Selama sepuluh menit penuh, Alya menatap langit-langit kamarnya lalu mendesah.
Argh!
Beraninya laki-laki licik itu memintanya untuk menjadi kekasihnya! Apakah aku terlihat sangat membutuhkan seorang laki-laki? Pikirnya sebal. Memalingkan wajah dari atap polos, ia beralih menatap cermin di meja riasnya saat ia memiringkan badan, memeluk guling dengan erat. Ia kembali mendesis. Jika saja ia memiliki kekuatan supranatural, ia akan membunuh Leo tadi malam.
Sialan! Laki-laki pecundang itu membuatnya tak bisa tidur sepanjang malam dan kini ia sangat mengantuk, padahal ia harus pergi ke rumah sepupunya, Omar, karena ia telah berjanji akan menjaga Jeje dan Saif, selama Laila pergi ke rumah sakit untuk mengunjugi seorang temannya yang melahirkan.
Alya melirik jam dinding yang mengantung di atas pintu kamar mandi. Jam tujuh pagi.
Argh!
Alya melempar selimut dan bantalnya dengan kesal. Ia memiliki waktu satu jam untuk bersiap
"Al.""Yes, baby?"Mereka sedang menunggu adonan pizza itu untuk mengembang. Sambil menunggu, Reno memotong beberapa sayuran seperti permintaan Jeje dan Saif."I'm not baby! Daddy said I am big boy!" Jeje membantah dengan tegas. Reno dan Lana juga siska yang mengawasi dari kejauahan hanya bisa menahan tertawa.Alya hanya bisa menggelengkan kepalanya, "Okay, big boy, what do you want?" jawabnya lalu mendesah. Semoga permintaannya lebih masuk akal."Can you play me some song?" Jeje melihat Alya dengan tatapan memohon."What song?""Daddy's song!" Jeje berseru. "Yey!""What's daddy's song?" Alya menatap Jeje bingung. Tidak mungkin anak sekecil Jeje menyukai musik rapper, 'kan? Entahlah, siapa yang tahu?"Its daddy's!" Jeje berkata dengan tegas.Alya menatap Reno, mungkin Reno memiliki koleksi daddy's yang dimaksud
Sh*t. Maki Leo dalam hati. Umpatan itu keluar begitu ia melihat Alya dan Reno berduaan di dalam dapur. Ingin sekali rasanya ia menyeret Alya keluar dari sana atau lebih baik lagi jika ia menyingkirkan Reno dari hidup Alya. Selamanya. Hal itu akan lebih masuk akal. Menahan emosi yang baru saja ia kenali sebagai kecemburuan, Leo menaiki anak tangga dengan langkah panjang. Dua anak tangga dalam sekali langkah. Dengan empat kali langkah ia sudah berada di tengah-tengah tangga. "Leo?" Menyadari hanya dirinya yang kemungkinan besar bernama Leo di kafe itu, Leo menghentikan langkah panjang kakinya, ia memutar kepalanya sedikit untuk melihat wajah si pemilik suara yang asing. "Ya Allah, kamu beneran ternyata?" Perempuan berhijab yang mengenakan terusan berwarna abu-abu dan sedikit warna hijau dan putih pada motif yang tersebar merata di gaun panjang itu tampak terkejut. Tentu, melihat Leo di hari kerja pada jam-jam kantor adalah hal yang luar b
"Ehem!" Reno berdehem, "Mbak, mbak pacaran sama orang itu?" Tanya Reno yang begitu penasaran. Perasaannya campur aduk. Saat ia melihat dengan mata kepalanya sendiri Alya duduk di pangkuan Leo tanpa membuat keributan, ia mulai menyadari, mungkin Alya memang tak terjangkau olehnya. Alya tersentak dengan pertanyaan Reno, "Kenapa, Ren?" Tanya Alya tertawa canggung. Ia sangat berharap Reno tuli dan buta beberapa saat yang lalu atau pegawai kesayangannya itu akan menjadi saksi kunci atas runtuhnya tembok harga diri dan pertahanannya. Reno tahu benar, sikap salah tingkah itu bisa menjadi bukti yang kuat atas pelbagai hipotesa yang ada di dalam benaknya saat ini. "Nggak papa, kalau udah minta tolong diberesin," Reno akhirnya tak berani mengungkapkan isi hatinya. Meski ia sangat ingin tahu. Mungkin karena ia sebenarnya takut, takut jika jawaban Alya sama seperti yang ia pikirkan. Alya menjalin hubungan romantis dengan laki-laki blasteran itu!
Leo tiba di gedung Omar Architect tepat sebelum azan Duhur berkumandang. Ia melangkah penuh semangat memasuki lobby gedung bergaya modern yang di doninasi warna putih dan hitam. Orang-orang tampak sibuk, mondar-mandir, ada yang dengan tangan kosong ada pula yang membawa sesuatu di salah satu tangannya, entah itu sebuah map, tumpukan dokumen, tas, ponsel, atau bahkan laptop. Pandangan lurus ke depan, berjalan layaknya seorang mode profesional. Ia bahkan mengabaikan salam sapa dari salah seorang satpam yang berjaga di pintu masuk juga resepsionis genit yang berusaha mencuri perhatiannya sejak pertama kali ia menginjakkan kaki di gedung itu setahun yang lalu. Meski wajahnya tidak menyampaikan apapun namun jauh di lubuk hatinya ia sangat senang. Kejadian di kafe 'Kopi dan Lemon' pagi ini adalah sebuah kemajuan yang luar biasa. Ia tak keberatan pergi kesana setiap hari asal ia bisa makan bersama dengan Alya, tidak, bukan sekadar bersama lagi, tetapi berbagi makanan.
Sore itu Hamza pulang lebih awal. Ia ingin menemui Alya di kafenya. Langit Jakarta mulai gelap ketika ia tiba di parkiran kafe Kopi dan Lemon. Azan Maghrib mulai berkumandang. Hamza tersenyum cerah saat memasuki pintu kafe yang sedang tutup istirahat salat. Alya menutup kafenya dari jam lima sore hingga jam tujuh malam untuk istirahat salat dan makan setiap harinya. Perfect timing!pikirnya senang. Mereka bisa mengobrol lebih banyak karena kemungkinan besar Alya akan menganggur meski sebenarnya Alya selalu menganggur. Suasana kafe sepi, karena memang sedang tutup sementara. Ia melangkah masuk ke dalam, menghampiri pantry, dimana beberapa karyawan tampak sedang mengobrol. "Hai!" Sapanya. "Alya ada?" tanyanya kepada mereka. Siapa saja yang bersedia menjawab. Lana membeku di tepat ia duduk. Suara itu sangat familiar. Tentu saja, setahun bersama laki-laki itu membuatnya tahu benar bagaimana suara laki-laki yang kadang mendengkur halus dalam ti
Alya baru saja menyelesaikan smoothies yang ia buat dari campuran yogurt dan buah blueberry ketika ia melihat Lana menuruni tangga dari lantai dua. Kafe baru saja buka kembali."Lan, kamu kemana aja?" Tanya Alya.Lana berjalan mendekat, perasaan gelisah kembali menyerangnya, Alya sedang duduk mengobrol dengan sepupunya, Hamza yang tak lain adalah mantan kekasih Lana. Lana merasa jantungnya kembali berpacu setelah hampir satu jam ia mencoba menenangkannya. Keberadaan Hamzalah penyebabnya. Apa yang dilakukan laki-laki itu? Mengapa ia masih disana? Lana ingin menghilang secepat mungkin. Jika saja ia bisa menguap!"Maaf, kak tadi ketiduran," dalih Lana. Sebenarnya ia enggan turun karena tahu Hamza masih disana. Ia tidak ingin melihat laki-laki itu lagi."Oh, ya udah. Kamu jadi pulang sekarang?" Tanya Alya lagi, beberapa menit sebelumnya Lana meminta ijin pulang lebih awal karena ia harus mengerjakan tugas kuliah melalui pesan yang diba
Asslamualaikum, Hai semua... Ceritaku ini mungkin sedikit antik karena setiap bab sekitar 1.8K-2.8K, bukan maksud untuk meronggoh kocek kalian dalam tetapi emang setinggannya begitu sama seperti ceritaku di platform lain. Rencananya nanti tamat sekitar 60an Bab. Lunas 130K-an intinya. Karena kontraknya 130K baru dapet fulus. Jadi pembaca yang setia nggak usah cemas karena bab ini tidak akan sampai ribuan. InshaAllah setelah 130K terpeluhi, tamat. Recehnya InshaAllah setara dengan ribuan bab cerita lain. Aku juga baru sadar kalau recehnya sebanding dengan banyaknya kata. Well, makasih sudah membaca. Kalian telah sangat banyak membantu. Terima kasih sekali lagi. Aku harap ceritaku bisa menghibur dan menjadi pelajaran bagi kita semua. Salam sayang, chu Maia Kasbah
Leo mengawasi Alya sejenak hingga perempuan yang mewarnai hari-harinya belakangan ini masuk ke dalam gedung apartemen yang juga merupakan gedung hotel milik Omar Corp. Dikeluarkannya napas yang terasa berat itu dari paru-parunya, tentu saja, Alya adalah bagian dari keluarga besar Omar. Kenyataan itu masih mengganjal di dalam hatinya. Ia tak begitu menyukai hal itu. Selain itu, bagaimana nantinya pendapat Omar dan saudara-saudaranya jika mereka tahu Alya menjalin hubungan dengannya. Meski Leo sendiri juga tidak bisa memastikan apakah ia akan menjalin hubungan dengan Alya. Bukan berarti ia tidak percaya diri, ia yakin, setelah malam ini, Alya tertarik kepadanya. Setidaknya tatapan perempuan itu cukup sebagai bukti. Leo sekali lagi menatap gedung bertingkat di hadapannya, sebelum menarik napas panjang dan melajukan mobilnya meninggalkan gedung itu. Jam di tangannya menunjukkan bahwa hari sudah malam dan ia merasa cukup lelah untuk segera memejamkan mata. S
Sudah seminggu sejak pasangan pengantin baru itu pulang dari honeymoon di Eropa. Keduanya kembali beraktivitas normal. Alya menjalani harinya sebagai seorang penulis dan pemilik kafe. Tak ada yang banyak berubah, hanya saja ia harus menjadi lebih disiplin terutama soal kebersihan rumah. Seperti hari ini sang suami komplain lagi.Alya yang terbiasa hidup sendiri tidak pernah melakukan bersih-bersih rumah apalagi memasak. Ada asisten rumah tangga yang bertugas untuk membersihkan dan merapihkan rumah. Sementara tugas memasak Alya bergantung penuh kepada Reno. Dan tidak ada yang berubah. Kecuali kini ia tinggal berdua bersama sang suami di apartemen sang suami. Masih sama. Ia hanya menunpang tidur.Alya tak ingin menyewa asisten rumah tangga karena sudah menikah. Ia takut ada rahasia rumah tangganya yang bocor ke khalayak umum. Atau bahkan menimbulkan fitnah."Baby, kau tahu dimana kemeja navy milikku?" Tanya Leo keluar dari wardrobe hanya dengan memakai handuk yang dililitkan di pingga
Ketika mereka sudah tiba di hotel tujuan, tepatnya di kota London. Keduanya langsung lelap begitu pipi mereka menyentuh bantal. Mereka tidak sempat sarapan tetapi sempat membersihkan diri sebelum menikmati tidur pertama di hotel itu."Baby," bisik Leo sambil menepuk pelan pundak sang istri. "Hmmm," Alya hanya mengerang karena terganggu dengan suara Leo. Ia masih sangat lelah dan butuh tidur hingga beberapa jam ke depan. Ia selalu tidur tidak kurang dari delapan jam sehari. Sementara beberapa hari belakangan, bahkan sejak persiapan pesta pernikahan hingga kemarin waktu tidurnya berkurang drastis.Ia pikir setelah menikah bisa tidur dengan tenang, ternyata tidak semudah itu apalagi dengan keberadaan sang suami. Malam bukan lagi miliknya untuk dinikmati sendiri tapi harus rela dibagi dengan sang suami. Jadi jangan salahkan Alya jika ia sangat-sangat mengantuk, apalagi perjalanan panjang mereka yang sangat melelahkan."Ayo sayangku, wake up! Rise and shine!" Leo membuka selimut tebal ya
Leo memesan tiket pesawat kelas kelas utama maskapai Qatar airways. Perjalanan yang panjang dan lama itu membuat Alya tidak nyaman bahkan cenderung gusar. Entah karena ia masih terpikir oleh ucapan Rara atau yang lain. Kenyataan lainnya, yang juga sangat ia sayangkan bahwa ia tak bisa memeluk sang suami sesuka hati apalagi hingga hatinya puas.Ia harus bertahan dengan berbaring di ranjang dadakan itu dan terpisah dari tubuh hangat Leo.Setelah menyadari sang istri tak bisa duduk dengan tenang Leo menawarkan diri untuk membantu Alya agar bisa tidur.Meski awalnya menolak akhirnya Alya menerima tawaran menggiurkan itu. Mereka berbagi kursi. Atau lebih tepatnya, Leo mendekap Alya di kursi bisnis mereka. Alya tidur sepanjang perjalanan hanya beberapa kali saja ia membuka mata untuk mencari posisi yang paling nyaman di pelukan sang suami.Kini, ia benar-benar bisa tidur dengan pulas dan tentu saya puas.Entah seperti apa nantinya, ia mengira tak akan bisa tidur selain dalam pelukan sang
Siang itu akhirnya, Alya hanya menemukan Rara dan sang suami, Iman saat turun untuk makan siang. Menurut pengakuan Rara, mereka berdua, ia dan sang suami akan tinggal di resort selama tiga hari ke depan. Berdua saja. Mereka telah memutuskan untuk menelantarkan satu-satunya putra mereka saat ini untuk kesenangan mereka sendiri. Alya tidak habis pikir, bagaimana bisa Rara memilih berlibur berdua saja dengan sang suami sementara Khai masih terlalu kecil untuk ditinggal sendirian? "Lo yakin Khai nggak apa-apa sendirian dengan baby sitter?" Alya bertanya dengan serius. Rara menyesap jus kiwinya dengan santai sambil melirik Alya sekilas. "Percayalah sama gue, Al. Itu adalah keputusan terbaik, bukan cuma buat gue sama suami tapi buat Khai juga. Gue udah enek sama Khai, sesekali gue pengen berduaan sama suami gue aja!" "Gila lo, ya! Lo tega banget ninggalin anak buat seneng-seneng sama suami?" Alya melotot tak percaya. "Gue nggak percaya bang Iman tega ninggalin anaknya cuma buat senengin
Leo mengerjap sekali. Lalu dua kali hingga ketiga kali sebelum sepasang matanya terbuka demgan sempurna. Ia merasa jauh lebih bugar, lebih bersemangat dan entahlah. Ia merasa berbeda pagi ini. Kegelapan menyambutnya. Rupanya hari masih gelap. Leo tersenyum begitu mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Untuk pertama kalinya akhirnya ia bisa memadu kasih dengan istri tercinta tanpa ada gangguan maupun penghalang. Mereka berhasil menyatu bukan hanya dalam janji suci pernikahan melainkan menyatukan jiwa. Leo awalnya tak mengerti mengapa Haidar berubah drastis setelah menikah, namun sekarang ia bisa memahaminya. Karena ia sendiri juga merasa dirinya telah berubah. Entah perubahan seperti apa persisnya. Tetapi tentu saja hal itu adalah sesuatu yang baik. Senyumnya makin lebar ketika mendapati sang istri yang merangkulnya begitu erat dalam tidur seolah ia adalah sebuah guling kesayangannya. Hampir separuh tubuh Alya berada diatas tubuh Leo. Ia menyandarkan kepalanya tepat di jan
"Was it good?" Tanya Leo sambil menyuapi Alya sepotong cheesecake. Mereka sudah tiba di kamar hotel. Ranjang mereka dihiasi mawar merah yang membentuk hati, sayangnya hal itu sia-sia. Tetapi Alya cukup tersentuh dengan usaha sang suami untuk membuat malam mereka romantis. Alya duduk bersila di atas ranjang lembut berwarna putih itu, mengangguk puas, sambil tersenyum disaat mulutnya penuh dengan hidangan legit itu. Alya baru saja menghabiskan semangkuk yogurt dan segelas air putih. "Coba saja, ini sangat enak dan lembut. Mmm..." Ucap Alya setelah makanan di mulutnya lenyap, ia kembali membuka mulutnya. Leo mengangguk puas, "Kau yakin tidak ingin makan yang lain?" Tanya Leo seraya mengangkat garpu ke mulut sang istri. "Tidak. Ini saja sudah cukup. Mmm..." Alya mengerang kegirangan. Makanan manis membuat moodnya membaik seketika. "Can I try?" Tanya Leo lembut, menatap lekat mata sang istri yang berbinar-binar. Lalu pandangan turun ke arah bibir Alya yang sibuk mengunyah dengan an
Tiga Bulan Kemudian "Aaalll!!!" Rara dengan histeris memeluk Alya yang tengah tenggelam dalam lamunannya. Di benaknya, Alya memutar ulang semua kejadian sejak pertama kali ia melihat Leo di kafenya hingga detik ini. Saat ia menunggu di ruang tunggu pengantin. Di hotel saudaranya di pulau Bali. Proses Ijab kabul sudah dilaksanakan di Jakarta Jumat lalu, dan resepsi dilakasanakan dua kali. Pertama di Jakarta yang bersifat terbuka. Ada lebih dari seribu tamu undangan. Alya sendiri tidak tahu siapa saja tamu di pesta pernikahannya itu. Ia hanya mengenal beberapa wajah, tidak lebih dari dua seratus orang. Mereka adalah sahabat, rekan kerja, karyawan di kafenya, dan beberapa teman sekolah termasuk juga teman kuliah. Selebihnya adalah orang asing, tamu dari kedua keluarga besar yang menyatu itu. Dan sekarang, seminggu setelah pesta di Jakarta mereka, Leo dan keluarganya lebih tepatnya, mengadakan pesta kedua yang bersifat lebih private. Hanya keluarga, sahabat dan kerabat dekat yang diun
Sejak saat itu, Alya selalu menemukan dirinya bersama Leo. Tidak, bukan berarti mereka berkencan atau semacamnya. Sama sekali tidak. Hanya saja. Entah bagaimana, mereka selalu bertemu. Baik itu saat acara keluarga, atau hanya Leo yang sedang mengunjungi kafe untuk makan, acara kumpul-kumpul dengan saudara sepupunya. Alya menemukan laki-laki itu selalu ada di mana-mana dan menghantuinya. Awalnya Alya hanya berani melempar senyum sopan yang kurang tulus, tetapi kemudian mereka saling mengirim pesan meski hanya sekali dalam sehari. Itu pun, karena laki-laki bernama Leonardo itu sering menerornya melalui pesan-pesan singkat. Tak lama, kurang dari tiga bulan, Leo mulai berani mengajaknya pergi makan malam. Bukan di kafe miliknya, bukan juga di restoran mahal dengan suasana romantis, bukan juga di hotel dengan masakan kebarat-baratan, bukan pula restoran jepang. Dan tentu saja bukan warung tenda, meski sebenarnya Alya tak akan keberatan jika Leo yang mengajak. Sayangnya, tidak. Leo
Lima tahun yang lalu... Sejak mimpi aneh itu, Alya tidak lagi berani untuk tidur setelah Ashar atau maghrib. Jika sangat mengantuk, Alya akan memaksakan diri untuk membantu Reno di dapur alias memata-matai Reno. Atau Alya akan meluangkan waktu sekitar satu jam untuk tidur siang setelah jam makan siang berakhir. Namun, Alya paling tidak berani menunjukkan wajahnya saat jam-jam sarapan, makan siang atau makan malam. Ia akan berdiam diri, di ruangan kecil yang terletak di lantai dua, ditemani oleh laptop miliknya dan cemilan khusus yang disiapkan Reno. Setelah, dengan cerobohnya ia mengundang laki-laki asing untuk bekerja di kafe dan bahkan memimpikannya, Alya dengan jiwa pengecutnya berharap laki-laki itu tak akan pernah datang lagi ke kafenya. Ia terlalu malu, lebih dari itu ia sangat cemas. Cemas dengan mimpinya. Selama seminggu pertama sejak hari itu, hari Alya berbicara dengan laki-laki tampan berkunjung ke dalam mimpinya, Alya selalu datang terlambat. Ia baru akan tiba di kaf