Kopi Pahit Di Tepi Sudiya
Perang pertama kali pecah berjuta abad yang lalu hingga kini. Perang bagaikan sesuatu yang tiada akhirnya. Begitu pula yang terjadi di sebuah negara bernama Malayaka, perang yang terjadi karena sang pemimpin tidak mampu mengatasi krisis dan meredam konflik di negaranya. Terjadi perang saudara; di mana persoalan suku, ras dan agama menjadi pemicunya. Suku-suku minoritas harus binasa dan suku mayoritas harus bertahan untuk meraih puncak kemenangan. Dalam situasi yang tidak menentu, perempuan berusia dua puluh tujuh tahun bernama Ara, berjuang dan bertahan di tengah-tengah keadaan negara yang terus berperang melawan rakyatnya sendiri. Ia ditinggal mati ibunya saat remaja, kedua adiknya menghilang dari rumah; ia hanya hidup berdua dengan ayahnya yang semakin tua dan rapuh. Untuk mengatasi rasa nelangsanya, Ara melabuhkan rasa sedihnya ke kopi Malayaka yang hitam dan asam. Ara juga pergi ke Rumah Jurnalis; meminta bantuan para jurnalis menemukan kedua adiknya. Ia bertemu dengan laki-laki bernama Zidni dan Faraz yang selanjutnya akan memengaruhi kisah hidupnya. Zidni pemuda yang kuat dan tegar, sama seperti Ara, ia bertahan di situasi negara yang memilih melanjutkan perang ketimbang menghentikannya. Faraz adalah orang asing yang menjadi saudara angkatnya; ayah dan ibu Faraz yang menjadi dokter relawan terbunuh dalam misi kemanusiaan. Hal itu membuat Zidni ingin membantu Faraz untuk terus melanjutkan hidup dan menganggapnya saudara.
Baca
Chapter: 7 Lembaran BaruKeesokan paginya, kami benar-benar dijemput menggunakan mobil off-road.Bajuku dan baju Zidni sudah diganti dengan pakaian yang baru, bersih dan wangi. Semua pakaian bahkan kerudung biruku sudah dicuci bersih dan dikembalikan pada kami juga dalam keadaan wangi.Tentara-tentara itu melepas kami dengan perasaan penuh simpati.Mereka menyalami tanganku dan Zidni dengan mata berkaca-kaca. Aku memandangi Zidni tanpa mampumengatakan apa-apa.Aku menoleh ke belakang saat mobil yang kami tumpangi membawa kami menuju kota, terasa sangat perih di dada ini.Kenapa aku harus merasa dikhianati seperti ini? Kenapa aku harus terusir dari negara yang melahirkan dan membesarkanku?Aku membalas lambaian tangan para tentara penjaga pos perbatasan.Saat aku meninggalkan negara di belakangku dan angin negara ini menyentuh riap-riap rambutku, entah kenapa tidak ada lagi beban itu.Beban yang telah kutanggung semenjak aku kecil. B
Terakhir Diperbarui: 2021-04-08
Chapter: 6 Kopi Pahit di Tepi SudiyaDalam pelarian ini, aku pernah sekali mengatakan pada Zidni, pada suatu malam entah kemarin atau kemarin lusa.Perkataanku pada saat itu ternyata memancing diskusi yang cukup panjang tentang banyak hal. Memori-memori dari awal pertemuan kami sampai akhirnya kami berada di sini.“Aku rindu minum kopi,” aku melentingkan ranting kecil ke dalam api unggun yang meredup.Kedua kakiku kulipat sebatas dagu dan kemudian meletakkan kepalaku di antaranya.Zidni berdiam diri. Agak lama. Kemudian sepertinya ia menahan napasnya sebelum mengatakan,“Kamu tahu tidak?” aku menunggunya.“Bedanya kopi Malayaka dan Sudiya?” tanya Zidni sambil mengembuskan napasnya yang tadi tertahan dan kemudian memandangku.Tentu saja aku langsung menggeleng, aku belum pernah mencicipi kopi dari Sudiya.“Aku pernah,” ujarnya seakan bisa membaca isi pikiranku. “Suatu kali aku mencicipi kopi Sudiya yang dikirimk
Terakhir Diperbarui: 2021-04-07
Chapter: 5 Dalam PelarianSepertinya Zidni sudah siap siaga jika keadaan tiba-tiba menjadi buruk. Ia membawa sebuah belati.Aku tidak pernah tahu dan memerhatikan bahwa selama ini Zidni selalu membawa benda itu.Ataukah baru kali ini dia membawanya? Tapi, mungkin karena aku hanyalah perempuan ceroboh yang tidak mengerti arti pentingnya sebuah senjata kecil di saat sepertiini.Saat-saat dalam pelarian.Aku masih meringkuk di bawah pohon seperti bayi kesepian yang ditinggalkan orang tuanya di dalam hutan.Aku terus melihat kelebatan Zidni yang pergi kesana-kemari entahmelakukan apa.Dia terlihat jauh lebih baik dibanding semalam. Saat fajar tadi ia pun sembahyang seperti biasa, dengan sujud yang lebih lama dibanding sujud yang pernah kusaksikan di Rumah Jurnalis.Apakah yang Zidni pinta dalam sujudnya?Pagi menjelang siang yang begitu terik. Meski pun berlindung di bawah rimbun pepohonan, rasanya tetap saja panas.Aku minum air sungai ya
Terakhir Diperbarui: 2021-04-06
Chapter: 4 "Berbaringlah, Nak, ayah akan melindungimu."Pengumuman yang begitu menggema saat aku terbangun. Seperti biasa, aku selalu bangun kesiangan. Suara-suara dari pengeras suara meminta kami semua berkumpul di lapangan besar di pusat kota.Zidni datang dan mengetuk pintuku beberapa saat setelah pengumumandikumandangkan. Napasnyaterdengar menderu dan keringat membanjiri wajahnya. Pasti dia datang ke sini dengan berlari.“Kita harus pergi,” ujarnya muram dengan wajah yang kini pucat. Aku yang masih pusing karena bangun terlalu siang dan juga terlalu banyak menangis belum sanggup berkata.Aku berpikir, apakah kali ini pembagian jatah makanan dilakukan di lapangan bukan langsung mengambil ke gudang logistik?“Ke mana?” mulutku membuka.Seakan pengumuman tadi belum jelas bahwa kami semua diminta untuk berkumpul di lapangan sesegera mungkin.“Ke negara Faraz.” Mata Zidni yang kelam menatapku. Aku lalu gemetarmendengarnya. Maksudnya bagaimana? Di mana itu negara Faraz?“D
Terakhir Diperbarui: 2021-03-24
Chapter: 3 Faraz, Dalam KenanganOrang tuanya, ayah dan ibunya, serta dirinya yang masih remaja adalah keluarga pindahan dari negara Sudiya. Kakek dan nenek mereka tinggal lama di negara ini sebelum perang sukupecah.Semua bermula saat ayah ibunya yang berprofesi sebagai dokter membantu korban-korban perang suku yang terluka. Lebih banyak dari suku minoritas yang terluka sehinggamereka memutuskan untuk merawat lebih intensif korban-korban dari luka perang suku minoritas.Mereka berpikir, tentara yang terluka sudah akan diurus dokter dan perawat negara, sedang suku buangan hanya akan ditunggu kebinasaannya, mereka tidak punya dokter karena semua turun berperang. Sedangkan berdasarkan sumpah setia mereka, seorang dokter wajib membantu siapa saja yang terluka tanpa memandang suku atau dari mana mereka berasal.Lalu, mereka tinggal di kediaman kepala suku Mue. Oleh karena itu, dokter-dokter mulia ini dianggap membantu suku Mue. Suku Mue termasuk suku minoritas yang sekarang sud
Terakhir Diperbarui: 2021-03-24
Chapter: 2 Kepergian FarazAku sedang melihat Zidni bersujud di lantai berdebu di Rumah Jurnalis kami. Dia bersujud lama sekali, seakan pusaran waktu terhenti saat ia bersujud. Aku memerhatikannya dengan setengah tertegun, setengah melamun, setengah memikirkan Faraz dan setengah merasa gila.“Kamu tidak sembahyang, Ra?” tanya Tara. Aku menggeleng.“Tuhanku sudah mati,” ujarku. Tara tertawa sumbang.“Turut berduka cita yang sedalam-dalamnya. Tuhan kita begitu Maha Segalanya, kenapa dia bisa mati kalau dia disebut Tuhan?”“Kalau Tuhan tidak mati, dia tidak akan membiarkan makhluk–Nya tercerai berai menjadi hamburger di jalanan,” ujarku lagi, aku meremas tanganku sendiri, sedikit gemetarkarena udara sore yang mendadak dingin.Aku memalingkan wajahku dari memandangi Zidni yang sudah bangun dari sujudnya dan mengakhiri sembahyangnya.Tara hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia kini sudah berada di posisi Zidni tadi, memulai sembahyangnya. Sedang Zidni menuju ke temp
Terakhir Diperbarui: 2021-03-24