunggu sejanak sebe
Leo menarik napas panjang, tak habis pikir dengan apa yang telah ia lakukan. Hari ini, malam ini lebih tepatnya adalah malam ketiga sejak pertama kalinya ia datang ke 'Kopi dan Lemon' kafe. Entah apa yang merasukinya hingga tanpa sadar ia melajukan mobil Mini Countryman merah miliknya menuju kafe dimana perempuan yang humoris itu bekerja. Ah, mungkin ia hanya ingin melihat wajah itu sekali lagi. Memutuskan untuk masuk ke dalam kafe, Leo mematikan mesin mobil. Sekali lagi ia menarik napas panjang sekadar untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia datang hanya untuk makan malam dan kebetulan ia menyukai jus lemon kafe itu. Tangannya yang panjang meraih gangang pintu, membuka pintu itu pelan sebelum mengayunkan kakinya dengan mantap menuju pintu kafe yang berjarak sekitar tiga sampai lima meter dari tempat ia memarkir mobil mininya. Leo disambut oleh aroma harum asap kopi yang mencari jalan menuju paru-parunya. Kopi, sudah lama sekali sejak ia terakhir meminum minu
Alya telah bersiap-siap sejak pagi ketika ia terbangun untuk kedua kalinya pagi itu. Acara resepsi pernikahan Salma akan berlangsung di Grand Ballroom hotel Sheraton Grand Jakarta yang terletak di Kebayoran, Jakarta tepat jam sepuluh pagi. Dua jam setelah akad nikah yang dilangsungkan di masjid Istiqlal yang sayangnya ia lewatan karena bagun terlambat sehingga membuatnya absen dari acara sakral sahabat karibnya itu. Mengenal Salma sejak beberapa tahun silam membuatnya memahami kehidupan percintaan Salma yang sama tak mulusnya dengan kehidupan cinta miliknya. Sebenarnya tidak sama karena Alya belum pernah jatuh cinta, mungkin pernah menyukai seseorang namun jatuh cinta? Ia masih menantikannya hingga kini. Ya, ia mungkin pernah beberapa kali tertarik kepada lawan jenis tetapi sekali lagi, dengan sifat pemilihnya itu ia sering kali gagal dalam proses jatuh cintanya karena ia merasa tak pernah ada yang cocok dengannya. Salma menikahi seseorang yang dikenal
Keluar dari mobil taksi, Alya berlari masuk ke dalam lobby hotel. Kaki pendeknya hanya mampu membuatnya mempersingkat waktu satu setengah kali lebih cepat dari saat ia berjalan dengan normal. Sepatu berhaknya-lah yang membuatnya semakin kesulitan mengontrol kakinya. Belum apa-apa saja ia sudah merasa tak nyaman, sakit pada kedua tumitnya. Mengabaikan beberapa pasang mata yang cukup terhibur oleh tingkahnya, Alya melanjutkan marathon singkatnya menuju salah satu pintu lift di sebelah kanan lobby, dimana beberapa orang juga telah menunggu. Ia melepaskan kedua tangannya yang sejak tadi mencengkram gaunnya. Ya, sejak tadi ia berlari dengan bagian bawah gaun terangkat ke udara, hal itu terpaksa Alya lakukan untuk mempercepat langkah kakinya juga menurunkan risiko terjungkal saat berlari dengan gaun menjuntai ke lantai. Sudut bibirnya sedikit melengkung membentuk senyuman santun saat ia menyadari ia telah menarik banyak perhati
Alya masih memikirkan ucapan Rara. Sialan, ucapan sepupunya itu ada benarnya. Lebih mengejutkan lagi mereka memiliki pemikiran yang sama! Mungkin karena itulah mereka bersaudara. Manfaatkan momen ini untuk mencari calon suami! Kalimat itu terus berputar bukan hanya di benak Alya, tetapi melekat seperti permen karet pada rambut di dalam hatinya. Bahkan secara tak sadar, ia mengumankan kalimat magic itu sama seperti ketika ia berdzikir tiap habis salat. Sayangnya, ia masih terpaku pada tempat ia duduk. Ia belum sempat berkeliling untuk mencari jodoh. Acara itu sudah berlangsung sejak satu jam yang lalu, para tamu sudah memenuhi kursi-kursi yang disediakan. Di sebuah dinding disediakan layar putih yang besar, sebuah rekaman mengenai perjalanan keduanya sudah diputar seolah-olah mereka sedang menonton film Romance of the Year yang mencuri perhatian penonton di sebuah bioskop. Bukan hal yang luar biasa seb
Alya sudah berkeliling untuk menemui beberapa teman sekolahnya dulu yang juga merupakan teman Salma. Diusia yang hampir kepala tiga, hampir semua hari mereka telah memiliki momongan yang artinya mereka telah merasakan kehidupan pernikahan, ada pula yang menjanda atau menduda. Alya tidak habis pikir, apa yang terjadi saat mereka memutuskan untuk berpisah setelah menempuh pernikahan yang baru seusia jagung? Alya turut prihatin juga iri kepada mereka yang berhasil membina keluarga kecil yang bahagia. Ia juga ingin melakukannya, memilikinya sesegera mungkin. Setelah berjalan kesana kemari mengunjungi meja-meja, sengaja untuk menghindari orangtuanya, akhirnya Alya dengan terpaksa duduk bersama kumpulan sesepuh itu. Meja yang di duduki oleh kakek-kakek dan nenek-nenek. Setidaknya, semua paman dan bibinya telah memiliki pewaris untuk dua generasi yang membuat mereka menjadi seorang nenek dan kakek. Mereka tidak akan merasakan kecemasan seperti yang dirasakan oleh orangtuanya. Ya, o
Begitu tiba di apartemennya satu jam kemudian, yang Alya inginkan hanyalah satu. Berendam di air dingin. Ya, iya tak begitu menyukai mandi dengan air panas, hanya kadang-kadang saja. Baginya air dingin lebih menyegarkan. Ia bertekad akan menyelipkan waktu untuk memanjakan diri sebelum bekerja. Setelah membanting dengan kasar pintu apartemen berwarna hitam kecoklatan yang terbuat dari kayu Mahogany itu, Alya melempar sepatu terkutuk yang telah menyakiti jari-jari manis kaki yang ternyata lebih buruk dari dugaannya. Beberapa ruas jarinya lecet, akibat gesekan tak diinginkan dengan permukaan dalam sepatu yang sempit. Seharusnya ia memang tidak memakai kaos kaki yang hanya mempersempit dan memperburuk kondisi kakinya. Sedikit lega karena telah melampiaskan kemarahannya, Alya memutuskan untuk berendam di dalam bak mandi keramik yang berbentuk lonjong. Ia membawa ponselnya ke dalam kamar mandi yang memiliki jendela kaca penuh di salah satu sisinya, menjulang tinggi d
Pagi itu Leo terbangun karena dering ponselnya terdengar sangat menganggu di telingganya yang masih malas untuk mendegar sesuatu. Ia terpaksa bangun untuk mematikannya. Matanya membulat ketika ia mendapati jam digital yang ada di layar ponselnya memberitahunya bahwa ia sangat terlambat, angka itu adalah angka sebelas dan angka dua puluh. Sh*t! Bagaimana bisa ia tertidur seperti orang mati? Seingatnya, semakam ia tidur tepat jam satu dini hari karena mengalami gejala insomnia ringan. Masalah kesehatan juniornya-lah yang menjadi tersangka utamanya. Matanya terasa lengket, kepalanya juga terasa pusing. "Sh*t!" Leo memaki. Ia melempar bantal tak bersalah yang telah menemani tidurnya sepanjang malam dalam pelukannya. Melompat dari ranjang, Leo melempar sembarangan ponsel miliknya, mengabaikan siapapun yang menghubunginya. Selimut tebal berwarna putih yang menutupi otot-otot dada yang terpahat sempurna jatuh ke lantai saat kaki telanjangnya menyentuh
Sudah seminggu sejak pasangan pengantin baru itu pulang dari honeymoon di Eropa. Keduanya kembali beraktivitas normal. Alya menjalani harinya sebagai seorang penulis dan pemilik kafe. Tak ada yang banyak berubah, hanya saja ia harus menjadi lebih disiplin terutama soal kebersihan rumah. Seperti hari ini sang suami komplain lagi.Alya yang terbiasa hidup sendiri tidak pernah melakukan bersih-bersih rumah apalagi memasak. Ada asisten rumah tangga yang bertugas untuk membersihkan dan merapihkan rumah. Sementara tugas memasak Alya bergantung penuh kepada Reno. Dan tidak ada yang berubah. Kecuali kini ia tinggal berdua bersama sang suami di apartemen sang suami. Masih sama. Ia hanya menunpang tidur.Alya tak ingin menyewa asisten rumah tangga karena sudah menikah. Ia takut ada rahasia rumah tangganya yang bocor ke khalayak umum. Atau bahkan menimbulkan fitnah."Baby, kau tahu dimana kemeja navy milikku?" Tanya Leo keluar dari wardrobe hanya dengan memakai handuk yang dililitkan di pingga
Ketika mereka sudah tiba di hotel tujuan, tepatnya di kota London. Keduanya langsung lelap begitu pipi mereka menyentuh bantal. Mereka tidak sempat sarapan tetapi sempat membersihkan diri sebelum menikmati tidur pertama di hotel itu."Baby," bisik Leo sambil menepuk pelan pundak sang istri. "Hmmm," Alya hanya mengerang karena terganggu dengan suara Leo. Ia masih sangat lelah dan butuh tidur hingga beberapa jam ke depan. Ia selalu tidur tidak kurang dari delapan jam sehari. Sementara beberapa hari belakangan, bahkan sejak persiapan pesta pernikahan hingga kemarin waktu tidurnya berkurang drastis.Ia pikir setelah menikah bisa tidur dengan tenang, ternyata tidak semudah itu apalagi dengan keberadaan sang suami. Malam bukan lagi miliknya untuk dinikmati sendiri tapi harus rela dibagi dengan sang suami. Jadi jangan salahkan Alya jika ia sangat-sangat mengantuk, apalagi perjalanan panjang mereka yang sangat melelahkan."Ayo sayangku, wake up! Rise and shine!" Leo membuka selimut tebal ya
Leo memesan tiket pesawat kelas kelas utama maskapai Qatar airways. Perjalanan yang panjang dan lama itu membuat Alya tidak nyaman bahkan cenderung gusar. Entah karena ia masih terpikir oleh ucapan Rara atau yang lain. Kenyataan lainnya, yang juga sangat ia sayangkan bahwa ia tak bisa memeluk sang suami sesuka hati apalagi hingga hatinya puas.Ia harus bertahan dengan berbaring di ranjang dadakan itu dan terpisah dari tubuh hangat Leo.Setelah menyadari sang istri tak bisa duduk dengan tenang Leo menawarkan diri untuk membantu Alya agar bisa tidur.Meski awalnya menolak akhirnya Alya menerima tawaran menggiurkan itu. Mereka berbagi kursi. Atau lebih tepatnya, Leo mendekap Alya di kursi bisnis mereka. Alya tidur sepanjang perjalanan hanya beberapa kali saja ia membuka mata untuk mencari posisi yang paling nyaman di pelukan sang suami.Kini, ia benar-benar bisa tidur dengan pulas dan tentu saya puas.Entah seperti apa nantinya, ia mengira tak akan bisa tidur selain dalam pelukan sang
Siang itu akhirnya, Alya hanya menemukan Rara dan sang suami, Iman saat turun untuk makan siang. Menurut pengakuan Rara, mereka berdua, ia dan sang suami akan tinggal di resort selama tiga hari ke depan. Berdua saja. Mereka telah memutuskan untuk menelantarkan satu-satunya putra mereka saat ini untuk kesenangan mereka sendiri. Alya tidak habis pikir, bagaimana bisa Rara memilih berlibur berdua saja dengan sang suami sementara Khai masih terlalu kecil untuk ditinggal sendirian? "Lo yakin Khai nggak apa-apa sendirian dengan baby sitter?" Alya bertanya dengan serius. Rara menyesap jus kiwinya dengan santai sambil melirik Alya sekilas. "Percayalah sama gue, Al. Itu adalah keputusan terbaik, bukan cuma buat gue sama suami tapi buat Khai juga. Gue udah enek sama Khai, sesekali gue pengen berduaan sama suami gue aja!" "Gila lo, ya! Lo tega banget ninggalin anak buat seneng-seneng sama suami?" Alya melotot tak percaya. "Gue nggak percaya bang Iman tega ninggalin anaknya cuma buat senengin
Leo mengerjap sekali. Lalu dua kali hingga ketiga kali sebelum sepasang matanya terbuka demgan sempurna. Ia merasa jauh lebih bugar, lebih bersemangat dan entahlah. Ia merasa berbeda pagi ini. Kegelapan menyambutnya. Rupanya hari masih gelap. Leo tersenyum begitu mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Untuk pertama kalinya akhirnya ia bisa memadu kasih dengan istri tercinta tanpa ada gangguan maupun penghalang. Mereka berhasil menyatu bukan hanya dalam janji suci pernikahan melainkan menyatukan jiwa. Leo awalnya tak mengerti mengapa Haidar berubah drastis setelah menikah, namun sekarang ia bisa memahaminya. Karena ia sendiri juga merasa dirinya telah berubah. Entah perubahan seperti apa persisnya. Tetapi tentu saja hal itu adalah sesuatu yang baik. Senyumnya makin lebar ketika mendapati sang istri yang merangkulnya begitu erat dalam tidur seolah ia adalah sebuah guling kesayangannya. Hampir separuh tubuh Alya berada diatas tubuh Leo. Ia menyandarkan kepalanya tepat di jan
"Was it good?" Tanya Leo sambil menyuapi Alya sepotong cheesecake. Mereka sudah tiba di kamar hotel. Ranjang mereka dihiasi mawar merah yang membentuk hati, sayangnya hal itu sia-sia. Tetapi Alya cukup tersentuh dengan usaha sang suami untuk membuat malam mereka romantis. Alya duduk bersila di atas ranjang lembut berwarna putih itu, mengangguk puas, sambil tersenyum disaat mulutnya penuh dengan hidangan legit itu. Alya baru saja menghabiskan semangkuk yogurt dan segelas air putih. "Coba saja, ini sangat enak dan lembut. Mmm..." Ucap Alya setelah makanan di mulutnya lenyap, ia kembali membuka mulutnya. Leo mengangguk puas, "Kau yakin tidak ingin makan yang lain?" Tanya Leo seraya mengangkat garpu ke mulut sang istri. "Tidak. Ini saja sudah cukup. Mmm..." Alya mengerang kegirangan. Makanan manis membuat moodnya membaik seketika. "Can I try?" Tanya Leo lembut, menatap lekat mata sang istri yang berbinar-binar. Lalu pandangan turun ke arah bibir Alya yang sibuk mengunyah dengan an
Tiga Bulan Kemudian "Aaalll!!!" Rara dengan histeris memeluk Alya yang tengah tenggelam dalam lamunannya. Di benaknya, Alya memutar ulang semua kejadian sejak pertama kali ia melihat Leo di kafenya hingga detik ini. Saat ia menunggu di ruang tunggu pengantin. Di hotel saudaranya di pulau Bali. Proses Ijab kabul sudah dilaksanakan di Jakarta Jumat lalu, dan resepsi dilakasanakan dua kali. Pertama di Jakarta yang bersifat terbuka. Ada lebih dari seribu tamu undangan. Alya sendiri tidak tahu siapa saja tamu di pesta pernikahannya itu. Ia hanya mengenal beberapa wajah, tidak lebih dari dua seratus orang. Mereka adalah sahabat, rekan kerja, karyawan di kafenya, dan beberapa teman sekolah termasuk juga teman kuliah. Selebihnya adalah orang asing, tamu dari kedua keluarga besar yang menyatu itu. Dan sekarang, seminggu setelah pesta di Jakarta mereka, Leo dan keluarganya lebih tepatnya, mengadakan pesta kedua yang bersifat lebih private. Hanya keluarga, sahabat dan kerabat dekat yang diun
Sejak saat itu, Alya selalu menemukan dirinya bersama Leo. Tidak, bukan berarti mereka berkencan atau semacamnya. Sama sekali tidak. Hanya saja. Entah bagaimana, mereka selalu bertemu. Baik itu saat acara keluarga, atau hanya Leo yang sedang mengunjungi kafe untuk makan, acara kumpul-kumpul dengan saudara sepupunya. Alya menemukan laki-laki itu selalu ada di mana-mana dan menghantuinya. Awalnya Alya hanya berani melempar senyum sopan yang kurang tulus, tetapi kemudian mereka saling mengirim pesan meski hanya sekali dalam sehari. Itu pun, karena laki-laki bernama Leonardo itu sering menerornya melalui pesan-pesan singkat. Tak lama, kurang dari tiga bulan, Leo mulai berani mengajaknya pergi makan malam. Bukan di kafe miliknya, bukan juga di restoran mahal dengan suasana romantis, bukan juga di hotel dengan masakan kebarat-baratan, bukan pula restoran jepang. Dan tentu saja bukan warung tenda, meski sebenarnya Alya tak akan keberatan jika Leo yang mengajak. Sayangnya, tidak. Leo
Lima tahun yang lalu... Sejak mimpi aneh itu, Alya tidak lagi berani untuk tidur setelah Ashar atau maghrib. Jika sangat mengantuk, Alya akan memaksakan diri untuk membantu Reno di dapur alias memata-matai Reno. Atau Alya akan meluangkan waktu sekitar satu jam untuk tidur siang setelah jam makan siang berakhir. Namun, Alya paling tidak berani menunjukkan wajahnya saat jam-jam sarapan, makan siang atau makan malam. Ia akan berdiam diri, di ruangan kecil yang terletak di lantai dua, ditemani oleh laptop miliknya dan cemilan khusus yang disiapkan Reno. Setelah, dengan cerobohnya ia mengundang laki-laki asing untuk bekerja di kafe dan bahkan memimpikannya, Alya dengan jiwa pengecutnya berharap laki-laki itu tak akan pernah datang lagi ke kafenya. Ia terlalu malu, lebih dari itu ia sangat cemas. Cemas dengan mimpinya. Selama seminggu pertama sejak hari itu, hari Alya berbicara dengan laki-laki tampan berkunjung ke dalam mimpinya, Alya selalu datang terlambat. Ia baru akan tiba di kaf