Pengumuman yang begitu menggema saat aku terbangun. Seperti biasa, aku selalu bangun kesiangan. Suara-suara dari pengeras suara meminta kami semua berkumpul di lapangan besar di pusat kota.
Zidni datang dan mengetuk pintuku beberapa saat setelah pengumuman
dikumandangkan. Napasnyaterdengar menderu dan keringat membanjiri wajahnya. Pasti dia datang ke sini dengan berlari.“Kita harus pergi,” ujarnya muram dengan wajah yang kini pucat. Aku yang masih pusing karena bangun terlalu siang dan juga terlalu banyak menangis belum sanggup berkata.
Aku berpikir, apakah kali ini pembagian jatah makanan dilakukan di lapangan bukan langsung mengambil ke gudang logistik?
“Ke mana?” mulutku membuka.
Seakan pengumuman tadi belum jelas bahwa kami semua diminta untuk berkumpul di lapangan sesegera mungkin.
“Ke negara Faraz.” Mata Zidni yang kelam menatapku. Aku lalu gemetar
mendengarnya. Maksudnya bagaimana? Di mana itu negara Faraz?“Di sana yang paling aman, paling dekat dengan perbatasan negara, paling bisa memungkinkan untuk kita. Kita akan diterima.”
Aku tidak dapat berpikir jernih. Bayangan seram melintasi kepalaku tanpa ampun, rumah-rumah terbakar, api menjilat-jilat dinding-dinding dan menghanguskannya dalam
sekali lalap. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku untuk menepis pikiran burukku.“Mereka memerintahkan semua suku untuk berkumpul di lapangan. Kita harus bergegas, pura-pura ikut barisan dan berbelok saat waktunya tepat.”
Saat waktunya tepat? Aku terus berpikir apa maksud dari perkataan Zidni? Aku memang sudah banyak membaca tentang perang.
Apakah itu berarti bahwa kami akan
dikumpulkan di lapangan besar untuk ditembak mati?Ini sebenarnya sudah menjadi hal yang umum dalam perang; binasakan semua yang bernyawa maka akan tercipta generasi terbaik dari yang tersisa.
Entah siapa saja yang harus tersisa itu, yang pasti bukan dari generasiku
atau sukuku. Pemilihan suku mayoritas itu bohong belaka. Negara ingin semua rakyatnya habis menjadi abu. Seluruh kepalaku berdenyut menyakitkan.“Ayah tinggal saja di rumah sampai kematian menjemput ayah,” suara ayah terdengar parau karena sedih, marah dan putus asa. Kakinya pasti semakin gemetar saat ini.
Aku yang mulai mengerti maksud dari perkataan Zidni, menggeleng dengan sedih.
“Aku minta maaf pada ayah karena tidak mampu membahagiakan ayah selama ini,” ujarku sedikit kelu.
Kematianku sudah di ambang pintu. Kupikir ada bagusnya juga, aku benar-benar ingin bertemu Faraz secepatnya. Aku merindukannya setengah mati.
Jika setengahnya lagi bisa kupenuhi dengan cara aku mati, aku tentu bisa menjumpainya.
Kulihat air mata ayah berlelehan. Lalu, ia mulai jatuh tersungkur dan menangis.
“Betapa susahnya hidup di masa peperangan. Ayah harap anak-cucu ayah bisa hidup dengan tenang, tapi ayah hanya melihat anak-anak ayah menjadi korban perang.”
Mau bagaimana lagi? Pikirku. Kita tidak bisa memilih kehidupan yang ingin kita jalani sebelum dilahirkan.
Aku selalu memimpikan rumah dengan taman-taman yang luas bak
permadani, dihiasi bunga warna-warni dan burung-burung bertengger di dahan-dahan tanpa khawatir ditembak untuk dijadikan lauk santap malam.Negeri yang kuhadapi kini, tidak
menyisakan satu kecoa pun untuk melanjutkan generasi.Tidak ada perbekalan yang perlu dipersiapkan karena semua rombongan manusia
hanya diminta untuk berkumpul di lapangan. Aku melebarkan kerudung biru ke kepalaku.Mungkin ada yang perlu diumumkan dan kami perlu mendengarkan, mungkin ada pembagian jatah makanan tambahan bulan ini tapi pada akhirnya yang paling memungkinkan adalah bahwa kami akan dibunuh.
Aku sebagai jurnalis perang yang bodoh ini telah mempelajari bahwa itulah yang paling mungkin. Terlebih karena perkataan Zidni tadi, semua semakin jelas dan pasti.
Negara semakin kewalahan mengatasi keruwetan negerinya sendiri. Persediaan pangan yang semakin menipis tapi kebutuhan senjata semakin meningkat.
Masih dengan embargo ekonomi dan situasi politik negara ini yang tidak ada titik cerah untuk rakyatnya.
Aku berjalan terseok dengan sepatu usangku, mengalungkan kartu pers di leherku sebagai tanda pengenal. Mungkin itu akan bisa membantuku untuk melarikan diri.
Ayah berjalan lambat di belakangku. Aku tersenyum pada beberapa tetangga saat kami berbarengan
keluar rumah, wajah kami sebenarnya sama suramnya tapi kami memaksakan untuk setidaknya saling membalas senyuman.Teman sebayaku menggenggam tanganku dengan erat, seakan mengucapkan salam perpisahan lebih dini.
“Kau akan selamat. Kau jurnalis,” ujar Nabil. Nabil juga tahu kenyataan yang akan kami hadapi. Aku memandangi wajahnya yang cantik dan menyentuh kerudungnya yang kumal.
“Tidak ada yang bisa menjamin siapa pun sekarang, Nabil. Kita tidak bisa memilih, hanya bisa tunduk pada kematian.”
“Sayang sekali, padahal aku dan Zein memutuskan untuk menikah tahun ini,” ucapannya menjadi nada yang menyedihkan. Aku melirik Zein yang ada di sebelah gadis itu.
Aku hanya bisa tersenyum dan berucap, “Semoga berbahagia, kalian berdua.”
Aku meremas tanganku sendiri saat Nabil dan Zein berjalan bergandengan tangan, erat seperti tak ingin dipisahkan sekali pun oleh kematian.
Sebuah tangan meraihku. Aku
menoleh. Zidni menggandeng tanganku dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya menggandeng ayahku yang sudah kelelahan berjalan karena usia.Aku sudah pasrah, aku tidak tahu harus melakukan apa agar aku tidak mati. Aku juga tidak bertanya apa rencana Zidni. Bagiku, ini semua sudah berakhir.
Rombongan orang-orang memadati jalan-jalan menuju lapangan. Kami hampir tiba di lapangan dan sedang berbaris diawasi para tentara penjaga dengan senapan siap dikokang,
saat seseorang di depan sana tersandung yang lain dan keadaan menjadi riuh lalu terdengar ledakan di udara. Tembakan peringatan. Semua orang berteriak dan menjadi semakin panik.Zidni memutuskan agar kami bertindak cepat. Kami berbalik di dalam kerumunan. Susah payah kulakukan karena aku masih menggenggam tangan ayah danayahku sudah jatuh
terduduk karena panik dan marah.“Ayo, ayah, bangunlah,” ujarku di tengah keriuhan dan kerumunan manusia yang menjadi saling dorong karena semakin takut untuk lebih maju menuju lapangan raksasa.
Ayah tidak memprotes ucapanku walau aku tahu ayah sangat lemah kondisinya akhir-akhir ini. Zidni memutuskan untuk menggendong ayahku. Sedetik aku merasa lega walau pun beban yang berat sebenarnya tetap berkumpul di dadaku.
“Orang tuamu bagaimana?” tanyaku, sungguh aku lupa menanyakan ini pada Zidni.
“Mereka akan aman dan baik-baik saja,” jawabnya tanpa merasa berat sama sekali walau ada ayahku di punggungnya.
Kami sudah melewati penjaga yang sedang sibuk merapikan barisan. Entah apakah kami akan berhasil atau tidak setelah kusadari bahwa kami memang tidak akan pernah berhasil.
“Hei! Arahnya ke sana!” teriak penjaga itu sambil mengacungkan ujung senapannya pada kami bertiga. Terpaksa kami berbalik arah lagi saat itu juga.
“Celaka. Kita jadi diawasi,” keluh Zidni. Dan, begitulah. Kami memang ditakdirkan untuk mati.
Kami semua berbaris memasuki lapangan.
Cuaca panas dan gerah. Debu-debu
beterbangan dan angin meniupkan bau anyir yang kubenci.“Suku Maurice berbaris di sini!” perintah penjaga yang berbaris, memberikan jalan pada suku yang disebut. Mereka, pemuda-pemuda gagah dan para gadis-gadis yang cantik berbaris rapi dengan tenang dan mulai memasuki tempat yang sudah ditentukan.
Selanjutnya suku Galari pun diminta untuk berbaris di sisi suku Maurice. Sebenarnya kami sendiri tidak tahu untuk apa kami dikumpulkan. Tapi, kemungkinan terbesarnya adalah untuk ditembak mati, atau kabar terbaiknya adalah bahwa kami akan menerima bantuan makanan dan obat-obatan.
Aku menunggu sukuku dipanggil. Tapi, para tentara penjaga sekarang sedang sibuk mengatur arus masuk suku-suku lain ke lapangan, agak jauh dari posisi suku Maurice dan
Galari.Tidak ada lagi penyebutan nama suku. Dadaku semakin bergetar karena takut dan ngeri. Aku masuk ke bagian suku-suku yang bercampur itu, suku-suku yang namanya tidak
dipanggil.Aku menoleh ke belakangku dan semakin sedikit orang-orang yang belum masuk ke lapangan. Ayah ada di sebelahku.
Kami kini sudah menghadap pada tentara-tentara yang sudah berbaris rapi di depan sana.
Aku melihat ke wajah-wajah suku Maurice dan Galari yang terlihat gelisah. Aku samar-samar menemukan wajah Tara di sana. Aku tidak ingin melihat wajah Zidni yang juga ada di sana.
Aku tahu dia terus-terusan menatapku dari tempatnya. Aku merasa sangat marah padanya karena dia peduli padaku di saat-saat seperti ini.
Sedangkan, Juna, ada tidak jauh
dari jarak pandangku, di dalam lapangan ini.“Terima kasih karena sudah berkumpul pada hari ini,” suara bariton menggelegar terdengar dari pengeras suara. Komandan perang Jendral Bani Maurice memimpin perhelatan ini.
“Tanpa membuang waktu, kami minta untuk yang saling memiliki ikatan
persaudaraan untuk saling mengaitkan jemari tangan. Untuk mengingatkan bahwa perjuangan kita belum berakhir, saudara-saudara,” suara-suara riuh terdengar meningkahi suara komandan yang keras membahana. Aku menggenggam tangan ayahku yang kurus.Kami semua saling menggenggam tangan. Tidak ada hal mencurigakan yang terjadi di hadapan kami, para tentara yang berbaris dengan senjata siaga tidak bergerak sedikit pun pertanda mereka tidak sedang akan menembakkan peluru-peluru mereka.
“Dan kami minta semuanya tenang untuk menerima hadiah dari negara berupa kebaikan untuk kita semua…”
Belum selesai kalimat itu kudengar, nyata kudengar tembakan di sekelilingku, lalu teriakan dan lengkingan menyedihkan. Napasku menjadi berat, aku melihat ke kiri dan kanan dengan kebingungan.
Orang-orang jatuh bergelimpangan dan kami otomatis berteriak dan
berjongkok sesegera mungkin. Tapi, keadaan kami tidak diposisikan untuk bisa berjongkok.Aku terus mendengar suaratembakan.
Aku paksakan melihat ke depan menuju arah datangnya tembakan. Tentara di depan hanya diam.Aku terus memandang ke sekeliling. Aku baru menyadari bahwa di sekeliling lapangan ini ada pohon-pohon kamuflase. Dari sanalah muncul asap-asap dan timah panas.
Aku bergidik ngeri. Aku menghadapi maut! Orang-orang yang telah tertembak terjatuh di sekitarku, ayahku mengerang dan berteriak-teriak.Aku tidak berani melihat pada ayahku, ia masih menggenggam tanganku, aku
palingkan wajahku agar tidak melihat ayahku. Aku malah mendapati Zidni yang menutup kedua wajahnya dengan tangan. Aku bertaruh bahwa dia sedang menangis.Aku paham di detik-detik terakhir kematianku bahwa hanya Maurice dan Galari yang akan bertahan.
Mereka suku terbesar di negara ini. Mereka orang-orang paling berpengaruh. Tentara-tentara yang sudi berperang kemudian dicap suku Maurice dan Galari, apa pun asal suku mereka sebelumnya. Aku merasakan tanganku tertarik ke bawah, aku tidak sanggup melihat, tapi ayah memaksaku untuk jatuh telentang.Ayahku merintih-rintih karena luka tembak di di perutnya dan aku merasakan perih di sekujur tubuhku.
“Berbaringlah, Nak, ayah akan melindungimu,” ujarnya tenang walau napasnya mulai berhenti dan tinggal satu-satu. Aku akhirnya menangis tak tertahankan. Tembakan terus
terdengar seiring kami roboh satu-persatu.“Ayah, oh ayah,” aku menggelengkan kepalaku.
“Lari setelah keadaan aman, cepat berbaringlah,” aku tidak bisa menolak keinginan terakhirnya. Aku membaringkan diriku di atas mayat lain lalu memejamkan mata, mungkin
untuk terakhir kalinya.Ayahku menimpa tubuhku. Aku merasakan berat tubuhnya, dengan
napas yang mulai tidak ada.Aku diam dan memejamkan mata. Pura-pura mati dengan kematian ayah di atas tubuhku. Mataku begitu basah oleh darah dan air mata.
Aku baru merasakan rasanya mengeluarkan air mata darah. Aku sungguh ingin mati tapi ayah begitu yakin aku akan selamat dari peristiwa ini. Aku menguatkan diriku di tengah teriakan demi teriakan.
“Zeiiiin,” aku mendengar itu. Aku terus memejamkan mata, itu suara Nabil. Lalu, tembakan lagi dan suara Nabil pun menghilang. Aku seharusnya mengajaknya tidur
bersamaku seperti ini, tapi sudah terlambat sekarang.Aku semakin menangis, menunggu
berakhirnya tragedi ini walau aku tidak tahu berapa lama lagi karena masih banyak orang-orang yang siap menyambut mati.Aku mendengar orang-orang yang malah merangsek maju sambil berteriak-teriak, menyambut sendiri kematian mereka.
Senja mulai hadir. Aku bertahan dengan tubuh diam tak bergerak sampai semua badanku terasa kesemutan. Aku bahkan hampir saja tertidur. Betapa aku merasa sangat hina.
Aku masih hidup. Aku benar-benar masih hidup. Masih ada suara rintihan di sana-sini tapi aku tidak sanggup membuka mata.
“Bakar semua.”
Suara dingin menggema. Aku tercekat. Mereka akan membakar tempat ini! Orang-orang seperti bergegas menyiramkan sesuatu ke seputar lapangan. Aku paksakan wajahku
melihat.Orang-orang dari suku Maurice dan Galari. Mereka dengan kompak memutari lapangan dengan wajah sulit terbaca. Oh, tidak! Aku tidak mati karena peluru tapi aku akan
dijadikan daging panggang.Aku paksakan diri untuk bergerak. Aku mendorong sedikit tubuh ayahku pelan-pelan sekali. Aku takut membangunkannya. Aku merasa payah karena aku ingat ayah sudah mati.
Aku berusaha merangkak pelan-pelan. Ada suara langkah. Aku kembali menjadi patung. Tubuh ayahku sudah jatuh ke tanah. Aku menyesal dengan tindakanku.
Seharusnya aku tunggu sampai keadaan benar-benar aman. Lalu, aku mulai mengutuki diriku sendiri
karena berlindung di balik tubuh ayah yang sudah jadi mayat.Dan menyadari bahwa tidak
ada kata aman. Setelah aku berhasil bangkit, mereka akan segera menembakku.Api kulihat mulai menjilat-jilat tepi lapangan yang tersulut. Suara rumput kering dimakan api membuatku ngeri.
Tendangan kaki membuatku terganggu.“Ara!” bisik sebuah suara. Aku membuka mataku dan wajah itu semakin menunduk.
“Oh, Ara,” air mata Zidni menetes di wajahku. “Kita harus cepat! Tempat ini akan dibakar,” napas dan suara Zidni lalu menderu, ia melirik ke sekitarnya dan memperkirakan hitungan
ketika para tentara penjaga sedang lengah.Aku tidak bisa bicara walau aku ingin membuka mulutku. Jadi, aku pasrah saja saat Zidni mengangkat tubuhku dan berlari secepat yang ia
bisa, meninggalkan lapangan.Aku sudah tidak bertenaga sama sekali dan Zidni membawaku
lari demikian kencangnya.Ada tentara penjaga yang melihat kami dan tentara penjaga itu mulai mengejar kami.
Aku ingin memperingatkan Zidni tapi suaraku tidak mau keluar.
“Zidni, berhenti, Zidni!” Oh, kenapa suaraku tidak mau keluar? Kami akan ditembak!
Aku ingin berteriak!
“Berhenti!”
Langkah Zidni kemudian terhenti dan berbalik. Aku yang tergolek di gendongan Zidni dan sudah tidak berdaya memaksa menatap mata tentara penjaga itu.
Menantang timah panas yang akan ditembakkan pada kami berdua. Aku bersitatap dengan tentara yang memicingkan matanya menatapku. Kemudian ia tampak lebih terkesiap dibanding aku. Matanya yang tadi memicing kini ganti melotot.
“P-pergi segera!” ia meneriakkan perintah yang tidak kumengerti sambil mengibaskan tangan dengan mata seperti ketakutan. Ia membiarkan kami pergi? Begitu saja?
Zidni tidak berpikir dua kali, ia segera berlari menuju kegelapan malam, membelah pohon-pohon seakan
ia punya mata infra merah untuk menentukan ketepatan langkahnya.Zidni berlari sekencang mungkin, aku seperti sedang dibawa terbang dan berlari. Zidni terus berlari dan berlari seperti angin. Sekilas terbayang wajah kedua adikku, Dendra dan Dendri.
Wajah tentara yang tadi itu seperti wajah Dendra. Aku tersenyum dengan mata terkatup, mereka masih aman dan selamat.
Lalu, aku berpikir lagi, apakah mereka ikut menembaki saudara-saudara mereka sendiri? Tiba-tiba hatiku terasa seperti hancur diremas-
remas dan dicabik-cabik.Aduhai, sungguh sakit sekali rasanya.
Dalam gendongan Zidni, aku merasa sudah mulai tidak bernyawa. Aku memukul-mukul lengan Zidni tanpa daya karena aku merasa begitu lelah walau Zidni yang berlari bukan aku.Lalu, Zidni mulai berhenti berlari dan menurunkanku. Ia pasti sangat kelelahan.
“Sepertinya sudah aman. Kita ada di hutan lindung sekarang. Semoga patrolinya tidak sampai sini untuk sementara waktu.” Zidni begitu terengah-engah. Ia menyandarkanku pada sebuah batang pohon besar.
Aku merasakan kedamaian seketika. Aku tahu ini pasti pohon Mahagoni. Rasa nyaman ini selalu aku rasakan saat aku bersembunyi di lemari Mahagoni buatan ayah.
Aku benar-benar kesulitan bicara, aku mencoba menggerak-gerakkan mulutku tapi yang terasa hanya kering dan rasa terbakar. Apakah aku kehilangan suaraku? Bau gosong
yang tajam terasa teronggok di depan hidungku. Menyengat, anyir, bau hangus yang tak biasa membuat perutku mual.Mungkin selamanya aku tidak akan pernah bisa lagi makan daging panggang. Aku mengaduh dalam diam.
Zidni memegang dahiku.
“Astaga, kamu demam, Ara.” Aku hanya mengangguk lemah, berusaha
memberitahunya bahwa aku tidak bisa bicara saat ini. Mulutku sulit sekali untuk kubuka, tapi tetap kupaksakan bicara. Benarkah suaraku telah hilang? Aku terus memaksakan diri.Akhirnya yang muncul adalah suara serak hampir seperti gesekan daun kering.
“Kita pelarian,” ucapku sedikit tersengal. Zidni mengangguk. Bahkan dia yang sudah menggendongku sambil berlari kencang tidak tampak letih sama sekali.
Napas Zidni masih memburu karena kelelahan, keringat membasahi wajah, tubuh dan bajunya. Selain itu, dia terlihat sangat baik.
“Tapi, sementara kita aman karena tentara penjaga meloloskan kita,” ujarnya dengan nada yang sedih. Aku ingin berkata bahwa tentara penjaga yang membebaskan kami adalah
adikku. Tapi, pikiranku seolah mati.“Aku melihat Juna mati,” suaraku masih serak. Zidni mengangguk. Wajahnya terlihat sedih sekali. “Zein juga. Nabil juga. Ayah juga…” aku berusaha menelan ludahku yang tidak ada dengan susah payah.
“Tara juga ikut tertembak…,” bisik Zidni.
“Mereka semua… mati?” aku menatap tak percaya pada kegelapan. Semua orang yang kukenal mati? “Mereka semua?” mulutku menganga.
“Sudah, sudah, tidak perlu diingat lagi,” air mata Zidni menggenang lagi.
Aku tidak bisa ikut-ikutan menangis. Aku meremas kerudung biruku yang sudah bercampur tanah dan
darah.Di tengah segala duka bertubi-tubi ini, aku bersyukur Zidni tidak pergi meninggalkanku. Hatiku semakin terasa sangat perih.
“Kamu sudah tahu bahwa akan ada pemilihan suku itu, kan?” tanyaku. Zidni hanya mengangguk. Aku mencoba menabahkan hati. Berarti orang tua Zidni selamat.
“Kita tidak bisa lagi tinggal di negeri seperti ini. Aku berjanji akan mendapatkan suaka untuk kita di negara Faraz,” ujarnya sambil mengelap keringat dingin di dahiku dengan kerudungku sendiri, maksudku kerudung pemberiannya.
Lalu, ia beringsut dan merangsek ke
pohon satu lagi di dekat kami, menyandarkan kepalanya di pohon itu.“Beristirahatlah, turunkan demammu dengan tidur. Aku ingin mencari sumber air setelah beristirahat sejenak,” ujarnya sambil memejamkan mata.Aku ingin mengucapkan terima kasih pada Zidni karena telah sudi membawaku kemping di alam Malayaka yang indah. Pengalaman yang sungguh tidak akan pernah
terlupakan. Aku tertawa kecil dan pelan. Lalu, aku terdiam.Semenit kemudian aku mulai
merintih-rintih karena luka, lapar dan terutama perasaan sangat sedih begitu menghujam ulu hatiku.“Ara…” Zidni berkata seperti memohon. Lalu, aku terdiam dan mencoba memejamkan mata juga. Aku tetap merintih-rintih dan Zidni mulai membiarkanku.
Aku melihat kobaran api menyala-nyala di depan mataku dan ayahku tersenyum melambaikan tangannya padaku. Apakah itu neraka?
****
Sepertinya Zidni sudah siap siaga jika keadaan tiba-tiba menjadi buruk. Ia membawa sebuah belati.Aku tidak pernah tahu dan memerhatikan bahwa selama ini Zidni selalu membawa benda itu.Ataukah baru kali ini dia membawanya? Tapi, mungkin karena aku hanyalah perempuan ceroboh yang tidak mengerti arti pentingnya sebuah senjata kecil di saat sepertiini.Saat-saat dalam pelarian.Aku masih meringkuk di bawah pohon seperti bayi kesepian yang ditinggalkan orang tuanya di dalam hutan.Aku terus melihat kelebatan Zidni yang pergi kesana-kemari entahmelakukan apa.Dia terlihat jauh lebih baik dibanding semalam. Saat fajar tadi ia pun sembahyang seperti biasa, dengan sujud yang lebih lama dibanding sujud yang pernah kusaksikan di Rumah Jurnalis.Apakah yang Zidni pinta dalam sujudnya?Pagi menjelang siang yang begitu terik. Meski pun berlindung di bawah rimbun pepohonan, rasanya tetap saja panas.Aku minum air sungai ya
Dalam pelarian ini, aku pernah sekali mengatakan pada Zidni, pada suatu malam entah kemarin atau kemarin lusa.Perkataanku pada saat itu ternyata memancing diskusi yang cukup panjang tentang banyak hal. Memori-memori dari awal pertemuan kami sampai akhirnya kami berada di sini.“Aku rindu minum kopi,” aku melentingkan ranting kecil ke dalam api unggun yang meredup.Kedua kakiku kulipat sebatas dagu dan kemudian meletakkan kepalaku di antaranya.Zidni berdiam diri. Agak lama. Kemudian sepertinya ia menahan napasnya sebelum mengatakan,“Kamu tahu tidak?” aku menunggunya.“Bedanya kopi Malayaka dan Sudiya?” tanya Zidni sambil mengembuskan napasnya yang tadi tertahan dan kemudian memandangku.Tentu saja aku langsung menggeleng, aku belum pernah mencicipi kopi dari Sudiya.“Aku pernah,” ujarnya seakan bisa membaca isi pikiranku. “Suatu kali aku mencicipi kopi Sudiya yang dikirimk
Keesokan paginya, kami benar-benar dijemput menggunakan mobil off-road.Bajuku dan baju Zidni sudah diganti dengan pakaian yang baru, bersih dan wangi. Semua pakaian bahkan kerudung biruku sudah dicuci bersih dan dikembalikan pada kami juga dalam keadaan wangi.Tentara-tentara itu melepas kami dengan perasaan penuh simpati.Mereka menyalami tanganku dan Zidni dengan mata berkaca-kaca. Aku memandangi Zidni tanpa mampumengatakan apa-apa.Aku menoleh ke belakang saat mobil yang kami tumpangi membawa kami menuju kota, terasa sangat perih di dada ini.Kenapa aku harus merasa dikhianati seperti ini? Kenapa aku harus terusir dari negara yang melahirkan dan membesarkanku?Aku membalas lambaian tangan para tentara penjaga pos perbatasan.Saat aku meninggalkan negara di belakangku dan angin negara ini menyentuh riap-riap rambutku, entah kenapa tidak ada lagi beban itu.Beban yang telah kutanggung semenjak aku kecil. B
Ada kalimat penutup bagus di halaman terakhir buku yang kubaca. Mungkinkah aku resah karena semua yang telah terjadi dalam hidupku, lalu orang-orang mengira aku telah kehilangan jati diriku, bahkan kehilangan akalku?Aku hanya merasakan bahwa Dia tidak butuh semua yang telah kulakukan selama ini untuknya. Dia tidak butuh semua omong kosong yang aku lakukan, Dia sama sekali tidak butuh itu.Aku tidak tahu apa yang Diabutuhkan, tapi aku rasa Dia sebenarnya tidak butuh apa-apa dariku. Dibiarkannya aku di sudut kota ini, melakukan apa yang kusenangi tanpa harus merisaukan keberadaan-Nya.Karena Dia tidak ingin dirisaukan, Dia sama sekali tidak butuh segala kegelisahanku mengenai-Nya. Aku sadar, selama ini aku terlampau mengada-ada, bahwa Dia menghiraukanku, Dia memedulikanku, sampai pada suatu saat ketika aku menyadari, Diatidak pernah membutuhkanku.“Orang-orang sedang berarak menuju pusat kota sekarang, sebaiknya kita segera bersiap-siap.” Z
Aku sedang melihat Zidni bersujud di lantai berdebu di Rumah Jurnalis kami. Dia bersujud lama sekali, seakan pusaran waktu terhenti saat ia bersujud. Aku memerhatikannya dengan setengah tertegun, setengah melamun, setengah memikirkan Faraz dan setengah merasa gila.“Kamu tidak sembahyang, Ra?” tanya Tara. Aku menggeleng.“Tuhanku sudah mati,” ujarku. Tara tertawa sumbang.“Turut berduka cita yang sedalam-dalamnya. Tuhan kita begitu Maha Segalanya, kenapa dia bisa mati kalau dia disebut Tuhan?”“Kalau Tuhan tidak mati, dia tidak akan membiarkan makhluk–Nya tercerai berai menjadi hamburger di jalanan,” ujarku lagi, aku meremas tanganku sendiri, sedikit gemetarkarena udara sore yang mendadak dingin.Aku memalingkan wajahku dari memandangi Zidni yang sudah bangun dari sujudnya dan mengakhiri sembahyangnya.Tara hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia kini sudah berada di posisi Zidni tadi, memulai sembahyangnya. Sedang Zidni menuju ke temp
Orang tuanya, ayah dan ibunya, serta dirinya yang masih remaja adalah keluarga pindahan dari negara Sudiya. Kakek dan nenek mereka tinggal lama di negara ini sebelum perang sukupecah.Semua bermula saat ayah ibunya yang berprofesi sebagai dokter membantu korban-korban perang suku yang terluka. Lebih banyak dari suku minoritas yang terluka sehinggamereka memutuskan untuk merawat lebih intensif korban-korban dari luka perang suku minoritas.Mereka berpikir, tentara yang terluka sudah akan diurus dokter dan perawat negara, sedang suku buangan hanya akan ditunggu kebinasaannya, mereka tidak punya dokter karena semua turun berperang. Sedangkan berdasarkan sumpah setia mereka, seorang dokter wajib membantu siapa saja yang terluka tanpa memandang suku atau dari mana mereka berasal.Lalu, mereka tinggal di kediaman kepala suku Mue. Oleh karena itu, dokter-dokter mulia ini dianggap membantu suku Mue. Suku Mue termasuk suku minoritas yang sekarang sud
Keesokan paginya, kami benar-benar dijemput menggunakan mobil off-road.Bajuku dan baju Zidni sudah diganti dengan pakaian yang baru, bersih dan wangi. Semua pakaian bahkan kerudung biruku sudah dicuci bersih dan dikembalikan pada kami juga dalam keadaan wangi.Tentara-tentara itu melepas kami dengan perasaan penuh simpati.Mereka menyalami tanganku dan Zidni dengan mata berkaca-kaca. Aku memandangi Zidni tanpa mampumengatakan apa-apa.Aku menoleh ke belakang saat mobil yang kami tumpangi membawa kami menuju kota, terasa sangat perih di dada ini.Kenapa aku harus merasa dikhianati seperti ini? Kenapa aku harus terusir dari negara yang melahirkan dan membesarkanku?Aku membalas lambaian tangan para tentara penjaga pos perbatasan.Saat aku meninggalkan negara di belakangku dan angin negara ini menyentuh riap-riap rambutku, entah kenapa tidak ada lagi beban itu.Beban yang telah kutanggung semenjak aku kecil. B
Dalam pelarian ini, aku pernah sekali mengatakan pada Zidni, pada suatu malam entah kemarin atau kemarin lusa.Perkataanku pada saat itu ternyata memancing diskusi yang cukup panjang tentang banyak hal. Memori-memori dari awal pertemuan kami sampai akhirnya kami berada di sini.“Aku rindu minum kopi,” aku melentingkan ranting kecil ke dalam api unggun yang meredup.Kedua kakiku kulipat sebatas dagu dan kemudian meletakkan kepalaku di antaranya.Zidni berdiam diri. Agak lama. Kemudian sepertinya ia menahan napasnya sebelum mengatakan,“Kamu tahu tidak?” aku menunggunya.“Bedanya kopi Malayaka dan Sudiya?” tanya Zidni sambil mengembuskan napasnya yang tadi tertahan dan kemudian memandangku.Tentu saja aku langsung menggeleng, aku belum pernah mencicipi kopi dari Sudiya.“Aku pernah,” ujarnya seakan bisa membaca isi pikiranku. “Suatu kali aku mencicipi kopi Sudiya yang dikirimk
Sepertinya Zidni sudah siap siaga jika keadaan tiba-tiba menjadi buruk. Ia membawa sebuah belati.Aku tidak pernah tahu dan memerhatikan bahwa selama ini Zidni selalu membawa benda itu.Ataukah baru kali ini dia membawanya? Tapi, mungkin karena aku hanyalah perempuan ceroboh yang tidak mengerti arti pentingnya sebuah senjata kecil di saat sepertiini.Saat-saat dalam pelarian.Aku masih meringkuk di bawah pohon seperti bayi kesepian yang ditinggalkan orang tuanya di dalam hutan.Aku terus melihat kelebatan Zidni yang pergi kesana-kemari entahmelakukan apa.Dia terlihat jauh lebih baik dibanding semalam. Saat fajar tadi ia pun sembahyang seperti biasa, dengan sujud yang lebih lama dibanding sujud yang pernah kusaksikan di Rumah Jurnalis.Apakah yang Zidni pinta dalam sujudnya?Pagi menjelang siang yang begitu terik. Meski pun berlindung di bawah rimbun pepohonan, rasanya tetap saja panas.Aku minum air sungai ya
Pengumuman yang begitu menggema saat aku terbangun. Seperti biasa, aku selalu bangun kesiangan. Suara-suara dari pengeras suara meminta kami semua berkumpul di lapangan besar di pusat kota.Zidni datang dan mengetuk pintuku beberapa saat setelah pengumumandikumandangkan. Napasnyaterdengar menderu dan keringat membanjiri wajahnya. Pasti dia datang ke sini dengan berlari.“Kita harus pergi,” ujarnya muram dengan wajah yang kini pucat. Aku yang masih pusing karena bangun terlalu siang dan juga terlalu banyak menangis belum sanggup berkata.Aku berpikir, apakah kali ini pembagian jatah makanan dilakukan di lapangan bukan langsung mengambil ke gudang logistik?“Ke mana?” mulutku membuka.Seakan pengumuman tadi belum jelas bahwa kami semua diminta untuk berkumpul di lapangan sesegera mungkin.“Ke negara Faraz.” Mata Zidni yang kelam menatapku. Aku lalu gemetarmendengarnya. Maksudnya bagaimana? Di mana itu negara Faraz?“D
Orang tuanya, ayah dan ibunya, serta dirinya yang masih remaja adalah keluarga pindahan dari negara Sudiya. Kakek dan nenek mereka tinggal lama di negara ini sebelum perang sukupecah.Semua bermula saat ayah ibunya yang berprofesi sebagai dokter membantu korban-korban perang suku yang terluka. Lebih banyak dari suku minoritas yang terluka sehinggamereka memutuskan untuk merawat lebih intensif korban-korban dari luka perang suku minoritas.Mereka berpikir, tentara yang terluka sudah akan diurus dokter dan perawat negara, sedang suku buangan hanya akan ditunggu kebinasaannya, mereka tidak punya dokter karena semua turun berperang. Sedangkan berdasarkan sumpah setia mereka, seorang dokter wajib membantu siapa saja yang terluka tanpa memandang suku atau dari mana mereka berasal.Lalu, mereka tinggal di kediaman kepala suku Mue. Oleh karena itu, dokter-dokter mulia ini dianggap membantu suku Mue. Suku Mue termasuk suku minoritas yang sekarang sud
Aku sedang melihat Zidni bersujud di lantai berdebu di Rumah Jurnalis kami. Dia bersujud lama sekali, seakan pusaran waktu terhenti saat ia bersujud. Aku memerhatikannya dengan setengah tertegun, setengah melamun, setengah memikirkan Faraz dan setengah merasa gila.“Kamu tidak sembahyang, Ra?” tanya Tara. Aku menggeleng.“Tuhanku sudah mati,” ujarku. Tara tertawa sumbang.“Turut berduka cita yang sedalam-dalamnya. Tuhan kita begitu Maha Segalanya, kenapa dia bisa mati kalau dia disebut Tuhan?”“Kalau Tuhan tidak mati, dia tidak akan membiarkan makhluk–Nya tercerai berai menjadi hamburger di jalanan,” ujarku lagi, aku meremas tanganku sendiri, sedikit gemetarkarena udara sore yang mendadak dingin.Aku memalingkan wajahku dari memandangi Zidni yang sudah bangun dari sujudnya dan mengakhiri sembahyangnya.Tara hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia kini sudah berada di posisi Zidni tadi, memulai sembahyangnya. Sedang Zidni menuju ke temp
Ada kalimat penutup bagus di halaman terakhir buku yang kubaca. Mungkinkah aku resah karena semua yang telah terjadi dalam hidupku, lalu orang-orang mengira aku telah kehilangan jati diriku, bahkan kehilangan akalku?Aku hanya merasakan bahwa Dia tidak butuh semua yang telah kulakukan selama ini untuknya. Dia tidak butuh semua omong kosong yang aku lakukan, Dia sama sekali tidak butuh itu.Aku tidak tahu apa yang Diabutuhkan, tapi aku rasa Dia sebenarnya tidak butuh apa-apa dariku. Dibiarkannya aku di sudut kota ini, melakukan apa yang kusenangi tanpa harus merisaukan keberadaan-Nya.Karena Dia tidak ingin dirisaukan, Dia sama sekali tidak butuh segala kegelisahanku mengenai-Nya. Aku sadar, selama ini aku terlampau mengada-ada, bahwa Dia menghiraukanku, Dia memedulikanku, sampai pada suatu saat ketika aku menyadari, Diatidak pernah membutuhkanku.“Orang-orang sedang berarak menuju pusat kota sekarang, sebaiknya kita segera bersiap-siap.” Z