Seorang gadis gelandangan menarik lengan kemeja Cecil. "Mbak, jadi tidak bagi-bagi hadiah?"
"Sabar, ya." Cecil mengambil beberapa kantung plastik besar di dalam kardus, memandang sekitar. Setelah yakin di dalam mobil Avanza itu ada kamera, dia pun mendadak ramah pada gerombolan gelandangan di bawah jembatan layang. "Maaf ya, kelamaan, takut kalau ada kamera. Aku tidak mau disorot kamera ketika beramal."
Setelah membagikan banyak kantung plastik berisi beras dan amplop uang pada para gelandangan, Cecil melambai ramah pada mereka. Ketika berbalik badan, dia pura-pura kaget mengelus dada, karena melihat seorang gadis wartawan menghampiri sambil membawa mic. Di belakang gadis itu, seorang kameraman dan beberapa kru mengikuti.
"Kak Cecil sering melakukan hal ini? Tempat ini kan kotor? Kenapa melakukan hal ini?"
"Tempat ini memang kotor, tapi lihatlah. Banyak senyum indah yang menanti. Masih banyak orang membutuhkan uluran tangan. Bagi kita barang-barang itu tak berarti, tapi bagi mereka semua itu barang mewah."
"Ada yang bilang Kakak pansos."
Cecil tertawa renyah, menyibak rambut ke belakang. "Astaga, pansos? Kan sudah terkenal. Kalau ingin pansos mending setiap ke sini selalu bawa kamera. Toh kalian datang tidak sengaja, kan?"
Gadis wartawan tertawa kecil. "Ternyata selain cantik Kakak memiliki hati emas." Dia berbalik ke kamera. "Demikian laporan kami, untuk Indonesia Sore-Sore Blusukan."
Laporan mereka telah selesai. Baik kameraman dan wartawan menyalami Cecil, mengobrol sebentar lalu menjauh dari sana. Cecil melambai pada mobil wartawan yang beranjak pergi dari sana, sampai mobil tak terlihat lagi. Buru-buru dia melangkah menuju mobil SUV putih yang terparkir di seberang jalan.
"Kak!" Seorang pengemis cilik menghampiri dari samping. "Disuruh ibu salaman sama Kakak."
"Tidak usah. Sana, pergi yang jauh." Cecil masuk ke mobil, cemberut total. Jarinya mengipas badan yang mulai bermandi peluh, tak peduli pada anak kecil yang bengong atas perubahan sikap gadis yang dia anggap malaikat.
Mobil pun bergerak pergi. Beginilah Cecil, hidup sebagai publik figur, dihormati, dianggap sebagai Dewi baik hati, nyatanya semua hanya settingan demi pamor belaka. Baginya orang miskin adalah alat.
Cecil mengusap kedua telapak tangan pakai tisu basah, menuang banyak anti bakteri ke kedua telapak tangan lalu mencium tangan itu. "Cih, masih bau."
"Nanti juga hilang, Kak," ujar seorang gadis asisten berkaos longgar, duduk di sebelah sambil membaca tablet.
"Jadwal hari ini ke mana?"
"Ke salon perawatan, tapi bisa dirubah. Apa mau ke rumah Kak Bayu--"
"Tidak usah, ke salon saja. Pasti Bayu sibuk, ditelepon tidak diangkat, pesan juga tidak dibalas."
Mobil masuk ke lahan parkir luas nan longgar.
Salon Hinapula, tempat kaum elitis berkumpul. Banyak istri pejabat menjalani perawatan di sana. Ruang sauna pun terisi penuh dan kursi salon tak ada yang kosong. Banyak wajah-wajah terkenal di sana. Artis ibu kota terlihat sedang pedicure.
Setelah mandi uap dan selesai dipijat, Cecil bergabung dengan mereka di sana memakai baju handuk kecil warna pink nyaman. Rambutnya tertutupi oleh handuk.
Dua gadis pegawai salon memijit-mijit kaki, juga mempersiapkan peralatan pedicure. Sementara Cecil duduk di kursi santai, berselonjor kaki sambil membaca tabloid dan bergosip dengan artis lain yang duduk di samping.
"Apa tidak takut nanti dibilang matre Cil?" tanya Diah, bangkit dari duduknya di kursi salon, baru selesai hair-bounding.
"Mana ada cewek matre," sahut Cecil. "Yang ada, cowok yang tidak mampu menafkahi cewek. Ibarat mobil, perawatan mobil BMW beda lah dari mobil Avanza. Kalau cuma mampu beli, tapi tidak bisa merawat, kan kasihan mobil BMW-nya."
"Be the way, susah loh punya suami artis. Dia main film, harus beradegan mesra dengan lawan main. Apalagi harus total," ujar Clara, gadis kurus menawan, memejam ketika mentimun segar mendarat di kelopak mata. "Apa tidak takut kalau besok Bayu ketemu cewek lain dan tumbuh rasa-rasa gitu diantara mereka."
"Benar itu Cil," tambah gadis Diah, meminum jus tomat, lalu kembali merebah. "Lagipula kita sering loh lihat orang kena penyakit cinta lokasi. Apa kamu tidak takut, kalau ada cewek lawan mainnya Bayu yang berhasil mendapat cintanya? Nanti kalau kamu jadi korban pelakor bagaimana?"
"Aku percaya sama kehebatan aku, kok," sahut Cecil, sedikit sewot. "Lagi pula cowok bakal tunduk kalau kita bisa memberi yang terbaik buat mereka. Mungkin mereka para korban pelakor, jadi korban karena service mereka kurang."
"Service masak, gitu?" tanya Clara.
"Dari perut lalu ke hati, ya kan?" sambung Diah.
Cecil menggeleng santai. "Bukan, tapi service ranjang."
Ketiga gadis tertawa nyaris berbarengan. Cecil membahas panjang lebar tentang pernikahan mereka kelak. Sementara kedua gadis lain mendengar sambil sesekali tertawa dan memberi komentar simpel minim huruf. Kadang mereka nyinyir dan Cecil tahu itu. Cecil sengaja pamer untuk membakar keduanya dan hal yang paling dia suka, membahas rencana bulan madu bersama Bayu yang bakal keliling dunia.
Hingga televisi yang tertempel di dinding menayangkan sebuah berita memaksa fokus mereka berganti.
"Wah, itu calon suamimu masuk TV," ujar Diah.
Clara cepat-cepat membungkam kedua sahabat pakai kode tangan. "Mbak, volume TV-nya tolong diperbesar.
Di TV nampak Bayu diwawancarai banyak wartawan. Dia tersenyum kalem, berdiri dengan gaya khas, satu tangan bersembunyi dalam saku celana sementara yang lain bebas melambai.
"Kak Bayu, bagaimana rencana pernikahan Kakak dengan Kak Cecil? Katanya mundur, ya, karena tidak dapat restu dari orang tua? Apa benar semua biaya bakal dibayar oleh pihak promotor?"
"Kak, apa benar mantan Presiden Amerika bakal datang ke acara pernikahan Kakak?"
"Apa benar jika Kakak menikah demi uang kontrak dari pihak promotor?"
Kevin berusaha menengahi, dia berdiri bersama para pengawal berseragam safari warna hitam menahan laju wartawan. "Sabar, satu-satu, nanti bakal Bayu jawab. Tenang."
Dalam TV, semua wartawan tenang, memberi kesempatan Bayu untuk menjawab.
"Pernikahan tetap berlangsung pada hari dan tanggal yang sama. Tempat pun sama. Dan untuk biaya, pihak promotor yang menanggung. Untuk pertanyaan selanjutnya, ya, bakal ada mantan President Amerika yang kemungkinan datang. Untuk pertanyaan apa benar menikah demi uang ... Tidak perlu dijawab. Lo semua tahu gue anak siapa, ibarat tidak kerja tujuh keturunan juga masih bisa hidup mewah. Ada pertanyaan lain?"
"Kok tidak bareng Kak Cecil, Kak?" tanya seorang wartawan. "Apa busana kalian juga disiapin promotor?"
"Cecil ... maaf, gue tidak bakal nikah sama wanita itu. Gue punya calon yang ... menurut gue lebih baik. "
Sontak pernyataan itu membuat para wartawan merangsak maju, menghujani pertanyaan bertubi-tubi. Bayu yang bermandi cahaya flash kamera dikawal ketat masuk ke mobil.
Buru-buru Cecil merebut remote TV, mengganti ke channel lain.
Clara tertawa renyah sampai masker muka nyaris rusak. "Aduh, sepertinya yang menemani Bayu keliling dunia bukan kamu deh, Cil."
"Clara," sambut Diah. "Teman kita jadi korban pelakor. Mungkin service-nya kurang mantap, jadi Bayu milih cewek yang mampu memberi service lebih premium."
"Service apaan, Cin? Service makan?"
"Bukan lah, R-a-n-j-a-n-g. Ibarat mobil kan, beda perawatan. Contoh mobil Lamborgini sama mobil Katana butut."
Telinga Cecil memerah. Pipinya juga. suara gemerletakkan gigi saling beradu terdengar. Dia bangkit menendang ember berisi air hangat juga tepat peralatan pedicure, lalu memandang kedua gadis bergantian. Tanpa berucap apapun pergi dari sana, diiringi suara tawa dari kedua gadis.
Selama melangkah menuju mobil, ia memandang sekitar. Banyak orang berbisik sambil memandang dengan mata mengejek. Semua itu membuat Cecil mengepal tangan sampai telapak tangan memerah.
"Bayu kampret! Apa-apaan sih! Apa dia mau pansos? Oh, begini caranya membuat nama melambung? Dasar."
Ia berhenti melangkah, memejamkan mata sambil menggeleng. "Tidak, bukan, ini pasti salah paham. Atau mungkin dia hanya bergurau? Ya, pasti begitu. Mana ada gadis yang bisa menggantikan aku. Ini tidak mungkin."
Ia tertawa seperti orang gila, lanjut melangkah sempoyongan. Semakin keras suara tawa hingga menggema di ruang resepsionis depan pintu keluar.
Rencana pernikahan tersebar luas di dunia maya. Bahkan sering muncul di TV, iklan tentang acara keluarga Bayu. Aira menjadi buah bibir di tempatnya nge-kost. "Wah, bakal jadi istri orang kaya nih, uang kontraknya dinaikkan tidak, ya?" goda induk semang, seorang wanita tua ramah berbadan gendut. "Jangan Bi," sahut Aira tertawa kecil memberi amplop berisi uang untuk Bibi. "Satu tahun lagi saya akan kembali. Ini uang sewa saya untuk dua tahun ke depan, sekalian ada uang hadiah untuk Bibi, permisi." Bibi bingung dengan tutur kata Aira, dia bengong seperti kodok melihat hujan. Beberapa hari berlalu. Hari pernikahan Aira dan Bayu tiba. Acara diadakan dalam ballroom luas hotel bintang lima di kawasan kota Surabaya. Tentu ini hari super spesial bagi Aira juga Bayu. Sekarang Mei dan Diah menemani Aira di ruang dandan. "Tidak sangka, dulu kalian saling benci," ujar Diah. "Eh, sekarang malah nikah." Mei mewakili Aira untuk menjawab, "Seng
"Pokoknya tidak sah! Pernikahan ini harus batal!" Suara itu semakin jelas terdengar hingga memaksa kerumunan tamu, perlahan membuka jalan untuk gadis itu menuju panggung ijab kobul. Aira dan Bayu berdiri sembari berbisik-bisik mengamati hal ini. Aira sedikit berjinjit supaya bibir bisa mendekati telinga Bayu. "Ini settingan, bukan?" "Maksud lo, apa?" "Ya seperti jaman OSPEK, settingan. Semua kejadian sudah diatur sama senior, tapi para junior tidak ada yang tahu." "Gue tidak merasa mengadakan settingan. Lo kali, sengaja pansos." "Be the way, nikah kita sah tidak?" "Sah lah, kan sudah ijab kobul. Anggap aja yang teriak tidak sah orang gila." Dari dalam kerumunan Cecil dikawal puluhan pria berpakaian safari hitam mulai mendaki anak tangga hingga sampai ke panggung.Bayu maju mencengkeram kedua pergelangan tangan Cecil. "Ayo turun," bisik Bayu pada Cecil "Malu dilihat banyak orang."
Bayu bertumpu satu lutut mengelus perut yang seperti ditabrak mobil. Pukulan Aira tadi benar-benar membuatnya jatuh telak. Ia berhasil berdiri menekan tembok, melangkah gontai menuju kamar. "Dasar cewek barbar, aduh ya Tuhan, semoga lambungku tidak bocor." Langkah Bayu terhenti karena pintu kamar di depannya dibuka dari dalam. "Loh, Kak, Kakak tidak apa-apa?" tanya seorang gadis yang baru keluar dari kamar bersama seorang pemuda, menghampiri Bayu. Dia dan temannya berusaha membantu Bayu. "Ada apa, Kak?" Mau menggeleng, tersenyum ramah menjaga image. "Tidak apa-apa, kok, ini tadi kebanyakan makan jadi mules." Keduanya masih membantu Bayu untuk melangkah menuju kamar. Sang Gadis mengamati dari dekat wajah Bayu, hingga ia menyadari sesuatu. "Loh, Kakak ini Bayu, kan? Youtuber itu?" Gadis itu mengambil HP, selfie bersama Bayu dan teman lelakinya. "Butuh dipanggilkan dokter, Kak?" Bayu tersenyum kecut sambil menggeleng. "Cuma
Aira berusaha mengatur napas, terlentang di kasur empuk memandang langit-langit kamar. Apa yang baru terjadi? Ternyata Bayu memiliki tenaga untuk mendorongnya. Youtuber kurang ajar itu tak terlalu lemah seperti yang dia bayangkan. Dan wajahnya tadi begitu dekat hingga terasa hangat deruh napasnya pada kulit wajah Aira. Cara Bayu memandang pun membuat dadanya berdebar kencang. Kenapa bisa seperti ini? Aira memejam, mencoba mencerna semua yang telah terjadi. "Kau apakan menantuku, hmm? Dasar anak tak berguna." Suara itu membuat Aira duduk di kasur. Dia mendapati Ibu mertua masuk ke kamar, tentu dia tergesa-gesa menghampiri beliau, menyambut dengan senyum dan salaman hangat. Ibu tak ingin hanya bersalaman. Beliau menarik menantunya masuk dalam rangkul erat nan hangat, sambil menepuk-nepuk punggung. "Menantuku yang paling cantik. Katakan, kenapa berteriak-teriak? Ibu tidak salah dengar, kan, kamu teriak diperkosa? Kenapa? Apa Bayu bertindak semena-men
Suara teriakan semakin membahana. Pesawat bergerak liar seperti roller-coaster. Beberapa tas jatuh dari dalam bagasi atas yang terbuka sendiri. Alat bantu pernapasan keluar secara otomatis dari bawah bagasi. "Aira!" teriak Kai secara insting berusaha berdiri dikala yang lain duduk berusaha memakai sabuk pengaman. Dia berhasil berdiri memegang sandaran kursi Bayu dan penumpang di depan. Tiba-tiba guncangan berhenti. Lampu yang berkedip liar menyala redup. Penumpang berterima kasih pada Tuhan dengan penuh kelegaan. Suara ping terdengar dan pemberitahuan jika tadi mereka memasuki awan badai memberi petunjuk alasan terjadi insiden tadi. Aira dan Bayu melepas pelukan mereka, saling mendorong dan mengusap badan, membuat Kai tersenyum kecil. Karena suara Kai pula Aira dan Bayu sadar jika pemuda itu berdiri di sebelah mereka. Keduanya memandang bingung, membuat situasi canggung. "Kenapa Kai?" tanya Bayu. Kai menggaruk kepala
Aira merengek, "Aku ingin melihat bintang. Katanya tengah malam bakal banyak bintang di angkasa." "Pokoknya lo tidur, istirahat. Masih banyak waktu untuk itu." "Siapa yang tahu berapa sisa waktu kita di bumi. Siapa tahu nanti mati." "Gue menyuruh lo istirahat karena gue sayang lo, ngerti?" Aira menggeleng dengan polos memandang balik tanpa dosa. Bayu menghela napas berat, satu tangan melingkar ke leher Aira. Keduanya melangkah pelan menuju kabin. Di dekat pintu kabin terdapat pohon Pine besar dengan dedaunan lebat. Tepat di bawah pohon tumbuh beberapa tanaman liar. Mata Bayu cukup tajam menangkap sesuatu di bawah pohon. Ia pergi ke sana mengambil sekuncup bunga liar kecil warna kuning nan indah. Dia menghampiri Aira, menaruh tangkai bunga ke belakang telinga, hingga mahkota bunga menghias bagian atas telinga Aira. Sontak dada Aira berdebar-debar. Dia terdiam, tertunduk memandang ujung sepatu bot hitam yang dia kenakan. Pe
Keduanya jatuh dengan selamat di tumpukan salju putih empuk. Aira dan Bayu sehat tanpa luka. Mereka saling menghardik menyalahkan lalu Aira melompat-lompat seperti orang sedang senam pagi, bertepuk tangan di atas kepala ke arah kereta gantung. "Tolong! Kami di bawah sini, tolong--" "Jangan teriak-teriak, bego!" teriak Bayu, menarik lengan Aira. "Nanti kalau salju longsor, kita bisa mati tertimbun!" "Sendirinya teriak gitu." Aira kembali melompat-lompat berteriak, hingga sedikit membungkuk memegang punggung. "Aduh, pinggangku aduh aduh, sakit." "Mampus, kena batunya loncat-loncat. Ini semua gara-gara lo maruk masalah duit!" Keluh Bayu, membantu Aira berdiri. "Lah kan kamu juga yang salah, tidak memberi tahu kontrak satu milyar, mana tidak mau 50-50." "Udah deh, tidak usah bertengkar. Kita di mana?" tanya Bayu memandang sekitar. Langit tertutup kabut tebal seputih busa sabun. Salju tipis turun dari langit menambah tebal tumpukan
Sementara itu di Indonesia. Tepat sehari setelah insiden ijab kobul, Cecil duduk di sofa empuk seperti seonggok daging tanpa semangat. Dia bersandar sambil memandang layar HP di tangannya. Raut wajah gadis itu cemberut membaca komentar yang masuk ke dalam IG. [Cewek apaan sih, pansos banget. Tidak diundang datang mengacau ke pesta orang. Tidak lucu! Syukur Bayu tidak jadi menikah sama model beginian. Kalau sampai, waduh, bisa jatuh pamor.] [Pantas Bayu ogah menikah sama kamu, sikapmu seperti Mak Lampir kehilangan otak. Sana, belajar lagi cara pansos yang baik dan benar.] [Kasihan ya, sampai segitunya. Belum menikah saja dulu sudah koar-koar ingin keliling dunia. Eh, sekarang tidak jadi menikah, malah jadi gila. Kasihan kamu. Operasi otak sana, biar waras.] "Bagaimana, sudah bisa menghubungi Bayu?" tanya wanita tambun berkaca mata yang duduk di kursi putar di belakang meja kerja. Alih alih menjawab, Cecil bangkit melempar HP ke dinding. "
Banyak orang berkumpul di taman kompleks mengerumuni para idola. Mereka rerata ibu-ibu muda dan para gadis meminta tanda tangan, foto bersama, atau sekedar berjabat tangan. Situasi seperti di pasar malam ini terjadi karena kehadiran Bayu, Kai, Kevin, Aira, dan Lukman. Pamor mereka tidak meredup sedikit pun walau sekarang sudah berkeluarga. Di tengah mereka hadir tiga bocah kecil yang aktif membuat gaduh suasana. Vega anak Bayu dan Aira. Altair anak Kai dan Ana, Deneb putra dari Kevin dan Mei. Ketiganya bermain bersama anak-anak di taman dengan penuh keceriaan tanpa kenal penderitaan dunia. "Vega, ngapain?" tanya Altair sambil melihat Vega yang sedang menyodok-nyodok sesuatu di bawah pohon. Melihat benda apa yang menjadi mainan membuat dia melangkah mundur. "Ih, itu kan eek kucing! Jorok!" "Iya tahu." Dengan piawainya Vega mengangkat eek itu memakai kayu lalu menjejalkan pada Altair. "Alta, ini bagus buat lulur mukamu. Sini, jangan kabur!" "Mama!" Alta
Aira buru-buru membuka pintu. Dia tidak sempat mengintip dari gorden karena mendengar suara yang sering dia dengar sebelumnya. "Sebentar, ini sedang buka kunci." Pintu dibuka. Aira tersentak melihat Ibu duduk di kursi teras bergelimang air mata. Asep yang sembari tadi menggedor pintu, langsung membungkuk menyambut Aira. Bukan hanya mereka, di Kai, Ana, Shion, Kevin, Mei, Lukman, dan Sasa, turut serta. "Kamu yang sabar, Aira," ucap Kai, memeluk Aira dengan erat. "Bayu--" "Ada apa sih?" tanya Aira. "Apa ada yang ulang tahun? Kok pada kumpul di sini?" Semua bertukar pandang heran. Mereka saja bingung, apalagi Aira? Dia benar-benar tidak tahu menahu tentang isi kepala para tamu. "Mana Bayu, Nak?" tanya Ibu, dengan kaki sempoyongan berdiri memeluk Aira. Wajah beliau seperti pakaian yang baru dicuci belum kering. "Bayu? Di dalam Bu--" Belum selesai Aira bicara, Ibu merangsak maju hingga nyaris jatuh. D
Dahulu sebelum menikahi Bayu, Aira 'hobi' bersih-bersih. Dari kecil dia terbiasa menyapu dan mencuci piring. Akan tetapi beberapa bulan terakhir dia hidup dalam mimpi yang menjadi kenyataan. Dia tidak perlu melakukan itu semua, cukup duduk santai dan bersenang-senang. Sekarang ketika menyapu, punggungnya sakit dan capek. Seminggu berlalu tapi dia belum menemukan kembali apa yang menjadi 'hobi'-nya dulu. "Waduh, Bu Angga, rajin sekali," tegur seorang ibu tetangga sebelah, baru pulang dari mengajar. Dia guru di SMP sekitar. "Ini Bu, ada sedikit jajan, tadi anak-anak sedang praktek tata-boga." Aira tentu berterima kasih atas perhatian itu. Dengan senyum mereka alami ia menerima kantung plastik putih berisi bungkusan sop sayur. Tetangga berlaku baik karena aura positif dari Bayu dan Aira. Mungkin juga faktor face dan rumor yang Aira sebar berpengaruh pada mereka. Kisah tentang pernikahan dini, di mana Bayu si miskin nekat menikahi Aira tanpa persetu
"Pijat yang benar." Ibu menepuk-nepuk pundaknya, sembari duduk di atas bantal. "Iya Nek--" "Nek?" Ibu menoleh menangkap senyum mal-malu Ana. "Kamu ini, panggil Ibu, mengerti?" Ana mengangguk ketika Ibu kembali fokus ke TV. Gadis itu tersenyum lembut pada Kai yang duduk bersila kaki di sebelah Ibu. Siang ini Kai memperkenalkan Ana kepada Ibu asuhnya itu sebagai calon istri. Ketiganya duduk santai di paviliun belakang rumah. Selain itu dia punya tujuan lain hadir di sini. "Sekarang nyaris seminggu Bibi menghukum Bayu dan Aira," ujar Kai. "Mereka menderita Bi, tinggal di rumah bedeng macam itu. Apa Bibi tega membiarkan Bayu dan Aira hidup susah?" Dua hari sekali Kai datang dan memohon hal yang sama. Namun, Ibu tetap santai menikmati pijatan Ana. Sesekali beliau bersendawa tanda jika merasa nyaman. Beliau juga dilanda dilema. Walau diam, tapi diam-diam Ibu juga khawatir kepada Bayu dan Aira. Bagaimana pun Bayu anak kesayanganny
Seperti semut mengerumuni gula, empat preman mengerumuni motor Riko. Mereka tidak memberi kesempatan Riko untuk memacu motor."Minggir, aku sibuk mau menjemput pelanggan," ujar Riko."Sombong!" bentak seorang preman gendut. "Lagak kamu sudah seperti orang penting.""Penting dia bro," sahut preman kedua. "Habis bebas dari penjara dengan bersyarat dan jaminan, kan sekarang wajib lapor atau saudaranya bakal membayar uang kompensasi."Suara tawa mereka membahana seperti supporter di stadion bola. Salah satu dari mereka mendorong kepala Riko. Satu lagi mengambil kunci motornya. Mereka sengaja ingin memancing supaya Riko marah dan menghajar mereka."Aduh, kasihan Mas Riko." Darmi hanya bisa memandang. Bisa apa dia, sendirinya berdagang di sini dan wilayah ini kekuasaan mereka."Kok Mas Riko tidak melawan?" tanya Bayu, mengamati lelaki tangguh di atas motor."Kalau melawan, nanti bakalan langsung dipenjara. Mas Riko bebas bersyarat. Sa
Sebagai kepala keluarga tentu Bayu yang membuka pintu. Empat ibu-ibu berwajah judes menanti. Melihat wajah tampan yang keluar, Judes mereka mereda dan sekarang senyum-senyum sendiri. "Maaf, ada apa ya, Bu?" tanya Bayu dengan ramah. Aira yang kebelet kepo pun nongol dari belakang Bayu. Senyumnya muncul, menggeser Bayu hingga mereka berdiri bersebelahan di pintu yang sempit. "Maaf Nak, ini sudah malam," ucap Ibu gendut dengan ramah. "Benar, sudah jam sebelas malam. Mohon suaranya dikecilkan, ya. Besok anak-anak sekolah, bising enggak bisa tidur," timpa Ibu kurus. "Kami tahu kok, pengantin baru, kan?" Ibu berbadan pendek menyambung. Tentu Bayu dan Aira menjadi sungkan. Mereka saling senggol, tertunduk dengan cengiran mereka yang khas, kecil, dibuat-buat. "Ingat, kita tinggal bersebelahan." Ibu yang lumayan muda menunjuk ke kiri dan kanan. Rumah mereka memang hanya terpisah tembok, bisa dikatakan suara kentut pun pasti bisa tetangg
Pindahan Bayu dan Aira cukup simpel. Mereka hanya membawa pakaian, peralatan kuliah, laptop, dan uang saku dari Ibu. Pagi hari mereka tiba di kontrakan yang dimaksud. Rumah petak sederhana. Lantai hanya dioles semen. Dinding bata tiada diberi cat. Langit-langit pun tak ada. Dari dalam bisa melihat pondasi atap. Dan aroma di sini lumayan pengap, berdebu. Hanya ada satu kamar tidur, kamar mandi pun nyaris menyatu dengan dapur. Perabotan yang ada hanya satu kasur dan satu lemari dengan TV tabung tua berdiri gagah di dekat kipas putar kecil. "Bagaimana? Rumah ini masih lebih bagus dari tempatku dulu tinggal. Kalian harus membayar uang listrik sendiri, uang air, dan mulai bulan depan membayar uang sewa. Jadi usahakan hemat." ucap Asep, menaruh kunci ke telapak tangan Aira. "Motor Vespa milikmu. Selamat tinggal." Dia berbalik hendak pergi. Akan tetapi Bayu menarik lengan Asep. "Sampai kapan kami harus tinggal di sini?" "Sampai Ibumu puas." Asep
Suara jangkrik menjadi musik merdu menemani mereka saat ini, tiada suara lain. Aira dan Bayu duduk bersila kaki di atas bantal. Mereka menanti Ibu di paviliun belakang rumah yang dikelilingi taman. Bayu menggenggam telapak tangan Aira. "Apapun yang terjadi aku tidak akan pernah menandatangani surat itu. Semoga kamu juga demikian." Aira mengangguk kecil. Dia menggenggam telapak tangan Bayu. "Asal kamu nanti berani bersumpah tidak akan menemui Cecil dan wanita lain, aku siap Mas." Bayu tersenyum lembut. "Mas? Oh Tuhan, panggilan mesranya Mas? Darling kek, hooney gitu, Mas, terdengar ndeso." "Ah, sudah lah." Dengan kasar Aira menarik tanggannya. "Youtuber sial, hobi banget sih merusak suasana." Bayu terkekeh melihat reaksi cemberut Aira. Dia hanya bercanda tadi. "Aku tidak menyangka akan menjadi seperti ini. Tahu tidak, alasan kenapa kamu aku pilih untuk menikah kontrak?" "Aku cantik, manis--" "Karena aku yakin tidak
Cahaya matahari masuk melalui kaca jendela besar di dinding sisi kiri menerpa ibu yang duduk di kursi kerja. Beliau sibuk mengetik sesuatu di komputer. Suara ketukan di pintu membuat dia berhenti sejenak. "Siapa?" "Ini saya Nyonya, Asep." "Masuk Sep." Pria berjas hitam masuk ke ruang kerja, berdiri dalam posisi instirahat di tempat. Setelah diberi kode gerak tangan Ibu, dia duduk di kursi berlengan. "Bagaimana, ada hasil?" tanya Ibu. Asep menaruh beberapa stopmap ke meja kerja. "Menurut para detektif yang saya kerahkan, terjadi perselingkuhan antara orang tua Nona Aira dan Tuan Kai. Menurut para detektif, kematian Ibu Nona Aira karena kebakaran di tempatnya bekerja ada hubungan dengan--" "Cukup, lewati bagian itu," ujar Ibu. Asep berdeham. "Setelah kejadian itu Kai memang sangat terpukul dan merasa bertanggung jawab untuk merawat Aira. Walau umur mereka hanya terpaut beberapa tahun, tapi dia berhasil melakukannya de