"Kalo semisal Agatha tetap pada pendirian Agatha buat pisah sama mas Kelvin, gimana?"Dewi tertegun sejenak, ia nampak tersenyum getir sambil mengangguk perlahan. "It's okay, Tha. Itu pilihan kamu, kamu yang jalanin semuanya. Mama nggak bisa paksa kamu, kan? Tapi boleh minta satu hal, Tha?""Apa, Ma?" Tanya Agatha sambil menyeka air mata. "Jadi anak mama ya, Tha? Jadi anak mama sama papa. Karena bagaimanapun ... Ada darah kamu di cucu mama. Kamu yang susah payah bertaruh nyawa buat kasih mama cucu. Jangan jadi orang lain ya, bisa kan, Tha?"***"Papa di kamar depan, ya?" Kelvin menutup pintu, tangannya menyalakan saklar lampu, membuat unit yang tadinya hanya mendapat cahaya dari langit luar kini terang benderang. "Kamu ini, Vin ... Vin! Hidup masih numpang sama istri eh udah aja bertingkah." Ahmad menatap sedu ke arah anak lelakinya itu. Kelvin tidak ingin membalas, ia sudah cukup lelah. Mana besok ia sudah harus kembali menjalani masa residensinya. Masa residensi yang cukup bera
"Eh?"Kelvin mematung dengan ponsel di tangan. Setelah baterainya penuh, Kelvin segera menyalakan ponsel dan mendapati Agatha berulang kali mencoba menghubunginya. Bukan hanya Agatha, ada juga banyak panggilan tak terjawab dari Namira serta chat wanita itu. Sedangkan Agatha ... Istrinya itu sama sekali tidak mengirimkan pesan apapun padanya. Dengan segera Kelvin menghubungi balik nomor itu. Ia secara tidak langsung sudah menebak, untuk apa istrinya menelepon sampai begitu banyak. Dan apapun itu, Kelvin sudah menyiapkan jawaban. "Mana buku nikah dari koper ku? Kamu yang ambil, kan?" Tanya suara itu tepat seperti dugaan Kelvin, bahkan Agatha tidak mengucapkan salam padanya. "Memang! Aku yang ambil karena itu punyaku juga, Sayang." Jawab Kelvin santai. "Berengsek! Balikin nggak?" Umpat suara itu penuh kebencian. "Sampai kapanpun aku nggak akan kembalikan buku itu ke kamu. Nggak akan demi apapun!" Tegas Kelvin tak takut. "Nggak bisa begitu! Kamu nyuri itu dari aku!" Tolaknya sama-sa
"Anak kamu? Kamu bilang ini anak kamu?" Namira menatap gemas lelaki itu, rasanya ingin ia tendang dia keluar sekarang juga. "Ya! Itu anak aku!" Jawabnya tegas. Kontan tawa Namira pecah, ia terbahak-bahak sambil menatap Dimas dengan tatapan tajam. Bagaimana bisa lelaki ini mengklaim janin yang tumbuh dalam rahim Namira sebagai anaknya? "Jangan halu! Kita selalu pakai pengaman tiap berhubungan. Bagaimana bisa kamu bilang ini anak kamu?" Tantang Namira tanpa memalingkan wajah. "Kita memang selalu pakai pengaman, tapi kamu yakin pengaman yang aku pakai seratus persen aman?" Balas Dimas dengan seringai tajam. Namira tercekat, jujur hatinya mulai didera rasa takut. Terlebih hasil USG kemarin mengatakan .... "Aku sengaja merusak pengaman yang aku pakai ketika kita berhubungan, Ra. Apa ini masih kurang cukup untuk meyakinkan kamu bahwa janin itu darah dagingku?"Keringat dingin mengucur di dahi Namira, ia menatap nanar lelaki yang sudah beberapa bulan ini menjadi ban serep tatkala Namir
"Aku bisa jelasin! Kenapa sih kamu nggak mau dengerin aku dulu?"Namira menarik tangan Kelvin begitu mereka keluar dari gedung rumah sakit. Kelvin menepis kasar tangan itu, matanya melotot tajam menatap Namira dengan sorot kemarahan. "Jelasin katamu? Aku udah denger sendiri semuanya kamu masih kekeuh mau jelasin? Apa lagi yang mau kamu jelasin, hah?" Kalau tidak sedang berada di halaman rumah sakit, rasanya Kelvin ingin berteriak sekencang-kencangnya. Mata Namira memerah, tangisnya langsung pecah. Dua tangannya menutup mulut dengan mata yang tak lepas dari mata Kelvin. "Nggak usah playing victim! Inget ya, kalo bener ini anak aku, aku bakalan tanggung semua biaya selama kamu hamil dan melahirkan. Setelah anak ini lahir, aku akan bawa anak ini bersamaku! Ngerti?""Nggak!" Tegas Namira dengan segera. "Aku nggak bakalan lepasin anak aku gitu aja! Sampai kapanpun dia harus tetap ada sama aku!""Dia akan terus ada sama kamu kalo kamu nggak banyak berulah, Ra! Inget itu!" Tunjuk Kelvin d
"Jadi begitu ceritanya, Pa!"Ahmad menarik napas panjang. Wajah lelaki itu memerah menahan amarah. Ia nampak memejamkan mata sejenak, menghirup napas dalam-dalam beberapa kaki lalu membuka mata dan menatap Kelvin dengan saksama. "Sekarang udah tau gimana sakitnya istrimu saat kemarin tahu perselingkuhan kamu, Vin?" Tanya Ahmad dengan nada dingin, sorot kemarahan itu masih tergambar di wajah Ahmad. Tangis Kelvin pecah, ia terisak dengan kepala tertunduk. Wajah Agatha yang sembab dengan mata memerah terus menghantui pikiran Kelvin. Rasa bersalahnya pada Agatha makin menjadi. Ternyata sesakit ini menjadi dia! "Kelvin ngerti, Pa. Kelvin paham." Desisnya sambil menyeka air mata. "Berarti benar firasat mama kamu. Harusnya sejak awal kamu dengerin mama kamu, Vin." Ahmad meraih cangkir kopi, menyesap cairan itu sambil berpikir sejenak. "Ini terakhir kalinya Kelvin nggak nurut sama mama, Pa." Ahmad kembali menyesap kopi dalam cangkir. Ia lantas meletakkan cangkir itu kembali di atas meja
"Nih makan!"Kelvin memasukkan walnut utuh ke dalam kandang Saga. Jujur binatang berbulu inilah yang menjadi hiburan Kelvin setelah Agatha menolak pulang. Entah mengapa ketika menatap hewan pengerat ini, rasanya Kelvin begitu dekat dengan Agatha. "Pantes istriku sayang banget sama kamu, kamu beneran lucu!" Desis Kelvin tanpa melepaskan pandangan dari hamster itu. Tangan Kelvin terulur, ia meraih ponsel, memotret hewan itu dari beberapa angle. Ingin sebenarnya dia mengirim hasil foto itu pada Agatha, namun ia urungkan. Ia takut Agatha akan merasa risih dan malah memblokirnya nanti. "Doakan aku bisa merayu babu mu buat balik ke sini ya? Selama dia di sana, aku yang jadi babu mu sekarang. Baik-baik kau, jangan nakal!"Kelvin begitu asyik bercengkerama dengan Saga yang nampak sibuk menggotong kesana-kemari kacang walnut utuh yang tadi Saga berikan padanya, sampai tidak sadar Ahmad sudah berdiri di depan pintu sambil menatapnya dengan tatapan nanar. "Vin ... Perlu papa carikan psikiate
"Lah tapikan, Ma ...." Agatha mencoba membantah, bagaimana bisa Handira punya ide seperti itu? "Dokter Yohana bilang nggak apa-apa, Sayang! Dia bahkan udah nunjuk sejawat di sana buat gantiin dia jadi dokter mama. Rekam medis mama sudah dikirim lengkap semua ke dokter pengganti, dan dokter pengganti pun sudah oke. Apa lagi?" Handira pun tak mau kalah, nampak sorot mata itu begitu serius, sama sekali tidak ingin dibantah. "Masa ... Aku cuma pengen mama selain dapat pengobatan terbaik, juga dapat hunian terbaik buat istirahat. Kenapa nggak di rumah? Yang udah puluhan tahun mama tempati? Luas, banyak area hijau, sirkulasi udara baik, apartemen Agatha nggak bakalan bisa ngegantiin rumah ini buat mama!" Agatha masih belum menyerah, ada alasan kuat kenapa ia tidak mau kembali ke sana bahkan mamanya ikut sekalipun! "Tha ... Mungkin kamu benar, tapi apa kamu lupa? Sumber kebahagiaan mama ada di sana semua!" Tegas Handira sambil mengusap lembut pipi Agatha. "Liat kamu kumpul sama suami kamu
"Papa pulang kalau gitu, Vin. Nggak lupa sama apa-apa saja yang sudah papa nasehat kan ke kamu, kan?" Ahmad menatap Kelvin sebelum ia turun dari mobil dan masuk ke dalam. "Pasti, Pa. Kelvin bakalan selalu inget apa yang papa katakan. Ngomong-ngomong, serius papa nggak apa-apa nunggu pesawat sendirian di bandara? Maaf Kelvin nggak bisa nemenin, udah dicall ha--.""Papa paham. Papa dulu juga junior residen, Vin. Tentu papa paham." Potong Ahmad cepat. "Kamu hati-hati ke rumah sakitnya, jangan lupa kabarin papa begitu hasil tes DNA-nya keluar. Biar papa bisa mikir gimana solusi terbaiknya."Kelvin tersenyum lebar, hatinya teramat lega. "Terimakasih banyak, Pa. Terimakasih udah selalu ada buat Kelvin." Ucap Kelvin dengan nada terharu. "Karena kamu anak papa, Vin. Sampai kapanpun kamu tanggung jawab papa. Besok kemungkinan gantian istri dan mama mertuamu pulang. Ingat, mama mertuamu sakit parah, Vin. Harapan hidupnya hampir tidak ada. Tolong di sisa akhir hidupnya, jangan buat dia mender