Regina melangkahkan kaki dengan cepat, tapi ada banyak orang di ruangan ini, membuatnya kesulitan untuk mengejarnya.
"Di mana dia?"Seseorang menepuk bahunya. Jantungnya berdebar kencang. "Kakak?" Dia menoleh dengan ragu-ragu."Kakak? Siapa yang kau maksudkan?" tanya pria itu menatapnya tajam. "Bukankah kau anak tunggal?""Tidak. Bukan apa-apa. Aku mau ke toilet." Regina melangkahkan pergi menghindar dari pertanyaan Henry."Aku akan menemanimu!" ucap Henry menyusulnya."Aku di toilet wanita. Kau tidak akan bisa masuk." Regina menolaknya."Aku akan menunggumu di luar. Aku tahu kau sebenarnya sedang mencari selingkuhanmu yang kau panggil 'kakak' itu, kan?" cibir Henry."Aku tidak memiliki selingkuhan. Kenapa kau tidak di sini saja dan mengobrol dengan para wanita? Lihat, mereka sudah melihat ke arahmu sedari tadi." Regina mengalihkan pembicaraan."Aku akan tetep pergi bersamamu. Lebih penting untuTangan Regina yang bebas terulur dan mendorong gelas hingga pecah. Suara pintu tiba-tiba terbuka. Pandang Regina tidak tidak terlalu jelas, tapi dia dapat melihat orang itu menarik kakaknya dan memukulinya. Kesadaran Regina semakin menurun, dia akhirnya pingsan. Ketika membuka mata, aroma familiar merasuki indera penciumannya. "Di mana ini?" Tenggorokannya terasa sakit. Seorang pria mengulurkan segelas minuman padanya, "Minum ini!" Regina menoleh ke arah Henry, dia mengulurkan tangannya, mengambil segelas air putih. "Kenapa kau bertemu diam-diam dan akhirnya celaka? Kau seharusnya membawa Amelie bersama denganmu, dia aku bayar untuk melindungimu." "Kenapa kau bisa ada di sana? Apa kau mengikutiku?" tanya Regina. Henry menatapnya dengan serius. "Aku tidak sengaja melihatmu dan Amelie juga melaporkan bahwa kau pergi diam-diam. Beruntung aku menemukanmu dan menyelamatkanmu." Regina memandang Henry, tangannya terulur
Regina merasakan tangan hangat itu di pinggangnya. Dia menatap wajah Henry. "Apa yang aku pikirkan, tidak ada waktu untuk terpesona. "Regina memegang lengan Henry dengan perlahan. "Regina Grace Tan!" Henry berteriak dan mengangkat tangannya. Suaranya dipenuhi dengan kemarahan. "Jadi ini tujuanmu mengajakku minum?""Henry, aku...ya, ini adalah tujuanku." Regina mengulurkan tangannya meraih wajah Henry. "Aku jatuh cinta padamu tanpa aku sadari dan ingin memilikimu."Henry mengerutkan keningnya. "Kau pikir kau bisa bermain-main denganku? Menyingkir!" Henry menepis tangan Regina. Henry bangun dari tempat tidur. Regina masih mengawasi Henry. Saat pria itu melangkahkan kaki, dan pandangannya terasah ke meja. Regina langsung berdiri dan berdiri tepat di depannya dengan selimut yang menutupi tubuhnya. "Henry!" Regina tiba-tiba saja memeluk Henry membuat pria itu terkejut. "Regina, apa kau tahu apa yang sedang kau lakukan?" Henry melepaskan peluk
Regina terbangun, dia diam-diam mengambil obat yang dia simpan di laci meja, meminum obat itu dengan cepat. Henry memeluk pinggangnya. Membuat Regina terkejut, beruntung dia sudah menelannya. Dia menoleh ke arah Henry. "Kau sudah bangun?" "Apa kau tidak ingin punya anak?" tanya Henry dengan suaranya yang berat. Regina terdiam sejenak dengan pertanyaan itu. "Kita sudah cukup memiliki Kevin dan jika aku hamil, kau mungkin kehilangan ketertarikanmu padaku. Aku tidak mau itu." ucap Regina menjawab sealami mungkin. Tentu saja, dia menyembunyikan alasan yang sebenarnya. Henry mempererat pelukannya. "Kau berpikir seolah aku hanya menginginkan tubuhmu saja." Dia melepaskan pelukannya. "Jangan minum obat itu lagi, tidak baik bagi kesehatanmu. Aku akan menggunakan pengaman."Henry bangun dari tempat tidur dengan ekspresi wajah dingin. "Henry, apa kau marah?" tanya Regina dengan ragu.""Tidak. Aku tidak marah untuk hal kecil seperti itu
"Ada apa dengan Kevin? Tidak biasanya dia bersikap dingin padamu?" tanya Henry yang melihat Kevin langsung pergi tanpa menjawab sapaan Regina. "Itu karena dia mirip sepertimu. Cemburu karena hal yang tidak masuk akal," jawab Regina. "Aku tidak bisa memahaminya pemikiran kalian." "Regina, jika aku atau Kevin memuji orang lain, tidakkah kau merasa kesal? Bukankah kau tidak suka saat Amelie terlalu dekat denganku dan Kevin?" ucap Henry memberikan perumpamaan. Regina terdiam sejenak, "Jadi itu yang dirasakan Kevin?" Regina telah tumbuh dengan menekan perasaannya. Akhirnya dia menyadari perasaan yang tidak dia mengerti. "Tidak perlu terlalu dipikirkan. Dia akan kembali menjadi dirinya yang biasanya seteleh kemarahannya reda." Henry menenangkannya. "Tapi, aku tidak yakin. Henry, apa kondisi Asistenmu sudah lebih baik? Aku ingin berkunjung ke rumah sakit." Henry meletakkan alat makan. "Regina, apa hukuman yang aku berikan kemarin masih kurang?" Tatapan Henry berubah tajam. "Apa kau jug
"Apa kau sudah berhasil mengakuisisi pabrik mereka?" Tuan Tan menatap dingin. "Tidak, aku tidak berhasil melakukannya," jawab Regina dengan ekspresi penyesalan, "Tapi, aku datang untuk membicarakan--"Tuan Tan marah besar, "Beraninya kau datang dalam keadaan gagal! Kau masih ingin aku mengakuimu sebagai pemimpin perusahaan?""Papa, tapi aku berhasil menyelesaikan proyek di kota A dengan baik. Bukankah aku sudah memenuhi syarat? Hari ini tepat hari terakhir yang kita sepakati." Regina mencoba bersikap tenang, dalam hatinya berusaha menenangkan detak jantung yang berdebar kencang karena gugup. "Tidak. Kau masih belum pantas, karena kau hanya berhasil dalam satu proyek saja. Apa jadinya perusahaan ini jika kau yang mengambil alih." Tuan Tan menentangnya. Regina merasakan kekecewaan mendalam, "Papa, kau mengingkari janjimu! Aku telah memberikan yang terbaik untuk proyek yang aku janjikan untuk berhasil, tapi kau tidak menganggapnya hanya karena satu proyek yang gagal."Tuan Tan tersenyu
Regina merasakan pelukan hangat dari belakang, namun hatinya masih dipenuhi kebimbangan. "Henry, lepaskan aku!"Henry mencium lembut telinga Regina, "Maafkan aku, Regina. Aku hanya khawatir. Pria itu pasti orang yang berbahaya karena aku kesulitan untuk menangkap atau melakukan sesuatu padanya. Aku hanya takut sesuatu terjadi padamu tanpa aku ketahui." Regina memalingkan wajahnya dengan tidak nyaman. Tangannya masih mencoba melepaskan tangan Henry dari pinggangnya. "Aku akan memaafkanmu kali ini, dan kau harus menarik semua orang yang mengawasiku. Kau tahu, aku lelah untuk diawasi."Henry melepaskan pelukannya dia memaksa membuat tubuh Regina menghadap ke arahnya. "Tapi, bagaimana jika sesuatu terjadi padamu?" "Tidak akan ada yang terjadi padaku. Kau hanya terlalu paranoid, Henry. Sebenarnya ada sesuatu yang lebih penting ingin aku bicarakan denganmu." Regina berubah menjadi serius. "Ada apa? Apa kau ingin meminta bantuanku?" tanya Henry.
Regina merasa jantungnya berdebar kencang. Dia berada dalam posisi yang tidak menguntungkan.Dalam keadaan buntu, Regina dengan cepat berpikir bagaimana keluar dalam situasi yang akan mempertahankan nyawanya. "Nyonya Jian, membunuh saya tidak akan menyelesaikan masalah. Henry akan membencimu.'"Sorot mata Nyonya Jian semakin tajam,"Dia hanya akan membenciku sementara waktu, kau akan dengan cepat terlupakan. Justru jika aku membiarkanmu hidup, hubunganku dan putraku akan semakin buruk." Regina justru menyeringai, "Kau juga harus ikut denganku, Nyonya Jian." Dengan tiba-tiba, dia menarik Nyonya Jian yang terkejut, menyebabkan kedua wanita itu hampir jatuh dari balkon."Kau wanita gila!" maki Nyonya Jian. Kedua tubuh itu telah berada di tepi balkon. Kali ini, Regina bisa mengimbangi kekuatan Nyonya Jian. "Nyonya Jian, sekali kau mendorongku, hidup kita akan berakhir bersama." Regina dapat melihat wajah pucat wanita itu. "Tidak, kau yang akan mati duluan!" Nyonya Jian berusaha melepask
Henry meninggikan suaranya. "Apa maksud semua ini? Kalian berani menuduh istriku? Polisi dengan tenang menjawab, "CEO Jian, ini kasus yang merugikan ibu Anda, apa Anda akan melindungi istri Anda? Nyonya Regina, tolong ikut kami!" Henry berdiri di depan Regina, menghalangi polisi itu saat hendak mendekat ke arah Regina. "Tunggu sebentar! Apa bukti yang kalian miliki?" Polisi menatap Henry dengan serius. "Kami memiliki bukti yang cukup untuk menangkap Nyonya Regina atas percobaan pembunuhan terhadap Nyonya Jian. Kami akan membawa beliau untuk pemeriksaan lebih lanjut." "Bukti apa? Semua bukti yang Mamaku tunjukkan pada kalian semua hanyalah hasil manipulasi. Aku dapat bersaksi karena aku menyaksikan sendiri pertengkaran Mama dan Istriku." Regina meraih tangan Henry. "Henry, aku akan ikut dengan mereka. Lagipula aku tidak melakukan kesalahan apapun." "Tapi, Regina mereka bisa saja memaksamu untuk--" "Henry, percayalah padaku." Regina membiarkan polisi membawanya keluar, meningg