Situasi di ruangan yang biasanya gaduh itu sungguh bertolak belakang dengan yang terjadi sekarang. Keheningan menyelimuti, dua orang yang baru pertama kali bertemu setelah belasan tahun terpisah saling berpandangan.
Alya bisa merasakan sentuhan lembut ibu jari Leo di dahinya. Jari itu bekerja seperti jari seorang pemijat handal, tanpa Alya sadari ia menyukainya, matanya terpejam setelah beberapa saat.
Sialan. Ia telah jatuh ke tangan laki-laki bajingan itu!
Alya semakin mengkerutkan dahinya, bukannya ia sengaja untuk mendapatkan pijatan gratis dari Leo, tetapi merupakan respon spontan atas ketidaksukaannya pada sesuatu dan saat ini, ia sedang tak menyukai situasi yang ia alami. Ingin sekali ia membuka mata, tetapi takut, jika ia membuka mata, maka ia akan jatuh semakin dalam kedalam jebakan si brengsek. Beraninya ia memperlakukan dirinya seperti ini.
Tak ada yang bisa ia lakukan selain menutup matanya sambil mengabaikan betapa pijatan itu
Leo sedang bersantai di dalam ruang kerjanya yang berada di lantai empat, gedung milik Omar Corp. yang ia dan Haidar sewa dari perusahaan keluarga besar Haidar. Mereka masih belum mampu membangun gedung AHA Architect sendiri. Leo berharap ia bisa segera pindah dari tempat itu. Ia tak senang dengan kenyataan bahwa ia berada di wilayah musuh. Ya, ia berbagi gedung dengan Omar yang membuatnya kadang bertemu dengan Omar dengan tidak sengaja di dalam lift atau lobby. Hal itu sangat tidak menyenangkan. Matanya terbuka begitu ia mendengar derit pintu digeser, namun ia tak memutar kursinya untuk melihat siapa tamunya, ia tahu, tamu tidak sopan itu pastilah Haidar. Brakkk Haidar meletakkan setumpuk dokumen di meja yang terbuat dari kayu bercat putih. Meja itu terlihat begitu polos tanpa hiasan bila dibandingkan dengan miliknya di ruangan CEO. Leo menarik napas lalu memutar kursinya, mengangkat pandangannya, menatap Haidar dengan alis terpinci
Suasana pada senin malam di kafe 'Kopi dan Lemon' cukup ramai. Hampir semua pelanggan yang pergi kesana adalah orang lama. Lana, pegawai baru di kafe itu cukup cekatan meski sudah tiga gelas pecah sepanjang pagi. Alya memakluminya karena Lana masih baru, dari cerita yang ia dapat Lana sebelumnya bekerja sebagai intern sambil mengambil kuliah untuk karyawan pada akhir pekan atau malam. Ia adalah perempuan pekerja keras, Alya menyesal ia tidak memberinya kesempatan saat pertama kali Mario membawanya ke kafe beberapa hari lalu. "Lana, kamu istirahat aja dulu, kamu belum makan, 'kan? Ayo sana makan dulu, minta Reno atau Mario," ucap Alya ketika ia menghampiri Lana yang sedang merapikan meja, sepasang pelanggan baru saja meninggalkan kafe dengan tumpukan piring dan gelas kotor di meja. "Iya, kak, sebantar saya bereskan ini dulu," Lana menyahut sambil mengelap meja. Alya tersenyum, puas dengan kerajinan pegawai barunya. "Malam ini kamu brati bis
Dari luar, pada Senin malam, kafe kopi dan lemon tampak sepi bila dibandingkan dengan kafe lain yang menjamur di kota Jakarta. Alya memang tak terlalu mementingkan income dari kafe, baginya yang terpenting adalah ia bisa makan apapun yang ia inginkan dengan mudah juga memberi lapangan pekerjaan bagi mereka yang membutuhkan. Bila hitung-hitungan untung rugi, jelas Alya rugi. Ia bahkan sering mengucurkan dana darurat dari kantong pribadinya dan ia tak keberatan. Leo mengawasi kafe dari dalam mobilnya yang terparkir tepat di depan kafe. Dari dalam mobilnya, ia bisa melihat jelas Alya yang tengah mengobrol dengan seorang perempuan yang memunggunginya. Ia melihat jam tangannya sekali lagi, sudah hampir jam sembilan malam. Mendorong handle pintu mobil dengan gaya yang pas, pintu itu terbuka dalam sekejap. Ia menurunkan kaki kanannya lebih dulu disusul oleh kaki kirinya. Lalu keduanya melangkah mantap bergantian saling memimpin, masuk ke dalam kafe
Selama sepuluh menit penuh, Alya menatap langit-langit kamarnya lalu mendesah. Argh! Beraninya laki-laki licik itu memintanya untuk menjadi kekasihnya! Apakah aku terlihat sangat membutuhkan seorang laki-laki? Pikirnya sebal. Memalingkan wajah dari atap polos, ia beralih menatap cermin di meja riasnya saat ia memiringkan badan, memeluk guling dengan erat. Ia kembali mendesis. Jika saja ia memiliki kekuatan supranatural, ia akan membunuh Leo tadi malam. Sialan! Laki-laki pecundang itu membuatnya tak bisa tidur sepanjang malam dan kini ia sangat mengantuk, padahal ia harus pergi ke rumah sepupunya, Omar, karena ia telah berjanji akan menjaga Jeje dan Saif, selama Laila pergi ke rumah sakit untuk mengunjugi seorang temannya yang melahirkan. Alya melirik jam dinding yang mengantung di atas pintu kamar mandi. Jam tujuh pagi. Argh! Alya melempar selimut dan bantalnya dengan kesal. Ia memiliki waktu satu jam untuk bersiap
"Al.""Yes, baby?"Mereka sedang menunggu adonan pizza itu untuk mengembang. Sambil menunggu, Reno memotong beberapa sayuran seperti permintaan Jeje dan Saif."I'm not baby! Daddy said I am big boy!" Jeje membantah dengan tegas. Reno dan Lana juga siska yang mengawasi dari kejauahan hanya bisa menahan tertawa.Alya hanya bisa menggelengkan kepalanya, "Okay, big boy, what do you want?" jawabnya lalu mendesah. Semoga permintaannya lebih masuk akal."Can you play me some song?" Jeje melihat Alya dengan tatapan memohon."What song?""Daddy's song!" Jeje berseru. "Yey!""What's daddy's song?" Alya menatap Jeje bingung. Tidak mungkin anak sekecil Jeje menyukai musik rapper, 'kan? Entahlah, siapa yang tahu?"Its daddy's!" Jeje berkata dengan tegas.Alya menatap Reno, mungkin Reno memiliki koleksi daddy's yang dimaksud
Sh*t. Maki Leo dalam hati. Umpatan itu keluar begitu ia melihat Alya dan Reno berduaan di dalam dapur. Ingin sekali rasanya ia menyeret Alya keluar dari sana atau lebih baik lagi jika ia menyingkirkan Reno dari hidup Alya. Selamanya. Hal itu akan lebih masuk akal. Menahan emosi yang baru saja ia kenali sebagai kecemburuan, Leo menaiki anak tangga dengan langkah panjang. Dua anak tangga dalam sekali langkah. Dengan empat kali langkah ia sudah berada di tengah-tengah tangga. "Leo?" Menyadari hanya dirinya yang kemungkinan besar bernama Leo di kafe itu, Leo menghentikan langkah panjang kakinya, ia memutar kepalanya sedikit untuk melihat wajah si pemilik suara yang asing. "Ya Allah, kamu beneran ternyata?" Perempuan berhijab yang mengenakan terusan berwarna abu-abu dan sedikit warna hijau dan putih pada motif yang tersebar merata di gaun panjang itu tampak terkejut. Tentu, melihat Leo di hari kerja pada jam-jam kantor adalah hal yang luar b
"Ehem!" Reno berdehem, "Mbak, mbak pacaran sama orang itu?" Tanya Reno yang begitu penasaran. Perasaannya campur aduk. Saat ia melihat dengan mata kepalanya sendiri Alya duduk di pangkuan Leo tanpa membuat keributan, ia mulai menyadari, mungkin Alya memang tak terjangkau olehnya. Alya tersentak dengan pertanyaan Reno, "Kenapa, Ren?" Tanya Alya tertawa canggung. Ia sangat berharap Reno tuli dan buta beberapa saat yang lalu atau pegawai kesayangannya itu akan menjadi saksi kunci atas runtuhnya tembok harga diri dan pertahanannya. Reno tahu benar, sikap salah tingkah itu bisa menjadi bukti yang kuat atas pelbagai hipotesa yang ada di dalam benaknya saat ini. "Nggak papa, kalau udah minta tolong diberesin," Reno akhirnya tak berani mengungkapkan isi hatinya. Meski ia sangat ingin tahu. Mungkin karena ia sebenarnya takut, takut jika jawaban Alya sama seperti yang ia pikirkan. Alya menjalin hubungan romantis dengan laki-laki blasteran itu!
Leo tiba di gedung Omar Architect tepat sebelum azan Duhur berkumandang. Ia melangkah penuh semangat memasuki lobby gedung bergaya modern yang di doninasi warna putih dan hitam. Orang-orang tampak sibuk, mondar-mandir, ada yang dengan tangan kosong ada pula yang membawa sesuatu di salah satu tangannya, entah itu sebuah map, tumpukan dokumen, tas, ponsel, atau bahkan laptop. Pandangan lurus ke depan, berjalan layaknya seorang mode profesional. Ia bahkan mengabaikan salam sapa dari salah seorang satpam yang berjaga di pintu masuk juga resepsionis genit yang berusaha mencuri perhatiannya sejak pertama kali ia menginjakkan kaki di gedung itu setahun yang lalu. Meski wajahnya tidak menyampaikan apapun namun jauh di lubuk hatinya ia sangat senang. Kejadian di kafe 'Kopi dan Lemon' pagi ini adalah sebuah kemajuan yang luar biasa. Ia tak keberatan pergi kesana setiap hari asal ia bisa makan bersama dengan Alya, tidak, bukan sekadar bersama lagi, tetapi berbagi makanan.
Sudah seminggu sejak pasangan pengantin baru itu pulang dari honeymoon di Eropa. Keduanya kembali beraktivitas normal. Alya menjalani harinya sebagai seorang penulis dan pemilik kafe. Tak ada yang banyak berubah, hanya saja ia harus menjadi lebih disiplin terutama soal kebersihan rumah. Seperti hari ini sang suami komplain lagi.Alya yang terbiasa hidup sendiri tidak pernah melakukan bersih-bersih rumah apalagi memasak. Ada asisten rumah tangga yang bertugas untuk membersihkan dan merapihkan rumah. Sementara tugas memasak Alya bergantung penuh kepada Reno. Dan tidak ada yang berubah. Kecuali kini ia tinggal berdua bersama sang suami di apartemen sang suami. Masih sama. Ia hanya menunpang tidur.Alya tak ingin menyewa asisten rumah tangga karena sudah menikah. Ia takut ada rahasia rumah tangganya yang bocor ke khalayak umum. Atau bahkan menimbulkan fitnah."Baby, kau tahu dimana kemeja navy milikku?" Tanya Leo keluar dari wardrobe hanya dengan memakai handuk yang dililitkan di pingga
Ketika mereka sudah tiba di hotel tujuan, tepatnya di kota London. Keduanya langsung lelap begitu pipi mereka menyentuh bantal. Mereka tidak sempat sarapan tetapi sempat membersihkan diri sebelum menikmati tidur pertama di hotel itu."Baby," bisik Leo sambil menepuk pelan pundak sang istri. "Hmmm," Alya hanya mengerang karena terganggu dengan suara Leo. Ia masih sangat lelah dan butuh tidur hingga beberapa jam ke depan. Ia selalu tidur tidak kurang dari delapan jam sehari. Sementara beberapa hari belakangan, bahkan sejak persiapan pesta pernikahan hingga kemarin waktu tidurnya berkurang drastis.Ia pikir setelah menikah bisa tidur dengan tenang, ternyata tidak semudah itu apalagi dengan keberadaan sang suami. Malam bukan lagi miliknya untuk dinikmati sendiri tapi harus rela dibagi dengan sang suami. Jadi jangan salahkan Alya jika ia sangat-sangat mengantuk, apalagi perjalanan panjang mereka yang sangat melelahkan."Ayo sayangku, wake up! Rise and shine!" Leo membuka selimut tebal ya
Leo memesan tiket pesawat kelas kelas utama maskapai Qatar airways. Perjalanan yang panjang dan lama itu membuat Alya tidak nyaman bahkan cenderung gusar. Entah karena ia masih terpikir oleh ucapan Rara atau yang lain. Kenyataan lainnya, yang juga sangat ia sayangkan bahwa ia tak bisa memeluk sang suami sesuka hati apalagi hingga hatinya puas.Ia harus bertahan dengan berbaring di ranjang dadakan itu dan terpisah dari tubuh hangat Leo.Setelah menyadari sang istri tak bisa duduk dengan tenang Leo menawarkan diri untuk membantu Alya agar bisa tidur.Meski awalnya menolak akhirnya Alya menerima tawaran menggiurkan itu. Mereka berbagi kursi. Atau lebih tepatnya, Leo mendekap Alya di kursi bisnis mereka. Alya tidur sepanjang perjalanan hanya beberapa kali saja ia membuka mata untuk mencari posisi yang paling nyaman di pelukan sang suami.Kini, ia benar-benar bisa tidur dengan pulas dan tentu saya puas.Entah seperti apa nantinya, ia mengira tak akan bisa tidur selain dalam pelukan sang
Siang itu akhirnya, Alya hanya menemukan Rara dan sang suami, Iman saat turun untuk makan siang. Menurut pengakuan Rara, mereka berdua, ia dan sang suami akan tinggal di resort selama tiga hari ke depan. Berdua saja. Mereka telah memutuskan untuk menelantarkan satu-satunya putra mereka saat ini untuk kesenangan mereka sendiri. Alya tidak habis pikir, bagaimana bisa Rara memilih berlibur berdua saja dengan sang suami sementara Khai masih terlalu kecil untuk ditinggal sendirian? "Lo yakin Khai nggak apa-apa sendirian dengan baby sitter?" Alya bertanya dengan serius. Rara menyesap jus kiwinya dengan santai sambil melirik Alya sekilas. "Percayalah sama gue, Al. Itu adalah keputusan terbaik, bukan cuma buat gue sama suami tapi buat Khai juga. Gue udah enek sama Khai, sesekali gue pengen berduaan sama suami gue aja!" "Gila lo, ya! Lo tega banget ninggalin anak buat seneng-seneng sama suami?" Alya melotot tak percaya. "Gue nggak percaya bang Iman tega ninggalin anaknya cuma buat senengin
Leo mengerjap sekali. Lalu dua kali hingga ketiga kali sebelum sepasang matanya terbuka demgan sempurna. Ia merasa jauh lebih bugar, lebih bersemangat dan entahlah. Ia merasa berbeda pagi ini. Kegelapan menyambutnya. Rupanya hari masih gelap. Leo tersenyum begitu mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Untuk pertama kalinya akhirnya ia bisa memadu kasih dengan istri tercinta tanpa ada gangguan maupun penghalang. Mereka berhasil menyatu bukan hanya dalam janji suci pernikahan melainkan menyatukan jiwa. Leo awalnya tak mengerti mengapa Haidar berubah drastis setelah menikah, namun sekarang ia bisa memahaminya. Karena ia sendiri juga merasa dirinya telah berubah. Entah perubahan seperti apa persisnya. Tetapi tentu saja hal itu adalah sesuatu yang baik. Senyumnya makin lebar ketika mendapati sang istri yang merangkulnya begitu erat dalam tidur seolah ia adalah sebuah guling kesayangannya. Hampir separuh tubuh Alya berada diatas tubuh Leo. Ia menyandarkan kepalanya tepat di jan
"Was it good?" Tanya Leo sambil menyuapi Alya sepotong cheesecake. Mereka sudah tiba di kamar hotel. Ranjang mereka dihiasi mawar merah yang membentuk hati, sayangnya hal itu sia-sia. Tetapi Alya cukup tersentuh dengan usaha sang suami untuk membuat malam mereka romantis. Alya duduk bersila di atas ranjang lembut berwarna putih itu, mengangguk puas, sambil tersenyum disaat mulutnya penuh dengan hidangan legit itu. Alya baru saja menghabiskan semangkuk yogurt dan segelas air putih. "Coba saja, ini sangat enak dan lembut. Mmm..." Ucap Alya setelah makanan di mulutnya lenyap, ia kembali membuka mulutnya. Leo mengangguk puas, "Kau yakin tidak ingin makan yang lain?" Tanya Leo seraya mengangkat garpu ke mulut sang istri. "Tidak. Ini saja sudah cukup. Mmm..." Alya mengerang kegirangan. Makanan manis membuat moodnya membaik seketika. "Can I try?" Tanya Leo lembut, menatap lekat mata sang istri yang berbinar-binar. Lalu pandangan turun ke arah bibir Alya yang sibuk mengunyah dengan an
Tiga Bulan Kemudian "Aaalll!!!" Rara dengan histeris memeluk Alya yang tengah tenggelam dalam lamunannya. Di benaknya, Alya memutar ulang semua kejadian sejak pertama kali ia melihat Leo di kafenya hingga detik ini. Saat ia menunggu di ruang tunggu pengantin. Di hotel saudaranya di pulau Bali. Proses Ijab kabul sudah dilaksanakan di Jakarta Jumat lalu, dan resepsi dilakasanakan dua kali. Pertama di Jakarta yang bersifat terbuka. Ada lebih dari seribu tamu undangan. Alya sendiri tidak tahu siapa saja tamu di pesta pernikahannya itu. Ia hanya mengenal beberapa wajah, tidak lebih dari dua seratus orang. Mereka adalah sahabat, rekan kerja, karyawan di kafenya, dan beberapa teman sekolah termasuk juga teman kuliah. Selebihnya adalah orang asing, tamu dari kedua keluarga besar yang menyatu itu. Dan sekarang, seminggu setelah pesta di Jakarta mereka, Leo dan keluarganya lebih tepatnya, mengadakan pesta kedua yang bersifat lebih private. Hanya keluarga, sahabat dan kerabat dekat yang diun
Sejak saat itu, Alya selalu menemukan dirinya bersama Leo. Tidak, bukan berarti mereka berkencan atau semacamnya. Sama sekali tidak. Hanya saja. Entah bagaimana, mereka selalu bertemu. Baik itu saat acara keluarga, atau hanya Leo yang sedang mengunjungi kafe untuk makan, acara kumpul-kumpul dengan saudara sepupunya. Alya menemukan laki-laki itu selalu ada di mana-mana dan menghantuinya. Awalnya Alya hanya berani melempar senyum sopan yang kurang tulus, tetapi kemudian mereka saling mengirim pesan meski hanya sekali dalam sehari. Itu pun, karena laki-laki bernama Leonardo itu sering menerornya melalui pesan-pesan singkat. Tak lama, kurang dari tiga bulan, Leo mulai berani mengajaknya pergi makan malam. Bukan di kafe miliknya, bukan juga di restoran mahal dengan suasana romantis, bukan juga di hotel dengan masakan kebarat-baratan, bukan pula restoran jepang. Dan tentu saja bukan warung tenda, meski sebenarnya Alya tak akan keberatan jika Leo yang mengajak. Sayangnya, tidak. Leo
Lima tahun yang lalu... Sejak mimpi aneh itu, Alya tidak lagi berani untuk tidur setelah Ashar atau maghrib. Jika sangat mengantuk, Alya akan memaksakan diri untuk membantu Reno di dapur alias memata-matai Reno. Atau Alya akan meluangkan waktu sekitar satu jam untuk tidur siang setelah jam makan siang berakhir. Namun, Alya paling tidak berani menunjukkan wajahnya saat jam-jam sarapan, makan siang atau makan malam. Ia akan berdiam diri, di ruangan kecil yang terletak di lantai dua, ditemani oleh laptop miliknya dan cemilan khusus yang disiapkan Reno. Setelah, dengan cerobohnya ia mengundang laki-laki asing untuk bekerja di kafe dan bahkan memimpikannya, Alya dengan jiwa pengecutnya berharap laki-laki itu tak akan pernah datang lagi ke kafenya. Ia terlalu malu, lebih dari itu ia sangat cemas. Cemas dengan mimpinya. Selama seminggu pertama sejak hari itu, hari Alya berbicara dengan laki-laki tampan berkunjung ke dalam mimpinya, Alya selalu datang terlambat. Ia baru akan tiba di kaf