“Di mana adik gue? Kenapa lo bawa gue ke sini?”
Tara mengikuti langkah pria asing itu yang terus berjalan menjauhi Tara. Kivanc hanya ingin duduk di kursi minibar, menuang wine dan menikmati ketenangannya ditemani kehadiran Tara di sisinya. “Ini kali pertama gue berurusan dengan pria aneh kayak lo.”
Wajah Kivanc memandang Tara dengan tatapan mengejek. “Dan kali pertama aku bertemu kamu. Seorang perempuan yang minim senyum, ekspresi manis dan menggairahkan. Kamu terlalu dipandang misterius oleh pria di dalam klub. Tapi mampu memikat mereka untuk masuk dalam perangkap kamu,” jelas Kivanc.
Pria itu memosisikan duduk menghadap Tara. Dipandanginya paras cantik yang kini menunjukkan lagi tatapan dingin. “Aku akan memberitahu di mana adik kamu berada, kalau perjanjian di antara kita sudah disepakati.”
Tara menarik sudut bibir. “Lo berpikir, gue akan mengikuti permintaan yang lo buat sepihak? Keuntungan akan tetap berjalan di pihak lo. Mungkin, gue akan menjadi budak seks—“
“—Kamu bukan tipe perempuan yang aku suka. Bahkan, membawa kamu ke ranjang untuk menghangatkan milikku ... nggak pernah terpikirkan sama sekali.”
Bibir ranum itu terkatup rapat. Sedikit nyeri melintas saat kali pertama ada pria lain yang berhasil mencampakannya lewat ucapan santai. Harga dirinya jauh lebih dipertaruhkan saat kalimat itu menghunus tepat di dalam hati Tara.
Tara menahan gejolak berlebih. Ia sedikit mendongakkan wajah saat pria tinggi bertubuh atletis itu berdiri di hadapannya. Sebuah sentuhan di dagu ditepis kasar.
Kivanc terkekeh pelan dengan penolakan Tara. “Apa aku nggak bisa mencicipi bibir ranum kamu sedikit aja, Nona?” tanya Kivanc.
“Lo munafik,” desis Tara mengingat ucapan Kivanc belum terhitung lima menit.
Pria itu mendengkus geli dengan anggukan pelan. “Ah, iya. Aku lupa mengingat penjelasanku tadi,” balas pria itu membawa telapak tangan menangkup pipi Tara.
Telapak tangan itu menyentuh permukaan kulit pipi Tara begitu lembut. Gelenyar dalam tubuh Tara tidak bisa ditolak. Ia tertegun. Terkunci sesaat memandang lekat manik hijau tersebut. “Kivanc.”
Ia menyeringai tipis saat manik hitam Tara mengerjap. “Kita belum berkenalan sama sekali, meskipun aku sudah mengetahui nama kamu dan sedikit identitas yang kamu miliki. Jadi, ingat baik-baik namaku, Nona,” jelas Kivanc.
Tara menghempaskan kasar tangan Kivanc. Tatapannya berubah tajam, memberikan penolakan kuat untuk terikat lebih jauh dengan Kivanc. “Beritahu gue di mana Flora dan urusan kita bisa selesai.”
“Sebelum kamu menandatangani surat perjanjian di antara kita. Aku nggak akan mempertemukan kamu bersama adik kesayangan kamu,” balas pria itu.
“Lo ingin bermain-main dengan gue?” tanya Tara dingin. Ia sudah lelah dan tidak terbiasa berada lebih lama dengan seorang pria dalam satu ruangan.
Bukan. Ini hanya percakapan intim yang membuang waktu dibandingkan saat Tara harus bermanja menjebak seseorang.
“Kalau lo menginginkan gue nggak mengusik keharmonisan pasangan lain. Itu akan gue lakukan mulai detik ini. Sekarang beritahu gue di mana Flora, lalu urusan kita selesai sampai di sini.”
“Ternyata kamu sangat keras kepala,” balas Kivanc mendengkus geli.
Ia melemparkan tatapan menyelidik di balik senyum manis yang ia berikan. Dengan satu jentikan jari, seorang pria mengetuk pintu yang menghubungkan pantri. Pria itu datang dari arah ruang tengah.
Seorang pria berkelapa pelontos dengan kaus ketat berwarna hitam mendekati Kivanc, lalu menyerahkan satu map berisi lembaran kertas. Pulpen itu terselip di dalam lembaran yang diperlihatkan Kivanc di atas minibar.
Jemari Kivanc terketuk di atas surat. “Silakan baca dan tandatangani kalau kamu ingin aman dengan adikmu,” ucap Kivanc.
Kening Tara mengkerut. Ia mendekat, lalu menelisik isi dari perjanjian dan dibalas dengkusan mengejek. “Lo nggak berusaha mencari kesempatan?”
“Buat apa? Aku udah bilang nggak tertarik sama tubuh kamu.”
Embusan napas santai berbanding terbalik dengan rahang Tara yang mengetat. Ia tidak mengerti alasan di balik keinginan kuat Kivanc mengurung Tara dalam perangkap lewat sebuah perjanjian kontrak.
Di dalam tertera jelas, jika Kivanc hanya meminta Tara tidak melanggar kesepakatan mengenai Tara sebagai perusak hubungan orang. Ia jelas mendeskripsikan posisi Tara sebagai perempuan simpanan atau selingkuhan.
“Dan lo begitu peduli sama gue?”
“Kamu perempuan baik. Aku percaya itu.”
Tubuh Tara membeku. Kalimat lembut itu meluncur, memecahkan ketegangan dan rasa kesal Tara terhadap Kivanc. Pria itu memberikan tatapan teduh, lalu menarik kedua sudut bibir. “Aku nggak tau sepenuhnya tentang apa yang kamu lalui hingga detik ini. Tapi melihat kamu hidup dalam dendam, kamu hanya akan merusak diri kamu sendiri.”
“Satu atau dua kali, kamu bisa bebas dari kejaran mereka. Sayangnya, kamu lupa berhadapan dengan siapa. Target yang sudah berada dalam jebakan kamu. Mereka semua memiliki pengaruh besar di kota ini. Kamu salah jika sudah merasa aman dan menang,” jelas Kivanc, membuat wajah Tara merah padam.
Ia menggeleng tegas. Merasa sudah terlalu jauh Kivanc menerka jalan hidupnya. Perempuan itu segera mengambil alih map berisi perjanjian. “Lo menginginkan gue tunduk di hadapan lo, kan?” map itu diperlihatkan tepat di depan Kivanc.
Tara menaikkan sebelah alis, lalu memberikan tatapan dingin bersama lembaran yang dirobek. “Gue nggak peduli dengan apa pun, termasuk saat lo mengancam gue lewat adik yang entah di mana keberadaannya.”
“Setelah ini gue akan laporkan lo atas kasus penculikan terhadap anak kecil,” desis Tara berbalik meninggalkan Kivanc yang tidak menahan kepergian Tara.
Pria itu justru mendengkus geli. Ia kembali duduk dan menikmati minuman di saat sebenarnya perempuan itu dalam pengintaian orang jahat. “Mari kita lihat, apa yang terjadi setelah ini,” gumam Kivanc.
“Berengsek,” desis Tara berulang kali membuka kenop pintu, tapi tetap saja celah untuknya keluar sangat sulit.
Suara dari belakang membuat Tara berbalik dan menatap nyalang Kivanc. “Lo takut sampai harus mengurung gue di sini?”
“Takut untuk apa?” tanya balik Kivanc menantang dengan seringai tipis.
Kedua tangan pria itu dimasukkan dalam saku celana, berjalan mendekati Tara dengan tatapan lembut. “Silakan kamu pergi dari sini, Nona.”
“Dasar pria gila!”
“Apa gue bisa keluar dari sini dengan kunci yang lo simpan?”
Bahkan, ada alternatif lain untuk membuka pintu unit ini dengan sebuah password. Namun, Tara juga tidak tahu mengenai kode tersebut. “Kamu masih memiliki cara lain untuk keluar dari sini.”
Tara merasakan embusan napas memburu dan kedua tangan yang terasa ringan untuk memberikan pukulan bertubi. Pria itu sedang mempermainkan Tara, menguji kesabaran yang sejak beberapa tahun lalu ditutupi oleh sikap datar.
Dirinya tidak pernah tersulut emosi sejauh ini. “Apa yang bisa gue lakukan biar keluar dari neraka ini?”
Kivanc tertawa mendengar pertanyaan sekaligus menjadi sindiran sarkas. “Kamu terlalu berlebihan memikirkan penculikan adik angkat, lalu mendapati diri kamu berada di sini. Aku hanya ingin mengundang tamu baru. Karena kamu orang pertama berstatus asing yang menjejaki apartemen ini.”
“Aku belum mengenal siapa pun di kota ini,” tambah pria itu memberikan tatapan sedih.
Tara membuang pandangan. Ia tidak peduli ada cerita terselip tentang siapa dan bagaimana pria itu menghabiskan hari di Jakarta.
“Hanya ada satu cara jika kamu ingin pergi dari sini.”
Kivanc menemukan manik hitam itu menyorot tajam. Pria itu kembali menilik tubuh sempurna Tara, lalu berucap nyaris terkesan sensual, “Menarilah untukku malam ini.”
**
Tara mendengkus mengejek. “Pilihan lo nggak akan pernah gue lakukan.” “Nggak ada satupun orang yang bisa memaksa ataupun menyuruh gue melakukan tarian. Gue melakukannya karena suka, bukan sebuah paksaan,” desis Tara. Semua pria sama saja, tidak bisa melihat dan membiarkan para perempuan bebas mengekspresikan diri. Termasuk saat Kivanc baru beberapa menit lalu mencampahkan Tara dengan kalimat menyakitkan. Sekarang, pria itu seolah ingin menarik kembali ucapan yang sudah dibuang tanpa perasaan. “Gue yakin lo pria yang memegang ucapannya sendiri. Apalagi lo udah melihat gue sebagai bukan kriteria lo,” tambah Tara. Kivanc tersenyum tipis saat Tara berlalu memasuki salah satu kamar. Rencananya berhasil membuat Tara mengalah dan memutuskan pembicaraan mereka; mengalah. Perempuan bertubuh semampai itu mematung di depan kamar. Ia baru saja memasuki pintu lain, lalu melihat interior dengan kamar yang sudah terisi. Di atas meja rias itu sudah terisi beberapa perlengkapan make up. “Pakaian
“Maaf, Tuan. Nona Gistara berhasil kabur dengan mengelabui kami berdua.” deru napas tersengal terdengar jelas di telinga Kivanc. Pria itu melirik sekilas dari samping, jika dua anak buahnya datang menemui Kivanc di salah satu ruang kerja yang ada di unit apartemen baru miliknya. Mereka memperlihatkan raut menyesal dan sangat takut telah gagal memantau Tara di ruang gym. “Benar, Tuan. Nona Gistara sudah pergi dari ruang gym yang hanya menyisakan beberapa orang saja,” timpal satu pria lagi. Mereka juga ditugaskan untuk ganti memakai pakaian olahraga. Tapi mereka tidak pernah berpikir, jika Tara akan mengabaikan ancaman Kivanc tadi pagi. Karena perempuan itu meminta izin secara memaksa untuk menikmati fasilitas di area gedung apartemen. Kivanc tersenyum samar. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaan yang tertunda. Cuaca di Jakarta dan pemandangannya sudah lama tidak ia temui. “Kalian sudah melakukan hal yang tepat,” balas pria itu berdiri, lalu memandang mereka yang memperlihatkan raut
“Kamu? Aku pikir siapa yang bertamu sore hari dengan membunyikan bel terus menerus.” Kivanc menyambut tamu kehormatannya di depan pintu unit. Paras dingin itu tetap saja memperlihatkan raut pucat yang kentara. “Apalagi nggak ada sopan satun dalam menekan bel.” Kivanc tersenyum samar. Ia sudah cukup puas, meskipun hanya melihat raut pucat Tara yang menipis. Pria itu akui, jika Tara memang memiliki ego yang tinggi dan selalu berusaha keras menutupi kelemahannya. Sorot manik hitam itu memandang lurus Kivanc. “Mereka datang sesuai apa yang lo prediksi.” Kening pria keturunan Jerman – Turki itu mengernyit. Ia masih nyaman berdiri di ambang pintu, membiarkan Tara tidak ia persilakan masuk dengan cepat. “Siapa yang kamu maksud dengan kata mereka?” Tara menatap datar Kivanc celingukan di balik tubuhnya, menelisik keadaan sekitar lantai koridor. Tidak banyak orang lewat di area koridor, kecuali beberapa petugas kebersihan. “Gue memang cukup kaget karena ini kali pertama rencana gue gagal
Tara menatap dingin kekacauan kamar yang ia ciptakan. Seluruh barang berserakan dan lampu tidur itu sudah rusak. Benda tersebut beberapa waktu lalu dilempar ke arah Kivanc dan mengenai perut pria keturunan Jerman – Turki. “Dia berbohong,” desis Tara, mengingat erangan Kivanc tidak sesuai apa yang terjadi selanjutnya. Pria itu justru menenangkan Tara yang tertangkap menitikan air mata, mencoba meraih bahu dan berucap jika Kivanc baik-baik saja. Sepertinya ia terlalu berlebihan untuk menyesal telah melakukan hal kejam pada pemilik unit. Ia juga tidak bisa mengendalikan diri saat potongan ingatan itu silih berganti hampir sama, mengulang Tara dalam masa lalu kelam. Kedua tangan Tara terkepal kuat. Sorot tajam perempuan yang masih berbalut handuk menatap dirinya sendiri dari pantulan cermin rias. Ada retak kecil di titik fokus akibat lemparan Tara yang sangat brutal dan tidak terkendali. “Pria asing itu hampir tau kelemahan gue,” ucap perempuan itu. Rahang Tara mengetat dengan embusa
Sirene ambulans menarik atensi nyaris seluruh penghuni kompleks perumahan dengan type satu tingkat itu. Mereka keluar, melihat ambulans berhenti di salah satu rumah dan dengan cepat membawa satu lelaki mendapatkan perawatan intensif. Lelaki itu tergolek lemah di atas brankar, mengandalkan hidup dari masker oksigen. Napasnya nyaris terputus dan suara histeris sang istri tidak terelakkan. Banyak dari mereka bersimpati, mendekat lalu memberikan kata penenang. Kenapa dia nggak langsung mati? Manik hitam Tara terus saja menyorot sang istri lelaki tersebut yang meraung penuh tangis. Ia melihat sang istri yang mulai ikut naik ke dalam ambulans, disusul petugas medis lainnya yang sigap. “Suami Bu Diandra terkena serangan jantung.” “Untung ambulansnya cepat datang,” timpal salah satu ibu-ibu dari mereka yang berkumpul. Tara hanya melirik malas. Ia pikir, tetangga yang rumahnya hanya disekat oleh dua rumah lain, bisa membawa kabar yang membahagiakan untuk dirinya. Tapi di saat jam sudah m
Tara membuka pintu rumah dan mendapati perempuan cantik itu sudah terlihat lelah. “Sorry, Ra! Gue abis ngerayain ulang tahun teman gue dan baru di antar jam segini,” ucapnya tersengal. Karena portal kompleks sudah ditutup dan jika mengambil arah lain, maka akan jauh memutar. Ia lebih baik mengambil rute cepat dan memang harus sedikit berlari karena keadaan malam yang sudah sepi. Tara melirik jam di dinding ruang tamu. “Nggak apa-apa jam setengah satu lo datang. Kebetulan Flo tidur lebih larut karena masih ketakutan,” cetus Tara membuka pintu untuk Karina—teman semasa kuliah Tara—berbeda jurusan. Keduanya dipertemukan karena sebagai mahasiswi baru dan saling mengurus segala administrasi bersama. “Jadi beneran, si tua bangka itu kena serangan jantung?” Karina duduk nyaman seraya mengumpulkan oksigen lebih banyak. Karena lari malam tanpa pemanasan memang sangat menyebalkan. Ia melihat Tara duduk tenang di hadapannya dan mengangguk santai. “Tadinya gue udah berharap dia mati lebih c
Karina mengerjap tidak menyangka sambil memertahankan tangan yang menyibak gorden. Manik hitam perempuan itu menelisik lebih lekat kegiatan apa saja yang ada di rumah seberang Tara. Lampu teras menyala dan bagian kamar pun sama. Tidak terlihat mencurigakan sama sekali. Gorden itu ditutup cepat. “Gue tertinggal banyak berita dari lo karena sibuk kerja,” cetus perempuan memperlihatkan raut kaget yang belum bisa pudar. “Sampai pada akhirnya, gue diberitahu sama lo tentang pria asing itu tinggal berseberangan. Gue rasa dia beneran bukan orang kayak kita atau seseorang yang menghabiskan liburan di negara ini.” Karina memberikan penjelasan sambil mengambil duduk di depan Tara. Ia biarkan Tara menikmati nikotin yang terjepit cantik di jemari lentiknya. Keadaan di sekitar mereka sudah sangat tepat membiarkan Tara merokok karena Flora yang sudah terlelap di kamar. “Gue dijanjikan lebih dari 1M sama dia.” “Satu em—“ “—ber.” Bibir Karina terkatup rapat antara ingin terbahak atau melanjutk
Pagi ini Tara berbagi tugas dengan Karina. Perempuan itu membawa Flora ikut bekerja di salah satu perusahaan ternama, membiarkan anak perempuan manis itu duduk dan menunggu Karina menyelesaikan pekerjaannya.Setidaknya, Karina mendapatkan akses lebih bisa membawa orang lain, melalui jalur orang dalam. Karena anak dari pemilik perusahaan itu adalah kekasih Karina.Jadi, Tara akan aman menitipkan Flora pada Karina dan ia bersiap membereskan rumah, lalu pergi bekerja di showroom. Ini kali terakhir ia bekerja setengah hari, lalu mengajukan pengunduran diri dan berangkat sore hari.Ia adalah satu-satunya orang yang berani meminta pekerjaan, tapi disesuaikan dengan kebutuhan Tara.Perempuan itu hanya tidak ingin meninggalkan Flora terlalu lama dan membuat anak perempuan itu kesepian.Dunia terlalu kejam dan terkadang lingkup sekitar sangat rentan membawa perkara. Karena ia tidak memercayai orang lain lagi apalagi membiarkan Flora sendirian di rumah, ditinggal saat Tara bekerja.“Lantainya t
“Iya, aku baik-baik aja dan Flora juga bahagia ada di dekatku.”Tara tahu Kivanc beberapa kali mencuri pandang ke arah dirinya yang menanggapi telepon dari Rio. Setelah pukul delapan pagi setempat membalas pesan Rio. Pria itupun meminta izin menelepon Tara dan perempuan itu tidak memiliki pilihan lain kecuali untuk menanggapinya.“Habiskan minum susu dan serealnya, Flo. Sebentar lagi kita akan bersandar di pulau tetangga yang indah.”Flora mengangguk cepat dengan binaran bahagia. Anak perempuan itu sudah rapi dengan setelan jumpsuit dipadukan topi pantai berwarna coklat muda.Ia segera meninggalkan Tara dan Kivanc yang berada di ruang tengah untuk duduk manis di atas kursi meja makan.“Jadi, kapan undangan pernikahan kamu dan duda anak satu itu ada di tanganku?”Manik hijau Kivanc melirik ponsel yang masih dalam genggaman Tara. “Di luar urusan pekerjaan, kalian sangat dekat. Panggilan seorang Bos dan karyawan berubah menjadi lebih akrab, aku – kamu.”Kivanc mengikis jarak setelah bera
Satu perempuan cantik meliukkan tubuh erotis di tiang tengah klub. Atensi dari ingar bingar kian memanaskan malam yang semakin bergairah. Tara melihat banyak tatapan lapar pria dari kalangan terpandang mencuri, mengabadikan dengan sorot tajam berkabut hasrat ditemani sentuhan perempuan di sisi mereka.Ia menarik sudut bibir. “Terkurung dan ingin bebas mengepakkan sayap,” desis Tara mengepalkan kedua tangan.Kesepakatan di atas kertas dalam bentuk perjanjian, memberikan kesimpulan secara garis besar, jika Tara tidak boleh mengusik kehidupan hubungan orang lain lagi. Tapi tidak ada yang bisa mengatur dirinya untuk berekspresi, bukan? Tara bebas melakukan apa pun, termasuk menggantikan atensi para pengusaha muda dan berusia di atas lima puluh tahun itu.“Dia sakit?!”“Oh, Astaga! Bagaimana bisa di saat kapal ini berlayar dan lebih banyak mengangkut para pengusaha muda yang berlibur, justru kita mendapatkan kabar buruk?! Kalian bisa didepak dari kapal ini jika tidak becus bekerja!”Bentak
“Gue nggak suka berutang, apalagi dengan orang yang baru dikenal.” Sebelah alis Kivanc terangkat. Ia melihat sorot dingin dari Tara yang mengambil alih pintu unit. Perempuan itu sengaja membiarkan Flora masuk duluan. Mereka bertiga menghabiskan waktu di Paradise Cruise dan berakhir makan malam bersama penuh dengan sajian mewah yang belum pernah Tara cicipi. “Aku masih nggak percaya kalau kamu ternyata lamban memahami penjelasan seseorang.” kedua sudut bibir itu menyeringai puas melihat Tara semakin dingin menatap lawan bicaranya. Dengan santainya Kivanc melirik arloji yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Besok mereka masih akan menikmati keindahan kapal pesiar yang membelah lautan, sudah menjauhi negara Singapura. “Kamu sudah mengantuk atau perlu ditemani?” “Gue butuh lo pergi dari hadapan gue,” balasnya datar. “Tapi aku nggak melihat penjelasan itu dari raut wajah kamu yang kesepian,” balas Kivanc dengan santai mengikis jarak. Pria dominan itu segera mengulurkan tangan
Anak perempuan dengan bandana biru muda itu terlihat bahagia. Senyum semringah selama di pesawat, tergantikan sorot takjub, nyaris tidak berkedip melihat kapal yang ia anggap sangat besar, bersandar di pelabuhan. Flora jingkrak bahagia setelah sadar, lalu mendekat pada Kivanc di sampingnya dengan mengayunkan tangan kiri. Kivanc tertawa kecil dan berjongkok dan memainkan jemari tangan. Kapal ini besar, kan? Flora mengangguk cepat, memperlihatkan deretan gigi rapinya. Sekarang, kita harus melihat isi yang jauh lebih lengkap. Ada kolam renang yang akan membuat kamu takjub. Manik hitam pekat itu membeliak sempurna. Ia tengah membayangkan dalam pikiran seorang anak kecil berusia tujuh tahun, ada kolam renang di atas kapal pesiar. Berbeda dengan Flora yang terlalu menunjukkan antusias. Tara bergeming dengan apa yang baru kali pertama ia lihat. Sebenarnya sudah banyak kapal besar bersandar di pelabuhan bagian Indonesia. Entah di wilayah mana yang kerap ia datangi bersama orangtua ata
Kali pertama melihat emosi Tara yang meledak, membuat Kivanc pada akhirnya tahu jika Tara pernah terluka sangat perih. Ia baru menemukan benang yang sesungguhnya, mengetahui lebih jauh ada perselisihan di antara Tara dan tetangga, sekaligus wanita yang pernah memandang Tara sebagai kekasih putranya.“Kalau niat lo cuma melamun dan menutup gerak gue. Mending lo duduk daripada tubuh tinggi lo menghalangi jalan gue di dapur kecil ini.”Suara ketus Tara menyadarkan keterdiaman Kivanc.Tara melirik datar Kivanc yang hanya memegang cooper tanpa memasukkan bahan yang sudah ia bersihkan. “Biar gue yang haluskan,” cetusnya dan mengambil alih, menjauhkan benda tersebut dari jangkauan Kivanc.Manik hijau Kivanc mendapati perempuan mandiri di sampingnya sangat berbeda dari pertemuan pertama. Perbedaan itu terlihat ketika Tara berusaha menjadi sosok penyayang pada Flora, lalu memenuhi semua kebutuhan anak perempuan itu termasuk apa pun yang diinginkan Flora.Salah satunya, ketika anak perempuan it
“KATAKAN?! SIAPA YANG TELAH MENGGAGALKAN RENCANAKU UNTUK KESEKIAN KALINYA MENGHUKUM PEREMPUAN MURAHAN ITU, HAH?!” Lelaki tua dengan tubuh gempal dan berkepala pelontos, mengguncang tubuh salah satu pria yang sedikit lebih tinggi tersebut. Ia tetap diam sekalipun berulang kali mendapati suara lelaki tua itu memekakan telinga. Bahkan, dua rekannya hanya diam, menonton teman mereka yang menjadi pelampiasan sang politikus. “Berapa kali harus saya katakan. Jika Tuan saya tidak ingin berurusan dengan orang bodoh seperti Anda.” “BERENGSEK!” “KAMU BERANI SEKALI MENGHINAKU!” Tubuh itu terempas hingga terjerembab. Ia tetap diam, meskipun tubuhnya sedikit sakit oleh dorongan kuat tersebut. Pria muda itu berusaha berdiri sendiri, lalu merapikan kaus putih polos dipadukan celana panjang yang sedikit kotor. Ruangan luas bekas pabrik yang baru ditinggalkan dari keseluruhan aktifitas dua tahun lalu, menjadi tempat yang tepat mempertemukan dua orang berbeda kelas. Tentu Atasannya adalah orang y
“Wow! Ambil cuti istirahat atau mau liburan? Mudah banget ya, izin satu bulan penuh dan sangat mudah lo dapatkan. Asik banget, sih.”Tara mengabaikan sindiran keras Adisty yang mendatanginya ke area loker karyawan.“Padahal, nggak ada tanggal merah ataupun libur besar lainnya,” sambung Adisty menyandarkan punggung di samping loker Tara.Senyum sinis dan tatapan merendahkan diterima Tara saat perempuan itu menutup, lalu mengunci loker miliknya.Ia sedang membereskan beberapa barang yang akan dibawa pulang. Tara bukan tunduk pada ancaman atau raut puas Kivanc pagi tadi. Ia hanya memikirkan untuk menyepi sementara waktu dari kejaran sang politikus yang sewaktu-waktu akan balik mencari celah, lalu menculik atau bisa berakhir membunuh Tara.Ucapan Adisty adalah sindiran keras karena pemilik tempat perempuan itu bernaung sangat mudah memberikan kelonggaran bagi pegawai spesial. Oh, iya, ralat. Lebih tepatnya sangat spesial.Adisty melipat kedua tangan di dada. “Lo hargai berapa tubuh lo sam
Pagi ini Tara berbagi tugas dengan Karina. Perempuan itu membawa Flora ikut bekerja di salah satu perusahaan ternama, membiarkan anak perempuan manis itu duduk dan menunggu Karina menyelesaikan pekerjaannya.Setidaknya, Karina mendapatkan akses lebih bisa membawa orang lain, melalui jalur orang dalam. Karena anak dari pemilik perusahaan itu adalah kekasih Karina.Jadi, Tara akan aman menitipkan Flora pada Karina dan ia bersiap membereskan rumah, lalu pergi bekerja di showroom. Ini kali terakhir ia bekerja setengah hari, lalu mengajukan pengunduran diri dan berangkat sore hari.Ia adalah satu-satunya orang yang berani meminta pekerjaan, tapi disesuaikan dengan kebutuhan Tara.Perempuan itu hanya tidak ingin meninggalkan Flora terlalu lama dan membuat anak perempuan itu kesepian.Dunia terlalu kejam dan terkadang lingkup sekitar sangat rentan membawa perkara. Karena ia tidak memercayai orang lain lagi apalagi membiarkan Flora sendirian di rumah, ditinggal saat Tara bekerja.“Lantainya t
Karina mengerjap tidak menyangka sambil memertahankan tangan yang menyibak gorden. Manik hitam perempuan itu menelisik lebih lekat kegiatan apa saja yang ada di rumah seberang Tara. Lampu teras menyala dan bagian kamar pun sama. Tidak terlihat mencurigakan sama sekali. Gorden itu ditutup cepat. “Gue tertinggal banyak berita dari lo karena sibuk kerja,” cetus perempuan memperlihatkan raut kaget yang belum bisa pudar. “Sampai pada akhirnya, gue diberitahu sama lo tentang pria asing itu tinggal berseberangan. Gue rasa dia beneran bukan orang kayak kita atau seseorang yang menghabiskan liburan di negara ini.” Karina memberikan penjelasan sambil mengambil duduk di depan Tara. Ia biarkan Tara menikmati nikotin yang terjepit cantik di jemari lentiknya. Keadaan di sekitar mereka sudah sangat tepat membiarkan Tara merokok karena Flora yang sudah terlelap di kamar. “Gue dijanjikan lebih dari 1M sama dia.” “Satu em—“ “—ber.” Bibir Karina terkatup rapat antara ingin terbahak atau melanjutk