Keesokan paginya, kami benar-benar dijemput menggunakan mobil off-road.
Bajuku dan baju Zidni sudah diganti dengan pakaian yang baru, bersih dan wangi. Semua pakaian bahkan kerudung biruku sudah dicuci bersih dan dikembalikan pada kami juga dalam keadaan wangi.
Tentara-tentara itu melepas kami dengan perasaan penuh simpati.
Mereka menyalami tanganku dan Zidni dengan mata berkaca-kaca. Aku memandangi Zidni tanpa mampu
mengatakan apa-apa.Aku menoleh ke belakang saat mobil yang kami tumpangi membawa kami menuju kota, terasa sangat perih di dada ini.
Kenapa aku harus merasa dikhianati seperti ini? Kenapa aku harus terusir dari negara yang melahirkan dan membesarkanku?
Aku membalas lambaian tangan para tentara penjaga pos perbatasan.
Saat aku meninggalkan negara di belakangku dan angin negara ini menyentuh riap-riap rambutku, entah kenapa tidak ada lagi beban itu.
Beban yang telah kutanggung semenjak aku kecil. Bayangan Faraz menari-nari di kepalaku, jasadnya tertinggal di Malayaka, tapi jiwanya kubawa kembali ke negaranya.
Ke Sudiya.
****
Dengan sepucuk surat yang menjelaskan identitas Zidni sebagai saudara angkat Faraz, keberadaan kami sebagai pencari suaka sepertinya akan langsung diterima.
Aku tidak tahu kalau selama ini Zidni menyimpan surat semacam itu di saku celananya, sudah kumal dan sedikit sobek.
Pencari suaka adalah sekaligus pengungsi, pengungsi yang sekaligus juga meminta perlindungan.
Jika permintaan perlindungan kami belum selesai dipertimbangkan, hal
tersebut akan terus dievaluasi dengan prosedur khusus dari pihak yang berwenang.Kami telah tercatat sebagai pendaftar, dengan kondisi masih lelah kami sudah mengikuti wawancara.
Kami tahu Sudiya adalah negara yang orang-orangnya begitu baik, tingkat
kejahatan di negara ini amat rendah dan rakyatnya bahagia.Alasan yang melatarbelakangi keputusan diterima atau tidaknya status kami sebagai pengungsi dapat diberikan atau ditolak. Tapi, sepertinya kami tidak perlu terlalu khawatir.
Kami disambut dengan sangat baik dan mereka mendengarkan cerita kami.
Kami memakai bahasa internasional terpatah-patah untuk menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan kami
kepada pihak kedutaan.Mereka jauh lebih baik menguasai bahasa internasional dibanding
aku dan Zidni.Mereka semua berkumpul dan mengelilingi kami untuk benar-benar
mendengarkan cerita kami.Kebanyakan dari mereka menghela napas, mendesah dan berwajah sedih usai mendengar penuturan kami.
Aku merasa sangat terpukau karena rasa simpati yang mereka tunjukkan.
Ada yang menggenggam tanganku begitu hangat dan menepuk-nepuknya selama aku bercerita. Ada yang membuatkan kami teh hangat, ada yang memberiku coklat.
Kami seperti anak bangsa mereka yang hilang dan kini baru kembali.
Kendala bahasa pun menjadi tidak berarti saat mereka semakin tampak sedih karena melihat luka-luka di tubuh kami, lenganku yang sebenarnya tergores timah panah, sepertinya tidak terasa saat pelarian tapi sekarang lukanya mulai menimbulkan infeksi.
Perawatan di pos perbatasan kemarin sedikit banyak membantu agar keadaan lenganku tidak semakin
bertambah parah.Mereka yang menyambut kami turut pula merawat dan juga memberikan tempat tinggal sementara.
Selanjutnya mereka juga akan mencarikan kediaman yang akan lebih menentramkan kami. Kami diberi buku panduan dan mulai diajari bahasa setempat agar kami lebih mudah berinteraksi di tempat kami yang baru.
Selama ini Zidni yang lebih sering berinteraksi dengan Faraz, lebih mudah cepat memahami bahasa baru kami dibanding aku yang berusaha berpikir keras hanya untuk mengingat bagaimana mengucapkan kata terima kasih dan maaf.
****
Apa yang bisa kuceritakan dari negara ini? Sudiya begitu cantik dengan pohon-pohon hijaunya.Semua tertata apik, berjajar rapi seperti taman dalam impianku. Aku ingin berjalan di taman ini bersama Faraz.
Rasanya begitu sulit menerima kenyataan bahwa ia terbunuh di
negaraku dan aku kini diselamatkan negaranya. Orang-orang di sini begitu ramah dan suka menolong.Mereka akan berhenti sejenak ketika berpapasan denganku di jalan dan menyapaku.
Kebanyakan mereka mengucapkan salam sambil tersenyum. Ada yang bertanya ke mana tujuanku atau apakah aku senang berada di Sudiya?
Mereka tahu aku orang asing, mungkin karena gerak-gerikku. Tapi, hanya dari beberapa dari mereka yang menanyakan asal negaraku.
Negara ini begitu sederhana namun sangat indah. Negara yang bisa disebut sebagai negara bahagia adalah negara yang pendapatan per kapitanya tinggi, penduduknya mendapat dukungan sosial yang baik dari pemerintahnya.
Rakyatnya juga hidup dengan sehat, memiliki kehidupan sosial yang baik, banyak terlihatnya kedermawanan, dan level korupsi yang rendah.
Aku tidak meragukan tingkat kebahagiaan orang-orang di negara ini. Seminggu aku berada di sini, aku seperti telah merasakan semua itu.
“Namamu siapa?”
“Namaku Ara,” senyumku. “Namamu siapa?”
“Aku Lhanna,” ujar seorang perempuan yang menyapaku hari ini.
Usianya mungkin sekitar dua atau tiga puluhan, entahlah. Dia memiliki rambut panjang ikal berwarna coklat
terang yang membingkai wajahnya yang bersih dan cantik.“Kau bukan berasal dari sini? Kau merantau ke sini?” tanya Lhanna lagi.
“Aku pencari suaka. Aku harap aku bisa diterima dan berguna di sini,” jawabku jujur.
Lhanna mengangguk-angguk. Terlebih saat kuceritakan perihal keluarga Faraz yang membantu negaraku, Lhanna sepertinya tampak begitu tersanjung.
“Kami senang menyambut tamu-tamu yang datang dari negara lain. Kalau kau membutuhkan bantuanku, kau bisa menghubungiku di sini. Mungkin nanti kau bisa menjadi
petugas perpustakaan bersama denganku.” Lhanna mengambil sesuatu dari dalam dompetnya dan menyerahkan secarik kartu nama padaku.Aku menerimanya dengan tangan sedikit bergetar. Cuaca di sini begitu sejuk tapi juga terkadang terasa dingin menusuk, mungkin karena tulang-tulangku yang mulai keropos dan bobot tubuhku yang mulai semakin hilang.
“Terima kasih banyak,” ucapku terharu. Ini sangat berarti bagiku, andai kau tahu, ucapku dalam hati. Lhanna hanya mengangguk dan tersenyum.
“Semoga kau betah tinggal di sini,” ujarnya. Aku mengangguk lagi dan tertawa menahan haru.
Lhanna mulai berjalan lagi dan melambaikan tangannya padaku. Aku balas melambaikan tanganku.
Di sepanjang jalan, aku melihat orang-orang melihatku dan tersenyum padaku. Rasanya benar-benar begitu berarti diperlakukan seperti ini.
Mungkin karena aku melepas kerudungku? Atau karena aku tampak berbeda dari orang-orang di sini?
Yang jelas aku lega tidak perlu menjelaskan apa sukuku dan apa agamaku.
Aku meneruskan jalan-jalanku. Aku sengaja diminta seorang ibu yang rumahnya kutumpangi untuk menyegarkan pikiran dengan berjalan-jalan selama beberapa hari.
Itu akan membantuku mengatasi hal-hal pahit yang terjadi padaku, katanya.
Aku sudah seminggu ada di sini dan setiap hari aku hanya berjalan-jalan di pusat kota yang tidak terlalu ramai.
Nanti, setelah keadaan lebih baik dan aku sudah tidak diganggu mimpi-mimpi buruk, katanya, aku bisa mencari pekerjaan di kota ini.
Aku tidak tahu lagi harus berterimakasih dengan cara bagaimana pada negara ini.
Sudiya memerlakukan aku seperti ratu mereka yang hilang. Aku disambut dan dijamu dengan sangat baik.
****Hampir setiap aku memejamkan mata aku selalu melihat bayangan pohon-pohon hitam yang mengeluarkan asap dan suara letusan.Suara orang-orang berteriak disekelilingku dengan mulut penuh darah dan mata yang mencuat keluar.
Aku seperti sedang menjadi salah satu
pemain dalam film horor dan aku bukanlah pemeran utama.Aku mengamati tapi aku juga
ada di dalamnya, dikejar-kejar oleh bayangan dan teror. Aku takut sekali melihat kobaran api.Aku terus berlari tanpa henti tapi aku seperti berlari dan melayang, kakiku tidak menjejak tanah, rasanya tidak enak dan tidak nyaman.
Saat aku memutuskan untuk menghilang saja, aku pun terbangun.
Aku tahu ini hanya mimpi buruk dan saat aku membuka mata aku tahu aku sedang berada di salah satu negara paling aman di dunia.
Tapi, aku juga semakin ketakutan.
Bagaimana jika hal ini terus berlangsung dan aku tidak bisa mengatasinya?
Apakah lambat laun hal ini bisa membuatku gila? Aku juga sering berteriak tanpa sebab saat aku sendirian.
Pikiranku seakan kosong dan mulai mati. Seperti mimpi di atas mimpi.
Terkadang saat aku tersadar dari mimpi-mimpi buruk itu, rasanya aku habis lari maraton dan napasku tersengal-sengal.Aku ingin sekali tidak usah tidur lagi selamanya, tapi mataku selalu lelah dan tubuhku selalu menuntutku untuk beristirahat lebih banyak.
Semakin aku berusaha untuk tidur sesedikit mungkin, semakin pulas aku tertidur dan aku kembali terbangun dengan mimpi-mimpi yang begitu nyata.
Kebiasaanku minum kopi hitam tidak berubah. Kopi di sini kuakui tidak sekuat kopi Malayaka.
Sejauh yang bisa kuingat, kopi Malayaka pahit dan asam. Seakan menggambarkan kehidupan kami sendiri di negeri itu.
Ayahku bilang kopi bisa memiliki berbagai macam citarasa.
Kopi yang ditanam di dekat buah cenderung akan memiliki citarasa buah, ditanam didekat sayuran akan memiliki citarasa sayuran dan seterusnya.
Aku termangu. Apakah jika ditanam di daerah pertempuran cenderung akan memiliki citarasa ‘darah’?
Aku bergidik dan lalu mengingatkan diriku untuk kembali berpikir normal.
Kopi Malayaka tumbuh berupa semak-semak, di sini aku mengetahui bahwa kopi Sudiya tumbuh berupa pohon-pohon kecil beranting ringkih.
Kopi Sudiya terasa harum, manis dan bercitarasa mirip coklat. Aku biasa menerima pengaruh cukup kuat dari secangkir kopi hitam Malayaka, aku bisa tidak tertidur semalaman karena kafeinnya, di sini aku biasa-biasa saja bahkan setelah meneguk tiga cangkir kopi.
Aku tetap bisa tertidur pulas setelahnya dan seperti biasa pula selalu bangun kesiangan.
Aku menjalani hari-hariku di Sudiya dengan perasaan tidak bisakulukiskan.
Aku berada di negara yang aman dan indah ini, aku diperlakukan dengan baik dan aku sama sekali tidak mengalami kesulitan yang berarti selama aku berada di sini.
Ini adalah kehidupan yang
begitu normal. Tapi, aku takut memimpikan hal-hal yang membuatku menjadi manusia normal.Jika aku memutuskan untuk hidup layaknya manusia normal, maka aku harus memikirkan persoalan menikah dengan seseorang, berkeluarga dan memiliki keluarga, memiliki anak dan menjalani hidup bahagia.
Aku begitu takut memikirkannya. Bahkan saat bersama Faraz, hal itu sama sekali tidak pernah terlintas di pikiranku.
Kenapa sekarang saat aku sudah sendiri, pikiran itu tiba-tiba saja melintas?
****Seseorang yang merawatku adalah seorang janda yang ditinggal mati suami dan anaknya dalam sebuah kecelakaan kereta api bawah tanah.Suami dan anaknya berencana liburan ke sebuah tempat namun kecelakaan tragis membawa pergi mereka untuk selamanya.
Selama ini ia bertahan hidup dengan uang pensiun dari mendiang suaminya.
Ibu yang merawatku bernama Karpov. Aku langsung ingin memanggilnya ibu.
Aku mengerti saat dia menunjukkan foto mendiang suami dan anaknya, aku merasakan kepedihan dalam matanya.
Dia tidak menangis saat menceritakan kisahnya karena katanya ia sudah mengikhlaskan kepergian suami dan anaknya.
Tapi, saat aku menceritakan kisahku sendiri, ibuku yang mati saat aku masih begitu muda, orang yang berasal dari negara ini yang begitu kucintai juga mati, ayahku juga mati
dalam perang, adik-adikku yang terpaksa menjadi tentara perang dan akhirnya pergi menghilang, air matanya jatuh bercucuran dengan derasnya.Aku tidak menangis saat menceritakan semua itu, seolah-olah air matanya adalah perwakilan dari kesedihanku.
Ibu Karpov tidak bisa membayangkan betapa beratnya hidup yang kualami.
Ya, seakan-akan dunia tidak pernah baik kepadaku dan aku adalah manusia yang sungguh tidak beruntung.
Ibu Karpov berkata padaku, bahwa setiap manusia memiliki batas kemampuan untuk menahan rasa sakit.
Saat manusia tersebut telah melampaui batas kemampuannya, secara ajaib rasa sakit itu akan lenyap.
Yang tersisa adalah perasaan bisa menerima dengan ikhlas dan lapang dada.
Kehidupan akhirnya terus berjalan dan kita harus mampu melalui hidup
yang telah dianugerahkan pada kita dengan penuh rasa bahagia dan rasa syukur.Aku menyimak wejangannya. Bukan perkara mudah untuk bisa menerima keadaan yang kuterima sekarang, tapi aku tetap menjalaninya dan kuanggap sebagai caraku untuk berterimakasih pada orang yang telah sudi menyelamatkanku.
Bagaimana pun, aku tidak akan
tetap hidup tanpa bantuannya, aku tidak akan berada di sini jika bukan karena kebulatan tekad dari orang itu.Aku akan menanyakan alasannya menyelamatkanku mungkin pada lain
waktu, saat aku sudah mampu mengatasi masa sulitku dan keadaanku.****
Pagi ini, ibu Karpov sudah menyiapkan sarapan kentang tumbuk berbumbu rempah dan bawang putih, juga ada beberapa batang asparagus yang terlihat sangat segar untuk dinikmati.Aku merasa sudah bangun sepagi mungkin, tapi ibu selalu bangun lebih pagi ketimbang diriku.
“Kau harus makan banyak, Nak, biar kesehatanmu cepat pulih dan kau terlihat segar dan cantik lagi,” ujarnya.
Aku menyendok kentang tumbuk ke piringku. Ibu Karpov menuang
jus jeruk ke dalam gelasku.“Terima kasih, Ibu,” senyumku malu. Aku berjanji akan menyayanginya sampai aku mati. Dia begitu baik padaku.
“Apa semalam aku teriak-teriak lagi?” tanyaku. Ibu Karpov tertawa,
“Sekarang ibu sudah terbiasa mendengarnya, kau tahu.”
Aku hanya bisa tersenyum kecil. “Hari ini aku bisa membersihkan kandang unggas kalau Ibu mau,” tawarku.
“Dan mengambil telur-telur untuk bahan kita membuat roti?” kerlingnya senang.
Aku membalas tanyanya dengan anggukan. Sepertinya hari ini aku sudah diijinkan untuk membantunya.
Setelah selesai sarapan, aku menuju ke pekarangan rumah ibu Karpov yang amat luas.
Ibu Karpov memiliki sekandang unggas dari ayam dan itik yang sehat dan montok-montok.
Selama ini aku dilarang masuk kandang unggas karena kesehatanku yang menurun drastis setelah peristiwa pembantaian dan pelarianku.
Ibu ingin aku membantunya setelah aku sudah semakin sehat.
“Kau yakin?” ibu bertanya padaku, memastikan aku baik-baik saja. Aku tertawa dan lagi-lagi mengangguk.
Ibu Karpov berjalan mengitariku dan satu lengannya memelukku, membisikkan sesuatu, “Kau harus segera menikah agar hidupmu lebih bahagia dan kau bisa melupakan hal-
hal sedih yang terjadi dalam hidupmu, anakku.”Aku mengerutkan kening mendengar hal itu tapi aku tersenyum mengiyakan.
Mungkin ibu Karpov hanya ingin aku merasakan tidur yang lebih tenang dengan hadirnya seseorang disisiku.
Membayangkan hal itu aku jadi mendesah dan tersipu malu.
Satu ayam terbang karena kaget saat aku mendekati kandangnya. Aku terkejut dan berteriak tapi lantas aku tertawa. Ibu Karpov langsung menghampiriku.
“Kau tidak apa-apa, Nak?” tanyanya.
Aku menoleh dan menggelengkan kepala. Aku kembali tertawa.
“Ayamnya kaget,” ujarku. “Aku benar-benar senang melihat ayam,” tambahku.
Ibu mungkin merasa aneh dengan perkataanku. Aku mengatakan yang sebenarnya, aku senang melihat makhluk lain selain manusia.
Di negaraku, semua hewan rasanya pergi menghilang dan hal itu membuatku sangat sedih.
Aku memandangi ayam-ayam ibuku yang gemuk dan montok, ada yang berlarian dan ada yang mematuk-matuk sesuatu di tanah. Aku menghela napas.
“Kalau kau ingin mengambil telur-telurnya, kau bisa membawa keranjang yang ada di sudut sana,” ibu membuyarkan lamunanku. Aku menoleh dan mengangguk.
“Wajahmu jadi sedih lagi padahal beberapa menit lalu kau terlihat bahagia,” ibu menggumam, lalu ia kembali ke dalam rumah.
Aku ingin sekali mengatakan ‘aku tidak apa-apa’ tapi pada kenyataannya aku memang ‘apa-apa.’
Aku berjalan menuju sudut yang ditunjukkan ibuku. Mengambil keranjang telur yang dialasi dengan tumpukan jerami.
Aku berjalan lagi menuju kandang, memunguti telur-telur besar dan segar yang kudapatkan gratis dari ayam-ayam yang bersusah-payah memproduksinya.
Ayam-ayam berkotek saat tanganku terulur mengambil telur. Mereka ayam yang ramah dan sepertinya tidak ada yang berniat mematuk karena telurnya kuambil.
Mereka hanya memandangiku dengan kedua mata mereka yang bulat dan berkedip-kedip. Aku merasa geli dan tersanjung.
Bukan hanya orang-orang di negara ini saja yang ramah, namun ayam-ayam mereka juga. Mungkin ada secuil senyum di wajahku karena perasaan aneh dan hebat menghampiriku.
Di negara ini aku bisa makan telur rebus sepuasku, makan sayuran yang segar dan menyehatkan, makan daging seminggu sekali, makan buah-buahan ranum yang mudah
ditemukan di toko buah atau penjual eceran di semua sudut kota.Ibu juga memiliki sepetak kebun anggur merah, tomat ceri kuning dan buah zaitun hijau yang lebat. Saat berbuah, aku bisa menikmatinya sesering yang aku mau.
Ternyata makanan sangat berpengaruh dalam meningkatkan semangat, kecerdasan dan ketangkasan.
Aku merasa jauh lebih sigap dibanding dulu saat hari-hariku hanya minum kopi dan makan secuil roti gandum yang basi.
Seharusnya aku benar-benar bahagia.
****
Kabar Zidni baik. Ia selalu sehat seperti biasanya. Ia tinggal di rumah kerabat jauh Faraz yang bekerja di pemerintahan.Zidni bercerita bahwa ia memiliki tiga saudara angkat, dua dari mereka laki-laki dan satu gadis belia yang ia bilang, gadis idaman di masa depan.
Kemajuan Zidni lebih pesat dibandingkan aku. Ia bahkan sekarang sudah sibuk di sebuah kantor berita lokal, menjadi seorang juru tulis.
Sungguh mengesankan pencapaiannya.
Beberapa kali ia singgah ke rumah ibuku dan memastikan keadaanku baik-baik saja. Hari ini ia bahkan membawakan kami sekantong anggur ranum berwarna hijau.
“Ya ampun, mewah sekali makanan ini,” aku terharu menatap pemberiannya.
“Apa mau kamu pandangi terus supaya anggurnya membesar?” candanya. Aku tersenyum.
Aku masih kehilangan semangat hidupku tapi Zidni selalu berusaha keras mengembalikannya. Aku mendesah.
Lama kami saling terdiam. Terlihat gerakan ibu Karpov yang sibuk di taman belakang, memanen tomat ceri kuningnya yang sama ranumnya dengan anggur hijau di atas
meja ini. Akan cantik sekali jika mereka disandingkan.“Apa kamu rindu orang tuamu?” tanyaku tiba-tiba. Zidni menatapku penuh tanya, mungkin heran kenapa aku tiba-tiba melontarkan pertanyaan seperti itu. Lama sekali Zidni terdiam.
“Entahlah. Mungkin seorang laki-laki ditakdirkan untuk lebih kuat menanggung rasa rindu dan penderitaan.” Zidni berkata dengan penuh makna. Aku memikirkan hal yang dikatakannya.
“Apa kita masih memiliki masa depan setelah perang? Bagaimana kabar Malayaka?” tanyaku ragu-ragu.
“Kamu ingin kembali ke Malayaka untuk bertemu adikmu?” Zidni balik bertanya.
“Kamu tahu aku tidak mungkin kembali ke sana.”
“Bisa saja kalau kamu menghapus tandamu.”
Aku membuka telapak tanganku. Melihat tanda Sayana di telapak tanganku rasanya begitu menyakitkan.
Lambang huruf itu banyak menyimpan hal-hal kelam dan aku ingin sekali membuangnya.
Betapa begitu menyakitkannya perlakuan negara padaku, aku tidak
bisa memungkiri bahwa aku lahir di tanah air tersebut.Tempat di mana kakek dan nenek moyangku, ibuku, ayahku lahir dan mati di sana. Di sini begitu nyaman kurasakan tapi ini bukan tanah airku.
“Aku pulang dulu. Aku belum sembahyang.” Zidni beranjak berdiri dan meninggalkanku sendirian.
Aku menatap punggungnya. Setelah lama kusadari selama ini, aku selalu menatap punggungnya seperti ini.
Tapi, dia tidak pernah berjalan pergi
meninggalkanku.Dia bahkan menggandeng tanganku dan bahkan pula menggendongku sambil berlari. Begitu besar pengorbanannya padaku dan aku masih tidak ingin tahu kenapa dia melakukannya.
****Ada kalimat penutup bagus di halaman terakhir buku yang kubaca. Mungkinkah aku resah karena semua yang telah terjadi dalam hidupku, lalu orang-orang mengira aku telah kehilangan jati diriku, bahkan kehilangan akalku?Aku hanya merasakan bahwa Dia tidak butuh semua yang telah kulakukan selama ini untuknya. Dia tidak butuh semua omong kosong yang aku lakukan, Dia sama sekali tidak butuh itu.Aku tidak tahu apa yang Diabutuhkan, tapi aku rasa Dia sebenarnya tidak butuh apa-apa dariku. Dibiarkannya aku di sudut kota ini, melakukan apa yang kusenangi tanpa harus merisaukan keberadaan-Nya.Karena Dia tidak ingin dirisaukan, Dia sama sekali tidak butuh segala kegelisahanku mengenai-Nya. Aku sadar, selama ini aku terlampau mengada-ada, bahwa Dia menghiraukanku, Dia memedulikanku, sampai pada suatu saat ketika aku menyadari, Diatidak pernah membutuhkanku.“Orang-orang sedang berarak menuju pusat kota sekarang, sebaiknya kita segera bersiap-siap.” Z
Aku sedang melihat Zidni bersujud di lantai berdebu di Rumah Jurnalis kami. Dia bersujud lama sekali, seakan pusaran waktu terhenti saat ia bersujud. Aku memerhatikannya dengan setengah tertegun, setengah melamun, setengah memikirkan Faraz dan setengah merasa gila.“Kamu tidak sembahyang, Ra?” tanya Tara. Aku menggeleng.“Tuhanku sudah mati,” ujarku. Tara tertawa sumbang.“Turut berduka cita yang sedalam-dalamnya. Tuhan kita begitu Maha Segalanya, kenapa dia bisa mati kalau dia disebut Tuhan?”“Kalau Tuhan tidak mati, dia tidak akan membiarkan makhluk–Nya tercerai berai menjadi hamburger di jalanan,” ujarku lagi, aku meremas tanganku sendiri, sedikit gemetarkarena udara sore yang mendadak dingin.Aku memalingkan wajahku dari memandangi Zidni yang sudah bangun dari sujudnya dan mengakhiri sembahyangnya.Tara hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia kini sudah berada di posisi Zidni tadi, memulai sembahyangnya. Sedang Zidni menuju ke temp
Orang tuanya, ayah dan ibunya, serta dirinya yang masih remaja adalah keluarga pindahan dari negara Sudiya. Kakek dan nenek mereka tinggal lama di negara ini sebelum perang sukupecah.Semua bermula saat ayah ibunya yang berprofesi sebagai dokter membantu korban-korban perang suku yang terluka. Lebih banyak dari suku minoritas yang terluka sehinggamereka memutuskan untuk merawat lebih intensif korban-korban dari luka perang suku minoritas.Mereka berpikir, tentara yang terluka sudah akan diurus dokter dan perawat negara, sedang suku buangan hanya akan ditunggu kebinasaannya, mereka tidak punya dokter karena semua turun berperang. Sedangkan berdasarkan sumpah setia mereka, seorang dokter wajib membantu siapa saja yang terluka tanpa memandang suku atau dari mana mereka berasal.Lalu, mereka tinggal di kediaman kepala suku Mue. Oleh karena itu, dokter-dokter mulia ini dianggap membantu suku Mue. Suku Mue termasuk suku minoritas yang sekarang sud
Pengumuman yang begitu menggema saat aku terbangun. Seperti biasa, aku selalu bangun kesiangan. Suara-suara dari pengeras suara meminta kami semua berkumpul di lapangan besar di pusat kota.Zidni datang dan mengetuk pintuku beberapa saat setelah pengumumandikumandangkan. Napasnyaterdengar menderu dan keringat membanjiri wajahnya. Pasti dia datang ke sini dengan berlari.“Kita harus pergi,” ujarnya muram dengan wajah yang kini pucat. Aku yang masih pusing karena bangun terlalu siang dan juga terlalu banyak menangis belum sanggup berkata.Aku berpikir, apakah kali ini pembagian jatah makanan dilakukan di lapangan bukan langsung mengambil ke gudang logistik?“Ke mana?” mulutku membuka.Seakan pengumuman tadi belum jelas bahwa kami semua diminta untuk berkumpul di lapangan sesegera mungkin.“Ke negara Faraz.” Mata Zidni yang kelam menatapku. Aku lalu gemetarmendengarnya. Maksudnya bagaimana? Di mana itu negara Faraz?“D
Sepertinya Zidni sudah siap siaga jika keadaan tiba-tiba menjadi buruk. Ia membawa sebuah belati.Aku tidak pernah tahu dan memerhatikan bahwa selama ini Zidni selalu membawa benda itu.Ataukah baru kali ini dia membawanya? Tapi, mungkin karena aku hanyalah perempuan ceroboh yang tidak mengerti arti pentingnya sebuah senjata kecil di saat sepertiini.Saat-saat dalam pelarian.Aku masih meringkuk di bawah pohon seperti bayi kesepian yang ditinggalkan orang tuanya di dalam hutan.Aku terus melihat kelebatan Zidni yang pergi kesana-kemari entahmelakukan apa.Dia terlihat jauh lebih baik dibanding semalam. Saat fajar tadi ia pun sembahyang seperti biasa, dengan sujud yang lebih lama dibanding sujud yang pernah kusaksikan di Rumah Jurnalis.Apakah yang Zidni pinta dalam sujudnya?Pagi menjelang siang yang begitu terik. Meski pun berlindung di bawah rimbun pepohonan, rasanya tetap saja panas.Aku minum air sungai ya
Dalam pelarian ini, aku pernah sekali mengatakan pada Zidni, pada suatu malam entah kemarin atau kemarin lusa.Perkataanku pada saat itu ternyata memancing diskusi yang cukup panjang tentang banyak hal. Memori-memori dari awal pertemuan kami sampai akhirnya kami berada di sini.“Aku rindu minum kopi,” aku melentingkan ranting kecil ke dalam api unggun yang meredup.Kedua kakiku kulipat sebatas dagu dan kemudian meletakkan kepalaku di antaranya.Zidni berdiam diri. Agak lama. Kemudian sepertinya ia menahan napasnya sebelum mengatakan,“Kamu tahu tidak?” aku menunggunya.“Bedanya kopi Malayaka dan Sudiya?” tanya Zidni sambil mengembuskan napasnya yang tadi tertahan dan kemudian memandangku.Tentu saja aku langsung menggeleng, aku belum pernah mencicipi kopi dari Sudiya.“Aku pernah,” ujarnya seakan bisa membaca isi pikiranku. “Suatu kali aku mencicipi kopi Sudiya yang dikirimk
Keesokan paginya, kami benar-benar dijemput menggunakan mobil off-road.Bajuku dan baju Zidni sudah diganti dengan pakaian yang baru, bersih dan wangi. Semua pakaian bahkan kerudung biruku sudah dicuci bersih dan dikembalikan pada kami juga dalam keadaan wangi.Tentara-tentara itu melepas kami dengan perasaan penuh simpati.Mereka menyalami tanganku dan Zidni dengan mata berkaca-kaca. Aku memandangi Zidni tanpa mampumengatakan apa-apa.Aku menoleh ke belakang saat mobil yang kami tumpangi membawa kami menuju kota, terasa sangat perih di dada ini.Kenapa aku harus merasa dikhianati seperti ini? Kenapa aku harus terusir dari negara yang melahirkan dan membesarkanku?Aku membalas lambaian tangan para tentara penjaga pos perbatasan.Saat aku meninggalkan negara di belakangku dan angin negara ini menyentuh riap-riap rambutku, entah kenapa tidak ada lagi beban itu.Beban yang telah kutanggung semenjak aku kecil. B
Dalam pelarian ini, aku pernah sekali mengatakan pada Zidni, pada suatu malam entah kemarin atau kemarin lusa.Perkataanku pada saat itu ternyata memancing diskusi yang cukup panjang tentang banyak hal. Memori-memori dari awal pertemuan kami sampai akhirnya kami berada di sini.“Aku rindu minum kopi,” aku melentingkan ranting kecil ke dalam api unggun yang meredup.Kedua kakiku kulipat sebatas dagu dan kemudian meletakkan kepalaku di antaranya.Zidni berdiam diri. Agak lama. Kemudian sepertinya ia menahan napasnya sebelum mengatakan,“Kamu tahu tidak?” aku menunggunya.“Bedanya kopi Malayaka dan Sudiya?” tanya Zidni sambil mengembuskan napasnya yang tadi tertahan dan kemudian memandangku.Tentu saja aku langsung menggeleng, aku belum pernah mencicipi kopi dari Sudiya.“Aku pernah,” ujarnya seakan bisa membaca isi pikiranku. “Suatu kali aku mencicipi kopi Sudiya yang dikirimk
Sepertinya Zidni sudah siap siaga jika keadaan tiba-tiba menjadi buruk. Ia membawa sebuah belati.Aku tidak pernah tahu dan memerhatikan bahwa selama ini Zidni selalu membawa benda itu.Ataukah baru kali ini dia membawanya? Tapi, mungkin karena aku hanyalah perempuan ceroboh yang tidak mengerti arti pentingnya sebuah senjata kecil di saat sepertiini.Saat-saat dalam pelarian.Aku masih meringkuk di bawah pohon seperti bayi kesepian yang ditinggalkan orang tuanya di dalam hutan.Aku terus melihat kelebatan Zidni yang pergi kesana-kemari entahmelakukan apa.Dia terlihat jauh lebih baik dibanding semalam. Saat fajar tadi ia pun sembahyang seperti biasa, dengan sujud yang lebih lama dibanding sujud yang pernah kusaksikan di Rumah Jurnalis.Apakah yang Zidni pinta dalam sujudnya?Pagi menjelang siang yang begitu terik. Meski pun berlindung di bawah rimbun pepohonan, rasanya tetap saja panas.Aku minum air sungai ya
Pengumuman yang begitu menggema saat aku terbangun. Seperti biasa, aku selalu bangun kesiangan. Suara-suara dari pengeras suara meminta kami semua berkumpul di lapangan besar di pusat kota.Zidni datang dan mengetuk pintuku beberapa saat setelah pengumumandikumandangkan. Napasnyaterdengar menderu dan keringat membanjiri wajahnya. Pasti dia datang ke sini dengan berlari.“Kita harus pergi,” ujarnya muram dengan wajah yang kini pucat. Aku yang masih pusing karena bangun terlalu siang dan juga terlalu banyak menangis belum sanggup berkata.Aku berpikir, apakah kali ini pembagian jatah makanan dilakukan di lapangan bukan langsung mengambil ke gudang logistik?“Ke mana?” mulutku membuka.Seakan pengumuman tadi belum jelas bahwa kami semua diminta untuk berkumpul di lapangan sesegera mungkin.“Ke negara Faraz.” Mata Zidni yang kelam menatapku. Aku lalu gemetarmendengarnya. Maksudnya bagaimana? Di mana itu negara Faraz?“D
Orang tuanya, ayah dan ibunya, serta dirinya yang masih remaja adalah keluarga pindahan dari negara Sudiya. Kakek dan nenek mereka tinggal lama di negara ini sebelum perang sukupecah.Semua bermula saat ayah ibunya yang berprofesi sebagai dokter membantu korban-korban perang suku yang terluka. Lebih banyak dari suku minoritas yang terluka sehinggamereka memutuskan untuk merawat lebih intensif korban-korban dari luka perang suku minoritas.Mereka berpikir, tentara yang terluka sudah akan diurus dokter dan perawat negara, sedang suku buangan hanya akan ditunggu kebinasaannya, mereka tidak punya dokter karena semua turun berperang. Sedangkan berdasarkan sumpah setia mereka, seorang dokter wajib membantu siapa saja yang terluka tanpa memandang suku atau dari mana mereka berasal.Lalu, mereka tinggal di kediaman kepala suku Mue. Oleh karena itu, dokter-dokter mulia ini dianggap membantu suku Mue. Suku Mue termasuk suku minoritas yang sekarang sud
Aku sedang melihat Zidni bersujud di lantai berdebu di Rumah Jurnalis kami. Dia bersujud lama sekali, seakan pusaran waktu terhenti saat ia bersujud. Aku memerhatikannya dengan setengah tertegun, setengah melamun, setengah memikirkan Faraz dan setengah merasa gila.“Kamu tidak sembahyang, Ra?” tanya Tara. Aku menggeleng.“Tuhanku sudah mati,” ujarku. Tara tertawa sumbang.“Turut berduka cita yang sedalam-dalamnya. Tuhan kita begitu Maha Segalanya, kenapa dia bisa mati kalau dia disebut Tuhan?”“Kalau Tuhan tidak mati, dia tidak akan membiarkan makhluk–Nya tercerai berai menjadi hamburger di jalanan,” ujarku lagi, aku meremas tanganku sendiri, sedikit gemetarkarena udara sore yang mendadak dingin.Aku memalingkan wajahku dari memandangi Zidni yang sudah bangun dari sujudnya dan mengakhiri sembahyangnya.Tara hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia kini sudah berada di posisi Zidni tadi, memulai sembahyangnya. Sedang Zidni menuju ke temp
Ada kalimat penutup bagus di halaman terakhir buku yang kubaca. Mungkinkah aku resah karena semua yang telah terjadi dalam hidupku, lalu orang-orang mengira aku telah kehilangan jati diriku, bahkan kehilangan akalku?Aku hanya merasakan bahwa Dia tidak butuh semua yang telah kulakukan selama ini untuknya. Dia tidak butuh semua omong kosong yang aku lakukan, Dia sama sekali tidak butuh itu.Aku tidak tahu apa yang Diabutuhkan, tapi aku rasa Dia sebenarnya tidak butuh apa-apa dariku. Dibiarkannya aku di sudut kota ini, melakukan apa yang kusenangi tanpa harus merisaukan keberadaan-Nya.Karena Dia tidak ingin dirisaukan, Dia sama sekali tidak butuh segala kegelisahanku mengenai-Nya. Aku sadar, selama ini aku terlampau mengada-ada, bahwa Dia menghiraukanku, Dia memedulikanku, sampai pada suatu saat ketika aku menyadari, Diatidak pernah membutuhkanku.“Orang-orang sedang berarak menuju pusat kota sekarang, sebaiknya kita segera bersiap-siap.” Z