Leo menarik napas panjang, tak habis pikir dengan apa yang telah ia lakukan. Hari ini, malam ini lebih tepatnya adalah malam ketiga sejak pertama kalinya ia datang ke 'Kopi dan Lemon' kafe. Entah apa yang merasukinya hingga tanpa sadar ia melajukan mobil Mini Countryman merah miliknya menuju kafe dimana perempuan yang humoris itu bekerja. Ah, mungkin ia hanya ingin melihat wajah itu sekali lagi.
Memutuskan untuk masuk ke dalam kafe, Leo mematikan mesin mobil. Sekali lagi ia menarik napas panjang sekadar untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia datang hanya untuk makan malam dan kebetulan ia menyukai jus lemon kafe itu. Tangannya yang panjang meraih gangang pintu, membuka pintu itu pelan sebelum mengayunkan kakinya dengan mantap menuju pintu kafe yang berjarak sekitar tiga sampai lima meter dari tempat ia memarkir mobil mininya.
Leo disambut oleh aroma harum asap kopi yang mencari jalan menuju paru-parunya. Kopi, sudah lama sekali sejak ia terakhir meminum minuman pekat itu. Ia melangkah semakin dalam ke dalam kafe yang tenang, tak banyak pengunjung dari sejauh mata memandang hanya ada beberapa gelintir orang yang duduk di bangku-bangku di bawah sinar lampu putih kekuningan, membawa kesan hangat nan romantis.
Leo menghampiri meja yang sama tempat Alya dan seorang laki-laki berpelukan tiga hari yang lalu. Sejujurnya, pemandangan itu terus mengusik hatinya.
"Hai," sapanya canggung.
Mario, yang kebetulan sedang bersantai sambil memainkan game favoritnya terkejut untuk sesaat lalu bangkit dari kursi tinggi yang ia duduki. "Selamat datang di Kopi dan Lemon kafe, kami tutup jam sepuluh malam tet!" Mario, yang dikenal juga dengan Rio mengakhiri seruanya dengan senyuman sopan.
Leo meletakkan pantatnya di kursi bulat tinggi lalu kedua tangan bersantai di atas meja kayu yang panjang, pemisah antara dirinya dan pelayan kafe, mengawasi situasi sebelum kembali menatap Mario, "Saya mau pesan jus Lemon dan .... "
"Maaf tetapi jus lemon hanya menu untuk sarapan dan makan siang!" seru Mario memotong Leo sebelum ia selesai dengan ucapannya.
"Kalau begitu saya pesan .... " ucapannya kembali terpotong ketika ia mendengar suara gaduh tak jauh dari tempat ia duduk.
"Gue nggak mau tahu! Gue mau makan blueberry mousse cake! Sekarang!" suara yang cukup familiar itu membuat Leo terdiam dan mendengarkan.
Mario tersenyum sopan, ia menarik buku menu dan menyodorkannya ke Leo, "Silakan dilhat-lihat dulu," Mario berpesan sebelum menghilang ke sebuah pintu yang terbuka.
"Ya elah, Mbak, besok kenapa, sih?"
"NGGAK!" tegas Alya dengan dua tangan di pinggang. "Pokoknya buatin gue blueberry mousse cake sekarang!"
"Besok pagi aja ya, mbak. Janji, besok saya berangkat pagi sekali, hmmm?" bujuk Reno, ia melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul sepuluh malam kurang tiga puluh menit.
"Al, suara lo kecilin dikit dong? Malu tuh sama customer!" tegur Mario dari ambang pintu.
"Lo diem aja, ini urusan gue sama Reno!" Alya melempari Mario dengan tatapan mematikan sebelum beralih menatap Reno dengan tatapan memohon, "Sekarang, please! Gue nggak bisa tidur sebelum gue makan blueberry mousse cake!" Alya mengubah strategi perangnya, ia merajuk manja kepada Reno, ia yakin tak ada yang bisa menolaknya jika ia mengunakan bakat terpendamnya itu.
"Lo kayak orang bunting aja!" komentar Mario sinis, Alya melempari Mario dengan buah blueberry kering yang ia bawa beberapa saat yang lalu.
Klentang! Suara stainless steel menabrak lantai keramic terdengar nyaring.
Kedua laki-laki itu menggerang pelan melihat tingkah Alya yang super, tiada duanya, hanya ia yang bisa membuat kegaduhan dan lolos tanpa hukuman di tempat itu. "Reno, please! Gue lagi pengen makan blueberry mousse cake, gue nggak bisa tidur ntar, besok gue ada kondangan, kalo gue jelek gimana?" Alya menarik lengan Reno dan menggoyaknya pelan menatap Reno dengan puppy eyes sementara mulutnya manyun.
Sementara Mario hanya bisa bersimpati kepada Reno.
"Muka emang udah jelek dari lahir," komentar Mario. Sekali lagi, Alya mengancam Mario dengan tatapannya.
Reno mendesah, gemas juga dengan sikap Alya, sempat tergiur untuk memberi pelajaran mulut pedas itu dengan ciuman kasar yang akan membuat Alya bungkam seketika, namun ia merasa mereka akan terlalu canggung setelahnya hingga Reno menggurungkan niatnya, berkali-kali.
"Di depan masih ada strawberry mousse cake, Al!" Mario kembali berkata.
"Blueberry! Blueberry! Lo budeg ato gimana? Udah pergi sana jangan ganggu!" teriak Alya menatap Mario seolah Mario adalah makhluk paling tidak berotak di dunia.
"Whatever! Pokoknya kecilin suara lo, ato gue tenggelemin lo di laut!"
Alya melengos, mengabaikan Mario ia kembali memfokuskan perhatiannya kepada Reno, "Please!"
"Kalo saya bikin sekarang, paling nggak mbak baru bisa makan ntar jam satu dini hari! Mbak mau nunggu?" jelas Reno berharap Alya menggurungkan niatnya. Ia sangat lelah, sepanjang pagi hingga malam ia terus berdiri hanya sempat berbaring saat istirahat salat dan makan.
"Nggak papa!"
"Saya yang capek, Mbak!" keluh Reno, namun daripada fisik, sebenarnya yang lebih membutuhkan perhatian adalah batinnya. Siapa yang bisa bersikap waras jika setiap hari menghadapi perempuan cerewet, banyak maunya, suka membuat keributan namun tetap manis?
"Ya udah buatin sekarang aja, ntar gue bawa pulang pakek cooler trus gue masukin kulkas pas di rumah!" sambut Alya ceria. "Udah ayo buruan, bentar gue ambilin blueberry yang baru ya?" Alya tersenyum cerah, ia memeluk Reno yang hanya bisa menarik napas panjang, nasib jadi babu! pikirnya.
Alya berlari menuju gudang penyimpanan makanan, sebelum itu ia mampir ke pantry dimana Mario melayani Leo.
"Yo, beresin tuh lantai! Awas lo!" Alya mengacungkan tinjunya ke udara, ia terlalu fokus kepada Mario hingga ia tak menyadari keberadaan Leo yang berada tepat di depan Mario.
"Kenapa, Yo?" tanya Siska yang baru saja membersihkan meja. Masih ada lima pelangan yang belum pulang. Mereka harus lembur malam ini rupanya, setidaknya mereka butuh waktu setengah jam untuk berberes-beres sebelum pulang ke rumah masing-masing.
"Biasa, si Alya kumat!" jawab Mario lirih, namu Leo masih bisa mendengarnya.
Telinganya begitu tajam, begitu pula ingatannya, ia bisa memutar ulang percakapan fenomenal itu jika ia mau.
Senyumnya masih tersembunyi di balik wajah datarnya. Leo menyesap kopinya pelan, bukan manikmati sajian hangat itu, ia sengaja mengulur waktu, menunggu kafe tutup dengan berlama-lama dengan secangkir kopinya, mungkin ia bisa bertemu dengan Alya atau bahkan mengobrol jika ia beruntung. Dari apa yang ia dengar, ia mengira Alya bukanlah pelayan sembarangan di kafe itu, bisa jadi ia adalah orang kepercayaan pemilik Kafe.
"Alhamdulillah, besok mbak Al nggak dateng ke kafe!" Siska bersorak, tidak bukannya ia membenci Alya atau apa, ia hanya ingin istirahat dari drama yang terjadi jika Alya bersama mereka. Akan ada saja keributan yang terjadi. Apapun itu, tiada hari yang terlewat di kafe itu tanpa teriakan Alya.
Sudut bibir Leo terangkat ke atas sedikit mendengar pembicaraan mereka, sepertinya Alya memang orang yang unik. Ia memainkan jarinya di cakir putih polos itu sambil terus mendengarkan obrolan kedua pelayan itu diam-diam. Ia ingin mengorek lebih banyak informasi mengenai Alya, perempuan yang selama tiga hari terakhir terus mengusiknya. Ia bahkan sempat kehilangan konsentrasi saat rapat tadi pagi karena gadis itu tiba-tiba mengambil alih pikirannya.
"Iya-iya, gue keluar! Buruan buatnya, gue ngantuk nih!" gerutu Alya keluar dari dapur.
Suara langkahnya semakin keras membuat Leo berpura-pura memainkan ponselnya, setidaknya ia tidak ingin terlihat begitu antusias menemui seseorang yang baru sekali ia temui lebih buruk lagi mengintipnya dengan sembunyi-sembunyi, sungguh itu bukanlah kepribadiannya. Ia tak ada waktu untuk menunggu, apalagi jika hanya menunggu seorang perempuan, namun entah mengapa kini ia rela menunggu hanya untuk melihat Alya.
"Oh, Leo? Hi!" suara Alya kembali pada tingkat keceriaan seratus setelah sebelumnya berada pada titik sepuluh.
Ia mengambil duduk tepat di depan Leo, di kursi yang sama tempat Mario menggerutu beberapa menit lalu. "Kamu disini?"
"Yeaaah, " jawab Leo canggung.
"So?"
"So?"
"Kamu mau kerja disini?"
"Kerja disini?" tiga orang yang menguping sontak bersuara dengan keras, ya, seorang lagi, Joni bergabung dengan mereka.
Alya melempar sinyal peringatakan dengan tatapannya, lalu kembali menatap Leo yang menahan tawanya, "Sorry, jadi gimana?"
"Kurasa aku tidak bisa, aku baru selesai kerja sekitar jam tujuh atau jam delapan malam,"
"Oh.... " Alya mengangguk, "Tapi tidak masalah, kamu bisa datang setelah itu, dan di hari sabtu dan minggu kamu bisa mulai dari pagi hingga malam, gimana?"
Leo tertawa pelan, ia merasa Alya sangat ingin mempekerjakannya. Adakah sesuatu yang ia sebunyikan? Semisal niat terselubung? "Apa kamu tertarik kepadaku, Alya?" tanya Leo pelan, ia menatap Alya lekat, mengawasi setiap gerakan yang dibuat oleh perempuan berparas menarik itu, mulai dari ketika ia mengigit bibir bawahnya saat gugup, meremas tangannya, hingga memainkan bola matanya.
"Ya!" jawanya spontan, Leo menyeringai, membuat Alya akhirnya tersadar ia telah mengatakan hal yang salah, yang tidak seharusnya, "Iya, maksudku, kamu cukup menarik, aku yakin kamu bisa menarik banyak pelanggan. Well, you know .... kafe ini sepi." Alya berdalih, namun tidak sepenuhnya karena ia memang memiliki niat tersembunyi dengan menginginkan laki-laki itu di kafenya.
"Ah," Leo mengangguk, "Jadi kamu tidak tertarik kepadaku sebagai seorang gadis?"
"Tidak juga,"
"Ehem!" Mario memberikan sinyal bahaya kepada Alya untuk segera menyudahi acara keakraban itu sesegera mungkin atau Mario akan bertindak.
"Well, kalau kamu tertarik kamu bisa datang besok malam," Alya berpesan.
"Ehem!" Mario kembali berdehem, kali ini disertai batuk-batuk yang dibuat-buat membuat Alya memutar kepala mentapnya, 'Diem Lo ato gue tonjok!' Ancam Alya dengan gerakan bibir tanpa suara dan tinju yang mengudara.
Sementara Leo, ia hanya tersenyum, merasa terhibur oleh sikap Alya. Menarik! Dari yang ia amati, tak mungkin Alya memiliki hubungan spesial dengan laki-laki itu. Ia yakin hubungan mereka tak lebih dari hubungan pertemanan namun tak urung ia masih merasa terganggu karena Alya terlalu bersikap familiar dengan laki-laki. Kenyataan itu tidak begitu ia sukai.
"Ya udah, bye." Alya hendak bangun dari kursinya namun Leo mencegahnya dengan mencekal pergelangan tangan Alya,
"Tunggu!" ia berguman.
Alya melihat jari-jari beku yang memeluk erat pergelangan tangannya, ya, laki-laki itu dingin, tubuhnya dingin maksudnya. "Bolehkan aku meminta nomor telponmu, Alya?" Leo mengutarakan maksudnya, suaranya cukup keras untuk didengar Mario.
"EHEM!" Mario kembali terbatuk-batuk sambil memukul pelan dadanya beberapa kali, matanya menyorot lurus kepada Leo seperti laser.
Leo tersenyum simpul, "Sepertinya pacarmu keberatan kamu bicara denganku," ungkap Leo sambil melirik Mario sekilas, menghadiahi laki-laki itu dengan tatapan yang sama tajamnya. Ia tidak suka ada yang menganggunya saat ia bicara.
"Aku tidak punya pacar. Aku single!" Alya berterus terang, terdengar terlalu bersemangat bagi Mario.
"Al, lo dicari Reno tuh!" Mario berteriak. Tak ingin Alya mengatakan hal yang tidak seharusnya kepada orang asing. Ya, baginya Leo adalah orang asing dan ia tak ingin Alya membeberkan informasi pribadinya secara cuma-cuma di pertemuan singkat mereka. Meski terlihat seperti laki-laki baik-baik, namun Mario tahu jelas bahwa meski laki-laki baik-baik juga bisa tergoda untuk berbuat jahat jika memiliki peluang. Mario tak ingin memberikan peluang itu kepada Leo. Setidaknya tidak sekarang.
Alya memutar kepalanya, mengerutu kepada Mario tanpa suara yang hanya bisa dimengerti oleh mereka berdua. Mario tidak senang dengan kenyataan Alya mengumunkan status singlenya kepada orang asing yang baru dikenalnya. Manurutnya Alya terlalu polos untuk menjalin hubungan dengan laki-laki, apalagi turis asing, mereka bisa sangat berbahaya bagi perempuan.
Tertawa canggung, Alya berniat untuk menarik lengannya, "Ponselku tertinggal di kantor, aku tidak hafal nomerku. Tapi kalau kamu tertarik kamu bisa datang besok malam," tuturnya halus, tak ingin menimbulkan kesalahpahaman atas penolakannya.
"Oh .... " Leo melepaskan tangan Alya dengan tiba-tiba, ia mengira tak mungkin seseorang tak hafal nomer ponselnya namun lebih tidak mungkin lagi meninggalkan ponselnya. Itu hanya bentuk penolakan halus saja.
Mengaruk belakang kepalanya atas kecanggungan yang terjadi, ia sedikit tak nyaman dengan situasinya saat ini. Jika boleh jujur, ia sedikit kecewa. Belum pernah ia meminta nomer telpon seorang perempuan apalagi ditolak, ini pertama kali dan terakhir kalinya, ia berjanji detik itu juga. Ia tidak pernah memohon kepada seseorang dan ia tak memiliki niatan untuk mengawalinya dengan Alya, tidak peduli meski ia dibuat penasaran olehnya.
"Oh, well.... " Leo melirik jam tangannya, pura-pura saja sebenarnya, "Gotta go, senang melihatmu, Alya." Ia menawarkan senyuman yang mungkin akan menjadi hadiah terakhirnya untuk Alya, kupikir aku tak perlu datang lagi kemari, gumannya sedikit menyesal. Ia belum pernah mengejar seorang perempuan dan ia tak ingin memulainya sekarang atau bahkan selamanya.
"Ya, malam Leo." Alya melambaikan tangannya beberapa kali, saat Leo mulai melangkah menjauh. Alya memonyongkan bibirnya, menatap Mario sebal sebelum kembali mengawasi kepergian Leo. Laki-laki itu bahkan tak mau mengintipnya lagi, "BYE!" teriaknya berharap Leo akan menoleh ke arahnya, meski sesaat tetapi Leo tidak melakukannya. Ia pergi tanpa menoleh ke belakang.
Tekadnya sangat kuat, jika ia mengatakan tidak maka ia tidak akan pernah mendekati sesuatu itu lagi dan Alya adalah deretan kata tidak yang baru ia sisipkan dalam daftar hitamnya.
"Mbak, kenapa sih, hobi banget teriak-teriak?" Dito yang baru saja selesai merapikan satu meja yang ditinggal pelangan menegur Alya saat ia meliha Alya terdiam di depan meja pantry.
"Kepo!" Alya melenggang pergi.
#####
Alya telah bersiap-siap sejak pagi ketika ia terbangun untuk kedua kalinya pagi itu. Acara resepsi pernikahan Salma akan berlangsung di Grand Ballroom hotel Sheraton Grand Jakarta yang terletak di Kebayoran, Jakarta tepat jam sepuluh pagi. Dua jam setelah akad nikah yang dilangsungkan di masjid Istiqlal yang sayangnya ia lewatan karena bagun terlambat sehingga membuatnya absen dari acara sakral sahabat karibnya itu. Mengenal Salma sejak beberapa tahun silam membuatnya memahami kehidupan percintaan Salma yang sama tak mulusnya dengan kehidupan cinta miliknya. Sebenarnya tidak sama karena Alya belum pernah jatuh cinta, mungkin pernah menyukai seseorang namun jatuh cinta? Ia masih menantikannya hingga kini. Ya, ia mungkin pernah beberapa kali tertarik kepada lawan jenis tetapi sekali lagi, dengan sifat pemilihnya itu ia sering kali gagal dalam proses jatuh cintanya karena ia merasa tak pernah ada yang cocok dengannya. Salma menikahi seseorang yang dikenal
Keluar dari mobil taksi, Alya berlari masuk ke dalam lobby hotel. Kaki pendeknya hanya mampu membuatnya mempersingkat waktu satu setengah kali lebih cepat dari saat ia berjalan dengan normal. Sepatu berhaknya-lah yang membuatnya semakin kesulitan mengontrol kakinya. Belum apa-apa saja ia sudah merasa tak nyaman, sakit pada kedua tumitnya. Mengabaikan beberapa pasang mata yang cukup terhibur oleh tingkahnya, Alya melanjutkan marathon singkatnya menuju salah satu pintu lift di sebelah kanan lobby, dimana beberapa orang juga telah menunggu. Ia melepaskan kedua tangannya yang sejak tadi mencengkram gaunnya. Ya, sejak tadi ia berlari dengan bagian bawah gaun terangkat ke udara, hal itu terpaksa Alya lakukan untuk mempercepat langkah kakinya juga menurunkan risiko terjungkal saat berlari dengan gaun menjuntai ke lantai. Sudut bibirnya sedikit melengkung membentuk senyuman santun saat ia menyadari ia telah menarik banyak perhati
Alya masih memikirkan ucapan Rara. Sialan, ucapan sepupunya itu ada benarnya. Lebih mengejutkan lagi mereka memiliki pemikiran yang sama! Mungkin karena itulah mereka bersaudara. Manfaatkan momen ini untuk mencari calon suami! Kalimat itu terus berputar bukan hanya di benak Alya, tetapi melekat seperti permen karet pada rambut di dalam hatinya. Bahkan secara tak sadar, ia mengumankan kalimat magic itu sama seperti ketika ia berdzikir tiap habis salat. Sayangnya, ia masih terpaku pada tempat ia duduk. Ia belum sempat berkeliling untuk mencari jodoh. Acara itu sudah berlangsung sejak satu jam yang lalu, para tamu sudah memenuhi kursi-kursi yang disediakan. Di sebuah dinding disediakan layar putih yang besar, sebuah rekaman mengenai perjalanan keduanya sudah diputar seolah-olah mereka sedang menonton film Romance of the Year yang mencuri perhatian penonton di sebuah bioskop. Bukan hal yang luar biasa seb
Alya sudah berkeliling untuk menemui beberapa teman sekolahnya dulu yang juga merupakan teman Salma. Diusia yang hampir kepala tiga, hampir semua hari mereka telah memiliki momongan yang artinya mereka telah merasakan kehidupan pernikahan, ada pula yang menjanda atau menduda. Alya tidak habis pikir, apa yang terjadi saat mereka memutuskan untuk berpisah setelah menempuh pernikahan yang baru seusia jagung? Alya turut prihatin juga iri kepada mereka yang berhasil membina keluarga kecil yang bahagia. Ia juga ingin melakukannya, memilikinya sesegera mungkin. Setelah berjalan kesana kemari mengunjungi meja-meja, sengaja untuk menghindari orangtuanya, akhirnya Alya dengan terpaksa duduk bersama kumpulan sesepuh itu. Meja yang di duduki oleh kakek-kakek dan nenek-nenek. Setidaknya, semua paman dan bibinya telah memiliki pewaris untuk dua generasi yang membuat mereka menjadi seorang nenek dan kakek. Mereka tidak akan merasakan kecemasan seperti yang dirasakan oleh orangtuanya. Ya, o
Begitu tiba di apartemennya satu jam kemudian, yang Alya inginkan hanyalah satu. Berendam di air dingin. Ya, iya tak begitu menyukai mandi dengan air panas, hanya kadang-kadang saja. Baginya air dingin lebih menyegarkan. Ia bertekad akan menyelipkan waktu untuk memanjakan diri sebelum bekerja. Setelah membanting dengan kasar pintu apartemen berwarna hitam kecoklatan yang terbuat dari kayu Mahogany itu, Alya melempar sepatu terkutuk yang telah menyakiti jari-jari manis kaki yang ternyata lebih buruk dari dugaannya. Beberapa ruas jarinya lecet, akibat gesekan tak diinginkan dengan permukaan dalam sepatu yang sempit. Seharusnya ia memang tidak memakai kaos kaki yang hanya mempersempit dan memperburuk kondisi kakinya. Sedikit lega karena telah melampiaskan kemarahannya, Alya memutuskan untuk berendam di dalam bak mandi keramik yang berbentuk lonjong. Ia membawa ponselnya ke dalam kamar mandi yang memiliki jendela kaca penuh di salah satu sisinya, menjulang tinggi d
Pagi itu Leo terbangun karena dering ponselnya terdengar sangat menganggu di telingganya yang masih malas untuk mendegar sesuatu. Ia terpaksa bangun untuk mematikannya. Matanya membulat ketika ia mendapati jam digital yang ada di layar ponselnya memberitahunya bahwa ia sangat terlambat, angka itu adalah angka sebelas dan angka dua puluh. Sh*t! Bagaimana bisa ia tertidur seperti orang mati? Seingatnya, semakam ia tidur tepat jam satu dini hari karena mengalami gejala insomnia ringan. Masalah kesehatan juniornya-lah yang menjadi tersangka utamanya. Matanya terasa lengket, kepalanya juga terasa pusing. "Sh*t!" Leo memaki. Ia melempar bantal tak bersalah yang telah menemani tidurnya sepanjang malam dalam pelukannya. Melompat dari ranjang, Leo melempar sembarangan ponsel miliknya, mengabaikan siapapun yang menghubunginya. Selimut tebal berwarna putih yang menutupi otot-otot dada yang terpahat sempurna jatuh ke lantai saat kaki telanjangnya menyentuh
"Halo?" Balas suara di seberang.Sambil membelokkan mobilnya menuju jalan raya, Leo menyahut, "Bro, kenapa telpon kemaren? Sorry kemaren gua sibuk."Haidar menghela napas, kalau didengar dari suaranya, sepertinya Leo jauh lebih ceria daripada kemarin siang. "Enggak, gua cuma mau minta maaf soal kemaren. Sorry kalau gua kesannya mengurui.""It's okay," Leo menyahut santai. "Ya udah. Ntar lagi, gua mau telpon Salma.""Ya, dia cariin Lo kemaren. Lo pergi nggak bilang dia?""Kelupaan.""Ya udah. Assalamualaikum," Haidar memberi salam. Ia menunggu sesaat untuk mendengar sahutan Leo, perasaan lega menyelimutinya, Leo tidak marah soal Mona."Waalaikumsalam..., " jawab Leo lalu menutup telepon.Ia kembali menekan layar di dashboard mobil, ia menelepon Salma dengan cara yang sama. Mereka berbicara singkat, Leo sempat meminta maaf karena ia pergi dari pesta begitu saja tanpa memberi kabar. Syukurlah Sa
Mario menggeleng sambil mencibir dalam hati, ia terpaksa menyodorkan segelas air putih secara cuma-cuma kepada laki-laki yang datang ketiga kalinya ke kafe itu. "Ini," suara Mario datar. Leo mengangkat wajahnya, menatap Mario dengan alis berkerut, ia masih terbatuk-batuk, tangan kirinya memegangi dadanya, sementara tangan kanannya menerima gelas kaca dari Mario. Setidaknya, pikirnya, pelayan itu masih peduli kepada pelangan. Leo terlalu fokus hingga ia tak menyadari bahwa dua pasang kaki itu melangkah ke arahnya dengan tergesa-gesa. "Kenapa, Yo?" Tanya Alya yang mesih belum menyadari kehadiran Leo. Hamza mengekor di belakangnya. Mario menaikkan kedua bahunya sambil memiringkan kepalanya ke kanan sedikit dengan bibir manyun. Alya menghela napas, lalu ia beralih kepada laki-laki yang membelakanginya, ia hanya bisa menatap punggung yang lebar dan terlihat sangat kuat tertutup oleh jaket kulit hitam. Membuat penampilan laki-lak
Sudah seminggu sejak pasangan pengantin baru itu pulang dari honeymoon di Eropa. Keduanya kembali beraktivitas normal. Alya menjalani harinya sebagai seorang penulis dan pemilik kafe. Tak ada yang banyak berubah, hanya saja ia harus menjadi lebih disiplin terutama soal kebersihan rumah. Seperti hari ini sang suami komplain lagi.Alya yang terbiasa hidup sendiri tidak pernah melakukan bersih-bersih rumah apalagi memasak. Ada asisten rumah tangga yang bertugas untuk membersihkan dan merapihkan rumah. Sementara tugas memasak Alya bergantung penuh kepada Reno. Dan tidak ada yang berubah. Kecuali kini ia tinggal berdua bersama sang suami di apartemen sang suami. Masih sama. Ia hanya menunpang tidur.Alya tak ingin menyewa asisten rumah tangga karena sudah menikah. Ia takut ada rahasia rumah tangganya yang bocor ke khalayak umum. Atau bahkan menimbulkan fitnah."Baby, kau tahu dimana kemeja navy milikku?" Tanya Leo keluar dari wardrobe hanya dengan memakai handuk yang dililitkan di pingga
Ketika mereka sudah tiba di hotel tujuan, tepatnya di kota London. Keduanya langsung lelap begitu pipi mereka menyentuh bantal. Mereka tidak sempat sarapan tetapi sempat membersihkan diri sebelum menikmati tidur pertama di hotel itu."Baby," bisik Leo sambil menepuk pelan pundak sang istri. "Hmmm," Alya hanya mengerang karena terganggu dengan suara Leo. Ia masih sangat lelah dan butuh tidur hingga beberapa jam ke depan. Ia selalu tidur tidak kurang dari delapan jam sehari. Sementara beberapa hari belakangan, bahkan sejak persiapan pesta pernikahan hingga kemarin waktu tidurnya berkurang drastis.Ia pikir setelah menikah bisa tidur dengan tenang, ternyata tidak semudah itu apalagi dengan keberadaan sang suami. Malam bukan lagi miliknya untuk dinikmati sendiri tapi harus rela dibagi dengan sang suami. Jadi jangan salahkan Alya jika ia sangat-sangat mengantuk, apalagi perjalanan panjang mereka yang sangat melelahkan."Ayo sayangku, wake up! Rise and shine!" Leo membuka selimut tebal ya
Leo memesan tiket pesawat kelas kelas utama maskapai Qatar airways. Perjalanan yang panjang dan lama itu membuat Alya tidak nyaman bahkan cenderung gusar. Entah karena ia masih terpikir oleh ucapan Rara atau yang lain. Kenyataan lainnya, yang juga sangat ia sayangkan bahwa ia tak bisa memeluk sang suami sesuka hati apalagi hingga hatinya puas.Ia harus bertahan dengan berbaring di ranjang dadakan itu dan terpisah dari tubuh hangat Leo.Setelah menyadari sang istri tak bisa duduk dengan tenang Leo menawarkan diri untuk membantu Alya agar bisa tidur.Meski awalnya menolak akhirnya Alya menerima tawaran menggiurkan itu. Mereka berbagi kursi. Atau lebih tepatnya, Leo mendekap Alya di kursi bisnis mereka. Alya tidur sepanjang perjalanan hanya beberapa kali saja ia membuka mata untuk mencari posisi yang paling nyaman di pelukan sang suami.Kini, ia benar-benar bisa tidur dengan pulas dan tentu saya puas.Entah seperti apa nantinya, ia mengira tak akan bisa tidur selain dalam pelukan sang
Siang itu akhirnya, Alya hanya menemukan Rara dan sang suami, Iman saat turun untuk makan siang. Menurut pengakuan Rara, mereka berdua, ia dan sang suami akan tinggal di resort selama tiga hari ke depan. Berdua saja. Mereka telah memutuskan untuk menelantarkan satu-satunya putra mereka saat ini untuk kesenangan mereka sendiri. Alya tidak habis pikir, bagaimana bisa Rara memilih berlibur berdua saja dengan sang suami sementara Khai masih terlalu kecil untuk ditinggal sendirian? "Lo yakin Khai nggak apa-apa sendirian dengan baby sitter?" Alya bertanya dengan serius. Rara menyesap jus kiwinya dengan santai sambil melirik Alya sekilas. "Percayalah sama gue, Al. Itu adalah keputusan terbaik, bukan cuma buat gue sama suami tapi buat Khai juga. Gue udah enek sama Khai, sesekali gue pengen berduaan sama suami gue aja!" "Gila lo, ya! Lo tega banget ninggalin anak buat seneng-seneng sama suami?" Alya melotot tak percaya. "Gue nggak percaya bang Iman tega ninggalin anaknya cuma buat senengin
Leo mengerjap sekali. Lalu dua kali hingga ketiga kali sebelum sepasang matanya terbuka demgan sempurna. Ia merasa jauh lebih bugar, lebih bersemangat dan entahlah. Ia merasa berbeda pagi ini. Kegelapan menyambutnya. Rupanya hari masih gelap. Leo tersenyum begitu mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Untuk pertama kalinya akhirnya ia bisa memadu kasih dengan istri tercinta tanpa ada gangguan maupun penghalang. Mereka berhasil menyatu bukan hanya dalam janji suci pernikahan melainkan menyatukan jiwa. Leo awalnya tak mengerti mengapa Haidar berubah drastis setelah menikah, namun sekarang ia bisa memahaminya. Karena ia sendiri juga merasa dirinya telah berubah. Entah perubahan seperti apa persisnya. Tetapi tentu saja hal itu adalah sesuatu yang baik. Senyumnya makin lebar ketika mendapati sang istri yang merangkulnya begitu erat dalam tidur seolah ia adalah sebuah guling kesayangannya. Hampir separuh tubuh Alya berada diatas tubuh Leo. Ia menyandarkan kepalanya tepat di jan
"Was it good?" Tanya Leo sambil menyuapi Alya sepotong cheesecake. Mereka sudah tiba di kamar hotel. Ranjang mereka dihiasi mawar merah yang membentuk hati, sayangnya hal itu sia-sia. Tetapi Alya cukup tersentuh dengan usaha sang suami untuk membuat malam mereka romantis. Alya duduk bersila di atas ranjang lembut berwarna putih itu, mengangguk puas, sambil tersenyum disaat mulutnya penuh dengan hidangan legit itu. Alya baru saja menghabiskan semangkuk yogurt dan segelas air putih. "Coba saja, ini sangat enak dan lembut. Mmm..." Ucap Alya setelah makanan di mulutnya lenyap, ia kembali membuka mulutnya. Leo mengangguk puas, "Kau yakin tidak ingin makan yang lain?" Tanya Leo seraya mengangkat garpu ke mulut sang istri. "Tidak. Ini saja sudah cukup. Mmm..." Alya mengerang kegirangan. Makanan manis membuat moodnya membaik seketika. "Can I try?" Tanya Leo lembut, menatap lekat mata sang istri yang berbinar-binar. Lalu pandangan turun ke arah bibir Alya yang sibuk mengunyah dengan an
Tiga Bulan Kemudian "Aaalll!!!" Rara dengan histeris memeluk Alya yang tengah tenggelam dalam lamunannya. Di benaknya, Alya memutar ulang semua kejadian sejak pertama kali ia melihat Leo di kafenya hingga detik ini. Saat ia menunggu di ruang tunggu pengantin. Di hotel saudaranya di pulau Bali. Proses Ijab kabul sudah dilaksanakan di Jakarta Jumat lalu, dan resepsi dilakasanakan dua kali. Pertama di Jakarta yang bersifat terbuka. Ada lebih dari seribu tamu undangan. Alya sendiri tidak tahu siapa saja tamu di pesta pernikahannya itu. Ia hanya mengenal beberapa wajah, tidak lebih dari dua seratus orang. Mereka adalah sahabat, rekan kerja, karyawan di kafenya, dan beberapa teman sekolah termasuk juga teman kuliah. Selebihnya adalah orang asing, tamu dari kedua keluarga besar yang menyatu itu. Dan sekarang, seminggu setelah pesta di Jakarta mereka, Leo dan keluarganya lebih tepatnya, mengadakan pesta kedua yang bersifat lebih private. Hanya keluarga, sahabat dan kerabat dekat yang diun
Sejak saat itu, Alya selalu menemukan dirinya bersama Leo. Tidak, bukan berarti mereka berkencan atau semacamnya. Sama sekali tidak. Hanya saja. Entah bagaimana, mereka selalu bertemu. Baik itu saat acara keluarga, atau hanya Leo yang sedang mengunjungi kafe untuk makan, acara kumpul-kumpul dengan saudara sepupunya. Alya menemukan laki-laki itu selalu ada di mana-mana dan menghantuinya. Awalnya Alya hanya berani melempar senyum sopan yang kurang tulus, tetapi kemudian mereka saling mengirim pesan meski hanya sekali dalam sehari. Itu pun, karena laki-laki bernama Leonardo itu sering menerornya melalui pesan-pesan singkat. Tak lama, kurang dari tiga bulan, Leo mulai berani mengajaknya pergi makan malam. Bukan di kafe miliknya, bukan juga di restoran mahal dengan suasana romantis, bukan juga di hotel dengan masakan kebarat-baratan, bukan pula restoran jepang. Dan tentu saja bukan warung tenda, meski sebenarnya Alya tak akan keberatan jika Leo yang mengajak. Sayangnya, tidak. Leo
Lima tahun yang lalu... Sejak mimpi aneh itu, Alya tidak lagi berani untuk tidur setelah Ashar atau maghrib. Jika sangat mengantuk, Alya akan memaksakan diri untuk membantu Reno di dapur alias memata-matai Reno. Atau Alya akan meluangkan waktu sekitar satu jam untuk tidur siang setelah jam makan siang berakhir. Namun, Alya paling tidak berani menunjukkan wajahnya saat jam-jam sarapan, makan siang atau makan malam. Ia akan berdiam diri, di ruangan kecil yang terletak di lantai dua, ditemani oleh laptop miliknya dan cemilan khusus yang disiapkan Reno. Setelah, dengan cerobohnya ia mengundang laki-laki asing untuk bekerja di kafe dan bahkan memimpikannya, Alya dengan jiwa pengecutnya berharap laki-laki itu tak akan pernah datang lagi ke kafenya. Ia terlalu malu, lebih dari itu ia sangat cemas. Cemas dengan mimpinya. Selama seminggu pertama sejak hari itu, hari Alya berbicara dengan laki-laki tampan berkunjung ke dalam mimpinya, Alya selalu datang terlambat. Ia baru akan tiba di kaf