Dokter mengatakan bahwa Alara mengalami reaksi hemolitik imun akut. Komplikasi ini jarang terjadi, tapi sifatnya bisa gawat darurat jija dialami pasien. Reaksi hemolitik imun akut terjadi ketika tubuh menyerang darah merah yang berasal dari darah donor. Reaksi dapat terjadi saat proses transfusi sedang berlangsung atau setelah prosedur dilakukan.Sampai saat ini perempuan itu masih tak sadarkan diri. Dokter terus berupaya melakukan berbagai macam cara untuk membuat Alara mampu melewati masa kritisnya. Satu jam berlalu kami menunggu di depan ruang ICU, tetapi Dokter masih belum juga memberi keterangan pasti. Begitu pintu ruang ICU terbuka, aku dan Bu Amelia langsung bangkit dari posisi. Sejenak Dokter lelaki tersebut membuka kacamatanya dan mengusap peluh."Kami sudah berusaha memaksimalkan mungkin tapi beberapa teknologi di rumah sakit kami masih sedikit kurang memadai. Bu Alara harus di rujuk ke rumah sakit yang lebih besar." Dokter menghela napas panjang. "Untuk sementara kami n
***Hari ini aku berniat untuk menjenguk Alara ke rumah sakit, mumpung masih ada Bunda di rumah yang jagain Alea. Karena tidak mungkin juga aku bawa Alea ke rumah sakit, aku sudah menyiapkan makanan untuk di bawa ke rumah sakit buat Mas Arga makan. Sengaja aku tidak memberitahu Mas Arga terlebih dahulu karena aku ini inisiatifku. "Bun, aku berangkat ke rumah sakit dulu, yah? Bunda jagain Alea, aku tidak akan lama, kok." Ucapku sembari menuapkan bekal makanan untuk Mas Arga."Naya, mau-maunya kamu jengukin madu kamu itu, lebih baik kamu doakan saja dia biar cepat mat_" kalimat Bu Riska terputus karena Naya memotongnya."Bun! Nggak baik mendokan yang tidak baik, jangan bilang begitu, doakan biar cepat sembuh biar masalah aku dan Alara bisa segera selesai." Sahutku meminta Ibu mengerti."Mendingan kalau dia sembuh dan dia mengalah menyerahkan Arga buat kamu, coba kalau dia merebut Arga kemudian Arga memilih wanita jalang itu! Kamu juga, kan, yang akan rugi." Cetus Bunda semakin emosi.
Sesampainya aku dan Arga di depan pintu ruangan Alara, Bu Amelia dan Roy sudah berdiri di sana, kulihat Bu amelia terlihat menangis. Dokter yang sedang memeriksa keadaan Alara saat itu, rasa yang tak tahu apalagi yang kurasakan ini antara tidak senang mendengar jika Alara sadar dari komanya. "Bu! Gimana Alara?" Tanya Arga sesampainya di sana. "Alara lgi d periksa oleh dokter!" Ucap Bu Amelia tegang."Memang benar Alara sadar, bu?" Tanya Arga serius."Iya, tadi dia memanggil-manggil nama kamu, Ga!" Jawab Bu Amelia.Deg! Aku melngkah selangkah ke belakang memegang pelan, dadaku yang terasa sesak ketika mendengar penuturan Bu Amelia bahwa orang pertama yang Alara sebut ketika ia sadar dari komanya adalah Arga! "Dok! Bagaimana istri saya?" Tanya Arga ketika Dokter keluar dari ruangan Alara."Alhamdulillah, akhirnya Bu Alara sekarang sadar, dia sudah sadar dari komnya. Semua doa dari kalian tuhan mengabulkannya, akhirnya Alara sudah melewati masa kritisnya. Dan dia memanggil-manggil Na
"Nay! Udah selesai bicaranya dengan Alara?" Tanya Arga ketika Naya keluar dari ruangan rawat Alara."Udah, aku pulang. Aku khawatir Alea rewel di rumah, kamu pulang sekarang atau nanti?" Tanya Naya ketus."Loh, kenapa? Bukannya kamu mau nanti aja pulangnya bareng sama aku." Ucap Arga aneh melihat sikap Naya."Yaudah." Naya melangkah pergi dengan raut wajah yang kesal."Ada apa dengan Istrimu itu, Ga? Apakah dia ada masalah, kok jutek tiba-tiba," sahut Roy.Arga juga bingung dan tak tahu Masalah Naya seperti itu. Kemudian Roy yang giliran masuk ke ruangan Alara, karena dia sudah kangen dengan sahabat bawelnya tersebut."Aku masuk, yah. Aku udah kangen sama si bawel!" Ucap Roy kemudian masuk ke dalam ruangan Alara"Hay! beb, gue kira lo akan mati, karena lo nggak bangun-bangun!" Seru Roy ketika menghampiri Alara yang sedang berbaring di brankar."Sialan, Lo. Malah nyumpahin gue 'mati' bukannya lo doin gue sembuh, tapi malah doain gue cepat mati." Timpalku menoyor kepala Roy walaupun aku
"Nay! Udah selesai bicaranya dengan Alara?" Tanya Arga ketika Naya keluar dari ruangan rawat Alara."Udah, aku pulang. Aku khawatir Alea rewel di rumah, kamu pulang sekarang atau nanti?" Tanya Naya ketus."Loh, kenapa? Bukannya kamu mau nanti aja pulangnya bareng sama aku." Ucap Arga aneh melihat sikap Naya."Yaudah." Naya melangkah pergi dengan raut wajah yang kesal."Ada apa dengan Istrimu itu, Ga? Apakah dia ada masalah, kok jutek tiba-tiba," sahut Roy.Arga juga bingung dan tak tahu Masalah Naya seperti itu. Kemudian Roy yang giliran masuk ke ruangan Alara, karena dia sudah kangen dengan sahabat bawelnya tersebut."Aku masuk, yah. Aku udah kangen sama si bawel!" Ucap Roy kemudian masuk ke dalam ruangan Alara"Hay! beb, gue kira lo akan mati, karena lo nggak bangun-bangun!" Seru Roy ketika menghampiri Alara yang sedang berbaring di brankar."Sialan, Lo. Malah nyumpahin gue 'mati' bukannya lo doin gue sembuh, tapi malah doain gue cepat mati." Timpalku menoyor kepala Roy walaupun aku
***Hari ini hari terakakhirku bedada di rumah sakit. Kepulanganku membuat aku tidak sabar ingin berjumpa dengan bayi mungilku, meskipun aku tidak akan merawatnya, namun, aku hanya ingin memeluknya untuk yang pertama kalinya. Seorang ibu yang hanya melahirkan saja, namun, tak bisa memiliki seutuhnya."Ga! Boleh aku pulang ke rumah kamu hari ini?" Tanyaku ketika Arga sedang merapikan barang-barangku ke dalam tas. "Iya, kamu ke rumah utama dulu sekarang, katanya pengin melihat bayi kita!" Katanya tersenyum. "Terimakasih," ucapku tersenyum."Dengar, jika pun, kamu mau tinggal di sana selamanya aku sama sekali tidak keberatan." Ucapnya mendekatiku kemudian memlukku dari samping tempat dudukku di tepi brankar.Aku menatapnya, lelaki yang begitu baik, namun milik orang ini, seakan tak ingin kehilangan."Kamu yakin? Terus gimana perasaan Naya?" Aku betanya membuatnya melepaskan pelukannya.Di mengehela napas pelan. Dan mulai memikirkan apa yang aku tanyakan."Dia_" kalimatnya sedikit terpo
"Sayang! Bayiku," aku merangkul seraya menggendongnya kurasakan hangat tubuhnya yang masih terbalut dengan bedong berwarna pink motio hello Kitty.Air mataku terus mengalir tanpa bisa berkata-kata, begitu erat aku memluknya. Andai saja dia milikku seutuhnya. "Maafkan Bunda, sayang. Karena Bunda tidak bisa memilikimu seutuhnya,"ucapku seraya mengelus-elus pipinya yang kembut dan halus."Dia sedang tudur, biarkan saja dia terbaring di tempat tidurnya lagi. Aku nggak mau dia jadi anak cengeng." Kata Naya dengan ketus."Aku hanya ingin menggendongnya untuk yang pertama kalinya, karena selamanya kamu yang akan menggendongnya." Ujarku dengan tatapanku masih pada bayi yang aku ada di pangkuanku."Nay!" Arga memberikan kode kepada Naya dengan mengeditkan matanya, agar Naya mengiyakan ucapan dariku. "Ala, lo baru aja pulang dari rumah sakit, dan lo butuh istirahat, gimana kalau lo sekarang istirahat di kamar." Ajak Roy agar suasana tak semakin memanas."Tapi gue masih kangen sama Bayiku ini,
Setelah mengambil air minum aku tak kembali ke kamar tapi aku duduk di sofa di depan televisi. Sudah lama aku tidak menonton siaran kesukaanku, aku merebahkan tubuhku diatas sofa berwarna abu muda. Kemudian tak terasa pagi pun datang, ternyata aku ketiduran, saat aku membuka mata sudah ada selimut menyelimuti tubuhku."Udah bangun!" Tanya Arga sudah duduk di sofa dekatku."Eh, maaf. Aku ketiduran di sini, tadi subuh aku gak bisa tidur terus aku pindah ke sini." "Tapi kayaknya tadi aku nggak pake selimut! Kenapa sekarang jadi oake selimut yah?" Aku merasa aneh."Aku yang selimutin kamu, karena aku lihat kamu seperti kedinginan." Ucapnya tersenyum."Loh! Kenapa kamu nggak peluk aku aja!" Ledekku tersenyum."Alara!" Roy memperingati."Ekhem!" Naya berdehem sudah berdiri di belakang aku dan Arga.Ternyata Naya sudah berada di belakang aku dan Arga, dengan raut wajah yang tak menyenangkan. Mungkin Naya tidak suka melihat aku dan Arga bisa dikatakan dia cemburu, aku pun segera mengondisik
"Sebenarnya saya lebih suka main tarik-menarikan Lingerie." "Uhuk, ohok, huek!" Batuk Arga semakin parah saja, dia bahkan lari sampai ke wastafel terdekat."Lah, batuk, pak haji?" Cibirku."Diam, Alara," sentak Arga.Aku terkekeh geli saat saat mendengar Arga saat meneriakiku.***Tak terasa hari yang di nanti Nila akhirnya tiba juga. Dimna hari yang selama ini di nantikan yaitu pulang kampung. Dan cuti untuk sementara waktu. Membawa oleh-oleh yang sejak sipersiapkan jauh-jauh hari."Ingat pesan-pesan saya, ya, Mbak. Untuk menjadi istri yang berbakti h- hmmpt." Kujepit mulut Nila dengan jari."Iya, iya, sana pergi. Nila menenepis tanganku dengan bibir mengerucut lima senti."Jadi, ngusir? Ya udah, deh. Pamit, ya, Pak, Mbak. Ucap Nila sembari menyalami tangan Alara dan Arga."Ya, hati-hati," sahut Arga sembari membantu memasukkan tas Nila kedalam taksi.Lambaian tangan kami mengiringi kepergian Nila. Setelahnya kutatap Arga senyum dengan penuh arti."Berhenti menatap saya dengan eks
"Bu Amelia?" Tanyaku hati-hati.Dia menatapku lama, sebelum tersenyum dan mengangguk mengiyakan."Ada paket nyasar tadi." Aku menyodorkan kotak paket yang di bawa."Oh, iya. Makasih banyak." Dia tersenyum sumringah sembari mengambil alih paketnya."Sama-sama. Sekalian kenalin, saya Alara. Baru pindah sebulan lalu." Kuulurkan tangan setelahnya.Dia menyambut uluran tanganku setelah meletakkan paketnya di bawah. Tampak sopan dan ramah sekali.Kami bejabat tangan. Menatap langsung kedalaman masing-masing."Saya Amelia. Lain kali mampir, ya. kebetulan kami cuma tinggal berdu sama suami. Itupun beliau pulan tiap enam bulan sekali." Ucapnya lembut."Loh, emang suaminya kerja apa, Bu? Maaf kalau saya lancang." Tanyaku."Suami saya pelaut, Mbak. Nahkoda kapal." Jawabnya dengan senyum kecilnya."Wah, pantesan. Siap-siap. Saya nanti sering mampir. Kalau begitu saya pamit dulu, yah." Pamitku padanya."Iya, iya, Mbak. Sekali lagi terimakasih, ya. Aneh memang, paket saya sering banget nyasar." Kat
Sejenak Naya diam memikirkan ucapan dari ibunya tersebut, memang Ibu Riska. Sangat sinis sikapnya, apalagi terhadap Alara. Rasa benci terhadap Ibunya Alara membuat Bu Riska sampai saat ini tak bisa melupakan masa lalunya tersebut."Dulu Ibu sangat membenci Ibunya Alara ketika Ibu ada di posisi kamu saat ini, ketika Ayahmu menemui wanita itu perasaan Ibu tak bisa tertahankan rasa sakit yang harus di lalui setiap hari karena perlakuan Ayahmu dengan wanita jalang itu. Oleh sebab itu Ibu selalu khawatir dengan keadaan kamu saat ini, dan Ibu selalu menegaskan kepada kamu agar sikap kamu bisa tergas terhadap Arga dan Alara. Jangan sampai wanita jalang itu menguasai Arga seutuhnya." Ucap Bu Riska dengan penuh kebenciannya."Bu. Aku tidak tahu kalau semua akan berlanjut seperti ini, ku kira Mas Arga akan meninggalkan Alara setela Alea lahir. Tapi ternyata hubungan mereka masih berlanjut sampai sekarang ini, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa karena aku tidak ingin kehilangan Mas Arga." Lirih
Saat ku buka mata ternyata matahari sudah bersinar terang, tak terasa karena sepanjang malam kami lewati bersama dengan melepas kerinduan dengan kemesraan. Aku segera bangkit dari tempat tidurku kemudian membersihkan diri setelah selesai mandi saat ku sisie dan rambutku Arga terbangun. "Pagi sayang." Ucapnya memelukku dari arah barlakang saat aku menyisir rambutku di depan kaca rias. "Hemm!! Ternyata bangun juga juragan!" Ledekku. "Gimana semalam apakah kamu merasa puas!" Bisiknya di belakang telingaku."Apaan, sih!" Aku mencubit pipinya dengan berbalik badan ke arahnya."Maafkan aku, aku membuat kamu bahagia itu hanya sesekali saja, bahkan aku selalu tidak ada mungkin di saat kamu butuhkan." Ucapnya mengusap rambutku yang masih basah. "Iya, kadang aku selalu berpikir, kok gini banget hidup aku yang harus berbagi suami dengan wanita lain." Aku menundukan kepalaku. "Suatu saat nanti aku pasti milikmu seutuhnya, dan kita akan bersama-sama di setiap malam yang berganti." Arga memelu
"Aku datang ke sini izin sama Naya, kok. Dia izinin aku untuk nemuin kamu." Ucapnya."Iya, aku tahu, Naya akan selalu mengiyakan tapi apakah kamu tahu dalam hatinya bagaimana? Dan apakah ikhlas itu benar-benar ada di hati Naya!" Aku bertanya membuatnya terdiam."Sebaiknya kamu segera lepaskan saja aku, Ga." Lanjutku membuatnya menatapku serius. "Apa yang kamu katakan ini?" Tanyanya. "Iya, aku serius. Sebaiknya kamu lepaskan aku, karena aku tahu kamu tidak mungkin lepaskan Naya!" Jawabku diulang. "Aku nggak mungkin lepaskan kamu, karena aku cinta sama kamu!" Sahutnya."Cinta apa? Yang membuat aku terus merasa bersalah! Karena memiliki suami orang." Ucapku membuatnya tampak resah. "Kamu tidak bersalah atas semua ini, tidak ada yang salah diantara kita, hanya saja kamu dan Naya memilki perasaan yang sama, makq dari itulah rasa cemburu itu selalu ada." Ucapnya."Kamu egois! Kamu ingin kamu bahagia sendiri, tapi tidak ingin mengerti dengan perasaan kita!" Lirihku. Arga menghela nafasn
Penjelasan Arga membuat Naya terdiam, setelah di pikirkannya memang benar Alara hadir dalam hidupnya tidaklah sama sekali mengganggu kebersamaannya dengan Arga, hanya saja Naya terlalu takut kehilangan Arga. Oleh sebab itulah dia merasa resah gelisah karena takut Arga di miliki Alara seutuhnya. "Nay! Semua ini terjadi karen keinginan kamu, terus kenapa sekarang kamu risaukan semuanya! Saat ini aku hanya ingin kamu mengerti, beri aku waktu untuk memutuskan semuanya, aku akan berikan jawaban tapi setelah semuanya tenang." Arga mencoba berbicara pelan. "Aku begini karena aku sangat mencintaimu, Mas. Dan aku tidak ingin orang yang aku cintai lepas hanya karena wanita lain merampasnya." Ujarnya penuh takut. "Jika saja Alara setega itu maka dia sudah melakukannya, dia selalu mengingatkan aku untuk berlaku adil padamu dan untuk tidak melepaskanmu, tapi kamu selalu berprasangka buruk tentang Alara." Ucapnya agak tenang. "Sekarang kamu fokus pada Alea, anak yang selama ini kamu harapkan.
Setelah menempuh perjalanan selama satu jam akhirnya aku datang di rumah Ibuku. Rumah yang sangat megah dengan taman yang luas saat Ibuku membuka gerbangnya aku mulai melangkahkan kakiku masuk di perantaran rumah tersebut, kulihat bunga-bunga indah tertata rapi di atas pot. Menampakan suasana yang sangat sejuk, kemudian Ibuku membuka pintu rumah dan mengajakku untuk masuk, di dalam rumah terlihat sangatbrapi sekali walaupun jarang di tempati oleh Ibuku, namun, rumahnya tidak terasa sunyi seperti banyak orang yang selalu menempatinya."Ayo, kita masuk, Nak." Ajak Ibuku seraya menjingjing koper. "Ini rumah Ibu?" Aku bertanya heran."Iya, ini rumah Inu pemberian dari Almarhum Kakekmu. Kamu suka kan?" Tanyanya seraya berjalan pelan."Sepertinya suasananya sejuk, Bu. Aku suka dengan suasana yang amat sejuk. " Sahutku dengan melihat sekeliling halaman rumah tersebut."Ini rumahmu sekarang, Ibu tidak punya siapa-siapa lagi selain kamu, apapun yang Ibu miliki saat ini itu juga milikmu." Li
Rey dengan serius mendengarkan ceritaku, walaupun aku tahu dia bukanlah siapa-siapa dan kenal, pun. Baru sekarang, tapi seakan-akan dia sudah sejak lama akrab. "Oh, iya. Kamu sekarang kesibukannya apa?" Lanjutku."Sekarang aku masih bekerja di kantor, aku tidak meninggalkan pekerjaanku walaupun keadaanku memang sangat rumit. Karena hanya pekerjaan itulah satu-satunya harapan untuk kehidupanku," katanya. "Tak terasa ternyata waktu cepat juga berjalan, kayaknya aku pulang, deh." sahutku seraya melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku. "Oh, iya. Sama aku juga mau pulang, makasih udah mau mendengarkan curhatanku. Lain kali kita bertemu lagi di sini, jika tuhan mempertemukan kita lagi." Ucapnya seraya tersenyum."Oke, mudah-mudahan kita jumpa lagi. Terimakasih juga karena udah mau dengarin kisahku juga, kalau begitu aku duluan yah." Kataku seraya berdiri kemudian melangkah meninggalkan Rey yang masih duduk di tempatnya.Aku pun, pergi dari tempat tersebut. Kemudian aku
Di perjalanan pulang, aku mampi dulu di sebuah tempat. Kebetulan jalan arah kosanku ada sebuah danau kecil, aku pernah ke sana dan tempatnya sejuk sekali. Bakal enak buat meneduhkan hati yang sedang galau, pemandangan di sana pun sangat indah. Pinggir danau banyak bunga-bunga cantik berwarna-warni, pengunjung pun banyak ke sana, apalagi muda-mudi yang datang dengan pasangannya masing-masing. "Aku merasa tenang bila berada si sini!" Ucapku seraya menghirup sejuknya angin berhembuskan. Kemudian aku duduk ditepi danau diatas rumput hijau yang sangat rapi terurus. "Boleh aku duduk?" Tanya seorang Pria bertubuh tinggi di belakangku dengan memebawa sebotol air mineral."Oh, iy-iya. Boleh silahkan." Aku menengoknya ke arah belakang dengan mengulas senyuman."Sendirian?" Tanyanya seraya duduk di pinggir tempat dudukku. "Iya." Jawabku datar."Kenalkan, aku Rey." Ujarnya mengulurkan tangan."Aku, Alara." Aku menjabat tangannya seraya mengulas senyum.Lelaki yang ku perkirakan Empat puluh