"Papa?"Kelvin terkejut setengah mati ketika yang membuka pintu rumah adalah papanya, bukan asisten rumah tangga seperti biasa. Bisa Kelvin lihat wajah dan mata Ahmad memerah, sebuah tanda bahwa lelaki itu sedang tidak baik-baik saja. "Keterlaluan kamu, Vin!" Desis Ahmad menahan amarah. "Mama sudah telpon dan cerita semua tadi. Sekarang apa yang mau kamu jelaskan ke papa?"Sebagai anak, Kelvin tahu papanya sudah diambang batas kemarahan. Sorot dan nada suara Ahmad sudah menjelaskan semua. Kelvin sontak bersimpuh, jatuh terduduk di depan ayahnya dengan kedua tangan terulur memeluk kaki Ahmad. "Sudah tidak ada yang bisa Kelvin jelaskan lagi, Pa. Kelvin rasa mama sudah cerita semua. Kelvin salah, Kelvin sudah keterlaluan."Ahmad bergeming, ia masih berdiri mematung di tempatnya berdiri. "Sekarang Kelvin cuma mau minta tolong satu hal sama papa, tolong ... Bantu Kelvin mempertahankan Agatha, Pa. Tolong."Terdengar helaan napas kasar. Ahmad menepuk bahu Kelvin dengn sedikit keras. "Ban
"Sayang, bangun yuk?"Agatha mengerjapkan matanya, ia mencoba membuka matanya perlahan-lahan dan terkejut ketika mendapati Kelvin sudah duduk di tepi ranjang sambil meremas-remas tangannya dengan lembut. Kontan Agatha mengibaskan tangan itu dengan kasar, bangun dan duduk di ranjang dengan tatapan sinis. "Mau apa kamu?"Kelvin mencoba meraih kembali tangan itu, namun Agatha menolak keras, ia merasa jijik dengan lelaki yang sudah menanamkan benihnya di rahim Agatha. Jadi selama ini dia tidur dengan lelaki yang juga tidur dengan wanita lain? "Tha ... Please, maafin aku." Desis Kelvin lirih. "Maaf?" Agatha melotot, namun suaranya sama lirih dengan suara Kelvin. "Semudah itu kamu minta maaf? Kamu pikir kamu cuma ngilangin sendal gitu, terus bisa selesai masalahnya dengan kata maaf? Mikir tolong!" Maki Agatha yang mendadak dadanya kembali sesak. Kenapa dia bisa jatuh cinta pada lelaki berengsek ini? "Iya aku ngerti, aku salah. Aku akan lakuin apapun yang kamu mau supaya kamu mau maafin
"Nah sudah kelihatan kantungnya, kan?" Tanya dokter Anjas sambil menekan lembut probe di tangan. Agatha membeku di tempatnya berbaring. Di layar monitor itu, ia bisa lihat benar ada sebuah kantung terbentuk dalam rahimnya, kantung yang nantinya akan berisi janin dan membesar sampai kemudian waktunya lahir. Mata Agatha memerah, ia terpaku, hanya fokus menatap layar tanpa memperdulikan Dewi dan Kelvin yang nampak menitikkan air mata di tempat mereka berdiri masing-masing. "Minggu depan balik, ya? Nanti kita cek lagi sudah ada atau belum detak jantungnya." Dokter Anjas menggantung probe kembali ke tempatnya, sementara seorang perawat lantas membantu membersihkan perut Agatha dan membantunya bangkit. Kelvin dengan sigap membantu Agatha turun dari ranjang, dengan terpaksa Agatha menerima uluran tangan itu karena Dewi sudah lebih dulu memburu langkah dokter Anjas ke mejanya. "Makasih!" Agatha buru-buru menepis tangan Kelvin, melangkah lebih dulu mendahului Kelvin dan duduk di kursi yan
"Kok nggak ada?"Agatha panik, ia membongkar isi kopernya, meleparkan asal pakaian-pakaian yang dia susun ke dalamnya. Sampai semua pakaian dan beberapa dokumen miliknya keluar dari koper, benda yang dia cari masih tidak ketemu. "Harusnya ada di sini!" Desis Agatha lemas. Ia nampak berpikir sejenak, sedetik kemudian matanya membelalak, ia segera bangkit, membuka pintu kamar dan mencari asisten rumah tangga Handira. "Mbak ... Mbak Indah?" Panggil Agatha sedikit lirih, ia tidak mau Handira mendengar keributan ini dari kamarnya. "Kenapa, Non? Ada yang bisa mbak bantu?" Tanya sosok itu segera muncul ke hadapan Agatha. "Itu, cuma mau tanya ... Apa ada yang masuk ke kamar dan buka koper punya aku, mbak?" Tanya Agatha langsung to the point. "Oh itu? Kemarin mas Kelvin yang datang, Non. Tanya koper Non Thata di mana, katanya non Thata yang minta diambilin barang di dalam koper." Jelas mbak Indah yang seketika mampu membuat Agatha membelalak. "Astaga, Mbak!" Agatha mendesis, emosinya te
"Kalo semisal Agatha tetap pada pendirian Agatha buat pisah sama mas Kelvin, gimana?"Dewi tertegun sejenak, ia nampak tersenyum getir sambil mengangguk perlahan. "It's okay, Tha. Itu pilihan kamu, kamu yang jalanin semuanya. Mama nggak bisa paksa kamu, kan? Tapi boleh minta satu hal, Tha?""Apa, Ma?" Tanya Agatha sambil menyeka air mata. "Jadi anak mama ya, Tha? Jadi anak mama sama papa. Karena bagaimanapun ... Ada darah kamu di cucu mama. Kamu yang susah payah bertaruh nyawa buat kasih mama cucu. Jangan jadi orang lain ya, bisa kan, Tha?"***"Papa di kamar depan, ya?" Kelvin menutup pintu, tangannya menyalakan saklar lampu, membuat unit yang tadinya hanya mendapat cahaya dari langit luar kini terang benderang. "Kamu ini, Vin ... Vin! Hidup masih numpang sama istri eh udah aja bertingkah." Ahmad menatap sedu ke arah anak lelakinya itu. Kelvin tidak ingin membalas, ia sudah cukup lelah. Mana besok ia sudah harus kembali menjalani masa residensinya. Masa residensi yang cukup bera
"Eh?"Kelvin mematung dengan ponsel di tangan. Setelah baterainya penuh, Kelvin segera menyalakan ponsel dan mendapati Agatha berulang kali mencoba menghubunginya. Bukan hanya Agatha, ada juga banyak panggilan tak terjawab dari Namira serta chat wanita itu. Sedangkan Agatha ... Istrinya itu sama sekali tidak mengirimkan pesan apapun padanya. Dengan segera Kelvin menghubungi balik nomor itu. Ia secara tidak langsung sudah menebak, untuk apa istrinya menelepon sampai begitu banyak. Dan apapun itu, Kelvin sudah menyiapkan jawaban. "Mana buku nikah dari koper ku? Kamu yang ambil, kan?" Tanya suara itu tepat seperti dugaan Kelvin, bahkan Agatha tidak mengucapkan salam padanya. "Memang! Aku yang ambil karena itu punyaku juga, Sayang." Jawab Kelvin santai. "Berengsek! Balikin nggak?" Umpat suara itu penuh kebencian. "Sampai kapanpun aku nggak akan kembalikan buku itu ke kamu. Nggak akan demi apapun!" Tegas Kelvin tak takut. "Nggak bisa begitu! Kamu nyuri itu dari aku!" Tolaknya sama-sa
"Anak kamu? Kamu bilang ini anak kamu?" Namira menatap gemas lelaki itu, rasanya ingin ia tendang dia keluar sekarang juga. "Ya! Itu anak aku!" Jawabnya tegas. Kontan tawa Namira pecah, ia terbahak-bahak sambil menatap Dimas dengan tatapan tajam. Bagaimana bisa lelaki ini mengklaim janin yang tumbuh dalam rahim Namira sebagai anaknya? "Jangan halu! Kita selalu pakai pengaman tiap berhubungan. Bagaimana bisa kamu bilang ini anak kamu?" Tantang Namira tanpa memalingkan wajah. "Kita memang selalu pakai pengaman, tapi kamu yakin pengaman yang aku pakai seratus persen aman?" Balas Dimas dengan seringai tajam. Namira tercekat, jujur hatinya mulai didera rasa takut. Terlebih hasil USG kemarin mengatakan .... "Aku sengaja merusak pengaman yang aku pakai ketika kita berhubungan, Ra. Apa ini masih kurang cukup untuk meyakinkan kamu bahwa janin itu darah dagingku?"Keringat dingin mengucur di dahi Namira, ia menatap nanar lelaki yang sudah beberapa bulan ini menjadi ban serep tatkala Namir
"Aku bisa jelasin! Kenapa sih kamu nggak mau dengerin aku dulu?"Namira menarik tangan Kelvin begitu mereka keluar dari gedung rumah sakit. Kelvin menepis kasar tangan itu, matanya melotot tajam menatap Namira dengan sorot kemarahan. "Jelasin katamu? Aku udah denger sendiri semuanya kamu masih kekeuh mau jelasin? Apa lagi yang mau kamu jelasin, hah?" Kalau tidak sedang berada di halaman rumah sakit, rasanya Kelvin ingin berteriak sekencang-kencangnya. Mata Namira memerah, tangisnya langsung pecah. Dua tangannya menutup mulut dengan mata yang tak lepas dari mata Kelvin. "Nggak usah playing victim! Inget ya, kalo bener ini anak aku, aku bakalan tanggung semua biaya selama kamu hamil dan melahirkan. Setelah anak ini lahir, aku akan bawa anak ini bersamaku! Ngerti?""Nggak!" Tegas Namira dengan segera. "Aku nggak bakalan lepasin anak aku gitu aja! Sampai kapanpun dia harus tetap ada sama aku!""Dia akan terus ada sama kamu kalo kamu nggak banyak berulah, Ra! Inget itu!" Tunjuk Kelvin d
Lima tahun kemudian .... "Ziel, ayolah Sayang, kita harus berangkat sekarang!" Namira berteriak, ia memulas lisptick dengan terburu lalu meraih tas dan kunci mobil yang tergeletak di atas meja. Dengan tergesa-gesa ia melangkah keluar kamar, hendak berbelok ke kamar Ziel ketika bocah itu sudah lebih dulu muncul dengan seragam biru-putih dan dasi kupu-kupu. "Siap hari pertama sekolah?" Tanya Namira dengan bersemangat. "Siap dong, Ma! Berangkat sekarang, kan?" Senyum Ziel merekah, senyum yang merupakan warisan dari Dimas ada di wajah itu. Namira mengangguk pelan, ia meraih tangan Ziel dan melangkah bersama keluar dari rumah. Nampak wajah mereka berbinar cerah. Hari ini hari pertama Nazriel Dewangga Putra bersekolah. Tentu bocah lima tahun itu sangat excited sekali, terlebih sang mama sampai menukar shift jaga hanya demi mengantar dan menunggui Ziel di hari pertamanya sekolah. "Nanti pulangnya makan steak ya, Ma?" Ocehnya sambil naik ke atas mobil. "Boleh, yang deket tempat kerja p
Namira melangkah keluar kamar, ia hendak ke kamar mandi ketika lamat-lamat bayangan tubuh itu mencuri atensinya. Langkah Namira terhenti, ia menoleh dan mendapati di teras rumah, Dimas, lelaki yang kini berstatus suaminya itu, tengah menjemur cucian di sana. Alis Namira berkerut, bukankah Dimas baru pulang jaga? Namira pikir dia tengah membersihkan diri dan makan di meja makan, rupanya ... Namira melangkah mendekat, ia baru saja hendak memanggil Dimas ketika suaminya itu lantas menoleh lebih dulu. "Loh, kamu bangun? Ziel bobok?" Tanya Dimas sambil tetap melanjutkan pekerjaannya. "Mau pipis tadi. Aku pikir kamu mandi apa makan gitu. Kenapa malah jadi nyuci?" Tanya Namira lalu membungkuk dan hendak membantu sang suami menjemuri pakaian-pakaian bayi itu. "Et!" Dimas mencekal tangan Namira. "Tadi mau pipis, kan? Sana pipis dulu! Nggak bagus nahan pipis."Namira tersenyum, ia urung membantu suaminya dan segera melangkah masuk kedalam rumah setelah mencubit gemas perut Dimas. Ia berge
"Kenapa ini?"Handira meletakkan pulpen di meja, ia segera menjawab panggilan yang Dimas layangkan padanya. "Kenapa, Dim? Ada masalah?"Handira hendak kembali serius dengan jurnal yang tengah dia baca ketika kemudian Dimas bersuara dengan nada yang cukup serius. "Saya berubah pikiran, Dok."DEG!Jantung Handira seperti hendak meloncat dari tempatnya. Ketakutan itu mendadak menyergap hati Handira dengan begitu kuat. Ada apa ini? Kenapa Dimas tiba-tiba berubah pikiran? "Berubah pikiran yang bagaimana?" Tanya Handira dengan nada panik. Jangan bilang kalau .... "Saya berubah pikiran, Dok. Saya mau izin sama Dokter bahwa saya mengundurkan diri dari misi ini. Kalaupun nanti menantu Dokter dan Namira berpisah, itu bukan karena saya membantu Dokter, tetapi karena saya benar ingin serius dengannya dan menarik dia dari belengu yang dibuat oleh menantu Dokter sendiri."Hening! Handira mengerjapkan matanya, ia tidak salah dengar, kan? Apa yang tadi Dimas katakan? Dia bilang bahwa .... "Ka-k
Handira tertegun, ia meletakkan ponsel di atas meja. Matanya memerah. Ingin dia meledakkan tantis saat ini juga. Namun tidak di tempat ini. Info yang masuk ke dalam ponsel dan emailnya adalah valid! Semua data dan infromasi yang dia terima juga bukan dari orang sembarangan. Handira harus segera bergerak, sebelum semuanya hancur berantakan! "Ya ampun, Gusti!" Handira mendesis perlahan. Segala macam rasa sedih, marah dan kecewa menyeruak dalam hatinya. Belum lagi perasaan bersalah itu ... Semua bergumul menjadi satu dan menghajar Handira dengan begitu luar biasa. Tidak! Ini bukan tentang penyakit mematikan yang dia derita! Tetapi ini tentang Agatha. Putri semata wayang yang begitu dia cintai. Bayangan senyum manis dan gelak tawa wajah itu terbayang di dalam pikiran Handira, hanya beberapa detik karena kemudian bayangan itu digantikan oleh bayangan wajah berurai air mata dengan tangis yang menyayat hati Handira. Handira menarik selembar tisu, ia menyeka air mata yang tak kuasa ia b
"Welcome home, Adel!"Kelvin membuka pintu kamar mereka lebar-lebar, mempersilahkan Agatha yang tengah menggedong Adel masuk terlebih dahulu ke dalam. Koper yang dibawa Handira sudah berpindah ke dalam ruang laundry, kini ia menyusul Agatha dan cucunya masuk ke dalam kamar. "Bobo sini, ya?" Dengan perlahan Agatha menurunkan Adel dari gendongan, membaringkan bayi menggemaskan itu ke dalam boknya. Sebuah bok yang Kelvin beli dan rakit sendiri beberapa minggu yang lalu. Saksi bahwa Kelvin sangat antusias sekali menyiapkan segala macam keperluan untuk menyambut gadis kecilnya yang cantik dan menggemaskan. "Lepas aja itu bedongnya, gerah siang-siang begini dibedong." Handira menatap Adel dari sisi kiri, nampak rona bahagia itu abadi di wajahnya. "Iya-iya, Ma. Ini Thata lepas." Agatha segera menuruti perintah mamanya, dengan lembut dan perlahan bedong itu dia lepas. Handira tersenyum, ia menarik kain bedong itu dan membawanya dipundak. Matanya belum mau lepas menatap wajah cantik dan
"Aduh-aduh si Gemoy!"Ruang inap Agatha jadi riuh. Sore hari, Dewi dan Ahmad benar-benar datang. Bahkan papa mertuanya itu masih sangat rapi karena pulang mengisi simposium langsung terbang demi melihat cucunya. "Adel, Ma. Namanya Adel!" Desis Kelvin merevisi, Kelvin sendiri sudah dengan setelan scrub, ia izin sebentar pada chief residennya untuk menemui Ahmad dan Dewi yang baru datang. "Biarin ih! Panggilan kesayangan kok." Balas Dewi tak mengindahkan. Kelvin mencebik, ia malah jadi macam kambing congek. Tidak ada yang peduli padanya. Semua perhatian tertuju pada Adel! Dia bintangnya sekarang. "Gimana, Tha? Ada keluhan?" Ahmad duduk di kursi yang ada di sebelah bed Agatha, Agatha sendiri duduk di tepi ranjang, tengah memperhatikan bagaimana para nenek itu sedang heboh menggendong cucunya. "Biasalah, Pa. Bekas jahitannya ini." Jawab Agatha sambil tersenyum getir, meskipun tidak sesakit kontraksi atau pas melahirkan, namun tetap saja rasa perih itu sangat menganggu dan membuatnya
"Kenapa?"Agatha menatap heran Kelvin yang duduk sambil terus tersenyum ke arahnya. Ia tengah menyusui Adel saat ini, membuat Agatha malah berpikiran yang tidak-tidak pada suaminya itu. "Mas, kenapa sih?" Kembali Agatha bertanya, setelah pertanyaannya tadi diabaikan oleh Kelvin. Ia masih duduk dengan senyum lebar di sisi Agatha. Kelvin tidak langsung menjawab, ia malah meraih tangan Agatha, meremas tangan itu dengan lembut lalu menciuminya berkali-kali. Setelah puas Kelvin kembali mengangkat wajahnya, kini ia menatap Agatha dengan mata memerah. "Kamu kenapa?" Sekali lagi Agatha bertanya, ia benar-benar heran, kenapa dengan suaminya ini? "Aku bahagia banget hari ini, Yang. Sumpah ini hari paling membahagiakan dalam seumur hidup aku!" Ucapnya kemudian dengan air mata menitik. Agatha tertegun sejenak, ia menatap Kelvin dengan saksama. Bulir-bulir air mata itu terlihat menetes dari pelupuk mata Kelvin, Agatha belum sempat bersuara, Kelvin kemudian lebih dulu menyambung kalimatnya. "
"I-ini ....." Agatha tercekat ketika bayi berselimut biru itu diletakkan Handira di dadanya. Air matanya menitik. Tangis Agatha pecah. Semua lelah dan rasa sakitnya mendadak sirna tak berbekas. Dengan tangan bergetar, Agatha perlahan-lahan menyentuh tangan kecil yang sudah memakai gelang identitas itu. Sangat lembut dan rapuh! Agatha meraung, ini benar anaknya? Yang selama ini hidup dan tumbuh dalam rahimnya? Agatha terisak, matanya terpejam sambil memeluk makhluk kecil dan lemah yang berada di atas dadanya. Ia terkejut ketika ada isak tangis lain dan kecupan yang bertubi-tubi mendarat di dahi dan pipinya. "Makasih banyak, Sayang!" Bisik Kelvin di sela-sela tangisnya. Agatha tidak merespon, ia tengah sibuk mengekspresikan perasaannya lewat isak tangisnya sendiri. Jadi begini rasanya menjadi seorang ibu? Sebahagia ini? Agatha mengelus lembut kepala kecil itu sampai kemudian Handira mendekat dan ikut mengelus tubuh kecil itu perlahan-lahan. "Yuk buka dulu bajunya, Tha. Si cantik
"Udah lima, Dok!"Kelvin menghela napas panjang. Mereka sudah sampai VK saat ini, Agatha sudah berbaring di atas bed dengan wajah pucat pasi. "Yaudah ditunggu dulu. Aman kok, nggak ada penyulit, hasil tes lab terakhir bagus semua. Yuk bisa yuk pervaginam." Dokter Nico yang seharusnya masih tidur di kamar bersama istrinya pun sudah stand by meskipun dengan wajah setengah mengantuk. "Mohon bantuannya ya, Dok!" Mohon Handira yang sama pucatnya dengan Agatha. "Oo, jangan khawatir, Dok. Sudah jadi tugas saya itu." Dokter Nico tersenyum, mengangguk pelan lalu menoleh ke arah Kelvin. "Vin saya ke ruang jaga dulu. Nanti langsung telpon aja ya ke saya, atau lewat perawat jaga juga boleh deh."Kelvin hanya mengangguk patuh. Ia sama sekali tidak menyingkir barang sedikitpun dari sisi Agatha. Begitu dokter Nico melangkah keluar, Kelvin menjatuhkan kecupan di puncak kepala istrinya cukup lama. Tangan Kelvin masih menggenggam dan meremas-remas lembut tangan Agatha sejak tadi. "Semangat, ya? A