Henry menatap Regina dengan ekspresi datar, "Baiklah, aku mengakuinya. Aku yang meminta Amelie menyingkirkannya. Regina, aku sudah bilang padamu, jika kau tidak bisa mengatasi penindasan mereka, aku yang akan bertindak. Aku sudah membantumu, tidakkah kau seharusnya berterima kasih?" Regina tersenyum pahit, "Henry, apa kau pikir aku tidak tahu trik apa yang sedang kau mainkan? Alasan kau menyingkirkan Sekertaris itu bukan untukku, tapi untuk keuntunganmu sendiri." "Aku tidak tahu darimana pemikiranmu ini, tapi apa keuntungan yang aku dapatkan? Sekertaris itu bahkan tidak berguna." "Benarkah?" Regina tersenyum tipis. "Lalu kenapa sejak awal Amelie mengincarnya? Aku mendengar apa yang Amelie minta dari Sekretaris itu dan gelagat anehnya itu.""Regina, sebenarnya apa yang kau curigai? Dia hanya seorang sekertaris, apa yang dia ketahui pasti bukan hal yang penting.""Jika tidak penting, kenapa Amelie mencari informasi darinya? Henry, apa aku bisa mempercayaimu sebagai patner dengan banya
"Kenapa kau tidak memanipulasinya? Awalnya aku pikir, dia mungkin sudah cukup tergila-gila denganmu, tapi aku rasa dia hanya memanfaatkanku. Jika kau berhasil membuatnya benar-benar tergila-gila padamu, kau akan mendapatkan segala keuntungan dan kau bisa saja merebut proyek penting dan menghancurkannya!" Saran licik Tuan Tan pada Regina. Regina terdiam sejenak, dia tidak bisa secara terang-terangan menentang Tuan Tan. "Papa, aku akan mempertimbangkan saranmu dengan serius," ucap Regina akhirnya. Tuan Tan mengangguk puas. "Kau harus menerima usulan itu jika kau masih ingin bertahan, bukankah ini juga bisa menebus kekalahanmu karena pria itu telah merebut segalanya? Ini balas dendam yang bagus. Regina mengangguk. Tuan Tan keluar dari ruangan. Di sana sudah ada Amelie. Mereka saling memandang satu sama lain. Lalu Tuan Tan memutus kontak dan berjalan menjauh. Amelie dengan menaruh ponsel yang awalnya dia pegang, ke saku jasnya. "CEO Tan, a
Regina melangkahkan kaki dengan cepat, tapi ada banyak orang di ruangan ini, membuatnya kesulitan untuk mengejarnya. "Di mana dia?" Seseorang menepuk bahunya. Jantungnya berdebar kencang. "Kakak?" Dia menoleh dengan ragu-ragu. "Kakak? Siapa yang kau maksudkan?" tanya pria itu menatapnya tajam. "Bukankah kau anak tunggal?" "Tidak. Bukan apa-apa. Aku mau ke toilet." Regina melangkahkan pergi menghindar dari pertanyaan Henry."Aku akan menemanimu!" ucap Henry menyusulnya. "Aku di toilet wanita. Kau tidak akan bisa masuk." Regina menolaknya. "Aku akan menunggumu di luar. Aku tahu kau sebenarnya sedang mencari selingkuhanmu yang kau panggil 'kakak' itu, kan?" cibir Henry. "Aku tidak memiliki selingkuhan. Kenapa kau tidak di sini saja dan mengobrol dengan para wanita? Lihat, mereka sudah melihat ke arahmu sedari tadi." Regina mengalihkan pembicaraan. "Aku akan tetep pergi bersamamu. Lebih penting untu
Tangan Regina yang bebas terulur dan mendorong gelas hingga pecah. Suara pintu tiba-tiba terbuka. Pandang Regina tidak tidak terlalu jelas, tapi dia dapat melihat orang itu menarik kakaknya dan memukulinya. Kesadaran Regina semakin menurun, dia akhirnya pingsan. Ketika membuka mata, aroma familiar merasuki indera penciumannya. "Di mana ini?" Tenggorokannya terasa sakit. Seorang pria mengulurkan segelas minuman padanya, "Minum ini!" Regina menoleh ke arah Henry, dia mengulurkan tangannya, mengambil segelas air putih. "Kenapa kau bertemu diam-diam dan akhirnya celaka? Kau seharusnya membawa Amelie bersama denganmu, dia aku bayar untuk melindungimu." "Kenapa kau bisa ada di sana? Apa kau mengikutiku?" tanya Regina. Henry menatapnya dengan serius. "Aku tidak sengaja melihatmu dan Amelie juga melaporkan bahwa kau pergi diam-diam. Beruntung aku menemukanmu dan menyelamatkanmu." Regina memandang Henry, tangannya terulur
Regina merasakan tangan hangat itu di pinggangnya. Dia menatap wajah Henry. "Apa yang aku pikirkan, tidak ada waktu untuk terpesona. "Regina memegang lengan Henry dengan perlahan. "Regina Grace Tan!" Henry berteriak dan mengangkat tangannya. Suaranya dipenuhi dengan kemarahan. "Jadi ini tujuanmu mengajakku minum?""Henry, aku...ya, ini adalah tujuanku." Regina mengulurkan tangannya meraih wajah Henry. "Aku jatuh cinta padamu tanpa aku sadari dan ingin memilikimu."Henry mengerutkan keningnya. "Kau pikir kau bisa bermain-main denganku? Menyingkir!" Henry menepis tangan Regina. Henry bangun dari tempat tidur. Regina masih mengawasi Henry. Saat pria itu melangkahkan kaki, dan pandangannya terasah ke meja. Regina langsung berdiri dan berdiri tepat di depannya dengan selimut yang menutupi tubuhnya. "Henry!" Regina tiba-tiba saja memeluk Henry membuat pria itu terkejut. "Regina, apa kau tahu apa yang sedang kau lakukan?" Henry melepaskan peluk
Regina terbangun, dia diam-diam mengambil obat yang dia simpan di laci meja, meminum obat itu dengan cepat. Henry memeluk pinggangnya. Membuat Regina terkejut, beruntung dia sudah menelannya. Dia menoleh ke arah Henry. "Kau sudah bangun?" "Apa kau tidak ingin punya anak?" tanya Henry dengan suaranya yang berat. Regina terdiam sejenak dengan pertanyaan itu. "Kita sudah cukup memiliki Kevin dan jika aku hamil, kau mungkin kehilangan ketertarikanmu padaku. Aku tidak mau itu." ucap Regina menjawab sealami mungkin. Tentu saja, dia menyembunyikan alasan yang sebenarnya. Henry mempererat pelukannya. "Kau berpikir seolah aku hanya menginginkan tubuhmu saja." Dia melepaskan pelukannya. "Jangan minum obat itu lagi, tidak baik bagi kesehatanmu. Aku akan menggunakan pengaman."Henry bangun dari tempat tidur dengan ekspresi wajah dingin. "Henry, apa kau marah?" tanya Regina dengan ragu.""Tidak. Aku tidak marah untuk hal kecil seperti itu
"Ada apa dengan Kevin? Tidak biasanya dia bersikap dingin padamu?" tanya Henry yang melihat Kevin langsung pergi tanpa menjawab sapaan Regina. "Itu karena dia mirip sepertimu. Cemburu karena hal yang tidak masuk akal," jawab Regina. "Aku tidak bisa memahaminya pemikiran kalian." "Regina, jika aku atau Kevin memuji orang lain, tidakkah kau merasa kesal? Bukankah kau tidak suka saat Amelie terlalu dekat denganku dan Kevin?" ucap Henry memberikan perumpamaan. Regina terdiam sejenak, "Jadi itu yang dirasakan Kevin?" Regina telah tumbuh dengan menekan perasaannya. Akhirnya dia menyadari perasaan yang tidak dia mengerti. "Tidak perlu terlalu dipikirkan. Dia akan kembali menjadi dirinya yang biasanya seteleh kemarahannya reda." Henry menenangkannya. "Tapi, aku tidak yakin. Henry, apa kondisi Asistenmu sudah lebih baik? Aku ingin berkunjung ke rumah sakit." Henry meletakkan alat makan. "Regina, apa hukuman yang aku berikan kemarin masih kurang?" Tatapan Henry berubah tajam. "Apa kau jug
"Apa kau sudah berhasil mengakuisisi pabrik mereka?" Tuan Tan menatap dingin. "Tidak, aku tidak berhasil melakukannya," jawab Regina dengan ekspresi penyesalan, "Tapi, aku datang untuk membicarakan--"Tuan Tan marah besar, "Beraninya kau datang dalam keadaan gagal! Kau masih ingin aku mengakuimu sebagai pemimpin perusahaan?""Papa, tapi aku berhasil menyelesaikan proyek di kota A dengan baik. Bukankah aku sudah memenuhi syarat? Hari ini tepat hari terakhir yang kita sepakati." Regina mencoba bersikap tenang, dalam hatinya berusaha menenangkan detak jantung yang berdebar kencang karena gugup. "Tidak. Kau masih belum pantas, karena kau hanya berhasil dalam satu proyek saja. Apa jadinya perusahaan ini jika kau yang mengambil alih." Tuan Tan menentangnya. Regina merasakan kekecewaan mendalam, "Papa, kau mengingkari janjimu! Aku telah memberikan yang terbaik untuk proyek yang aku janjikan untuk berhasil, tapi kau tidak menganggapnya hanya karena satu proyek yang gagal."Tuan Tan tersenyu