Mendengar itu, sontak aku meletakkan pisau dan menghentikan irisan tempe diatas talenan."Bukannya kalian lebih paham? Pertanyaan kayak gini harusnya nggak perlu diperdebatkan." Jawabku"Aku cuma mau tanya alasannya, Ala." Naya terkekeh."Aku pernah bilang hal ini sebelumnya sama Arga. " Kupejamkan mata sejenak. "Nggak pernah ada dua ratu dalam satu istana, Naya. Walaupun setatus kita sama tapi posisi aku dan kamu berbeda. Menempatkan kita berdua dalam satu atap yang sama cuma bakal menciptakan lebih banyak luka dan perselisihan. Ngerti, kan sekarang? Ngerti, dong masa nggak ngerti?!" Naya terdiam dengan waktu yang cukup lama.Beberapa saat kemudian tiba-tiba dia mengatakan sesuatu yang cukup mengejutkan."Kalau begitu bisa tolong batasi dirimu dengam mas Arga? Karena aku mulai merasa ada yang berat sebelah di sini." Cetusnya tiba-tiba.Kuhela napas dalam dan menghembuskannya dengan kasar."Selama ini aku udah coba membatasi diri, Naya. Setelah memenuhi apa yang kamu inginkan selam
Dengan berbagai resep obat dan terapi yang diberikan, aku bisa cepat pulih. Dan tak lagi bergantung pada kursi roda untuk menopang tubuh.Berbagai kegiatan sudah kulakukan sendiri seperti naik turunun tangga dan ke kamar mandi. Bahkan sholat pun aku sudah bisa berdiri.Malam ini, selepas sholat isya berjamaah aku langsung melipat mukena, dan mengganti pakain dengan gaun tidur merah berbahan satin. Kusolek diri di depan meja rias dengan membubuhkan sedikit lipstik warna bibir dan parfum di sekitar tengkuk dan lengan.Tampak dari balik cermin, bang Arga sudah duduk bersandar memainkan ponsel. Entah kenapa kuperhatikan akhir-akhir ini dia memang lwbih sering bergulat benda pipih itu, daripada menghabiskan waktu ngobrol denganku."Ekhmmm." Sedikit dehaman kukeluarkan sebelum naik ke atas ranjang. Kemudian beringsut mendekat, dan menyandarkan kepala di dadanya yang bidang.Bang Arga akhirnya meletakan ponselnya di nakas. Bisa kurasakan dia mengelus kepalaku dan mengecupnya pelan.Cukup l
Tiap hari selama tiga minggu kerjaan lu cuma begini?" Roy bertanya sesaat setelah aku menyodorkan piring berisi nasi dengan lauk sayur asam, ikn asin, sambal. Dan tempe goreng."Emangnya apalagi yang bisa dilakuin orang bunting? Benerin genteng? Ngaduk semen? Atau manggul bata?" Jawabku sekenanya sembari meraih remot dan menyalakan televisi di ruang tamu yang kecil ini. "Emangnya salah kalau gue suka cuma beberesih, msak, sama nonton series?"Roy mendengkus "Ya, nggak gitu juga, Zubaedah."Lu, kan bisa main-main ke tetangga, ngerumpi sambil ngemil kuwaci. Atau bisa juga daptar aerobik di Gor tiap seminggu sekali, " usulnya sesekali sambil menyuap nasi."Nggak tertarik. Menurut gue gabung circle mak-emak kompleks bukannya nambah temen, malah nambah musuh. Belum lagi ngomongin orang tiap hari." Bikin keki ""Dih, emang agak laen cewek yang satu ini." Royengeritingkan bibirnya. Ekspresi yang khas sekali bila dia sudah mulai nyinyir . " Padahal shopping atau jalan-jalan, ke sesekali. Ny
"Biar sama sama saya aja, Bu!" Kusentuh bahu Bu Nita yang tampak begitu terkejut sekaligus bingung, tapi di satu sisi akhirnya dia menyingkir.Aku memilih duduk di samping tubuh Nana yang masih tantrum di lantai puskesmas, karena memang tak memungkinkan untuk berjongkok dengan kondisi yang seperti ini."Nana sayang...." Kuraih sebelah tangannya yang terkepal.Anak itu menoleh, tangisnya seketika terhenti masih menyisakan isakan yang menyesakkan dada."Mama.... Mata bocah itu terbuka, dia seka air mata yang menghalangi jarak pandangnya. "Mamaaa...." Nana terpekik lalu kembali menangis sembari memelukku. Tak ada yang bisa kulakukan selain mengusap kepala dan rambut yang basah oleh keringat dan air mata. Panas terasa saat kulit kami bersentuhan. Seperti anak ini demam tinggi. Wajahnya juga pucat sekali dengan bibir yang sangat kering. "Periksa dulu, yuk! Nanti kita ngobrol lagi." Dia mengangguk, lalu menurut saat kupinta bangkit. Tangannya masih melingkar di pinggang walaupun sedik
Hal tersulit dari semua ini adalah setatus sebagai seorang istri yang dituntut untuk mengabdi. Ketika dinding yang semula dibangun untuk membatasi akhirnya luruh dalam diri. Ketika ego dan martabat yang dibumbung tinggi akhirnya dulucuti demi hak dan kewajiban yang tak terpenuhi selama tujuh bulan ini. Aku tahu Arga sudah berusaha dengan keras sejak kesepakatan itu terjadi, memenuhi apa yang seharusnya dia lakukan sebagi seorang suami. Menyirami tiap benih yang bersemi agar kelak tak kembali mati.Walaupun banyak yang terjadi dan ego dalam diri masih tak mampu menerima semua kenyataan yang ada. Aku berusah untuk berdamai dengan keadaan. Menerima tiap luka dan derita yang ditorehkan mereka. Menjalani hidup yang tersisa bersama dengan pahit dan manis yang tersisa di tiap perjalanannya.Kini adalah giliranku untuk berbakti, memenuhi kewajiban sebagai seorang istri meski waktu yang tersisa hanya beberapa bulan lagi. Akan kubawa dia terbang ke langit yang tinggi. Menghiasi malamnya den
Seiring dengan waktu yang berjalan, usia kehamilanku kini semakin besar, banyak hal dan perjalana yang aku dapatkan selama aku hamil, ternyata menjadi seorang ibu perjuangan yang sangat amat luar biasa. Andaikan dulu aku di rawat dan di besarkan oleh kedua orangtuaku, mungkin banyak ceritaku yang akn aku ceritakan tentang kisah hidupku ini. Tak begitu berharap banyak tentang sosok orang yang melahirkanku. Yang pasti dia bukanlah seorang ibu, jika dia seorang ibu maka dia akan merawatku dengan tulus meskipun keadaan yang sulit. "Alara!" Panggil Arga. "Iya," jawabku ketika aku sedang duduk di sofa."Mungkin nanti Naya akan ke sini!" "Mau ngapain?" Cetusku."Mungkin mauelihat keadaan kamu," "Emangnya aku kenapa? Aku baik-baik aja, kan. Ga!"Sebenarnya aku merasa tak ingin kalau Naya datang ke kosanku ini, karena aku yakin ada niatnya yang tersembunyi, kalau bukan karena itu tidak mungkin dia mau datang ke sini."Assalamualaikum." Suaran Wanita mengucapkan salam di depan ruamah.
"Terus jika sekarang kamu ikut dengan kami akan tetap menolak?" Tanyanya serius."Iya, aku tidak akan ikut dengan kalian, karena kamu tahu nggak mungkin ada dua ratu tinggal di satu istana. Kamu harus ingat meskipun status kita sama tapi posisi kita berbeda, menempatkan kita berdua dalam satu atap yang sama cuma bakal menciptakan lebih banyak luka dan perselisihan. Ngerti, kan. Sekarang?" Tututrku jelas.Nya terdiam dan merenung sejenak mendengar tutur kataku, kemudin di beranjak berdiri dari semula duduk dan berlalu menghampiri Arga kembali, menyuruhnya untuk segera mengemasi barang-barangnya.."Sayang, kita pulang sekaran! Aku merasa sudah gerah di sini. Dan sekaran kemasi barang-barang kamu!" Cetusnya."Loh, kok. Buru-buru, katanya kita mau makan bareng dulu, Alara udah masakin buat kita, loh, Nay." Protes Arga."Nggak usah, lagian Nila d rumah udah masak kesukaan kamu. Jadinya sayang kalau nggak di makan.Aku tahu Naya sedikit emosi karena dengan kata-kataku, maka dari itu dia
Sudah dua minggu ini aku tidak berjumpa dengan Arga, dia tidak menjumpai aku, dan tidak ada telepon ataupun kirim pesan, mungkin dia sedak menimati masa berdua sama Naya. Karena sudah lama tidak bersama, aku mengerti dengan posisiku saat ini, dan aku tidak bisa melarang atau menyuruh Arga ketika aku butuh padanya."Ala, kita ke rumah Nana, yuk?" Ajak Roy."Mau ngapain?" Tanyaku heran."Gue nggak mau lihat lo tiap hari bengong aja, mendingan kita ke sana, kan, lo udah janji waktu ketemu di puskesmas bahwa lo akan main ke rumah Nana." Tutur Roy."Oh, iya, yah. Gue lupa." "Yaudah, gue siap-siap dulua, lo tungguin aja dulu."Aku pun segera bersiap dan berganti pakaian. Memang waktu itu aku pernah janji sama Nana kalau aku akan ke rumahnya main, kalau bukan Roy yang ingetin mungkin aku tetap akan lupa."Ayo, Roy. Gue udah siap, nih." Ajakku yang telah selesai berganti pakaian."Terus, mau bawa apaan buat Nana?" Tanya Roy."Entar kita beli aja di jalan makanan kesukaan dia sama mainan."
"Sebenarnya saya lebih suka main tarik-menarikan Lingerie." "Uhuk, ohok, huek!" Batuk Arga semakin parah saja, dia bahkan lari sampai ke wastafel terdekat."Lah, batuk, pak haji?" Cibirku."Diam, Alara," sentak Arga.Aku terkekeh geli saat saat mendengar Arga saat meneriakiku.***Tak terasa hari yang di nanti Nila akhirnya tiba juga. Dimna hari yang selama ini di nantikan yaitu pulang kampung. Dan cuti untuk sementara waktu. Membawa oleh-oleh yang sejak sipersiapkan jauh-jauh hari."Ingat pesan-pesan saya, ya, Mbak. Untuk menjadi istri yang berbakti h- hmmpt." Kujepit mulut Nila dengan jari."Iya, iya, sana pergi. Nila menenepis tanganku dengan bibir mengerucut lima senti."Jadi, ngusir? Ya udah, deh. Pamit, ya, Pak, Mbak. Ucap Nila sembari menyalami tangan Alara dan Arga."Ya, hati-hati," sahut Arga sembari membantu memasukkan tas Nila kedalam taksi.Lambaian tangan kami mengiringi kepergian Nila. Setelahnya kutatap Arga senyum dengan penuh arti."Berhenti menatap saya dengan eks
"Bu Amelia?" Tanyaku hati-hati.Dia menatapku lama, sebelum tersenyum dan mengangguk mengiyakan."Ada paket nyasar tadi." Aku menyodorkan kotak paket yang di bawa."Oh, iya. Makasih banyak." Dia tersenyum sumringah sembari mengambil alih paketnya."Sama-sama. Sekalian kenalin, saya Alara. Baru pindah sebulan lalu." Kuulurkan tangan setelahnya.Dia menyambut uluran tanganku setelah meletakkan paketnya di bawah. Tampak sopan dan ramah sekali.Kami bejabat tangan. Menatap langsung kedalaman masing-masing."Saya Amelia. Lain kali mampir, ya. kebetulan kami cuma tinggal berdu sama suami. Itupun beliau pulan tiap enam bulan sekali." Ucapnya lembut."Loh, emang suaminya kerja apa, Bu? Maaf kalau saya lancang." Tanyaku."Suami saya pelaut, Mbak. Nahkoda kapal." Jawabnya dengan senyum kecilnya."Wah, pantesan. Siap-siap. Saya nanti sering mampir. Kalau begitu saya pamit dulu, yah." Pamitku padanya."Iya, iya, Mbak. Sekali lagi terimakasih, ya. Aneh memang, paket saya sering banget nyasar." Kat
Sejenak Naya diam memikirkan ucapan dari ibunya tersebut, memang Ibu Riska. Sangat sinis sikapnya, apalagi terhadap Alara. Rasa benci terhadap Ibunya Alara membuat Bu Riska sampai saat ini tak bisa melupakan masa lalunya tersebut."Dulu Ibu sangat membenci Ibunya Alara ketika Ibu ada di posisi kamu saat ini, ketika Ayahmu menemui wanita itu perasaan Ibu tak bisa tertahankan rasa sakit yang harus di lalui setiap hari karena perlakuan Ayahmu dengan wanita jalang itu. Oleh sebab itu Ibu selalu khawatir dengan keadaan kamu saat ini, dan Ibu selalu menegaskan kepada kamu agar sikap kamu bisa tergas terhadap Arga dan Alara. Jangan sampai wanita jalang itu menguasai Arga seutuhnya." Ucap Bu Riska dengan penuh kebenciannya."Bu. Aku tidak tahu kalau semua akan berlanjut seperti ini, ku kira Mas Arga akan meninggalkan Alara setela Alea lahir. Tapi ternyata hubungan mereka masih berlanjut sampai sekarang ini, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa karena aku tidak ingin kehilangan Mas Arga." Lirih
Saat ku buka mata ternyata matahari sudah bersinar terang, tak terasa karena sepanjang malam kami lewati bersama dengan melepas kerinduan dengan kemesraan. Aku segera bangkit dari tempat tidurku kemudian membersihkan diri setelah selesai mandi saat ku sisie dan rambutku Arga terbangun. "Pagi sayang." Ucapnya memelukku dari arah barlakang saat aku menyisir rambutku di depan kaca rias. "Hemm!! Ternyata bangun juga juragan!" Ledekku. "Gimana semalam apakah kamu merasa puas!" Bisiknya di belakang telingaku."Apaan, sih!" Aku mencubit pipinya dengan berbalik badan ke arahnya."Maafkan aku, aku membuat kamu bahagia itu hanya sesekali saja, bahkan aku selalu tidak ada mungkin di saat kamu butuhkan." Ucapnya mengusap rambutku yang masih basah. "Iya, kadang aku selalu berpikir, kok gini banget hidup aku yang harus berbagi suami dengan wanita lain." Aku menundukan kepalaku. "Suatu saat nanti aku pasti milikmu seutuhnya, dan kita akan bersama-sama di setiap malam yang berganti." Arga memelu
"Aku datang ke sini izin sama Naya, kok. Dia izinin aku untuk nemuin kamu." Ucapnya."Iya, aku tahu, Naya akan selalu mengiyakan tapi apakah kamu tahu dalam hatinya bagaimana? Dan apakah ikhlas itu benar-benar ada di hati Naya!" Aku bertanya membuatnya terdiam."Sebaiknya kamu segera lepaskan saja aku, Ga." Lanjutku membuatnya menatapku serius. "Apa yang kamu katakan ini?" Tanyanya. "Iya, aku serius. Sebaiknya kamu lepaskan aku, karena aku tahu kamu tidak mungkin lepaskan Naya!" Jawabku diulang. "Aku nggak mungkin lepaskan kamu, karena aku cinta sama kamu!" Sahutnya."Cinta apa? Yang membuat aku terus merasa bersalah! Karena memiliki suami orang." Ucapku membuatnya tampak resah. "Kamu tidak bersalah atas semua ini, tidak ada yang salah diantara kita, hanya saja kamu dan Naya memilki perasaan yang sama, makq dari itulah rasa cemburu itu selalu ada." Ucapnya."Kamu egois! Kamu ingin kamu bahagia sendiri, tapi tidak ingin mengerti dengan perasaan kita!" Lirihku. Arga menghela nafasn
Penjelasan Arga membuat Naya terdiam, setelah di pikirkannya memang benar Alara hadir dalam hidupnya tidaklah sama sekali mengganggu kebersamaannya dengan Arga, hanya saja Naya terlalu takut kehilangan Arga. Oleh sebab itulah dia merasa resah gelisah karena takut Arga di miliki Alara seutuhnya. "Nay! Semua ini terjadi karen keinginan kamu, terus kenapa sekarang kamu risaukan semuanya! Saat ini aku hanya ingin kamu mengerti, beri aku waktu untuk memutuskan semuanya, aku akan berikan jawaban tapi setelah semuanya tenang." Arga mencoba berbicara pelan. "Aku begini karena aku sangat mencintaimu, Mas. Dan aku tidak ingin orang yang aku cintai lepas hanya karena wanita lain merampasnya." Ujarnya penuh takut. "Jika saja Alara setega itu maka dia sudah melakukannya, dia selalu mengingatkan aku untuk berlaku adil padamu dan untuk tidak melepaskanmu, tapi kamu selalu berprasangka buruk tentang Alara." Ucapnya agak tenang. "Sekarang kamu fokus pada Alea, anak yang selama ini kamu harapkan.
Setelah menempuh perjalanan selama satu jam akhirnya aku datang di rumah Ibuku. Rumah yang sangat megah dengan taman yang luas saat Ibuku membuka gerbangnya aku mulai melangkahkan kakiku masuk di perantaran rumah tersebut, kulihat bunga-bunga indah tertata rapi di atas pot. Menampakan suasana yang sangat sejuk, kemudian Ibuku membuka pintu rumah dan mengajakku untuk masuk, di dalam rumah terlihat sangatbrapi sekali walaupun jarang di tempati oleh Ibuku, namun, rumahnya tidak terasa sunyi seperti banyak orang yang selalu menempatinya."Ayo, kita masuk, Nak." Ajak Ibuku seraya menjingjing koper. "Ini rumah Ibu?" Aku bertanya heran."Iya, ini rumah Inu pemberian dari Almarhum Kakekmu. Kamu suka kan?" Tanyanya seraya berjalan pelan."Sepertinya suasananya sejuk, Bu. Aku suka dengan suasana yang amat sejuk. " Sahutku dengan melihat sekeliling halaman rumah tersebut."Ini rumahmu sekarang, Ibu tidak punya siapa-siapa lagi selain kamu, apapun yang Ibu miliki saat ini itu juga milikmu." Li
Rey dengan serius mendengarkan ceritaku, walaupun aku tahu dia bukanlah siapa-siapa dan kenal, pun. Baru sekarang, tapi seakan-akan dia sudah sejak lama akrab. "Oh, iya. Kamu sekarang kesibukannya apa?" Lanjutku."Sekarang aku masih bekerja di kantor, aku tidak meninggalkan pekerjaanku walaupun keadaanku memang sangat rumit. Karena hanya pekerjaan itulah satu-satunya harapan untuk kehidupanku," katanya. "Tak terasa ternyata waktu cepat juga berjalan, kayaknya aku pulang, deh." sahutku seraya melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku. "Oh, iya. Sama aku juga mau pulang, makasih udah mau mendengarkan curhatanku. Lain kali kita bertemu lagi di sini, jika tuhan mempertemukan kita lagi." Ucapnya seraya tersenyum."Oke, mudah-mudahan kita jumpa lagi. Terimakasih juga karena udah mau dengarin kisahku juga, kalau begitu aku duluan yah." Kataku seraya berdiri kemudian melangkah meninggalkan Rey yang masih duduk di tempatnya.Aku pun, pergi dari tempat tersebut. Kemudian aku
Di perjalanan pulang, aku mampi dulu di sebuah tempat. Kebetulan jalan arah kosanku ada sebuah danau kecil, aku pernah ke sana dan tempatnya sejuk sekali. Bakal enak buat meneduhkan hati yang sedang galau, pemandangan di sana pun sangat indah. Pinggir danau banyak bunga-bunga cantik berwarna-warni, pengunjung pun banyak ke sana, apalagi muda-mudi yang datang dengan pasangannya masing-masing. "Aku merasa tenang bila berada si sini!" Ucapku seraya menghirup sejuknya angin berhembuskan. Kemudian aku duduk ditepi danau diatas rumput hijau yang sangat rapi terurus. "Boleh aku duduk?" Tanya seorang Pria bertubuh tinggi di belakangku dengan memebawa sebotol air mineral."Oh, iy-iya. Boleh silahkan." Aku menengoknya ke arah belakang dengan mengulas senyuman."Sendirian?" Tanyanya seraya duduk di pinggir tempat dudukku. "Iya." Jawabku datar."Kenalkan, aku Rey." Ujarnya mengulurkan tangan."Aku, Alara." Aku menjabat tangannya seraya mengulas senyum.Lelaki yang ku perkirakan Empat puluh