Share

3

Author: Biru Gerimis
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Kenapa Citra tidak dibawa ke rumah sakit saja, Yah? Bagaimana kalau dia mengalami luka dalam?”

Pertanyaan itu menembus pendengaran Citra yang sudah siuman beberapa menit yang lalu. Tapi, ia masih ngotot menerapkan kemampuannya sebagai mantan aktris dan berpura-pura pingsan untuk mengamati reaksi orang-orang di sekitarnya dengan lebih leluasa, terutama setelah ibu mertua yang sangat dibencinya meninggal dengan cara begitu tragis.

Citra tentu saja sangat riang mengetahui bahwa akhirnya rumah tangganya tidak akan diusik oleh Henny lagi. Sekarang ia bisa bebas menjadi dirinya sendiri, tanpa harus mempertimbangkan pendapat ibu mertuanya yang cerewet itu.

“Kamu kan dengar sendiri apa kata Dokter Julian tadi, Rion. Citra tidak apa-apa. Dia hanya pingsan karena stres. Seharusnya, kamu sebagai suaminya lebih memperhatikannya. Memangnya dia tidak pernah cerita apa yang membuatnya stres?”

Aku sudah bilang ratusan kali sama Rion tapi ia cuma menyuruh bersabar, batin Citra sebal.

Tentu saja, Citra sudah teramat capek. Selama tiga tahun, ia diperlakukan seperti kuman oleh ibu mertuanya sendiri.

Mengadu kepada Orion pun percuma, ia pasti bakal membela ibunya dan hanya meminta Citra maklum. Sampai kapan ia bisa menjalani hidup mengerikan seperti itu? Citra pun menyesal telah melepas karirnya sebagai aktris dan berakhir menjadi istri yang tertindas.

Ketika Citra sudah mulai berpikir untuk bercerai saja dari Orion, tiba-tiba datang seseorang yang mampu membantunya bertahan di rumah keluarga Indrayana dengan cara yang sama sekali tidak diduganya.

“Tidak ada, Citra tidak pernah cerita. Dia cuma mengeluhkan sikap Ibu yang dianggapnya membencinya,” ujar Orion.

“Dasar bodoh. Itulah yang membuatnya stres, Rion. Kamu ini bagaimana, sih? Masa kamu tidak bisa mengerti perasaan istrimu sendiri? Kalau sikapmu terus begitu, Ayah akan mendukung kalau suatu hari Citra bakal meminta cerai darimu,” damprat Erian.

Citra hampir saja spontan tertawa mendengar Orion disebut bodoh oleh ayahnya sendiri kalau tidak tiba-tiba ingat kalau ia tengah akting jadi orang malang yang tidak sadarkan diri. Ayah mertuanya memang blak-blakan, tapi anehnya tetap kelihatan karismatik. Mungkin itu salah satu sebabnya Erian menjadi pengusaha hotel terbesar di Kota Ryha, selain karena bakat bisnis yang mumpuni tentunya.

Orion tidak kedengaran berbicara lagi, mungkin sedang meresapi kebenaran dari kata-kata Erian. Ujung bibir Citra tertarik sedikit, senang karena ayah mertuanya menegur keras Orion. Suami kayanya itu memang sudah seharusnya disadarkan.

Tapi, walaupun nanti Orion akan menjelma menjadi pasangan yang pengertian, Citra tidak yakin apakah bisa mencintai Orion sepenuh hati lagi seperti dulu. Tampaknya tidak. Terlebih setelah Citra lebih mengenal orang itu dan menjalin hubungan terlarang dengannya.

Suara ketukan pintu mendadak terdengar. Citra bisa merasakan salah satu dari dua pria yang berada di samping tempat tidurnya beranjak menjauh. Ia penasaran siapa yang mengunjunginya sekarang, tapi tidak mungkin ia mencoba mengintip. Risikonya terlalu besar.

“Ada apa, Pak Nadi? Ada yang ingin ditanyakan lagi pada saya atau anak saya?”

Citra menahan napas. Sepertinya yang datang adalah polisi. Tangannya di sisi tubuh nyaris mencengkeram seprai saking terkejutnya. Bagaimanapun juga, ia belum siap diinterogasi sekarang.

“Sebenarnya saya ingin menanyai menantu Anda, Pak Erian. Tapi, tampaknya ia belum sadar,” jawab suara dalam yang diyakini Citra sebagai Nadi.

“Seperti yang Anda lihat sendiri, Pak Nadi. Namun, kata dokter keluarga kami, dia tidak apa-apa. Mungkin sebentar lagi ia akan bangun. Saya juga penasaran dengan keberadaan darah di tangannya. Oh ya, bagaimana hasil pengecekannya di laboratorium? Apa benar itu darah milik istri saya?”

Benar-benar tercengang, Citra hampir mendelik mendengar ucapan ayah mertuanya. Ada darah ditemukan di tangannya? Bagaimana bisa? Bahkan setelah mati pun, ibu mertuanya masih tetap menyiksanya. Sial!

“Kami belum menerima hasilnya, Pak. Namun, apapun hasilnya nanti, saya rasa itu bukan sesuatu yang bisa kami bagikan di luar lingkaran kepolisian, Pak. Jadi, saya tidak bisa memberitahu Anda,” tutur Nadi. Nadanya tegas, seakan menyatakan pada Erian bahwa pihaknya tidak bisa berkompromi.

“Begitu. Maaf karena saya telah lancang ikut campur, Pak Nadi. Saya cuma ingin tahu siapa yang telah membunuh istri saya,” balas Erian dengan intonasi yang agak kaku.

“Kalau begitu, kami akan kembali ke kantor untuk menganalisa bukti. Nanti kami akan datang lagi kalau menantu Anda sudah sadar,” tutur Nadi.

Citra kemudian mendengar suara derap sepatu yang menjauh dan bunyi pintu yang dibuka dan ditutup, disusul oleh langkah kaki yang dialasi oleh sandal rumah bergemirisik di karpet dan berhenti di dekatnya.

“Saya benar-benar heran dengan darah di tangan Citra tadi. Bagaimana menurut Ayah, apa Citra yang membunuh ibu?” Orion kedengaran bertanya. Tidak ada kemarahan dalam omongannya, hanya nada ingin tahu yang mendesak.

Pertanyaan Orion membuat Citra ingin menyudahi aksi pura-pura pingsan itu dan menamparnya langsung di muka. Kalau ada yang harus dicurigai atas kematian ibu mertuanya, itu adalah Orion. Bukan dia. Suaminya itu punya alasan sangat kuat untuk membasmi ibunya sendiri dari bumi.

“Kita belum bisa menyimpulkan apa-apa, Rion. Jadi, jangan berani-berani kamu membeberkan soal dugaan konyolmu itu pada reporter kenalanmu. Kalau ada sedikit saja berita negatif soal keluarga kita, itu akan memengaruhi saham hotel. Kamu paham, kan?”

Erian kedengarannya gusar. Namun, Citra tidak tahu apakah kekhawatirannya karena Orion berpikir Citra yang membunuh Henny atau justru cemas harga saham hotelnya merosot. Pikiran orang kaya memang susah diterka.

“Memangnya saya orang bodoh yang akan menyebarkan hal seperti itu? Ayah tenang saja. Biar bagaimana pun juga, hotel itu nantinya juga akan menjadi milik saya. Mana mungkin saya akan sengaja merusak reputasinya? Saya hanya ingin tahu pendapat Ayah soal ini. Apa Ayah berpikir Citra benar-benar sanggup membunuh ibu?”

Dasar Orion sialan, berani-beraninya dia menggiring opini agar Ayah mencurigaiku, kutuk Citra dalam hati. Mungkin sudah saatnya ia mengakhiri sandiwara yang dilakonkannya ini supaya Orion bisa menutup mulutnya yang berbisa itu.

Namun, Citra juga penasaran dengan jawaban ayah mertuanya. Apakah mendukung pemikiran sinting putranya atau bakal membela Citra?

“Sudahlah, Rion. Bukan ranah kita untuk menuduh siapa-siapa. Itu tugas polisi untuk mencari tahu. Kita hanya perlu menjaga agar saham kita tidak turun di pasaran,” tutur Erian mencoba bersikap bijaksana.

Citra sudah mengira akan mendengar suara Orion yang akan membujuk ayahnya untuk beropini, tapi yang dijaring oleh telinganya adalah nada dering ponsel suaminya.

“Halo. Ada apa, Ulfa? Ada email soal perjanjian kerja sama dengan perusahaan jasa kebersihan yang kamu kirim? Harus dicek sekarang? Tapi, ini sudah bukan jam kantor, Ulfa. Mendesak? Ya, ya, baiklah. Saya akan mengeceknya sekarang,” tukas Orion.

“Lebih baik kamu memeriksa email yang dimaksud sekretarismu, Rion. Ayah akan meminta Bik Yuli menjaga Citra di sini, mungkin keadaannya sudah baikan. Ayah rasa email itu benar-benar penting sampai Ulfa memintamu sekarang,” ujar Erian.

“Ya, mungkin Ayah benar,” kata Orion yang disusul oleh bunyi sandal rumah yang menjauh diikuti oleh bunyi pintu yang terkuak dan menutup.

Sepeninggal Orion, Citra bingung. Apakah sudah waktunya untuk bangun dari pingsan pura-puranya? Ayah mertuanya jelas lebih gampang dihadapi daripada suaminya sendiri yang bahkan sudah berani berpikir bahwa Citra adalah seorang pembunuh. Tapi, Citra belum sempat memutuskan saat suara Erian terdengar berbisik di telinganya.

“Sekarang kamu sudah boleh membuka mata, Citra. Pasti kamu lelah karena akting tidak sadarkan diri selama bermenit-menit.”

Related chapters

  • Koper Merah di Kamar Mertua   4

    Bunyi kode ruangan yang tengah dimasukkan terdengar. Sejurus kemudian, pintu kayu berpelitur halus berwarna hitam terbuka dan memperlihatkan wujud seorang pria tampan yang memasuki apartemen itu dengan bungkusan berisi makanan mahal di tangannya. Ia lalu mengganti sepatunya dengan sandal rumah yang tersedia. Gerakannya sama sekali tidak canggung, seolah ia sudah biasa mengunjungi tempat itu.Mungkin pria itu tidak sadar, tapi kelakuannya sejak melangkahi ambang pintu diamati oleh seorang wanita berambut lurus hitam panjang, dengan poni tipis yang menutupi jidatnya.Mengenakan gaun tidur panjang berwarna hitam berbahan satin yang memang dimaksudkan untuk menggoda, wanita itu berdiri sambil menyilangkan kaki dan menyandarkan bahu di dinding samping sofa. Menunggu.Pria itu selesai mengenakan sandal rumah dan mengangkat tatapannya dari lantai. Saat itulah ia melihat si wanita dan otomatis senyum mesum tertera di wajahnya yang rupawan. Sambil mempertontonkan bungkusan makanan mahal yang d

  • Koper Merah di Kamar Mertua   5

    “Bagaimana perasaan Anda, Bu Citra? Sudah lebih baik?”Citra mengangguk walaupun tengah bertatap muka dengan lantai, lebih memilih tidak melihat wajah Nadi yang baru saja menanyainya. Di samping kirinya, duduk Orion yang berusaha keras tidak kelihatan resah. Di sisi kanannya, Erian memarkirkan pantatnya di kursi dan tampak benar-benar tenang.“Bisa ceritakan kejadian sebelum Anda ditemukan pingsan di kamar?”Pelan-pelan mengangkat kepalanya, Citra menoleh dulu ke ayah mertuanya yang memberinya senyuman menghibur.Namun, ia sama sekali tidak berpaling ke Orion, padahal suaminya itu sudah menengok ke arah Citra sambil mencoba menarik kedua sudut bibirnya.“Sekitar jam 4 sore tadi, saya berniat pergi ke supermarket untuk membeli peralatan mandi kami yang sudah habis. Saya memang terbiasa membeli semua kebutuhan sendiri, hanya bahan makanan saja yang diurus oleh Bik Yuli. Di ruang tamu, saya ketemu dengan ibu. Mungkin Anda sudah dengar, tapi hubungan saya dan ibu mertua memang tidak terla

  • Koper Merah di Kamar Mertua   6

    Orion mendelik. Mulutnya ternganga. Spontan, ia berdiri dari kursinya sangat tergesa-gesa sampai membuat benda malang itu terjungkal. Pertanyaan sekaligus pernyataan Nadi membuat Orion sempat lupa bagaimana cara bernapas. Ia bahkan tidak menyadari jika Citra dan Erian juga tersentak mendengar ucapan si polisi.Setelah berhasil menormalkan kerja paru-parunya kembali, Orion berupaya menyetel ekspresinya agar kelihatan benar-benar tersinggung. Menaikkan sedikit dagunya guna menegaskan bahwa dirinya adalah konglomerat yang tidak selevel dengan Nadi, karena itu ia tidak akan terpengaruh dengan apapun yang didengarnya, Orion lalu menuding polisi itu dengan telunjuk yang bergetar.“Jaga ucapan Anda, Pak Nadi. Berani sekali Anda memfitnah warga kota yang baik hanya karena bau parfum yang belum tentu juga Anda endus. Saya sungguh-sungguh merasa terhina,” ujar Orion dengan suara yang juga agak gemetar.Tapi, Nadi bergeming. Ia sama sekali tak goyah dengan provokasi yang dilancarkan oleh Orion.

  • Koper Merah di Kamar Mertua   7

    “Ayah rasa lebih baik kamu ikut juga, Citra. Anda pun boleh ikut kalau mau, Pak Nadi,” ujar Erian di pintu ruang makan. Kepalanya ditolehkan pada dua orang yang diajaknya bicara. Di sampingnya, Orion melirik tidak berdaya.Nadi mengiyakan dengan cepat. Ia memang merasa lebih bagus jika terlibat langsung. “Tapi, saya harus ketemu rekan polisi yang tadi saya minta membawa Bik Yuli, Pak Erian. Tunggu sebentar,” kata Nadi sambil buru-buru melewati Erian dan Orion menuju ruang keluarga tempat rekannya menunggu.“Bagaimana, Citra? Kamu ikut, kan? Ayo, kita tunggu Pak Nadi di mobil saja,” ajak Erian dan langsung berbalik tanpa menanti respons menantunya. Citra yang mengerti kalau ucapan barusan adalah perintah, bukan permintaan, menyusul kedua pria itu.Langkah kaki dari belakangnya membuat Citra berpaling. Ia menemukan Nadi telah mengekori mereka. Di depannya, Erian dan Orion telah berdiri di undakan teras, menunggu sopir keluarga memarkirkan mobil.Segera saja mobil mewah berwarna hitam me

  • Koper Merah di Kamar Mertua   8

    Tercengang. Erian butuh beberapa detik untuk mencerna ucapan Dokter Hardi. Ekspresinya kosong, matanya melebar, dan mulutnya terbuka. Tapi, Dokter Hardi justru terbahak-bahak menonton raut wajah temannya.“Apa kubilang? Info ini akan sangat mengejutkan, bukan? Aku paham apa yang kau rasakan, Erian. Reaksiku juga kurang lebih sama saat tahun lalu aku diberitahu oleh putri dan menantuku bahwa aku bakal punya cucu, sempat bingung dan tidak bisa berkata-kata. Ha ha ha, lucu sekali,” ujar Dokter Hardi geli sendiri.“Cucu? Cucu? Cucu?” Erian mengulang linglung. “Aku akan memiliki cucu? Penerus keluarga Indrayana? Benarkah itu, Hardi?”“Benar sekali, temanku. Wah, kita berdua sudah menjadi kakek-kakek. Kita telah memasuki satu lagi fase penting dalam hidup. Sekali lagi kuucapkan selamat, Erian. Dan tentu saja untuk kamu juga, Orion,” kata Dokter Hardi kelewat riang, seolah dirinyalah yang akan menimang cucu.Tiba-tiba dan tidak bisa diprediksi, Erian melompat maju menubruk tubuh temannya dan

  • Koper Merah di Kamar Mertua   9

    “Apa?” Citra tersentak bangun hingga nyaris membuat infus di lengannya terlepas. “Apa maksudmu dengan anak dalam rahimku? Jangan bilang kalau aku- aku hamil? Hah, jangan bercanda, Rion!”Walaupun suaminya memilih untuk melakukan aksi diam, tapi dari wajahnya Citra tahu jika Orion sungguh-sungguh dengan omongannya. Namun, bagaimana bisa ia hamil? Itu tidak mungkin! Itu tidak boleh terjadi! Tidak boleh!Setelah membiarkan Citra mencerna informasi yang dibawanya selama beberapa saat, Orion akhirnya membuka mulutnya. “Dokter Hardi yang bilang kalau kamu hamil. Tapi, cukup dengan itu. Sekarang, bilang padaku siapa ayah anak dalam perutmu? Kamu kan tahu sudah berbulan-bulan kita tidak melakukan hubungan suami istri!”Citra semakin terperanjat. Ia menutup muka dengan kedua tangannya kemudian menjambak rambutnya sendiri sambil memekik nyaring. “Aaahhh! Tidak mungkin! Aku tidak mungkin hamil!”Orion terkejut melihat reaksi Citra yang di luar dugaan. Ia tadinya berpikir kalau Citra akan menyamb

  • Koper Merah di Kamar Mertua   10

    Nadi memindai berkeliling. Ruang rawat itu terlalu mewah untuk difungsikan sebagai tempat orang sakit menjalani pemulihan. Lebih tepat jika disebut sebagai vila mini. Lihat saja sofa mewah, brankar kualitas terbaik, televisi layar lebar yang menutupi satu sisi sinding, lemari pendingin empat pintu, pendingin ruangan kelas atas, karpet tebal lembut, belum lagi lantai bergranit menyilaukan dan langit-langit dengan kandelir memukau. Fasilitas untuk orang kaya memang mencengangkan.“Silakan duduk, Pak Nadi. Jangan sungkan-sungkan. Maaf sekali kami tidak bisa menerima Anda di tempat yang lebih layak,” ujar Erian ramah, menunjuk satu set sofa mahal yang tidak akan didapati oleh Nadi di rumah dan kantornya.Polisi itu nyaris menganga mendengar sambutan Erian yang dirasanya tidak masuk akal. Tempat semewah ini dianggap kurang layak? Wah, selera orang kaya memang levelnya sulit dijangkau.Nadi pun duduk di salah satu sofa dan sebisa mungkin menyamankan dirinya. “Saya minta maaf sebelumnya kare

  • Koper Merah di Kamar Mertua   11

    “Nih, pesananmu. Dasar pemalas! Bisa-bisanya kamu menyuruh seorang wanita membelikanmu makanan? Tidak tahu malu! Seandainya bukan karena rahasia yang kita bagi sama-sama, aku pasti sudah akan kabur sejak lama,” gerutu seorang wanita dengan rambut hitam panjang yang dicepol pada sesosok tubuh yang teronggok di sofa.Pria yang tengah sibuk dengan game onlinenya itu mendongak dan menyeringai sinis. Wajahnya lumayan tampan, dengan hidung mancung dan mata teduh. Tapi, kepribadiannya berbanding terbalik dengan wujudnya. Pria itu licik, oportunis, dan tidak malu menghalalkan segala cara demi tujuannya yang pasti tidak jauh-jauh dari uang.“Jangan mengeluh, Ar. Seharusnya kamu berterimakasih pada Tuhan karena dipertemukan denganku. Kalau tidak, kamu pasti sudah terlunta-lunta di luar sana, tidur di trotoar dan makan dari hasil mencari di tempat sampah,” ujar Gema, nama pria itu.Ariani mencibir. “Jangan bilang kamu lupa kalau aku yang mengajakmu kerja di rumah orang kaya itu? Kalau tidak, man

Latest chapter

  • Koper Merah di Kamar Mertua   105

    “Apa yang terjadi, Lavin? Kenapa ada polisi di sini?”Citra bertanya dengan wajah menghadap ke moncong pistol yang mengarah padanya, matanya tajam melirik Dokter Lavin yang tengah memberinya tatapan terluka. Walaupun malam itu udara lumayan dingin, keringat mulai bermunculan di dahinya. Wanita itu meneguk ludah yang terasa mengganjal. Ada yang tidak beres dengan mantan kekasihnya itu.Namun, bukannya menjawab, Dokter Lavin justru memutus kontak matanya dengan Citra, turun dari mobil, membuka pintu belakang, dan membawa Belinda ke dalam gendongannya. Ia memilih untuk tidak menengok ke arah Citra satu kali pun selagi melangkah kembali ke dalam toko yang pengunjungnya tampaknya tidak menyadari kejadian di depan bangunan yang mereka datangi, berbeda dengan Belinda yang tidak berhenti memelototi mobil yang baru saja mereka tinggalkan.“Lavin, Lavin, kamu mau ke mana? Jelaskan padaku ada apa ini. Lavin! Kamu tidak boleh pergi begitu saja dan meninggalkanku di sini!” Citra memanggil-manggil

  • Koper Merah di Kamar Mertua   104

    Mata Citra terbelalak mendengar pengumuman mengejutkan yang disampaikan oleh Jian. Dengan mulut setengah membuka, ia menoleh ke arah Dokter Lavin yang juga tengah menatapnya. Berkat kehadiran polisi di luar sana di waktu yang sangat tidak tepat ini, rencananya bersama pria itu untuk mengasingkan Orion di ruangan tersendiri bisa dipastikan gagal.“Bagaimana mereka bisa tahu saya di sini? Setahu saya, kita tidak diikuti sejak di pusat perbelanjaan tadi. Saya juga yakin orang-orang di toko tidak ada yang mengenali saya,” ujar Citra dengan nada heran setelah berhasil berjumpa dengan suaranya. Kepalanya bergantian berpaling ke Dokter Lavin dan Jian, menuntut penjelasan. Tidak bisa dipungkiri ada sorot menuduh dalam pandangannya. Mungkin ibu dan anak itu tidak setulus yang Citra kira.Dokter Lavin melihat ke sekeliling rumah dengan resah sebelum membuka mulut. “Kalau dilihat dari polisi yang datang, bukan orang-orang suruhan Erian, kemungkinan besar mereka bisa mengetahui lokasi Citra denga

  • Koper Merah di Kamar Mertua   103

    “Hati-hati menggalinya, jangan sampai guci itu pecah. Lebih baik kita menggalinya pakai tangan saja.”Nadi memberi instruksi pada rekan-rekannya sambil membasmi keringat yang berlelehan mengaliri dahinya menggunakan punggung tangan yang berlumur tanah. Mereka, para aparat kepolisian itu, tengah menggali tanah di halaman belakang kediaman Indrayana untuk mencari sesuatu yang disebutkan oleh Erian pada Nadi tiga puluh menit sebelumnya.“Kalau Anda tahu siapa yang membunuh korban, kenapa Anda tidak bilang dari awal dan membantu penyidikan? Kenapa malah menyembunyikannya dan bersikap tidak tahu apa-apa, bahkan sampai menjebak anak Anda sendiri? Apakah Anda diancam oleh Bu Citra atau Anda sendiri yang memilih untuk menutupi kasus ini, Pak Erian?”“Saya sendiri yang memang memutuskan untuk menutupi kasus ini. Saya pikir, jika Henny ditemukan meninggal sebagai korban pembunuhan, orang-orang akan bersimpati pada saya yang akhirnya akan menaikkan harga saham hotel. Tapi, Citra juga turut andil

  • Koper Merah di Kamar Mertua   102

    Dokter Lavin duduk di sofa ruang tamu rumahnya, alih-alih di ruang keluarga tempatnya mengambil kotak obat, semata-mata agar tidak mendengar pertengkaran antara Citra dan Orion. Sambil menotol-notolkan kapas yang sudah dibasahi dengan alkohol ke lukanya, ia meyakinkan diri bahwa sangat tidak sopan menguping perselisihan suami istri dan mereka tentu tidak ingin didengar oleh siapapun., walaupun Dokter Lavin penasaran setengah hidup.Sekarang, setelah Citra ada di sini, apa yang akan mereka lakukan? Hanya bersembunyi dari Erian tanpa usaha apapun untuk melepaskan wanita itu sepenuhnya dari jeratan pengusaha ternama itu? Citra memang sudah mengambil langkah pertama dengan memutuskan untuk menggugat cerai Orion, tapi kaitan antara mantan kekasihnya dan Erian bukan hanya itu.Namun, sampai kapan mereka sanggup menyembunyikan diri begini? Dokter Lavin harus bekerja, yang tentu saja tidak aman dilakukan sebab Erian sudah tahu jika dirinya ikut terlibat. Sekali Dokter Lavin tertangkap, Citra,

  • Koper Merah di Kamar Mertua   101

    “Itu benar, Pak Nadi. Citralah yang telah membunuh istriku. Aku tidak bohong atau sedang berupaya kabur. Itulah yang sebenarnya terjadi.”Erian menegaskan kalimatnya usai melihat reaksi Dokter Hardi dan Nadi atas perkataannya sebelumnya adalah saling melempar tatapan tidak mengerti. Tapi, sedetik kemudian, wajah si polisi menjelma tidak percaya dan ekspresi si dokter tetap dalam kebingungannya.“Apa maksudmu, Erian?” Dokter Hardi menyuarakan ketidakpahamannya. Ia bergantian memandang polisi di depannya dan temannya yang terbaring di brankar, menunggu salah satu dari keduanya sudi menjelaskan. “Citra yang membunuh Henny? Tapi, kenapa? Tadi kamu bilang kalau dijebak dan akan berusaha mencari pelaku sebenarnya, sekarang kamu bilang kalau Citra pelakunya. Apa yang terjadi di sini, Erian?”“Lebih baik Anda ikut ke kantor dan menjelaskan semuanya di sana, Pak Erian. Bangunlah, saya akan memapah Anda ke mobil,” sebut Nadi lalu melangkah mendekati brankar dan mengulurkan tangannya pada Erian,

  • Koper Merah di Kamar Mertua   100

    Bunyi pukulan itu mengalihkan perhatian Citra yang tengah asyik duduk di kursi kerja Jian dan memelototi salah satu kertas yang diraupnya dari atas meja. Tangannya otomatis menjatuhkan benda yang dipegangnya begitu menyaksikan bagaimana suaminya menonjok pipi Dokter Lavin yang sama sekali tidak menduga datangnya serangan itu. Ia tergesa-gesa menghampiri mantan kekasihnya yang setengah bersimpuh di lantai dan berjongkok di sampingnya.“Kamu tidak apa-apa, Lavin?” Citra bertanya risau sambil mengamati wajah lebam pria di sisinya. Saat Dokter Lavin hanya mengangguk sebagai reaksi tanpa mengatakan apapun, wanita itu menaikkan kepalanya untuk memberi Orion tatapan sengit. “Apa yang kamu lakukan, Rion? Kenapa kamu memukul Lavin? Dia kan tidak salah apa-apa sama kamu.”Mata Orion mendelik, dadanya masih naik turun mengejar napas. Tenaganya yang tidak seberapa, karena baru makan sekali dalam hari ini, dikerahkan semuanya untuk memberi Dokter Lavin pukulan sekuatnya yang pantas pria itu terima

  • Koper Merah di Kamar Mertua   99

    “Ibu!”“Tante!”Dokter Lavin dan Citra memekik berjamaah kemudian saling bertatapan salah tingkah setelahnya yang segera dilanjutkan dengan membuang pandangan masing-masing ke arah berlawanan. Citra pura-pura tertarik dengan hiasan rambut Belinda yang duduk di pangkuannya, sedangkan Dokter Lavin berdeham tidak jelas sambil bersikap seakan-akan terpesona dengan pemandangan di luar jendela mobil.“Loh, apa yang salah?” Jian bertanya dengan wajah tanpa dosa, tidak menyadari bencana yang baru saja diciptakannya, matanya bergantian menatap tiga penumpang dewasa yang terduduk di kursi belakang mobilnya. “Kalau Citra dan pria ini bercerai, artinya dia bisa kembali pada Lavin dan anak kandungnya, Belinda. Nah, pria ini bisa bersama dengan si poni kekanak-kanakan itu. Akhir yang bahagia untuk semuanya.”Usai menemukan kendali dirinya kembali, Dokter Lavin memandang ibunya, sebisa mungkin menahan matanya agar tidak melirik ke arah Citra atau Orion yang duduk di sisi kiri dan kanannya. “Lebih ba

  • Koper Merah di Kamar Mertua   98

    Nadi duduk tepekur di sofa kulit mahal yang ada di ruang rawat mewah itu. Operasi pengangkatan peluru di betis Erian yang dilakukan langsung oleh Dokter Hardi sudah selesai tiga jam yang lalu. Sekarang, ia hanya perlu menunggu pengusaha hotel itu siuman untuk ditanyai. Nadi memilih untuk bersiaga di ruangan yang sama dengan Erian untuk mencegah orang kaya itu berkonspirasi jahat dengan Dokter Hardi lagi.Sebenarnya, ia bisa saja meminta Kun atau rekannya yang lain untuk menggantikannya berjaga di rumah sakit. Tapi, Nadi memutuskan terlibat langsung karena saat ini bisa dikatakan jika Erian merupakan terduga potensial dalam kasus pembunuhan Henny serta kecelakaan Gema dan Ariani. Baginya, ini semacam tanggung jawab moril selaku ketua tim penyidikan. Bukankah sebagai pemimpin, ia yang harus bekerja lebih keras?Usai beberapa belas menit duduk sambil menjalin tangan dan bertatap muka dengan lantai, Nadi mengubah posisinya menjadi bersandar di sofa dengan kepala mendongak dan mata nyalang

  • Koper Merah di Kamar Mertua   97

    “Orion?”Citra menggumamkan nama suaminya dengan nada terperanjat bervolume rendah. Ia tidak salah dengar, kan? Tapi, apa yang dilakukan Orion di sini? Bukannya dia tengah ditahan di kantor polisi?“Buka pintunya, Citra. Ini aku, Orion!” Orang yang berdiri di luar bilik toilet Citra itu berbicara lagi.Mendengar suara manusia itu sekali lagi, Citra akhirnya yakin. Sekarang ia berseru lantang. “Orion? Itu benar-benar kamu, kan?”“Iya, Citra. Aku Orion, suamimu.”Lebih tepatnya, pria yang sebentar lagi akan menjadi mantan suamiku, pikir Citra. Walaupun yakin betul kalau makhluk yang mengobrol dengannya adalah Orion, ia tetap memilih melakukan tindakan pencegahan dengan cara mengintip lagi melalui celah di bawah pintu, siapa tahu ada orang lain di situ.Usai memastikan jika suaminya memang benar-benar datang sendirian, Citra menjatuhkan pecahan cermin di tangannya ke lantai dan membuka pintu bilik toilet. Di depannya, terpampang wujud Orion yang terlihat tidak terurus dengan wajah dan pa

DMCA.com Protection Status