Aku segera mengenakan hijab, mencari Anita di luar dan ternyata dia sudah tidak ada.
“Nyari siapa, Bu?” tanya salah seorang yang berjaga di depan rumah.“Tadi temen saya sudah keluar ya, Pak?” Aku balik bertanya.“Iya, Bu. Barusan naik ojek!”“Ya sudah, terima kasih.” Aku bergegas masuk dan mengambil gawaiku, karena Anita juga tahu pin kartu ATM-ku.Semoga saja dia belum menggunakan ATM itu. Dadaku berdegup kencang ketika melihat notifikasi dari mobile bankingku dan ternyata Anita sudah menarik tunai uangku sebanyak empat kali. Dia berhasil menggondol sepuluh juta saldoku.Buru-buru menghubungi call center bank dan memblokir anjungan tunai mandiriku, lalu segera melapor ke kantor polisi. Aku ingin memberi Anita pelajaran. Kalau tidak, dia akan selalu berbuat seenaknya kepadaku.[Siap-siap saja kamu dijemput polisi, Nit.] Send, Anita.Centang satu. Sepertinya dia sudah memblokir nomor whatsappkuAku duduk di teras sambil menyuapi Saquina yang sedang susah sekali makan. Sebuah mobil berwarna silver berhenti di depan pagar, dan beberapa orang turun dari dalam kendaraan tersebut.Senyumku terkembang lebar ketika melihat Mas Kenzo turun dan membalas senyumanku. Sebuah lengkungan indah yang selalu membuatku rindu, juga sulit memejamkan mata bila sedang berada jauh darinya.“Bagaimana kabar kamu, Sayang. Kamu baik-baik saja kan?” Mas Kenzo langsung menciumku kemudian memeluk erat tubuh ini.“Alhamdulillah, Mas. Aku baik-baik saja. Ada Allah dan orang-orangnya Wira yang menjagaku,” sahutku sembari menyenderkan kepala di dada bidang suamiku.“Mas khawatir banget pas denger kabar kalau Adek kemalingan. Makanya Mas langsung pulang sama temen-temennya Wira.” Ia mengusap lembut kepalaku.“Aku nggak apa-apa kok, Mas.”Mas Kenzo mengurai pelukannya dan menggendong Saquina putrinya, mengajak kami masuk ke dalam rumah.
“Kamu lagi drama apa ngapain sih, Salim? Kamu rindu sama saya?” Mataku tidak lepas dari wajah Salim yang ternyata mirip sekali dengan Wira. Pantas saja hanya perawakannya saja yang mirip dengan Mas Kenzo, ternyata dia bukan anak kandungnya.“Ma–maaf, Bun. Aku Cuma khawatir kalau calon adik aku kenapa-kenapa. Aku juga kangen sama dedek bayi dalam perut!” sahut Salim dengan mimik wajah aneh. Bocah berusia dua puluh satu tahun itu kemudian melenggang pergi meninggalkanku, dan masuk ke dalam kamarnya lalu menutup rapat pintu kamar tersebut.Baru saja aku meletakkan sayuran matang di atas meja makan, Salim menghampiriku sambil membawa buku bersampul hijau yang kemarin sempat hampir aku baca.“Ada apa, Salim?” tanyaku pelan.Duh, apa dia tahu kalau aku sempat membaca halaman pertamanya. Apa aku meninggalkan sidik jariku di sana. Bisa ketahuan lancang diri ini kalau Salim sampai tahu aku membuka buku diary-nya.“Si–siapa yang merapikan
Salman dan Saquina datang dan langsung bergabung bersama kami.“Emmmm, harum banget wangi masakannya Bunda. Nggak sampai dua hari di Tegal, aku jadi kangen banget sama masakan Bunda Fita yang paling enak di seantero jagat raya,” puji Salman berlebihan.“Kamu ini bisa saja, Kak. Berarti Kak Salman nggak makan dong di sana, kalau masakannya nggak enak!” selorohku.“Ya tetep makan, Bun. Kan aku gampang laper!” Dia menyeringai.“Dasar perut karung!” Salim menjitak kepala adiknya.“Dari pada kakak, makannya seiprit. Ngelamunnya yang dibanyakin!” timpal Salman sembari menjulurkan lidahnya.Aku tersenyum melihat kelakuan anak-anak Mas Kenzo. Ternyata bahagia banget ya rasanya, menikah dengan duda beranak tiga, dan anaknya sudah besar-besar lagi. Banyak sekali bonus yang aku dapat dari pernikahanku dengan dia. Punya suami baik, shaleh, anak-anak yang penurut juga shaleh-shalehah.“Noh, Bunda ngeliatin kita. Dalam h
“Mas ...!” teriakku seraya duduk di atas kloset.Mas Kenzo berlari tergopoh menghampiri dengan mimik yang terlihat begitu panik.“Ada apa, Sayang?” tanyanya khawatir.“Da–darah, Mas. Aku keluar darah!” Tangisku pecah, membuat Mas Kenzo bertambah cemas.Dia langsung membopongku lalu merebahkan pelan-pelan tubuh ini di atas kasur.“Salim, Salman!” teriak suamiku memanggil kedua putranya, dan dua anak muda itu berlari menghampiri kami.“Panggil Nenek, sekarang!” perintah Mas Kenzo.Mereka segera berlari keluar dan tidak lama kemudian ibu datang menghampiriku.“Efita kenapa, Zo?” tanya Ibu seraya duduk di sebelahku.“Dek Fita keluar flek, Bu,” jawab suami dengan nada cemas.“Oh, nggak apa-apa. Itu tandanya Efita sudah mau melahirkan.” Ibu menimpali dengan santai.“Tapi, Bu. Dulu Naumi tidak pernah ngeflek seperti ini pas mau lahiran.”“Nggak semua orang ma
“Kamu bicara apa sih, Dek? Ya Allah, Dek. Aku nggak mau kehilangan kamu. Aku cukup kehilangan Na ....” Mas Kenzo menggantung kalimat. Kini air mata laki-laki itu pelan-pelan mulai luruh membentuk garis lurus di pipi.Aku menyentuh pipi pria berusia empat puluh satu tahun itu dan mengusap lembut jejak air mata yang membuatku merasa bersalah karena telah membuat dia menangis.Huek!Aku membekap mulut yang tiba-tiba terasa mual. Mas Kenzo lekas mengambil teh hangat yang ada di meja dan segera mengangsurkannya kepadaku.“Mas, kepala aku pusing!” Aku mengerjap-ngerjap merasakan ada seribu bintang berkelap-kelip di mataku.“Mas panggil suster ya.” Mas Kenzo beranjak dari duduknya lalu keluar dari kamar, dan tidak lama kemudian dia kembali bersama dokter yang hendak menanganiku.“Ada keluhan apa, Bu?” tanya dokter dengan intonasi sangat lembut.“Kepala saya pusing, Dok. Saya juga merasa mual!” jawabku
“Aw!” pekikku ketika putraku mulai menghisap puting dengan kuat.Suster tersenyum dan lekas membantu memosisikan bayiku dengan benar. “Ketika menyusu, usahakan kepala bayi lebih tinggi daripada tubuhnya ya, Bu. Usahakan supaya bagian areola atau bagian puting yang berwarna gelap terisap semua, supaya ketika dedek menyusu Ibunya tidak merasakan sakit,” terang suster panjang lebar, dan kudengarkan dengan seksama, sebab aku masih awam dengan hal tersebut.Aku menuruti semua nasihat perawat dan ternyata benar. Ketika bayiku menyusu rasanya tidak sesakit saat pertama kali. Aku mulai bisa menikmati momentum itu tanpa harus menahan sakit yang luar biasa.Setelah bayiku selesai disusui, suster menggendong jagoan kecilku di dada, dengan posisi dagunya menempel di bahunya kemudian menepuk-nepuk pelan punggung malaikat kecil itu hingga terdengar bunyi sendawa.“Maa syaa Allah, anak Ayah sudah kenyang ya?” tanya Mas Kenzo seraya mengambil
Dengan pelan serta hati-hati kuetakkan Syabil di atas kasur, membuka buku itu, membaca selembar demi selembar halaman yang isinya curahan hati Salim.Ya Allah, ternyata benar. Selama ini wanita yang Salim maksud adalah diriku. Bahkan dia mengagumiku jauh sebelum aku mengenal Ayahnya. Aku masih ingat, dulu ketika ikut kajian di Masjid Istiqlal bersama Mas Akmal, aku berpapasan dengan lelaki muda mirip dengan Salim. Tapi aku benar-benar tidak tahu kalau dia memang benar putra Mas Kenzo dan dia diam-diam mengagumiku.Kenapa selama ini aku tidak peka dengan semua perlakuan serta perhatian Salim? Pantas saja dia selalu ada waktu untuk aku, mau mengantarku ke mana saja tanpa memedulikan lelah serta kantuknya. Ternyata dia menaruh hati kepadaku. Mencintaiku dalam diam juga menahan nyeri di setiap helaan nafasnya ketika dia melihat kebersamaanku dengan Mas Kenzo.Aku menutup buku itu kembali, tidak sanggup menggali lebih dalam isi hati putra adik iparku. Hat
"Maaf, Salim. Bunda nggak sengaja!" Aku sengaja menyebut diriku bunda, supaya dia sadar kalau aku adalah ibu dari ayah angkatnya."Nggak apa-apa, Bun. Apa Bunda lagi ada masalah sama Ayah?" Netra hitamnya tidak lepas dari wajahku."Nggak, Salim. Bunda cuma lagi capek saja. Soalnya kan Bunda baru melahirkan, ditambah lagi ada acara besar di rumah Ibu." Melenggang masuk dan gegas mengunci pintu kamar sambil menunggu Mas Kenzo pulang.***Aku membuka mata, menggerakkan tangan ke sisi kiriku yang ternyata masih kosong. Mungkin Mas Kenzo masih berada di rumah Ibu, menemani para tamunya yang datang jauh-jauh dari kota Manado.Aku melihat jam di layar gawaiku, masih jam sebelas malam. Rasanya aku seperti sudah tidur selama berjam-jam, tapi ternyata aku baru memejamkan mata selama empat puluh lima menit.Gegas aku turun dari tempat tidur, menutup tubuh mungil Syabil dengan selimut bayi lalu keluar dari kamar karena tenggoroka
Pukul tujuh malam, selepas melaksanakan shalat isya, Ridwan kembali datang dan meminta Dewi untuk menjadi pendamping hidupnya. Kali ini dia meminta wanita tersebut kepada sang kakak, dan Efita tetap saja menyerahkan semuanya kepada Dewi. "Sudah aku bilang kan, Mas. Aku ini bukan wanita sempurna. Kamu akan menyesal jika menikah denganku nanti. Apa kamu tidak berpikir sampai kesitu, Mas?" Dewi membuang muka menghindari tatapan Ridwan yang begitu menghanyutkan."Saya akan menerima segala kekurangan serta kelebihan kamu, Wi. Lillahi taala. Menikah itu ibadah. Kebahagiaan sepasang suami istri itu bukan hanya karena adanya anak. Tapi dengan saling percaya serta melengkapi, kita akan merasa hidup bahagia selamanya. Apalagi sudah ada Arjuna. Dia juga butuh figur seorang ayah, Wi. Kamu jangan egois!" desak Ridwan memberi keyakinan kepada wanita yang dia kagumi."Justru karena aku tidak mau dianggap egois, makanya menolak kamu, Mas." "Wi, tolong pertimban
Keluarga besar Efita sudah bersiap-siap pergi ke kota Tegal untuk melangsungkan pernikahan Salman dengan putri sulung Gus Fauzan. Pernikahan yang rencananya akan diselenggarakan awal tahun, akan tetapi harus ditunda beberapa bulan karena Salman belum bisa mengambil cuti dan Nabila mendapat tugas dari kampusnya untuk melakukan kuliah kerja nyata di luar kota. Hal itulah yang membuat acara harus ditunda sementara, dan hari ini, dua insan manusia yang saling mencintai itu akan mengucap janji suci di depan Allah, menjadikan hubungan mereka menjadi halal serta diridhai Tuhan."Santai saja, nggak usah gemetar!" bisik Salim kepada sang adik ketika mereka sudah berada di masjid pesantren menunggu ijab qobul dimulai.Salman menerbitkan senyuman. Rasa grogi terlihat jelas di wajah pria berusia sudah genap dua puluh empat tahun itu, apalagi ketika pembawa acara memulai susunan acara.Keringat dingin terus saja membanjiri tubuhnya walaupun ruangan tempat dia akan meng
"Maaf, Wi. Kamu yang tenang. Kalau kamu tidak mau menyerahkan Arjuna tidak apa-apa. Mas tidak memaksa. Tapi kalau suatu saat Mas ingin mengajaknya bermalam di rumah, tolong kamu izinkan ya? Biar dia juga deket dengan Papa Surya."Mendengar nama Surya, entah mengapa ada rasa seperti termas-remas di dada Dewi. Dia ingat betul ketika pria paruh baya itu merenggut dengan paksa kehormatannya, melakukannya berkali-kali hingga akhirnya dia mengandung dan kehilangan masa depan. Selain itu, dia juga harus menjadi duri dalam daging di kehidupan rumah tangga Efita, merobohkan benteng yang telah dibangun dengan kokoh hingga hancur lebur serta rata dengan tanah.Tanpa terasa dua bulir air bening lolos begitu saja dari sudut netra perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu. Walaupun rasa benci terhadap Surya mendominasi di hati, akan tetapi dia begitu mencintai Arjuna. Apalagi Efita selalu memberinya wejangan, kalau anak adalah masa depan yang akan menjamin masa tua kita, j
#POV AuthorEfita sedang duduk di teras sambil mengawasi Arjuna, Syabil dan Faza bermain pasir di taman depan rumah. Dia segera menoleh ke arah pintu ketika mendengar seseorang mengucap salam. Seulas senyum tergambar di bibir Akmal, sambil menatap wajah Efita yang tertutup cadar. Ada rasa rindu yang kian menggebu di dalam kalbu, karena sampai saat ini dia belum benar-benar bisa melupakan sang mantan. Cinta yang ditancapkan Efita di dinding hatinya terlalu dalam dan tidak mudah terhapuskan.Semakin dia mencoba, maka rasa itu kian terasa serta menyiksa."Kamu apa kabar, Fit?" tanya Akmal setelah dia dipersilahkan masuk oleh mantan istrinya."Alhamdulillah aku sehat. Mas Akmal sendiri bagaimana kabarnya, tumben mampir ke rumah, setelah beberapa tahun tidak pernah keliatan batang hidungnya?" "Aku pengen ketemu Juna, Fit."Efita menanggapi dengan ber oh ria. Dia kemudian memanggil keponakan kesayangannya itu dan menyuruh pr
Setelah selesai memberikan keterangan kepada penyidik. Perawat serta polisi wanita yang mendampingi segera membawa Safina keluar dari ruangan tersebut karena harus segera kembali ke rumah sakit."Apa saya bisa bicara dengan Safina sebentar, Bu?" Ragu aku mengatakan hal itu, karena takut Safina kembali mengamuk jika aku mengajaknya berbicara."Silahkan, Pak." Kami pun berjalan menuju kursi panjang yang ada di teras kantor polisi, duduk di tempat tersebut dengan perasaan bersalah menyelimuti hati."Fin," panggilku pelan."Aku tahu apa yang ingin Mas Salim katakan sama aku," sahut Safina dengan suara parau. "Mas nggak usah khawatir. Aku tidak akan lagi mengganggu atau merepotkan Mas. Aku juga sudah ikhlas dengan pernikahan Mas dan Ning Azalia. Aku doakan, semoga kalian berdua hidup bahagia hingga maut yang memisahkan." Seulas senyum tercetak di bibir merah muda Safina walaupun aku lihat ada kabut di kedua sudut netranya.
"Kenapa liatin saya seperti itu?" tanya Fahri seraya menatap menghunus ke arahku.Aku mengangkat satu ujung bibir. Sepertinya Tejo dan Fahri begitu membenci diriku, padahal antara aku dan mereka berdua tidak pernah ada urusan apa-apa. Kenal saja baru-baru ini setelah aku menikah dengan Safina dan Azalia. Tapi, entah mengapa tatapan mereka terlihat penuh dengan kebencian kepadaku.Petugas menyuruh Fahri untuk duduk, menginterogasi dia menanyakan hubungan laki-laki tersebut dengan mantan istri, walaupun Fahri terus saja berbelit-belit memberikan keterangan, malah cenderung mengelak kalau dia tidak pernah melakukan pelecehan seksual terhadap SafinaHingga akhirnya seorang wanita berhijab ungu ditemani oleh seorang perawat juga dua orang polisi wanita datang, membuat Fahri serta Tejo tercengang. Gurat ketakutan tergambar jelas di wajah keduanya."Sa--Safina?" Bahkan Tejo sampai tergagap melihat kehadiran wanita yang sudah dia nodai tersebut.
"Insya Allah saya bersedia, Mas," jawab si wanita dengan intonasi sangat lembut serta gemetar, dan semua orang yang ada ramai gemuruh mengucap hamdalah."Alhamdulillah, berarti Bunda mau nambah mantu lagi!" seloroh Bunda Efita terdengar bahagia."Ini kenapa ujung-ujungnya jadi kaya lamaran begini?" Azalia ikut menimpali. "Cie...Bila, akhirnya bisa menikah dengan sang pujaan hati!" ledek istriku seraya memeluk adik sepupunya."Jangan ledekin aku terus dong, Mbak Lia. Aku 'kan jadi malu!" Nabila memonyongkan bibir manja. Dia persis seperti istriku ketika sedang merajuk. Semoga saja sifatnya juga sama seperti Azalia. Penyayang, bijaksana dan menghormati serta menyangi Bunda Efita tentunya."Kapan akan diadakan lamaran secara resmi, Gus. Biar saya siapkan segala keperluannya?" Bunda Efita terlihat begitu bersemangat."Tidak usah ada acara lamaran lagi, Mbak Fita. Sebaiknya langsung dinikahkan saja. Toh, mereka sudah sama-sama d
#Part menuju ending"Astaghfirullahaladzim!" teriak kami ketika tubuh Bu Veronika ambruk ke lantai.Kepanikan mulai terlihat di wajah Dokter Fatih ketika melihat sang ibu tidak sadarkan diri. Kedua mata laki-laki itu sudah dipenuhi kabut dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening mulai meluncur dari balik kelopaknya meninggalkan jejak lurus di pipi."Ibu, bangun, Bu. Ya Allah. Kenapa Ibu malah pingsan seperti ini, Bu?" Dia menepuk-nepuk pelan pipi ibunya."Angkat ibu kamu, Mas. Bawa dia ke kamar tamu atau direbahkan di sofa!" perintah bunda Efita dan segera dikerjakan oleh dokter berkacamata tebal tersebut.Azalia yang sejak tadi berdiri di ambang pintu berinisiatif mengambil minyak kayu putih lalu menggosokkannya ke pelipis serta dekat hidungnya.Tidak lama kemudian mata Bu Veronika terbuka. Dia memalingkan wajah ketika melihat sang anak yang sedang duduk di sebelahnya sambil menggenggam erat jari keriputnya. "
"Assalamualaikum!" Kami yang sedang duduk santai di teras menoleh secara serempak ketika mendengar suara Bu Veronika mengucap salam."Waalaikumussalam!" Ummi segera beranjak dari duduknya, berjalan menuju pintu garasi dan mempersilahkan ibunya Dokter Fatih untuk masuk.Kali ini Bu Veronika datang tidak hanya sendiri, tapi bersama anaknya yang meresahkan itu. Sepertinya dia menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Berpura-pura ingin mengenal lebih jauh keluarga besarku, padahal sebenarnya ingin melihat istriku yang memang begitu cantik memesona dan siapa pun yang melihatnya pasti akan jatuh cinta.Dari balik kacamata tebalnya, terlihat sekali kedua bola mata Dokter Fatih membulat tanpa berkedip menatap ke dalam rumah. Aku menoleh berniat menyuruh Azalia masuk, tapi mataku dibuat memicing olehnya sebab yang sedang dia pandangi malah bukan istri, melainkan Bunda Efita. Sepertinya dokter genit tersebut terpesona dengan kecantikan wajah bunda yang tertutup niqo