Malam semakin larut, akan tetapi Mas Kenzo belum juga kembali. Aku sangat mengkhawatirkan kesehatan suamiku karena sekarang dia sering pergi pulang pagi.
Kusambar gawai yang tergeletak di atas nakas, menghubungi nomor ponselnya, berharap dia cepat pulang menemaniku di rumah sakit.'Kamu ke mana sih, Mas. Kok nomor kamu tidak aktif!' gumamku dalam hati.[Mas, kamu ke mana? Kapan pulangnya] send, suamiku.Aku menoleh ke arah Salim yang sudah terlelap di atas Sofa. Kenapa justru dia lagi yang harus menemaniku. Aku jadi kasihan sama anak tiriku itu, apalagi setelah mendengar cerita cintanya yang berakhir tragis.'Sama mantan pacarnya disuruh-suruh terus, sama ayahnya juga disuruh nemenin ibu tirinya terus,' bhatinku.Mencoba turun dari tempat tidur, namun kapala ini masih terasa berat dan keliyengan. Aku juga tidak mungkin membangunkan Salim untuk mengantarku pergi ke kamar mandi."Ya Allah, Mas. Kamu kok teg"Ayo Bun, kita masuk," ajak Salman sambil menggandeng tanganku."Iya, Sayang. Habis ini ambil Quina di rumah nenek ya, Man. Sama sekalian beliin Bunda bubur kacang hijau di depan." "Iya, Bun. Sekarang Bunda mau ke kamar apa mau duduk di sofa?" "Di sofa saja dulu, Man. Bunda bosen di kamar terus."Salman membimbingku duduk di sofa lalu pria bertubuh kurus itu langsung pamit untuk mengambil Saquina di rumah neneknya.Beberapa menit kemudian, Salman kembali bersama Mbak Kenza membawa bubur untukku. Anak kedua suamiku itu langsung ke dapur untuk mengambil mangkuk, lalu menuang bubur kacang hijau itu ke mangkuk yang ia bawa."Makan dulu. Bun. Mumpung masih hangat. Tapi aku bagi sedikit ya. Aku kepengen. Tadi mau beli sudah habis!" Dia menyeringai sambil menggaruk kepala. Persis seperti abangnya kalau lagi salah tingkah."Ya sudah kita makan berdua saja, Man. Bi Kenza mau?" Aku menoleh ke arah Mbak Kenza yang s
"Salim, Salman, buruan bawa Ayah kalian!" titahku sambil menyusut air mata. 'Ya Allah, Mas. Tolong bangun . Jangan tinggalkan aku dan calon anak kita, Mas.' Salim dan Salman segera menggotong Mas Kenzo masuk ke dalam mobil, meletakkan kepala sang ayah di pangkuanku, lalu lekas membawa Mas Kenzo ke rumah sakit. "Mas, buka mata. Kamu jangan buat aku takut, Mas!" Menepuk-nepuk pelan pipi Mas Kenzo, yang sudah terlihat pucat pasi. "Buruan, Salim. Kamu nyetir kok kaya keong!" teriakku tidak sabar. "Sudah cepet ini, Bun. Bunda yang sabar. Insya Allah ayah baik-baik saja!" jawab Salim sambil terus fokus mengemudi. Sedang Salman, dia sedang sibuk menghubungi dokter yang biasa menangani ayahnya, memberi tahu kalau gula darah Mas Kenzo naik hingga hampir 600 mg/dl, biasanya tidak sampai 300. "Alhamdulillah dokter Darwinnya ada, Bun. Beliau juga lagi otewe ke rumah sakit!" ucap putra kedua suamiku sambil meletakkan ponselnya. Aku terus mendekap tubuh Mas Kenzo, membisikkan doa yang aku bi
“Kamu sendiri ngapain berada di sini, siapa yang sakit?” “Suamiku, Mas!” “Memangnya dia sakit apa?” “Gula!” “Innalilahi!” ujar Mas Akmal. Aku menoleh ke arah mantan suamiku yang ternyata sedang menatap ke arahku, hingga tanpa sengaja pandangan kami saling berserobok. Namun, entahlah. Aku merasa getaran itu sudah tidak ada. Cinta di sanubari mulai sirna. Mungkin karena aku sudah merasa nyaman dengan Mas Kenzo, sehingga perlahan-lahan rasa itu mulai pergi dan tak lagi bertakhta di hati. “Fit, apa kamu tidak kasihan sama Dewi. Dia lagi hamil dan sekarang suaminya berada di dalam bui.” Aku menghela nafas berat mendengar ucapan Mas Akmal yang menyinggung masalah Papa Surya. Pasti dia akan memintaku mencabut laporan dan membebaskan Mantan mertua yang sekarang sudah menjadi adik iparku. “Papa salah dan orang salah harus dihukum!” Jawabku menegaskan. “Tapi, biar bagaimanapun Papa itu tetap orang tua kamu loh, Fit. Papa juga sekarang sudah menjadi adik ipar kamu. Kamu tahu, Dewi frust
Ekor mataku melirik ke arah Dewi yang sedang duduk di atas kursi roda. Benar-benar sifatnya sudah berubah 180. Bukannya simpatik sama sang kakak, dia justru malah menertawakan keadaanku. Padahal, dia sendiri sedang tidak berdaya.“Aku juga nggak yakin kalau anak dalam perut Kak Fita itu anak suaminya. Jangan-jangan dia anak si Salim. Secara diakan diam-diam suka sama ibu tirinya!” Aku mengepalkan tangan menahan emosi. Andai saja Dewi sedang tidak sakit, sudah aku tabok mulut nyinyir bocah itu.“Jaga mulut kamu, Dewi. Kakak itu tidak semurahan kamu, yang bisa ditiduri oleh siapa saja. Bahkan sampai hamil diluar nikah!!” bengisku. Dewi beranjak dari kursi rodanya kemudian mengangkat tangannya ke udara, hendak menamparku. Beruntung Salim langsung menangkis tangan Dewi dan mencengkeram erat tangan adikku.“Jangan sentuh Kak Fita, atau tangan kamu saya patahkan!” hardik Salim dengan wajah memerah padam.“Ada pahlawan kesiangan. Iya
“Ini, dimakan mumpung masih panas. Kalau sudah dingin ndak enak lagi. Kejunya aku pesenin yang super spesial buat kamu!” Dia duduk di kursi teras, membuka kotak berisi singkong keju itu dan menyodorkannya kepadaku.Aku menelan saliva mencium aroma keju yang menguar di udara. Ingin menolak makanan itu, tapi aku benar-benar menginginkannya. Kalau tidak menolak, takut Mas Akmal salah sangka dan dikira aku masih berharap dia kembali.Ragu-ragu aku mengambil sepotong singkong yang bertabur keju. Memasukkannya ke dalam mulut dan maa syaa Allah, rasanya nikmat sekali hingga tanpa sadar aku hampir menghabiskan satu porsi.Binar bahagia terpancar jelas di wajah Mas Akmal. Dia terus saja mengulas senyum menatapku yang sedang menikmati makanan pemberiannya.“Aku sudah lama merindukan momentum seperti ini, Fit. Dimana kamu sedang hamil, ngidam ini itu dan aku pergi mencarikannya!” ucap Mas Akmal sambil terus menatap wajahku.Aku menjilati jemariku dan langsung menghent
Salim masih saja berdiri mematung sambil memegangi pipinya. Wajahnya memerah padam dan mata pria itu terlihat berkabut. Aku melenggang masuk kemudian menutup rapat pintu kamarku. Menumpahkan air mata, menikmati luka yang terasa mengiris-iris sanubari.‘Ah, Mas. Tolong cepat buka mata kamu. Tolong bawa aku pergi menjauh dari orang-orang yang membenciku. Aku tidak sanggup kalau hidup terus-terusan seperti ini, Mas!’ Ratapku dalam hati.Lamat-lamat terdengar suara azan magrib berkumandang. Gegas aku mengambil wudu, menggelar sajadah, bertafakur diri memohon ampun atas segala salah serta khilaf yang selama ini aku lakukan. Juga meminta supaya Allah lekas mengangkat penyakit yang sedang diderita oleh suamiku.Selesai melaksanakan ibadah wajib tersebut, aku langsung mengajak Saquina pulang ke rumah Ibu dan pamit kepada wanita berusia enam puluh tiga tahun itu untuk menemani Mas Kenzo di rumah sakit. Ibu sempat melarang, tapi aku tetap memaksa u
Tidak lama kemudian Salim kembali membawa sebungkus nasi goreng. Dia lalu duduk bersila di depanku, membuka bungkusan nasi tersebut dan mengangsurkannya kepadaku.“Ayo dimakan, Bunda. Biar dedeknya cepet besar, cepet lahir. Duh, pasti dia lucu dan tampan seperti saya. Saya sudah tidak sabar menimang-nimang dedek, mengazaninya dan kita hidup bahagia.” Oceh Salim seperti orang sedang ngelindur.Aku lekas menyendok makanan itu dan menyuapnya ke dalam mulut.“Jangan liatin saya terus, Salim. Saya makan jadi nggak nafsu kalau dilihatin seperti itu!” Protesku, karena putra Mas Kenzo terus saja memperhatikanku.“Oh, iya. Sorry. Silakan dimakan. Saya nggak bakalan liatin lagi!” Jawabnya sambil membuang muka. Namun, ekor matanya terus melirik ke arahku.“Kamu mau?” Aku menyodorkan sesendok nasi ke mulutnya.Salim menoleh dan membuka mulut.“Enak, Bun!”“Ya sudah, kita makan berdua. Lagian kamu bukannya be
Tanpa terasa buliran-buliran kristal mulai meluncur dari ujung netraku.‘Ya Allah, Mas. Aku siang dan malam menamani kamu, bahkan rela menahan rasa lemas serta mual hanya karena ingin selalu bersama kamu, tapi, kenapa justru almarhumah istri pertamamu yang kamu cari. Apa kamu tidak tahu betapa hancurnya perasaanku ketika kamu menyebut nama dia, Mas?’“Mana Naumi, Dek. Mas kangen!” ujarnya lagi.Aku melepas genggamanku dan beranjak keluar dari kamar Mas Kenzo. Rasanya jantung ini seperti sedang diremas-remas. Sakit tak terkira, perih menusuk sukma.“Astaghfirullahaladzim! Astaghfirullahaladzim!” Aku mencengkeram ujung hijabku sambil menahan nyeri di dada.“Bun!” Salim memegang bahuku.Aku menoleh sembari menghapus air mata.“Sabar. Tolong jangan menangis. Hati aku ikut tercabik kalau melihat Bunda menangis!” ucapnya lagi sambil menatap sendu netraku.“Kenapa kamu tinggalkan Ayah sendirian, Lim?”
Pukul tujuh malam, selepas melaksanakan shalat isya, Ridwan kembali datang dan meminta Dewi untuk menjadi pendamping hidupnya. Kali ini dia meminta wanita tersebut kepada sang kakak, dan Efita tetap saja menyerahkan semuanya kepada Dewi. "Sudah aku bilang kan, Mas. Aku ini bukan wanita sempurna. Kamu akan menyesal jika menikah denganku nanti. Apa kamu tidak berpikir sampai kesitu, Mas?" Dewi membuang muka menghindari tatapan Ridwan yang begitu menghanyutkan."Saya akan menerima segala kekurangan serta kelebihan kamu, Wi. Lillahi taala. Menikah itu ibadah. Kebahagiaan sepasang suami istri itu bukan hanya karena adanya anak. Tapi dengan saling percaya serta melengkapi, kita akan merasa hidup bahagia selamanya. Apalagi sudah ada Arjuna. Dia juga butuh figur seorang ayah, Wi. Kamu jangan egois!" desak Ridwan memberi keyakinan kepada wanita yang dia kagumi."Justru karena aku tidak mau dianggap egois, makanya menolak kamu, Mas." "Wi, tolong pertimban
Keluarga besar Efita sudah bersiap-siap pergi ke kota Tegal untuk melangsungkan pernikahan Salman dengan putri sulung Gus Fauzan. Pernikahan yang rencananya akan diselenggarakan awal tahun, akan tetapi harus ditunda beberapa bulan karena Salman belum bisa mengambil cuti dan Nabila mendapat tugas dari kampusnya untuk melakukan kuliah kerja nyata di luar kota. Hal itulah yang membuat acara harus ditunda sementara, dan hari ini, dua insan manusia yang saling mencintai itu akan mengucap janji suci di depan Allah, menjadikan hubungan mereka menjadi halal serta diridhai Tuhan."Santai saja, nggak usah gemetar!" bisik Salim kepada sang adik ketika mereka sudah berada di masjid pesantren menunggu ijab qobul dimulai.Salman menerbitkan senyuman. Rasa grogi terlihat jelas di wajah pria berusia sudah genap dua puluh empat tahun itu, apalagi ketika pembawa acara memulai susunan acara.Keringat dingin terus saja membanjiri tubuhnya walaupun ruangan tempat dia akan meng
"Maaf, Wi. Kamu yang tenang. Kalau kamu tidak mau menyerahkan Arjuna tidak apa-apa. Mas tidak memaksa. Tapi kalau suatu saat Mas ingin mengajaknya bermalam di rumah, tolong kamu izinkan ya? Biar dia juga deket dengan Papa Surya."Mendengar nama Surya, entah mengapa ada rasa seperti termas-remas di dada Dewi. Dia ingat betul ketika pria paruh baya itu merenggut dengan paksa kehormatannya, melakukannya berkali-kali hingga akhirnya dia mengandung dan kehilangan masa depan. Selain itu, dia juga harus menjadi duri dalam daging di kehidupan rumah tangga Efita, merobohkan benteng yang telah dibangun dengan kokoh hingga hancur lebur serta rata dengan tanah.Tanpa terasa dua bulir air bening lolos begitu saja dari sudut netra perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu. Walaupun rasa benci terhadap Surya mendominasi di hati, akan tetapi dia begitu mencintai Arjuna. Apalagi Efita selalu memberinya wejangan, kalau anak adalah masa depan yang akan menjamin masa tua kita, j
#POV AuthorEfita sedang duduk di teras sambil mengawasi Arjuna, Syabil dan Faza bermain pasir di taman depan rumah. Dia segera menoleh ke arah pintu ketika mendengar seseorang mengucap salam. Seulas senyum tergambar di bibir Akmal, sambil menatap wajah Efita yang tertutup cadar. Ada rasa rindu yang kian menggebu di dalam kalbu, karena sampai saat ini dia belum benar-benar bisa melupakan sang mantan. Cinta yang ditancapkan Efita di dinding hatinya terlalu dalam dan tidak mudah terhapuskan.Semakin dia mencoba, maka rasa itu kian terasa serta menyiksa."Kamu apa kabar, Fit?" tanya Akmal setelah dia dipersilahkan masuk oleh mantan istrinya."Alhamdulillah aku sehat. Mas Akmal sendiri bagaimana kabarnya, tumben mampir ke rumah, setelah beberapa tahun tidak pernah keliatan batang hidungnya?" "Aku pengen ketemu Juna, Fit."Efita menanggapi dengan ber oh ria. Dia kemudian memanggil keponakan kesayangannya itu dan menyuruh pr
Setelah selesai memberikan keterangan kepada penyidik. Perawat serta polisi wanita yang mendampingi segera membawa Safina keluar dari ruangan tersebut karena harus segera kembali ke rumah sakit."Apa saya bisa bicara dengan Safina sebentar, Bu?" Ragu aku mengatakan hal itu, karena takut Safina kembali mengamuk jika aku mengajaknya berbicara."Silahkan, Pak." Kami pun berjalan menuju kursi panjang yang ada di teras kantor polisi, duduk di tempat tersebut dengan perasaan bersalah menyelimuti hati."Fin," panggilku pelan."Aku tahu apa yang ingin Mas Salim katakan sama aku," sahut Safina dengan suara parau. "Mas nggak usah khawatir. Aku tidak akan lagi mengganggu atau merepotkan Mas. Aku juga sudah ikhlas dengan pernikahan Mas dan Ning Azalia. Aku doakan, semoga kalian berdua hidup bahagia hingga maut yang memisahkan." Seulas senyum tercetak di bibir merah muda Safina walaupun aku lihat ada kabut di kedua sudut netranya.
"Kenapa liatin saya seperti itu?" tanya Fahri seraya menatap menghunus ke arahku.Aku mengangkat satu ujung bibir. Sepertinya Tejo dan Fahri begitu membenci diriku, padahal antara aku dan mereka berdua tidak pernah ada urusan apa-apa. Kenal saja baru-baru ini setelah aku menikah dengan Safina dan Azalia. Tapi, entah mengapa tatapan mereka terlihat penuh dengan kebencian kepadaku.Petugas menyuruh Fahri untuk duduk, menginterogasi dia menanyakan hubungan laki-laki tersebut dengan mantan istri, walaupun Fahri terus saja berbelit-belit memberikan keterangan, malah cenderung mengelak kalau dia tidak pernah melakukan pelecehan seksual terhadap SafinaHingga akhirnya seorang wanita berhijab ungu ditemani oleh seorang perawat juga dua orang polisi wanita datang, membuat Fahri serta Tejo tercengang. Gurat ketakutan tergambar jelas di wajah keduanya."Sa--Safina?" Bahkan Tejo sampai tergagap melihat kehadiran wanita yang sudah dia nodai tersebut.
"Insya Allah saya bersedia, Mas," jawab si wanita dengan intonasi sangat lembut serta gemetar, dan semua orang yang ada ramai gemuruh mengucap hamdalah."Alhamdulillah, berarti Bunda mau nambah mantu lagi!" seloroh Bunda Efita terdengar bahagia."Ini kenapa ujung-ujungnya jadi kaya lamaran begini?" Azalia ikut menimpali. "Cie...Bila, akhirnya bisa menikah dengan sang pujaan hati!" ledek istriku seraya memeluk adik sepupunya."Jangan ledekin aku terus dong, Mbak Lia. Aku 'kan jadi malu!" Nabila memonyongkan bibir manja. Dia persis seperti istriku ketika sedang merajuk. Semoga saja sifatnya juga sama seperti Azalia. Penyayang, bijaksana dan menghormati serta menyangi Bunda Efita tentunya."Kapan akan diadakan lamaran secara resmi, Gus. Biar saya siapkan segala keperluannya?" Bunda Efita terlihat begitu bersemangat."Tidak usah ada acara lamaran lagi, Mbak Fita. Sebaiknya langsung dinikahkan saja. Toh, mereka sudah sama-sama d
#Part menuju ending"Astaghfirullahaladzim!" teriak kami ketika tubuh Bu Veronika ambruk ke lantai.Kepanikan mulai terlihat di wajah Dokter Fatih ketika melihat sang ibu tidak sadarkan diri. Kedua mata laki-laki itu sudah dipenuhi kabut dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening mulai meluncur dari balik kelopaknya meninggalkan jejak lurus di pipi."Ibu, bangun, Bu. Ya Allah. Kenapa Ibu malah pingsan seperti ini, Bu?" Dia menepuk-nepuk pelan pipi ibunya."Angkat ibu kamu, Mas. Bawa dia ke kamar tamu atau direbahkan di sofa!" perintah bunda Efita dan segera dikerjakan oleh dokter berkacamata tebal tersebut.Azalia yang sejak tadi berdiri di ambang pintu berinisiatif mengambil minyak kayu putih lalu menggosokkannya ke pelipis serta dekat hidungnya.Tidak lama kemudian mata Bu Veronika terbuka. Dia memalingkan wajah ketika melihat sang anak yang sedang duduk di sebelahnya sambil menggenggam erat jari keriputnya. "
"Assalamualaikum!" Kami yang sedang duduk santai di teras menoleh secara serempak ketika mendengar suara Bu Veronika mengucap salam."Waalaikumussalam!" Ummi segera beranjak dari duduknya, berjalan menuju pintu garasi dan mempersilahkan ibunya Dokter Fatih untuk masuk.Kali ini Bu Veronika datang tidak hanya sendiri, tapi bersama anaknya yang meresahkan itu. Sepertinya dia menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Berpura-pura ingin mengenal lebih jauh keluarga besarku, padahal sebenarnya ingin melihat istriku yang memang begitu cantik memesona dan siapa pun yang melihatnya pasti akan jatuh cinta.Dari balik kacamata tebalnya, terlihat sekali kedua bola mata Dokter Fatih membulat tanpa berkedip menatap ke dalam rumah. Aku menoleh berniat menyuruh Azalia masuk, tapi mataku dibuat memicing olehnya sebab yang sedang dia pandangi malah bukan istri, melainkan Bunda Efita. Sepertinya dokter genit tersebut terpesona dengan kecantikan wajah bunda yang tertutup niqo