“Kamu itu ngawur! Mana bisa Dek Fita nikah sama kamu. Emangnya kamu naksir Bunda?” Mas Kenzo menatap lekat wajah putranya.“Apaan, sih. Saya bercanda kali, Yah. Mana mungkin saya mencintai Ibu tiri saya sendiri. Kan nggak boleh. Bikin sakit hati doang, karena hanya bisa mengagumi tanpa bisa memiliki!” jawab Salim sembari melipat tangan di depan dada.Aku menahan tawa mendengarnya.“Udah ah, kita sarapan. Ayah lapar!” Pria berwajah tampan itu mengambil sendok ,lalu segera menyantap bubur yang baru saja aku beli.“Sini, Dek. Makan dulu. Biar Mas suapin!” Mas Kenzo menepuk-nepuk kursi kosong di sebelahnya, memberi isyarat supaya aku duduk di sampingnya.“Kak Fita bisa makan sendiri kali, Yah. Nggak usah lebay!” rutuk Salim lagi.“Aak, Mas. Adek maunya makan disuapin kamu!” “Ish!” Salim mengangkat satu ujung bibirnya. Ekspresinya itu lucu sekali, seperti orang sedang kepanasan. Mungkin dia cemburu karena sang ayah sekarang lebih perhatian kepadaku.Hampir dua minggu ini Mas Kenzo selalu
Aku membekap mulut membaui aroma minyak kayu putih yang langsung membuat perut ini mual serta kepalaku bertambah pusing. “Muntahin di sini saja, Dek!” Mas Kenzo menyodorkan sebuah keresek.Aku mengeluarkan semua isi perutku, hingga kerongkonganku terasa perih dan mulutku terasa sangat pahit. “Kamu sudah tes belum, Fit. Kayanya kamu beneran isi deh!” ucap Ibu sambil menggenggam jemariku.“Sudah, tapi negatif!” jawab Mas Kenzo mewakiliku.“Coba dites lagi. Siapa tahu kemarin belum terdeteksi!” Ragu-ragu aku berjalan menuju kamar mandi, dipapah oleh Mas Kenzo karena badanku masih terasa lemas. Kebetulan aku juga sedang ingin buang air kecil dan langsung menampung sedikit urine di wadah yang ibu sodorkan.Ibu membuka sebungkus test pack yang sengaja aku simpan di dalam laci, mencelupkannya ke dalam air seniku beberapa detik, lalu dia terus mengamati benda kecil tipis itu tanpa berkedip.“Coba ambil satu lagi, Za!” titah Ibu kepada Mbak Kenza.“Gimana, Bu?” Mbak Kenza terlihat penasara
“Kenzo Al Faiq, Mbak,” sambungku pelan.“Orang yang ditanya nama saya kok!” protes Salim.“Suster itu nanya nama ayah bayi dalam perut saya, Salim. Bukan nama kamu?” Menunjuk ke perut.“Oh!” Dia menggaruk kepala sambil tersenyum, salah tingkah.“Yang benar yang mana?” tanya suster sembari menatapku, lalu bergantian menatap Salim.“Kenzo Al Faiq,” jawab Salim.Laki-laki berusia dua puluh tahun itu kemudian membantuku berdiri untuk menimbang berat badan. Masih tetap empat puluh delapan kilogram. Mudah-mudahan setelah hamil berat badanku naik, biar terlihat agak berisi.“Sudah dipanggil apa belum, Dek?” tanya Mas Kenzo, setelah hampir lima belas menit menerima panggilan telepon dari rekan kerjanya.“Belum, Mas. Kamu nelepon saja kok lama sekali. Sebenarnya yang suamiku itu Salim apa kamu sih?” protesku, memonyongkan bibir manja.“Maaf, Dek. Tadi atasan nelepon Mas. Ada hal penting yang mau beliau sampaikan, jadi Mas tinggal kamu dulu berdua sama Salim.”“Ya sudah kalau pekerjaan lebih pe
Membuka mata perlahan, lalu menutupnya kembali karena cahaya yang menyilaukan. “Ya Allah, Sayang. Kamu kenapa?” tanya Mas Kenzo sambil menatap wajahku sendu.“Aku nggak tahu, Mas. Kepala aku tiba-tiba pusing,” sahutku pelan, hampir tidak terdengar.“Mas sudah khawatir banget loh.”Tidak lama kemudian ibu datang membawa pakaian untukku.“Emang kalian habis ngapain sih? Fita lagi mabok, nggak usah diajakin begituan dulu ngapa sih, Zo!” Rutuk Ibu sambil membantuku memakai gamis. Sepertinya dia salah paham.“Astagfirullah, Bu. Saya nggak habis ngapa-ngapain Fita. Dia minta mandi, terus saya mandiin. Eh, tiba-tiba dia pingsan!” jawab Suamiku dengan wajah memerah. Mungkin dia merasa malu kepada ibu.Karena keadaanku yang begitu lemah, dokter menyarankan supaya menjalani rawat inap selama beberapa hari, sampai keadaanku mulai membaik.Aku menurut saja karena tidak mau terjadi sesuatu dengan calon bayiku. Aku ingin melakukan yang terbaik untuk dek utun.“Dek, Mas pergi ke kantor dulu ya. Ka
Malam semakin larut, akan tetapi Mas Kenzo belum juga kembali. Aku sangat mengkhawatirkan kesehatan suamiku karena sekarang dia sering pergi pulang pagi. Kusambar gawai yang tergeletak di atas nakas, menghubungi nomor ponselnya, berharap dia cepat pulang menemaniku di rumah sakit.'Kamu ke mana sih, Mas. Kok nomor kamu tidak aktif!' gumamku dalam hati.[Mas, kamu ke mana? Kapan pulangnya] send, suamiku.Aku menoleh ke arah Salim yang sudah terlelap di atas Sofa. Kenapa justru dia lagi yang harus menemaniku. Aku jadi kasihan sama anak tiriku itu, apalagi setelah mendengar cerita cintanya yang berakhir tragis. 'Sama mantan pacarnya disuruh-suruh terus, sama ayahnya juga disuruh nemenin ibu tirinya terus,' bhatinku.Mencoba turun dari tempat tidur, namun kapala ini masih terasa berat dan keliyengan. Aku juga tidak mungkin membangunkan Salim untuk mengantarku pergi ke kamar mandi."Ya Allah, Mas. Kamu kok teg
"Ayo Bun, kita masuk," ajak Salman sambil menggandeng tanganku."Iya, Sayang. Habis ini ambil Quina di rumah nenek ya, Man. Sama sekalian beliin Bunda bubur kacang hijau di depan." "Iya, Bun. Sekarang Bunda mau ke kamar apa mau duduk di sofa?" "Di sofa saja dulu, Man. Bunda bosen di kamar terus."Salman membimbingku duduk di sofa lalu pria bertubuh kurus itu langsung pamit untuk mengambil Saquina di rumah neneknya.Beberapa menit kemudian, Salman kembali bersama Mbak Kenza membawa bubur untukku. Anak kedua suamiku itu langsung ke dapur untuk mengambil mangkuk, lalu menuang bubur kacang hijau itu ke mangkuk yang ia bawa."Makan dulu. Bun. Mumpung masih hangat. Tapi aku bagi sedikit ya. Aku kepengen. Tadi mau beli sudah habis!" Dia menyeringai sambil menggaruk kepala. Persis seperti abangnya kalau lagi salah tingkah."Ya sudah kita makan berdua saja, Man. Bi Kenza mau?" Aku menoleh ke arah Mbak Kenza yang s
"Salim, Salman, buruan bawa Ayah kalian!" titahku sambil menyusut air mata. 'Ya Allah, Mas. Tolong bangun . Jangan tinggalkan aku dan calon anak kita, Mas.' Salim dan Salman segera menggotong Mas Kenzo masuk ke dalam mobil, meletakkan kepala sang ayah di pangkuanku, lalu lekas membawa Mas Kenzo ke rumah sakit. "Mas, buka mata. Kamu jangan buat aku takut, Mas!" Menepuk-nepuk pelan pipi Mas Kenzo, yang sudah terlihat pucat pasi. "Buruan, Salim. Kamu nyetir kok kaya keong!" teriakku tidak sabar. "Sudah cepet ini, Bun. Bunda yang sabar. Insya Allah ayah baik-baik saja!" jawab Salim sambil terus fokus mengemudi. Sedang Salman, dia sedang sibuk menghubungi dokter yang biasa menangani ayahnya, memberi tahu kalau gula darah Mas Kenzo naik hingga hampir 600 mg/dl, biasanya tidak sampai 300. "Alhamdulillah dokter Darwinnya ada, Bun. Beliau juga lagi otewe ke rumah sakit!" ucap putra kedua suamiku sambil meletakkan ponselnya. Aku terus mendekap tubuh Mas Kenzo, membisikkan doa yang aku bi
“Kamu sendiri ngapain berada di sini, siapa yang sakit?” “Suamiku, Mas!” “Memangnya dia sakit apa?” “Gula!” “Innalilahi!” ujar Mas Akmal. Aku menoleh ke arah mantan suamiku yang ternyata sedang menatap ke arahku, hingga tanpa sengaja pandangan kami saling berserobok. Namun, entahlah. Aku merasa getaran itu sudah tidak ada. Cinta di sanubari mulai sirna. Mungkin karena aku sudah merasa nyaman dengan Mas Kenzo, sehingga perlahan-lahan rasa itu mulai pergi dan tak lagi bertakhta di hati. “Fit, apa kamu tidak kasihan sama Dewi. Dia lagi hamil dan sekarang suaminya berada di dalam bui.” Aku menghela nafas berat mendengar ucapan Mas Akmal yang menyinggung masalah Papa Surya. Pasti dia akan memintaku mencabut laporan dan membebaskan Mantan mertua yang sekarang sudah menjadi adik iparku. “Papa salah dan orang salah harus dihukum!” Jawabku menegaskan. “Tapi, biar bagaimanapun Papa itu tetap orang tua kamu loh, Fit. Papa juga sekarang sudah menjadi adik ipar kamu. Kamu tahu, Dewi frust
Pukul tujuh malam, selepas melaksanakan shalat isya, Ridwan kembali datang dan meminta Dewi untuk menjadi pendamping hidupnya. Kali ini dia meminta wanita tersebut kepada sang kakak, dan Efita tetap saja menyerahkan semuanya kepada Dewi. "Sudah aku bilang kan, Mas. Aku ini bukan wanita sempurna. Kamu akan menyesal jika menikah denganku nanti. Apa kamu tidak berpikir sampai kesitu, Mas?" Dewi membuang muka menghindari tatapan Ridwan yang begitu menghanyutkan."Saya akan menerima segala kekurangan serta kelebihan kamu, Wi. Lillahi taala. Menikah itu ibadah. Kebahagiaan sepasang suami istri itu bukan hanya karena adanya anak. Tapi dengan saling percaya serta melengkapi, kita akan merasa hidup bahagia selamanya. Apalagi sudah ada Arjuna. Dia juga butuh figur seorang ayah, Wi. Kamu jangan egois!" desak Ridwan memberi keyakinan kepada wanita yang dia kagumi."Justru karena aku tidak mau dianggap egois, makanya menolak kamu, Mas." "Wi, tolong pertimban
Keluarga besar Efita sudah bersiap-siap pergi ke kota Tegal untuk melangsungkan pernikahan Salman dengan putri sulung Gus Fauzan. Pernikahan yang rencananya akan diselenggarakan awal tahun, akan tetapi harus ditunda beberapa bulan karena Salman belum bisa mengambil cuti dan Nabila mendapat tugas dari kampusnya untuk melakukan kuliah kerja nyata di luar kota. Hal itulah yang membuat acara harus ditunda sementara, dan hari ini, dua insan manusia yang saling mencintai itu akan mengucap janji suci di depan Allah, menjadikan hubungan mereka menjadi halal serta diridhai Tuhan."Santai saja, nggak usah gemetar!" bisik Salim kepada sang adik ketika mereka sudah berada di masjid pesantren menunggu ijab qobul dimulai.Salman menerbitkan senyuman. Rasa grogi terlihat jelas di wajah pria berusia sudah genap dua puluh empat tahun itu, apalagi ketika pembawa acara memulai susunan acara.Keringat dingin terus saja membanjiri tubuhnya walaupun ruangan tempat dia akan meng
"Maaf, Wi. Kamu yang tenang. Kalau kamu tidak mau menyerahkan Arjuna tidak apa-apa. Mas tidak memaksa. Tapi kalau suatu saat Mas ingin mengajaknya bermalam di rumah, tolong kamu izinkan ya? Biar dia juga deket dengan Papa Surya."Mendengar nama Surya, entah mengapa ada rasa seperti termas-remas di dada Dewi. Dia ingat betul ketika pria paruh baya itu merenggut dengan paksa kehormatannya, melakukannya berkali-kali hingga akhirnya dia mengandung dan kehilangan masa depan. Selain itu, dia juga harus menjadi duri dalam daging di kehidupan rumah tangga Efita, merobohkan benteng yang telah dibangun dengan kokoh hingga hancur lebur serta rata dengan tanah.Tanpa terasa dua bulir air bening lolos begitu saja dari sudut netra perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu. Walaupun rasa benci terhadap Surya mendominasi di hati, akan tetapi dia begitu mencintai Arjuna. Apalagi Efita selalu memberinya wejangan, kalau anak adalah masa depan yang akan menjamin masa tua kita, j
#POV AuthorEfita sedang duduk di teras sambil mengawasi Arjuna, Syabil dan Faza bermain pasir di taman depan rumah. Dia segera menoleh ke arah pintu ketika mendengar seseorang mengucap salam. Seulas senyum tergambar di bibir Akmal, sambil menatap wajah Efita yang tertutup cadar. Ada rasa rindu yang kian menggebu di dalam kalbu, karena sampai saat ini dia belum benar-benar bisa melupakan sang mantan. Cinta yang ditancapkan Efita di dinding hatinya terlalu dalam dan tidak mudah terhapuskan.Semakin dia mencoba, maka rasa itu kian terasa serta menyiksa."Kamu apa kabar, Fit?" tanya Akmal setelah dia dipersilahkan masuk oleh mantan istrinya."Alhamdulillah aku sehat. Mas Akmal sendiri bagaimana kabarnya, tumben mampir ke rumah, setelah beberapa tahun tidak pernah keliatan batang hidungnya?" "Aku pengen ketemu Juna, Fit."Efita menanggapi dengan ber oh ria. Dia kemudian memanggil keponakan kesayangannya itu dan menyuruh pr
Setelah selesai memberikan keterangan kepada penyidik. Perawat serta polisi wanita yang mendampingi segera membawa Safina keluar dari ruangan tersebut karena harus segera kembali ke rumah sakit."Apa saya bisa bicara dengan Safina sebentar, Bu?" Ragu aku mengatakan hal itu, karena takut Safina kembali mengamuk jika aku mengajaknya berbicara."Silahkan, Pak." Kami pun berjalan menuju kursi panjang yang ada di teras kantor polisi, duduk di tempat tersebut dengan perasaan bersalah menyelimuti hati."Fin," panggilku pelan."Aku tahu apa yang ingin Mas Salim katakan sama aku," sahut Safina dengan suara parau. "Mas nggak usah khawatir. Aku tidak akan lagi mengganggu atau merepotkan Mas. Aku juga sudah ikhlas dengan pernikahan Mas dan Ning Azalia. Aku doakan, semoga kalian berdua hidup bahagia hingga maut yang memisahkan." Seulas senyum tercetak di bibir merah muda Safina walaupun aku lihat ada kabut di kedua sudut netranya.
"Kenapa liatin saya seperti itu?" tanya Fahri seraya menatap menghunus ke arahku.Aku mengangkat satu ujung bibir. Sepertinya Tejo dan Fahri begitu membenci diriku, padahal antara aku dan mereka berdua tidak pernah ada urusan apa-apa. Kenal saja baru-baru ini setelah aku menikah dengan Safina dan Azalia. Tapi, entah mengapa tatapan mereka terlihat penuh dengan kebencian kepadaku.Petugas menyuruh Fahri untuk duduk, menginterogasi dia menanyakan hubungan laki-laki tersebut dengan mantan istri, walaupun Fahri terus saja berbelit-belit memberikan keterangan, malah cenderung mengelak kalau dia tidak pernah melakukan pelecehan seksual terhadap SafinaHingga akhirnya seorang wanita berhijab ungu ditemani oleh seorang perawat juga dua orang polisi wanita datang, membuat Fahri serta Tejo tercengang. Gurat ketakutan tergambar jelas di wajah keduanya."Sa--Safina?" Bahkan Tejo sampai tergagap melihat kehadiran wanita yang sudah dia nodai tersebut.
"Insya Allah saya bersedia, Mas," jawab si wanita dengan intonasi sangat lembut serta gemetar, dan semua orang yang ada ramai gemuruh mengucap hamdalah."Alhamdulillah, berarti Bunda mau nambah mantu lagi!" seloroh Bunda Efita terdengar bahagia."Ini kenapa ujung-ujungnya jadi kaya lamaran begini?" Azalia ikut menimpali. "Cie...Bila, akhirnya bisa menikah dengan sang pujaan hati!" ledek istriku seraya memeluk adik sepupunya."Jangan ledekin aku terus dong, Mbak Lia. Aku 'kan jadi malu!" Nabila memonyongkan bibir manja. Dia persis seperti istriku ketika sedang merajuk. Semoga saja sifatnya juga sama seperti Azalia. Penyayang, bijaksana dan menghormati serta menyangi Bunda Efita tentunya."Kapan akan diadakan lamaran secara resmi, Gus. Biar saya siapkan segala keperluannya?" Bunda Efita terlihat begitu bersemangat."Tidak usah ada acara lamaran lagi, Mbak Fita. Sebaiknya langsung dinikahkan saja. Toh, mereka sudah sama-sama d
#Part menuju ending"Astaghfirullahaladzim!" teriak kami ketika tubuh Bu Veronika ambruk ke lantai.Kepanikan mulai terlihat di wajah Dokter Fatih ketika melihat sang ibu tidak sadarkan diri. Kedua mata laki-laki itu sudah dipenuhi kabut dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening mulai meluncur dari balik kelopaknya meninggalkan jejak lurus di pipi."Ibu, bangun, Bu. Ya Allah. Kenapa Ibu malah pingsan seperti ini, Bu?" Dia menepuk-nepuk pelan pipi ibunya."Angkat ibu kamu, Mas. Bawa dia ke kamar tamu atau direbahkan di sofa!" perintah bunda Efita dan segera dikerjakan oleh dokter berkacamata tebal tersebut.Azalia yang sejak tadi berdiri di ambang pintu berinisiatif mengambil minyak kayu putih lalu menggosokkannya ke pelipis serta dekat hidungnya.Tidak lama kemudian mata Bu Veronika terbuka. Dia memalingkan wajah ketika melihat sang anak yang sedang duduk di sebelahnya sambil menggenggam erat jari keriputnya. "
"Assalamualaikum!" Kami yang sedang duduk santai di teras menoleh secara serempak ketika mendengar suara Bu Veronika mengucap salam."Waalaikumussalam!" Ummi segera beranjak dari duduknya, berjalan menuju pintu garasi dan mempersilahkan ibunya Dokter Fatih untuk masuk.Kali ini Bu Veronika datang tidak hanya sendiri, tapi bersama anaknya yang meresahkan itu. Sepertinya dia menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Berpura-pura ingin mengenal lebih jauh keluarga besarku, padahal sebenarnya ingin melihat istriku yang memang begitu cantik memesona dan siapa pun yang melihatnya pasti akan jatuh cinta.Dari balik kacamata tebalnya, terlihat sekali kedua bola mata Dokter Fatih membulat tanpa berkedip menatap ke dalam rumah. Aku menoleh berniat menyuruh Azalia masuk, tapi mataku dibuat memicing olehnya sebab yang sedang dia pandangi malah bukan istri, melainkan Bunda Efita. Sepertinya dokter genit tersebut terpesona dengan kecantikan wajah bunda yang tertutup niqo