"Ah ... Saya nggak apa-apa kok. Sini RM-nya, saya konsul ke dokter Hendrik dulu!" Jawab Kelvin mencoba menghilangkan kegugupannya. Mata gadis itu membulat, menatap Kelvin dengan tatapan terkejut. Mata Kelvin ikut membulat, kenapa? Apa yang salah? "Kok ke dokter Henrik, Dok? Kan pasien dua puluh tujuh tahun." Ujar gadis itu dengan wajah yang masih terkejut. Kelvin menghela napas panjang, satu tangannya menepuk dahi dengan gemas. Bagaimana bisa dia sebodoh ini? Pasien dua puluh tujuh tahun hendak dia konsulke pediatri? "Ah iya maaf. Awasi terus dan laporkan, ya! Hasil rontgen-nya mana?" Tanya Kelvin serius, ia tidak mau salah lagi! "Masih dibaca dokter Anis, Dok. Belum dapat jawaban."Sial! Salah lagi Kelvin! Harusnya dia menunggu hasil baca rontgen-nya baru dia putuskan hendak dikonsulkan ke spesialis apa. Mana tadi dengan PD-nya Kelvin menyebut nama dokter anak itu, astaga Kelvin ini kenapa? "Ok! Kalo sudah keluar kasih ke saya. Saya tunggu!"Sudah habis muka Kelvin! Bukan terl
"Kayaknya gue jatuh cinta, Yan." Desis Kelvin sambil berbaring di atas kasur, matanya menatap lurus ke langit-langit kamar. "Ciiee ... Sama calon bini lu? Gas kawin dong!" Balas suara itu setengah mengejek. Kelvin mendecih, ia mendengus kesal. "Calon bini pala lu!" Umpat Kelvin kemudian, "Bukan sama dia!"Terdengar suara orang tersedak dari seberang. Apa yang sedang kampret itu lakukan? Dia tidak bilang kalau dia tadi sedang makan. Kelvin hendak bertanya ketika suara itu lebih dulu terdengar menjawab pertanyaannya. "Gile! Lu bilang apa tadi? Trus dia siapa yang lu maksud, Vin?" Cecar suara itu dengan nada terkejut. "Anak koas di tempat gue, Yan. Sesuai banget sama yang gue mau. Dia idaman gue, Yan, sumpah nggak boong!" Ujar Kelvin apa adanya. "Vin, lu mo kawin! Jangan lupa, Vin!" Bryan memperingatkan, sebuah peringatan yang membuat Kelvin menyeringai. "Yang pengen gue kawin kan nyokap, bukan gue, Yan!" Kembali Kelvin memperjelas. Ia memang belum ingin menikah apalagi dengan Agat
Kelvin melangkah ke parkiran, tepat di saat yang sama ia melihat Namira juga sedang berjalan seorang diri. Dari tas yang ada di punggung, bisa Kelvin tebak gadis itu sudah selesai dan hendak kembali pulang. Kesempatan! Dengan segera Kelvin menyusul langkah Namira, setelah jaraknya sudah dekat, Kelvin memperlambat langkah, bersiap untuk sekedar menyapa gadis pujaan hatinya itu. "Udah beres jaganya? Mau balik?"Namira menoleh, ia nampak terkejut mendapati Kelvin sudah berdiri di sebelahnya. Melihat itu, Kelvin hanya tersenyum simpul. Memamerkan gigi rapi dan putih miliknya dibingkai senyum manis otentik miliknya. "Loh, Dokter? Maaf saya nggak tahu kalau tadi Dok--.""Halah santai. Mau pulang ya? Naik apa?" Potong Kelvin cepat. Namira tersenyum, kepalanya mengangguk pelan. "Sudah, Dok. Ini saya lagi pesen ojek on--.""Batalin! Bareng saya aja!" Kembali Kelvin memotong, bisa dia lihat Namira nampak sangat terkejut. "Hah? Do-Dokter serius?" Ucapnya dengan ekspresi tidak percaya. "B
"Kamu malah udah nonton film-nya, Ra? Gimana? Bagus, nggak?"Namira tengah mengobrol dengan beberapa anak koas dan perawat, malam ini IGD kosong, maklum para koas wangi berkumpul malam ini, jadilah kerjaan mereka hanya nongkrong, makan dan berghibah bersama. "Udah. Bagus pokoknya! Tapi aku nggak bakal kasih bocoran." Ujar Namira dengan senyum lebar."Kamu nonton kapan? Kenapa nggak ajak-ajak?" Tanya Puspa dengan wajah cemberut. Sejenak Namira tertegun. Kenapa nggak ajak-ajak? Bisa geger satu rumah sakit kalau sampai mereka tahu beberapa minggu belakangan ini Namira dan dokter Kelvin punya kedekatan khusus? Bukan, mereka tidak pacaran, hanya saja sering jalan bareng atau sekedar nongkrong berdua. "Ya maaf. Kapan-kapan deh ayo nonton rame-rame." Jawab Namira dengan senyum lebar. Momen-momen bersama Kelvin mendadak berkelebat dalam benaknya. Membuat hati Namira berbunga-bunga dan terasa begitu bahagia. "Yuk ah agendain kapan? Udah suntuk banget aku, perlu hiburan nih!" Anin menggeru
"Bang, jadi ke Jakarta besok?"Kelvin yang tengah menikmati steak yang dia pesan kontan mengangkat wajah, menatap Namira, sang kekasih yang tengah menatapnya dengan tatapan serius. "Jadi. Kan ibu negara yang nyuruh. Kalau sampai nggak balik besok, dijamin habis aku, Yang." Jawab Kelvin mengabaikan sejenak makanannya. "Penting banget ya, Bang? Padahal besok mumpung masuk malam, jadi seharian bisa jalan-jalan." Desis suara itu lesu. Wajah itu nampak murung, membuat Kelvin meletakkan pisau dan garpu lalu meraih tangan Namira dan meremasnya lembut. Iba juga melihat wajah dan ekspresi Namira, tapi mau bagaimana lagi? Besok jadwal Kelvin foto prewedding dan fitting baju pengantin! Bisa habis Kelvin kalau sampai dia tidak pulang. Lebih habis lagi kalau nanti mamanya menyusul kemari dan memergoki Kelvin tengah berpacaran dengan gadis lain. "Penting. Soal masa depan aku ini. Mau bahas kelanjutan PPDS aku ntar." Jawab Kelvin berdusta. Tidak mungkin kan dia terus terang bilang kalau dia pula
"Ini bagus nih, Tha! Cocok banget sama kulit putih kamu!"Agatha hanya nyengir sambil mengangguk. Di hadapannya sudah duduk Dewi dan Handira tentunya. Ditambah satu lagi orang dari MUA yang hendak merias Agatha di hari pernikahannya nanti. Tak lupa, MUA ini juga yang akan merias dia untuk sesi foto prewedding. "Iya, bener nih. Cocok banget buat Kakak. Atau mau yang warna sage? Meskipun udah nggak ngetrend, tapi cantik juga warnanya Kak." Promosi wanita berkacama itu dengan menggebu-gebu. Kembali Agatha hanya nyegir dan menganggukkan kepalanya. Foto gaun dan kebaya dalam katalog itu memang cantik-cantik, hanya saja Agatha sama sekali tidak berminat dengan hari besarnya esok. "Coba nanti nunggu Kelvin dulu, Tha. Dia suka warna yang mana." Gumam Handira sambil tersenyum. Mendengar nama Kelvin, mata Agatha membulat. Mendadak ia punya ide untuk menjahili lelaki menyebalkan itu. "Iya kayaknya harus gitu deh, Ma. Nunggu om-- eh, mas Kelvin dulu." Agatha keceplosan, membuat Dewi dan Handi
"Om, tolongin napa sih!" Agatha menggerutu, gown warna navy itu sungguh sangat menyusahkan! Belum lagi sepatu hak tinggi yang membungkus kaki. Kelvin yang sudah nampak ganteng dan gagah dengan setelan kemeja dan dasi warna senda dengan gown Agatha kontan menoleh. Ia menatap cuek ke arah Agatha yang kesulitan menapaki tangga guna naik ke lantai dua, tempat di mana pemotretan di lakukan. "Makanya, jangan suka menyusahkan diri!" Kelvin mengomel, ia masih menatap Agatha yang kini sudah berada satu tangga lebih rendah dari Kelvin. Gadis itu menatap Kelvin dengan tatapan tak suka. Wajah yang biasanya polos hanya bersalut lipbalm itu kontan melotot kesal. "Menyusahkan diri gimana sih, Om? Ini memang konsep yang dipilih kudu pake gaun kayak gini!" Salak Agatha kesal. "Terserah lah! Sini ayo!" Kelvin mengulurkan tangan yang langsung disambuy oleh Agatha. Kali pertama tangan mereka bersentuhan. Membuat keduanya nampak tertegun sejenak. Mata mereka yang awalnya menatap tangan mereka yang s
"Manis banget mereka, ya?" Bisik Dewi pada Handira. Mereka duduk dan mengawasi jalannya pemotretan kedua sejoli itu. Meskipun awalnya muka mereka jutek, namun lambat laun wajah mereka mencair dan bisa begitu luwes berpose di depan kamera. "Sudah kubilang, mereka berdua itu cocok dan serasi." Balas Handira yang nampak tersenyum puas. "Benar! Semoga kekakuan dan rasa canggung di antara mereka bisa segera mencair." Itu yang Dewi harapkan, mereka berdua akan segera menikah, bagaimana bisa sepasang suami-istri sekaku itu nantinya? "Tidak akan lama, Wi! Percayalah!" Balas Handira penuh percaya diri. Dewi memalingkan wajah, menoleh menatap Handira yang masih menatap keduanya dari tempatnya duduk. Wajah Handira nampak sangat bahagia, membuat Dewi ikut tersenyum dan merasa bahagia. "Lalu dengan proyekmu, kapan kamu akan mu--.""Sssttt!" Handira memotong pertanyaan Dewi, telunjuknya menepel di bibir, sebuah kode untuk Dewi agar tidak melanjutkan kalimatnya. "Jangan bahas itu di sini, Wi.
Lima tahun kemudian .... "Ziel, ayolah Sayang, kita harus berangkat sekarang!" Namira berteriak, ia memulas lisptick dengan terburu lalu meraih tas dan kunci mobil yang tergeletak di atas meja. Dengan tergesa-gesa ia melangkah keluar kamar, hendak berbelok ke kamar Ziel ketika bocah itu sudah lebih dulu muncul dengan seragam biru-putih dan dasi kupu-kupu. "Siap hari pertama sekolah?" Tanya Namira dengan bersemangat. "Siap dong, Ma! Berangkat sekarang, kan?" Senyum Ziel merekah, senyum yang merupakan warisan dari Dimas ada di wajah itu. Namira mengangguk pelan, ia meraih tangan Ziel dan melangkah bersama keluar dari rumah. Nampak wajah mereka berbinar cerah. Hari ini hari pertama Nazriel Dewangga Putra bersekolah. Tentu bocah lima tahun itu sangat excited sekali, terlebih sang mama sampai menukar shift jaga hanya demi mengantar dan menunggui Ziel di hari pertamanya sekolah. "Nanti pulangnya makan steak ya, Ma?" Ocehnya sambil naik ke atas mobil. "Boleh, yang deket tempat kerja p
Namira melangkah keluar kamar, ia hendak ke kamar mandi ketika lamat-lamat bayangan tubuh itu mencuri atensinya. Langkah Namira terhenti, ia menoleh dan mendapati di teras rumah, Dimas, lelaki yang kini berstatus suaminya itu, tengah menjemur cucian di sana. Alis Namira berkerut, bukankah Dimas baru pulang jaga? Namira pikir dia tengah membersihkan diri dan makan di meja makan, rupanya ... Namira melangkah mendekat, ia baru saja hendak memanggil Dimas ketika suaminya itu lantas menoleh lebih dulu. "Loh, kamu bangun? Ziel bobok?" Tanya Dimas sambil tetap melanjutkan pekerjaannya. "Mau pipis tadi. Aku pikir kamu mandi apa makan gitu. Kenapa malah jadi nyuci?" Tanya Namira lalu membungkuk dan hendak membantu sang suami menjemuri pakaian-pakaian bayi itu. "Et!" Dimas mencekal tangan Namira. "Tadi mau pipis, kan? Sana pipis dulu! Nggak bagus nahan pipis."Namira tersenyum, ia urung membantu suaminya dan segera melangkah masuk kedalam rumah setelah mencubit gemas perut Dimas. Ia berge
"Kenapa ini?"Handira meletakkan pulpen di meja, ia segera menjawab panggilan yang Dimas layangkan padanya. "Kenapa, Dim? Ada masalah?"Handira hendak kembali serius dengan jurnal yang tengah dia baca ketika kemudian Dimas bersuara dengan nada yang cukup serius. "Saya berubah pikiran, Dok."DEG!Jantung Handira seperti hendak meloncat dari tempatnya. Ketakutan itu mendadak menyergap hati Handira dengan begitu kuat. Ada apa ini? Kenapa Dimas tiba-tiba berubah pikiran? "Berubah pikiran yang bagaimana?" Tanya Handira dengan nada panik. Jangan bilang kalau .... "Saya berubah pikiran, Dok. Saya mau izin sama Dokter bahwa saya mengundurkan diri dari misi ini. Kalaupun nanti menantu Dokter dan Namira berpisah, itu bukan karena saya membantu Dokter, tetapi karena saya benar ingin serius dengannya dan menarik dia dari belengu yang dibuat oleh menantu Dokter sendiri."Hening! Handira mengerjapkan matanya, ia tidak salah dengar, kan? Apa yang tadi Dimas katakan? Dia bilang bahwa .... "Ka-k
Handira tertegun, ia meletakkan ponsel di atas meja. Matanya memerah. Ingin dia meledakkan tantis saat ini juga. Namun tidak di tempat ini. Info yang masuk ke dalam ponsel dan emailnya adalah valid! Semua data dan infromasi yang dia terima juga bukan dari orang sembarangan. Handira harus segera bergerak, sebelum semuanya hancur berantakan! "Ya ampun, Gusti!" Handira mendesis perlahan. Segala macam rasa sedih, marah dan kecewa menyeruak dalam hatinya. Belum lagi perasaan bersalah itu ... Semua bergumul menjadi satu dan menghajar Handira dengan begitu luar biasa. Tidak! Ini bukan tentang penyakit mematikan yang dia derita! Tetapi ini tentang Agatha. Putri semata wayang yang begitu dia cintai. Bayangan senyum manis dan gelak tawa wajah itu terbayang di dalam pikiran Handira, hanya beberapa detik karena kemudian bayangan itu digantikan oleh bayangan wajah berurai air mata dengan tangis yang menyayat hati Handira. Handira menarik selembar tisu, ia menyeka air mata yang tak kuasa ia b
"Welcome home, Adel!"Kelvin membuka pintu kamar mereka lebar-lebar, mempersilahkan Agatha yang tengah menggedong Adel masuk terlebih dahulu ke dalam. Koper yang dibawa Handira sudah berpindah ke dalam ruang laundry, kini ia menyusul Agatha dan cucunya masuk ke dalam kamar. "Bobo sini, ya?" Dengan perlahan Agatha menurunkan Adel dari gendongan, membaringkan bayi menggemaskan itu ke dalam boknya. Sebuah bok yang Kelvin beli dan rakit sendiri beberapa minggu yang lalu. Saksi bahwa Kelvin sangat antusias sekali menyiapkan segala macam keperluan untuk menyambut gadis kecilnya yang cantik dan menggemaskan. "Lepas aja itu bedongnya, gerah siang-siang begini dibedong." Handira menatap Adel dari sisi kiri, nampak rona bahagia itu abadi di wajahnya. "Iya-iya, Ma. Ini Thata lepas." Agatha segera menuruti perintah mamanya, dengan lembut dan perlahan bedong itu dia lepas. Handira tersenyum, ia menarik kain bedong itu dan membawanya dipundak. Matanya belum mau lepas menatap wajah cantik dan
"Aduh-aduh si Gemoy!"Ruang inap Agatha jadi riuh. Sore hari, Dewi dan Ahmad benar-benar datang. Bahkan papa mertuanya itu masih sangat rapi karena pulang mengisi simposium langsung terbang demi melihat cucunya. "Adel, Ma. Namanya Adel!" Desis Kelvin merevisi, Kelvin sendiri sudah dengan setelan scrub, ia izin sebentar pada chief residennya untuk menemui Ahmad dan Dewi yang baru datang. "Biarin ih! Panggilan kesayangan kok." Balas Dewi tak mengindahkan. Kelvin mencebik, ia malah jadi macam kambing congek. Tidak ada yang peduli padanya. Semua perhatian tertuju pada Adel! Dia bintangnya sekarang. "Gimana, Tha? Ada keluhan?" Ahmad duduk di kursi yang ada di sebelah bed Agatha, Agatha sendiri duduk di tepi ranjang, tengah memperhatikan bagaimana para nenek itu sedang heboh menggendong cucunya. "Biasalah, Pa. Bekas jahitannya ini." Jawab Agatha sambil tersenyum getir, meskipun tidak sesakit kontraksi atau pas melahirkan, namun tetap saja rasa perih itu sangat menganggu dan membuatnya
"Kenapa?"Agatha menatap heran Kelvin yang duduk sambil terus tersenyum ke arahnya. Ia tengah menyusui Adel saat ini, membuat Agatha malah berpikiran yang tidak-tidak pada suaminya itu. "Mas, kenapa sih?" Kembali Agatha bertanya, setelah pertanyaannya tadi diabaikan oleh Kelvin. Ia masih duduk dengan senyum lebar di sisi Agatha. Kelvin tidak langsung menjawab, ia malah meraih tangan Agatha, meremas tangan itu dengan lembut lalu menciuminya berkali-kali. Setelah puas Kelvin kembali mengangkat wajahnya, kini ia menatap Agatha dengan mata memerah. "Kamu kenapa?" Sekali lagi Agatha bertanya, ia benar-benar heran, kenapa dengan suaminya ini? "Aku bahagia banget hari ini, Yang. Sumpah ini hari paling membahagiakan dalam seumur hidup aku!" Ucapnya kemudian dengan air mata menitik. Agatha tertegun sejenak, ia menatap Kelvin dengan saksama. Bulir-bulir air mata itu terlihat menetes dari pelupuk mata Kelvin, Agatha belum sempat bersuara, Kelvin kemudian lebih dulu menyambung kalimatnya. "
"I-ini ....." Agatha tercekat ketika bayi berselimut biru itu diletakkan Handira di dadanya. Air matanya menitik. Tangis Agatha pecah. Semua lelah dan rasa sakitnya mendadak sirna tak berbekas. Dengan tangan bergetar, Agatha perlahan-lahan menyentuh tangan kecil yang sudah memakai gelang identitas itu. Sangat lembut dan rapuh! Agatha meraung, ini benar anaknya? Yang selama ini hidup dan tumbuh dalam rahimnya? Agatha terisak, matanya terpejam sambil memeluk makhluk kecil dan lemah yang berada di atas dadanya. Ia terkejut ketika ada isak tangis lain dan kecupan yang bertubi-tubi mendarat di dahi dan pipinya. "Makasih banyak, Sayang!" Bisik Kelvin di sela-sela tangisnya. Agatha tidak merespon, ia tengah sibuk mengekspresikan perasaannya lewat isak tangisnya sendiri. Jadi begini rasanya menjadi seorang ibu? Sebahagia ini? Agatha mengelus lembut kepala kecil itu sampai kemudian Handira mendekat dan ikut mengelus tubuh kecil itu perlahan-lahan. "Yuk buka dulu bajunya, Tha. Si cantik
"Udah lima, Dok!"Kelvin menghela napas panjang. Mereka sudah sampai VK saat ini, Agatha sudah berbaring di atas bed dengan wajah pucat pasi. "Yaudah ditunggu dulu. Aman kok, nggak ada penyulit, hasil tes lab terakhir bagus semua. Yuk bisa yuk pervaginam." Dokter Nico yang seharusnya masih tidur di kamar bersama istrinya pun sudah stand by meskipun dengan wajah setengah mengantuk. "Mohon bantuannya ya, Dok!" Mohon Handira yang sama pucatnya dengan Agatha. "Oo, jangan khawatir, Dok. Sudah jadi tugas saya itu." Dokter Nico tersenyum, mengangguk pelan lalu menoleh ke arah Kelvin. "Vin saya ke ruang jaga dulu. Nanti langsung telpon aja ya ke saya, atau lewat perawat jaga juga boleh deh."Kelvin hanya mengangguk patuh. Ia sama sekali tidak menyingkir barang sedikitpun dari sisi Agatha. Begitu dokter Nico melangkah keluar, Kelvin menjatuhkan kecupan di puncak kepala istrinya cukup lama. Tangan Kelvin masih menggenggam dan meremas-remas lembut tangan Agatha sejak tadi. "Semangat, ya? A