Beberapa hari berlalu. Aira melesat keluar kelas dengan cara jalan seperti Giant di film Doraemon. Dan seperti Suneo, Mei mengiringi langkahnya.
"Tunggu, Aira Tenang dulu," ujar Mei. "Jangan gegabah. Apa buktinya kalau Bayu yang mencuri uang tabungan?"
"Kalau bukan dia, pasti fans yang dia suruh."
" Ra, nanti kalau kamu main labrak, malah kena getahnya. Kamu bisa dilaporkan ke polisi karena melakukan tindakan tidak mengenakkan, juga pencemaran nama baik."
"Apa yang mau dicemarkan? Lah nama dia memang tidak baik."
Aira tahu Mei fans si youtuber kampret. Ucapannya demi kebaikan sang idola. Namun, jika dipikir lagi memang dia belum mempunyai bukti.
Langkah mereka terpaku, melihat Bayu dan Kevin sedang bersantai di gazebo. Dengan gemas Aira beranjak menuju ke sana. Mei berusaha menarik tangannya, tapi gagal. Tenaga Aira terlampau kuat. Gadis Tionghoa itu malah terseret seperti kerbau.
"Youtuber kurang kerjaan!" keluh Aira, menggebrak meja gazebo. "Maumu apa?"
"Wah, sepertinya ada yang rindu, bro," goda Kevin sambil menyikut lengan Bayu.
Bayu berdiri, menarik Kevin maju ke depan. "Lo aja yang ngomong."
Kedua pemuda saling bisik dan tarik, hingga Kevin pasrah, berdeham lalu bicara, "Nona Plak. Kami mau berbagi rejeki."
"Rejeki apaan? Kembalikan uangku!" Sentak Aira, sambil menadahkan tangan. "Atau aku lapor ke polisi biar kalian ditangkap!"
Istigfar," sela Mei, mengelus dada Aira. "Jangan teriak nanti viral lagi."
Kevin sadar di sekitar mulai banyak orang berkumpul. "Nona Plak, kita diskusi di tempat lain, mau?"
"Lo mau duit, kan?" sahut Bayu. "Kalau mau, ayo buruan." Ia pergi menyeret kerah kemeja Kevin menuju lahan parkir di samping gedung sekolah.
Aira dan Mei bertukar pandang bingung. Keberanian Aira padam. Dia tidak mengenal Bayu. Bagaimana kalau dia mau memperkosa?
"Mei, gimana nih?" bisik Aira.
"Kamu tanya aku, terus aku tanya siapa?"
" Lo berdua ngapain di sana? Mau duit tidak?" teriak Bayu, melambai-lambai.
"Iya mau!" teriak Aira, menggandeng tangan Mei pergi mengambil kendaraan mereka. Uang, siapa yang tidak mau?
Motor butut Aira dan motor-matik Mei mencoba mengikuti mobil mewah Bayu. Mereka sampai di sebuah kafe bernama Rainfall.
Bapaknya Kevin yang punya kafe. Dari depan, Kafe nampak seperti gedung biasa, tapi ketika masuk seperti hutan cherry. Puluhan pohon cherry tumbuh tertata rapi. Ada banyak gazebo bambu berdiri di sekitar hutan buatan, tapi satu gazebo spesial berdiri di tengah hutan dan kesana tujuan mereka.
"Gue pergi dulu. Lo semua ke sana aja duluan," perintah Bayu, memisahkan diri dari rombongan.
Di gazebo spesial, banyak minuman kaleng juga camilan berjajar di meja. Aira duduk lesehan bersila kaki di atas kursi kayu memandang sekitar. Begitu sejuk udara di sini, tenang jauh dari hiruk pikuk pengunjung, hingga terdengar cuitan burung-burung kecil di sekitar. Mei sendiri asik memakan buah cherry bersama Kevin. Keduanya bercanda memetik buah langsung dari pohon. Sementara Bayu belum kelihatan.
"Mei, Vin, si Kampret mana?"
"Cie kangen," goda Kevin. Paham jika menggoda Aira saat ini hanya bakal memperkeruh keadaan, dia menjawab, "Sedang mengurus cek. Sebentar lagi--nah, itu dia datang."
Kevin dan Mei bergegas menuju gazebo. Sekarang mereka berempat duduk lesehan berhadapan. Hanya sebuah meja kayu bundar menjadi pemisah mereka.
"Aku minta ganti rugi. Fans-mu membobol rekening tabungan aku," ujar Aira, membuka diskusi.
"Lo jangan asal menuduh--"
"Lima puluh juta. Mana sini, tabungan aku segitu. Kalau tidak mau ganti, aku lapor polisi."
"Punya bukti tidak?" tanya Bayu. "Main tuduh aja."
"Tidak perlu bukti, karena semua ini--"
"Sudah-sudah," sela Kevin, sambil memakan kacang sukro bundar putih gurih. "Kita ke sini mau berunding masalah uang."
Bayu cengar-cengir. Duduknya maju mendekati meja. "Lima puluh juta? Kecil. Gue kasih seratus juta, asal lo mau tanda tangan." Dia mendorong secarik kertas dan pena ke atas meja mendekati Aira.
"Apaan nih?" Aira membaca kertas tersebut. Mei yang penasaran pindah duduk ke sebelah Aira ikut membaca dengan seksama.
"Haiya, nikah?" tanya Mei, memandang Bayu sambil menaikturunkan kaca mata.
"Selain duit seratus juta, gue biayai uang kuliah dan biaya hidup lo selama jadi istri gue. Lo juga bakal tinggal di rumah mewah. Plus, gue kasih uang jajan bulanan dua juta rupiah. Lo harus menuruti gue. Gimana, total tuh seratus lima puluh jutaan lebih. Lo mau tidak?" Dengan gaya Bayu menarik-narik kerah pakaiannya.
"Aira menikah sama kamu?" tanya Mei lalu tertawa ala Nadine duta sampo Pantene. "Lah, kenapa harus Aira, sama aku aja Bayu! Sumpah, tidak usah dibayar juga mau."
Aira memandang lekat-lekat muka Bayu, lalu menyeringai. "Kenapa harus aku?"
Kevin menjawab, "Karena kamu manis--"
Bayu menyela, "Karena lo tidak bakal bisa jatuh hati sama orang yang lo benci. Lagi pula lo butuh duit, kan?"
Mendengar ucapan Bayu, Aira menggeleng. "Ogah, nanti kamu minta macam-macam lagi."
Mata Bayu berputar. "Gue minta apa coba? Yang gue minta cuma di depan kamera lo harus bertingkah manis, menuruti perintah gue, mengerti?"
Aira menimbang-nimbang tawaran Bayu. Uang seratus juta, dia tak pernah memegang uang sebanyak itu. Terlebih gosipnya Bayu orang kaya. Hidup di rumah mewah, semua kebutuhan dicukupi, hidup di sana, bukankah itu mimpi yang menjadi nyata? Hanya ada satu ganjalan. Apa arti menuruti perintah di depan kamera? Bagaimana kalau dia menyuruh membuat adegan bokep?
"No seks," ujar Aira.
Bayu menggeleng. "Seks? Kalau lo mau ya tidak papa sih, gue siap--"
"No seks!"
"Ok no seks, no seks puas? Tidak usah teriak juga!" Keluh Bayu. Ia menyengir sendiri menanti Aira menandatangani kontrak. "Lumayan, kan, nikah kontrak sama gue, setahun lo bisa hidup enak."
Aira mengamati Bayu yang semakin sering tersenyum sendiri, lalu membaca sekali lagi pasal-pasal dalam surat perjanjian. Ia mencoret kalimat 'menurut', menulis kalimat no seks.
Kevin berdeham, lalu bicara, "Untuk perjanjian lain atau jika ingin ada perubahan bisa dibicarakan dengan norma kekeluargaan. Hal ini harus dirahasiakan dari siapapun juga. Cuma kita berempat yang tahu, paham?"
Aira mengangguk setuju. Sekarang dia paham kenapa Bayu dan Kevin mengajak mereka pergi jauh dari keramaian. Dia mengambil pena, hendak menandatangani surat itu. Tetapi bagian tajam pena berhenti sebelum menyentuh kertas.
"Aira, kamu yakin?" bisik Mei sambil mengamati wajah Kevin dan Bayu bergantian. Duduknya sangat dekat dengan Aira.
"No seks, kan? Dari pada melapor polisi tentang kasus hilangnya uang, malah bisa gede masalah. Kalau bapak sampai tahu uang tabungan aku hilang, beliau juga bakal marah."
"Ya sudah tanda tangani aja. Nanti bagi duit--"
"Enak saja bagi, sana nikah kontrak sama Kevin."
Aira menandatangani kontrak, lalu Bayu melakukan hal yang sama. Keduanya berjabat tangan di depan dua saksi, Mei dan Kevin. Aira pergi dari sana bersama Mei. Sesekali ia menoleh ke belakang, mendapati Bayu sedang bicara dengan Kevin.
"Wah, tidak sangka, ya," bisik Mei. "Kemarin kalian mau saling bunuh tapi sekarang malah tanda tangan kontrak begituan."
"Mei, apa yang kulakukan ini bener?"
"Bener kok, bener banget. Eh, siapa tahu nanti pas sudah nikah, kamu bunting, bisa selamanya jadi istri Bayu. Punya suami ganteng, kaya, aktor, mimpi jadi kenyataan."
Aira melangkah cepat, meninggalkan Mei yang mulai hanyut dalam khayalan. Itu juga yang dia takutkan. Bagaimana jika terjadi sesuatu yang tak direncanakan, dan dia hamil. Apa Bayu mau tanggung jawab.
"Harus mau, kalau tidak mau ... aku potong tititnya sampai habis, lalu aku lempar untuk makanan guguk."
"Ih, Aira! Kok aku ditinggal?" Mei kembali melangkah di samping Aira. "Untuk pesta pernikahan, kamu mau mengundang siapa? Terus bapak kamu bagaimana?"
Langkah Aira terhenti. Ia benar-benar lupa dengan ijin dari bapak. Buru-buru dia menghampiri gazebo menggebrak meja di sana.
"Batal! Batal! Aku tidak mau nikah sama kamu!"
"Enak aja batal! Lo udah tandatangan tadi, mana bisa batal!"
Seorang gadis gelandangan menarik lengan kemeja Cecil. "Mbak, jadi tidak bagi-bagi hadiah?" "Sabar, ya." Cecil mengambil beberapa kantung plastik besar di dalam kardus, memandang sekitar. Setelah yakin di dalam mobil Avanza itu ada kamera, dia pun mendadak ramah pada gerombolan gelandangan di bawah jembatan layang. "Maaf ya, kelamaan, takut kalau ada kamera. Aku tidak mau disorot kamera ketika beramal." Setelah membagikan banyak kantung plastik berisi beras dan amplop uang pada para gelandangan, Cecil melambai ramah pada mereka. Ketika berbalik badan, dia pura-pura kaget mengelus dada, karena melihat seorang gadis wartawan menghampiri sambil membawa mic. Di belakang gadis itu, seorang kameraman dan beberapa kru mengikuti. "Kak Cecil sering melakukan hal ini? Tempat ini kan kotor? Kenapa melakukan hal ini?" "Tempat ini memang kotor, tapi lihatlah. Banyak senyum indah yang menanti. Masih banyak orang membutuhkan uluran tangan. Bagi kita barang-barang it
Rencana pernikahan tersebar luas di dunia maya. Bahkan sering muncul di TV, iklan tentang acara keluarga Bayu. Aira menjadi buah bibir di tempatnya nge-kost. "Wah, bakal jadi istri orang kaya nih, uang kontraknya dinaikkan tidak, ya?" goda induk semang, seorang wanita tua ramah berbadan gendut. "Jangan Bi," sahut Aira tertawa kecil memberi amplop berisi uang untuk Bibi. "Satu tahun lagi saya akan kembali. Ini uang sewa saya untuk dua tahun ke depan, sekalian ada uang hadiah untuk Bibi, permisi." Bibi bingung dengan tutur kata Aira, dia bengong seperti kodok melihat hujan. Beberapa hari berlalu. Hari pernikahan Aira dan Bayu tiba. Acara diadakan dalam ballroom luas hotel bintang lima di kawasan kota Surabaya. Tentu ini hari super spesial bagi Aira juga Bayu. Sekarang Mei dan Diah menemani Aira di ruang dandan. "Tidak sangka, dulu kalian saling benci," ujar Diah. "Eh, sekarang malah nikah." Mei mewakili Aira untuk menjawab, "Seng
"Pokoknya tidak sah! Pernikahan ini harus batal!" Suara itu semakin jelas terdengar hingga memaksa kerumunan tamu, perlahan membuka jalan untuk gadis itu menuju panggung ijab kobul. Aira dan Bayu berdiri sembari berbisik-bisik mengamati hal ini. Aira sedikit berjinjit supaya bibir bisa mendekati telinga Bayu. "Ini settingan, bukan?" "Maksud lo, apa?" "Ya seperti jaman OSPEK, settingan. Semua kejadian sudah diatur sama senior, tapi para junior tidak ada yang tahu." "Gue tidak merasa mengadakan settingan. Lo kali, sengaja pansos." "Be the way, nikah kita sah tidak?" "Sah lah, kan sudah ijab kobul. Anggap aja yang teriak tidak sah orang gila." Dari dalam kerumunan Cecil dikawal puluhan pria berpakaian safari hitam mulai mendaki anak tangga hingga sampai ke panggung.Bayu maju mencengkeram kedua pergelangan tangan Cecil. "Ayo turun," bisik Bayu pada Cecil "Malu dilihat banyak orang."
Bayu bertumpu satu lutut mengelus perut yang seperti ditabrak mobil. Pukulan Aira tadi benar-benar membuatnya jatuh telak. Ia berhasil berdiri menekan tembok, melangkah gontai menuju kamar. "Dasar cewek barbar, aduh ya Tuhan, semoga lambungku tidak bocor." Langkah Bayu terhenti karena pintu kamar di depannya dibuka dari dalam. "Loh, Kak, Kakak tidak apa-apa?" tanya seorang gadis yang baru keluar dari kamar bersama seorang pemuda, menghampiri Bayu. Dia dan temannya berusaha membantu Bayu. "Ada apa, Kak?" Mau menggeleng, tersenyum ramah menjaga image. "Tidak apa-apa, kok, ini tadi kebanyakan makan jadi mules." Keduanya masih membantu Bayu untuk melangkah menuju kamar. Sang Gadis mengamati dari dekat wajah Bayu, hingga ia menyadari sesuatu. "Loh, Kakak ini Bayu, kan? Youtuber itu?" Gadis itu mengambil HP, selfie bersama Bayu dan teman lelakinya. "Butuh dipanggilkan dokter, Kak?" Bayu tersenyum kecut sambil menggeleng. "Cuma
Aira berusaha mengatur napas, terlentang di kasur empuk memandang langit-langit kamar. Apa yang baru terjadi? Ternyata Bayu memiliki tenaga untuk mendorongnya. Youtuber kurang ajar itu tak terlalu lemah seperti yang dia bayangkan. Dan wajahnya tadi begitu dekat hingga terasa hangat deruh napasnya pada kulit wajah Aira. Cara Bayu memandang pun membuat dadanya berdebar kencang. Kenapa bisa seperti ini? Aira memejam, mencoba mencerna semua yang telah terjadi. "Kau apakan menantuku, hmm? Dasar anak tak berguna." Suara itu membuat Aira duduk di kasur. Dia mendapati Ibu mertua masuk ke kamar, tentu dia tergesa-gesa menghampiri beliau, menyambut dengan senyum dan salaman hangat. Ibu tak ingin hanya bersalaman. Beliau menarik menantunya masuk dalam rangkul erat nan hangat, sambil menepuk-nepuk punggung. "Menantuku yang paling cantik. Katakan, kenapa berteriak-teriak? Ibu tidak salah dengar, kan, kamu teriak diperkosa? Kenapa? Apa Bayu bertindak semena-men
Suara teriakan semakin membahana. Pesawat bergerak liar seperti roller-coaster. Beberapa tas jatuh dari dalam bagasi atas yang terbuka sendiri. Alat bantu pernapasan keluar secara otomatis dari bawah bagasi. "Aira!" teriak Kai secara insting berusaha berdiri dikala yang lain duduk berusaha memakai sabuk pengaman. Dia berhasil berdiri memegang sandaran kursi Bayu dan penumpang di depan. Tiba-tiba guncangan berhenti. Lampu yang berkedip liar menyala redup. Penumpang berterima kasih pada Tuhan dengan penuh kelegaan. Suara ping terdengar dan pemberitahuan jika tadi mereka memasuki awan badai memberi petunjuk alasan terjadi insiden tadi. Aira dan Bayu melepas pelukan mereka, saling mendorong dan mengusap badan, membuat Kai tersenyum kecil. Karena suara Kai pula Aira dan Bayu sadar jika pemuda itu berdiri di sebelah mereka. Keduanya memandang bingung, membuat situasi canggung. "Kenapa Kai?" tanya Bayu. Kai menggaruk kepala
Aira merengek, "Aku ingin melihat bintang. Katanya tengah malam bakal banyak bintang di angkasa." "Pokoknya lo tidur, istirahat. Masih banyak waktu untuk itu." "Siapa yang tahu berapa sisa waktu kita di bumi. Siapa tahu nanti mati." "Gue menyuruh lo istirahat karena gue sayang lo, ngerti?" Aira menggeleng dengan polos memandang balik tanpa dosa. Bayu menghela napas berat, satu tangan melingkar ke leher Aira. Keduanya melangkah pelan menuju kabin. Di dekat pintu kabin terdapat pohon Pine besar dengan dedaunan lebat. Tepat di bawah pohon tumbuh beberapa tanaman liar. Mata Bayu cukup tajam menangkap sesuatu di bawah pohon. Ia pergi ke sana mengambil sekuncup bunga liar kecil warna kuning nan indah. Dia menghampiri Aira, menaruh tangkai bunga ke belakang telinga, hingga mahkota bunga menghias bagian atas telinga Aira. Sontak dada Aira berdebar-debar. Dia terdiam, tertunduk memandang ujung sepatu bot hitam yang dia kenakan. Pe
Keduanya jatuh dengan selamat di tumpukan salju putih empuk. Aira dan Bayu sehat tanpa luka. Mereka saling menghardik menyalahkan lalu Aira melompat-lompat seperti orang sedang senam pagi, bertepuk tangan di atas kepala ke arah kereta gantung. "Tolong! Kami di bawah sini, tolong--" "Jangan teriak-teriak, bego!" teriak Bayu, menarik lengan Aira. "Nanti kalau salju longsor, kita bisa mati tertimbun!" "Sendirinya teriak gitu." Aira kembali melompat-lompat berteriak, hingga sedikit membungkuk memegang punggung. "Aduh, pinggangku aduh aduh, sakit." "Mampus, kena batunya loncat-loncat. Ini semua gara-gara lo maruk masalah duit!" Keluh Bayu, membantu Aira berdiri. "Lah kan kamu juga yang salah, tidak memberi tahu kontrak satu milyar, mana tidak mau 50-50." "Udah deh, tidak usah bertengkar. Kita di mana?" tanya Bayu memandang sekitar. Langit tertutup kabut tebal seputih busa sabun. Salju tipis turun dari langit menambah tebal tumpukan
Banyak orang berkumpul di taman kompleks mengerumuni para idola. Mereka rerata ibu-ibu muda dan para gadis meminta tanda tangan, foto bersama, atau sekedar berjabat tangan. Situasi seperti di pasar malam ini terjadi karena kehadiran Bayu, Kai, Kevin, Aira, dan Lukman. Pamor mereka tidak meredup sedikit pun walau sekarang sudah berkeluarga. Di tengah mereka hadir tiga bocah kecil yang aktif membuat gaduh suasana. Vega anak Bayu dan Aira. Altair anak Kai dan Ana, Deneb putra dari Kevin dan Mei. Ketiganya bermain bersama anak-anak di taman dengan penuh keceriaan tanpa kenal penderitaan dunia. "Vega, ngapain?" tanya Altair sambil melihat Vega yang sedang menyodok-nyodok sesuatu di bawah pohon. Melihat benda apa yang menjadi mainan membuat dia melangkah mundur. "Ih, itu kan eek kucing! Jorok!" "Iya tahu." Dengan piawainya Vega mengangkat eek itu memakai kayu lalu menjejalkan pada Altair. "Alta, ini bagus buat lulur mukamu. Sini, jangan kabur!" "Mama!" Alta
Aira buru-buru membuka pintu. Dia tidak sempat mengintip dari gorden karena mendengar suara yang sering dia dengar sebelumnya. "Sebentar, ini sedang buka kunci." Pintu dibuka. Aira tersentak melihat Ibu duduk di kursi teras bergelimang air mata. Asep yang sembari tadi menggedor pintu, langsung membungkuk menyambut Aira. Bukan hanya mereka, di Kai, Ana, Shion, Kevin, Mei, Lukman, dan Sasa, turut serta. "Kamu yang sabar, Aira," ucap Kai, memeluk Aira dengan erat. "Bayu--" "Ada apa sih?" tanya Aira. "Apa ada yang ulang tahun? Kok pada kumpul di sini?" Semua bertukar pandang heran. Mereka saja bingung, apalagi Aira? Dia benar-benar tidak tahu menahu tentang isi kepala para tamu. "Mana Bayu, Nak?" tanya Ibu, dengan kaki sempoyongan berdiri memeluk Aira. Wajah beliau seperti pakaian yang baru dicuci belum kering. "Bayu? Di dalam Bu--" Belum selesai Aira bicara, Ibu merangsak maju hingga nyaris jatuh. D
Dahulu sebelum menikahi Bayu, Aira 'hobi' bersih-bersih. Dari kecil dia terbiasa menyapu dan mencuci piring. Akan tetapi beberapa bulan terakhir dia hidup dalam mimpi yang menjadi kenyataan. Dia tidak perlu melakukan itu semua, cukup duduk santai dan bersenang-senang. Sekarang ketika menyapu, punggungnya sakit dan capek. Seminggu berlalu tapi dia belum menemukan kembali apa yang menjadi 'hobi'-nya dulu. "Waduh, Bu Angga, rajin sekali," tegur seorang ibu tetangga sebelah, baru pulang dari mengajar. Dia guru di SMP sekitar. "Ini Bu, ada sedikit jajan, tadi anak-anak sedang praktek tata-boga." Aira tentu berterima kasih atas perhatian itu. Dengan senyum mereka alami ia menerima kantung plastik putih berisi bungkusan sop sayur. Tetangga berlaku baik karena aura positif dari Bayu dan Aira. Mungkin juga faktor face dan rumor yang Aira sebar berpengaruh pada mereka. Kisah tentang pernikahan dini, di mana Bayu si miskin nekat menikahi Aira tanpa persetu
"Pijat yang benar." Ibu menepuk-nepuk pundaknya, sembari duduk di atas bantal. "Iya Nek--" "Nek?" Ibu menoleh menangkap senyum mal-malu Ana. "Kamu ini, panggil Ibu, mengerti?" Ana mengangguk ketika Ibu kembali fokus ke TV. Gadis itu tersenyum lembut pada Kai yang duduk bersila kaki di sebelah Ibu. Siang ini Kai memperkenalkan Ana kepada Ibu asuhnya itu sebagai calon istri. Ketiganya duduk santai di paviliun belakang rumah. Selain itu dia punya tujuan lain hadir di sini. "Sekarang nyaris seminggu Bibi menghukum Bayu dan Aira," ujar Kai. "Mereka menderita Bi, tinggal di rumah bedeng macam itu. Apa Bibi tega membiarkan Bayu dan Aira hidup susah?" Dua hari sekali Kai datang dan memohon hal yang sama. Namun, Ibu tetap santai menikmati pijatan Ana. Sesekali beliau bersendawa tanda jika merasa nyaman. Beliau juga dilanda dilema. Walau diam, tapi diam-diam Ibu juga khawatir kepada Bayu dan Aira. Bagaimana pun Bayu anak kesayanganny
Seperti semut mengerumuni gula, empat preman mengerumuni motor Riko. Mereka tidak memberi kesempatan Riko untuk memacu motor."Minggir, aku sibuk mau menjemput pelanggan," ujar Riko."Sombong!" bentak seorang preman gendut. "Lagak kamu sudah seperti orang penting.""Penting dia bro," sahut preman kedua. "Habis bebas dari penjara dengan bersyarat dan jaminan, kan sekarang wajib lapor atau saudaranya bakal membayar uang kompensasi."Suara tawa mereka membahana seperti supporter di stadion bola. Salah satu dari mereka mendorong kepala Riko. Satu lagi mengambil kunci motornya. Mereka sengaja ingin memancing supaya Riko marah dan menghajar mereka."Aduh, kasihan Mas Riko." Darmi hanya bisa memandang. Bisa apa dia, sendirinya berdagang di sini dan wilayah ini kekuasaan mereka."Kok Mas Riko tidak melawan?" tanya Bayu, mengamati lelaki tangguh di atas motor."Kalau melawan, nanti bakalan langsung dipenjara. Mas Riko bebas bersyarat. Sa
Sebagai kepala keluarga tentu Bayu yang membuka pintu. Empat ibu-ibu berwajah judes menanti. Melihat wajah tampan yang keluar, Judes mereka mereda dan sekarang senyum-senyum sendiri. "Maaf, ada apa ya, Bu?" tanya Bayu dengan ramah. Aira yang kebelet kepo pun nongol dari belakang Bayu. Senyumnya muncul, menggeser Bayu hingga mereka berdiri bersebelahan di pintu yang sempit. "Maaf Nak, ini sudah malam," ucap Ibu gendut dengan ramah. "Benar, sudah jam sebelas malam. Mohon suaranya dikecilkan, ya. Besok anak-anak sekolah, bising enggak bisa tidur," timpa Ibu kurus. "Kami tahu kok, pengantin baru, kan?" Ibu berbadan pendek menyambung. Tentu Bayu dan Aira menjadi sungkan. Mereka saling senggol, tertunduk dengan cengiran mereka yang khas, kecil, dibuat-buat. "Ingat, kita tinggal bersebelahan." Ibu yang lumayan muda menunjuk ke kiri dan kanan. Rumah mereka memang hanya terpisah tembok, bisa dikatakan suara kentut pun pasti bisa tetangg
Pindahan Bayu dan Aira cukup simpel. Mereka hanya membawa pakaian, peralatan kuliah, laptop, dan uang saku dari Ibu. Pagi hari mereka tiba di kontrakan yang dimaksud. Rumah petak sederhana. Lantai hanya dioles semen. Dinding bata tiada diberi cat. Langit-langit pun tak ada. Dari dalam bisa melihat pondasi atap. Dan aroma di sini lumayan pengap, berdebu. Hanya ada satu kamar tidur, kamar mandi pun nyaris menyatu dengan dapur. Perabotan yang ada hanya satu kasur dan satu lemari dengan TV tabung tua berdiri gagah di dekat kipas putar kecil. "Bagaimana? Rumah ini masih lebih bagus dari tempatku dulu tinggal. Kalian harus membayar uang listrik sendiri, uang air, dan mulai bulan depan membayar uang sewa. Jadi usahakan hemat." ucap Asep, menaruh kunci ke telapak tangan Aira. "Motor Vespa milikmu. Selamat tinggal." Dia berbalik hendak pergi. Akan tetapi Bayu menarik lengan Asep. "Sampai kapan kami harus tinggal di sini?" "Sampai Ibumu puas." Asep
Suara jangkrik menjadi musik merdu menemani mereka saat ini, tiada suara lain. Aira dan Bayu duduk bersila kaki di atas bantal. Mereka menanti Ibu di paviliun belakang rumah yang dikelilingi taman. Bayu menggenggam telapak tangan Aira. "Apapun yang terjadi aku tidak akan pernah menandatangani surat itu. Semoga kamu juga demikian." Aira mengangguk kecil. Dia menggenggam telapak tangan Bayu. "Asal kamu nanti berani bersumpah tidak akan menemui Cecil dan wanita lain, aku siap Mas." Bayu tersenyum lembut. "Mas? Oh Tuhan, panggilan mesranya Mas? Darling kek, hooney gitu, Mas, terdengar ndeso." "Ah, sudah lah." Dengan kasar Aira menarik tanggannya. "Youtuber sial, hobi banget sih merusak suasana." Bayu terkekeh melihat reaksi cemberut Aira. Dia hanya bercanda tadi. "Aku tidak menyangka akan menjadi seperti ini. Tahu tidak, alasan kenapa kamu aku pilih untuk menikah kontrak?" "Aku cantik, manis--" "Karena aku yakin tidak
Cahaya matahari masuk melalui kaca jendela besar di dinding sisi kiri menerpa ibu yang duduk di kursi kerja. Beliau sibuk mengetik sesuatu di komputer. Suara ketukan di pintu membuat dia berhenti sejenak. "Siapa?" "Ini saya Nyonya, Asep." "Masuk Sep." Pria berjas hitam masuk ke ruang kerja, berdiri dalam posisi instirahat di tempat. Setelah diberi kode gerak tangan Ibu, dia duduk di kursi berlengan. "Bagaimana, ada hasil?" tanya Ibu. Asep menaruh beberapa stopmap ke meja kerja. "Menurut para detektif yang saya kerahkan, terjadi perselingkuhan antara orang tua Nona Aira dan Tuan Kai. Menurut para detektif, kematian Ibu Nona Aira karena kebakaran di tempatnya bekerja ada hubungan dengan--" "Cukup, lewati bagian itu," ujar Ibu. Asep berdeham. "Setelah kejadian itu Kai memang sangat terpukul dan merasa bertanggung jawab untuk merawat Aira. Walau umur mereka hanya terpaut beberapa tahun, tapi dia berhasil melakukannya de