Di kampus Aira berkuliah seperti biasa bersama Mei dan teman-teman. Hanya saja semenjak menikah dengan Bayu para fans youtuber sialan itu menjadi baik. Mereka mau disuruh-suruh membeli jajan buat Aira, bahkan ada yang bersedia memijat kaki Aira secara cuma-cuma.
Mei menggeleng pelan sambil berdecak melihat tingkah Aira. Gadis itu bagai seorang ratu, duduk berselonjor kaki dipijat oleh dua gadis. "Benar-benar nih bocah, ajimumpung, ya."
Aira tersenyum santai sambil bermain game di Iphone. Tiba-tiba Kai mengirim pesan.
[Bagaimana kuliahmu? Apa sangat sibuk hingga tak pernah tampil lagi di panggung?]
Aira enggan menjawab, tapi sungkan. Bagaimana pun juga Kai adalah pengagum pertama. Bisa dibilang dia cinta pertamanya.
[Maaf Kak, sibuk kuliah]
Baru selesai membalas pesan tiba-tiba Mei menepuk pundak Aira dari samping. "Ra, tuh, tiga serangkai datang."
Yang Mei panggil dengan tiga serangkai adalah gadis kurus, gadis gend
Aira mengawasi mobil Bayu dari kaca spion. Ia menyeringai kecil ketika mobil Camaro di belakang melaju kencang. Pasti Bayu kebakaran jenggot melihatnya bersama Kai. Rasakan, salah siapa bermain-main dengan api? Akan tetapi jika dia cemburu, bukan kah itu berarti Bayu menyukainya? Aira menggeleng. Tidak mungkin seperti itu. Bayu pasti hanya ingin menjaga nama baiknya sendiri sebagai youtuber dan publik figur. Dia seperti ini supaya tidak timbul gosip. Akan tetapi kemarin dia pernah bertanya--tidak tidak, itu tidak mungkin. Dia hanya menggoda saja. "Aira, kamu kenapa?" tanya Kai, tersenyum sambil mengemudi. Sesekali menoleh mengamati penumpang di sebelah. "Kok senyum-senyum sendiri, lalu menggeleng sendiri? Pusing? Mau minum obat?" "Enggak perlu, cuma sedang menikmati kegembiraan saja, Kak." "Oh iya?" Kai memandang spion di atas dashboard. "Aku rasa Bayu benar-benar ingin mengejar. Lihat, dia sampai mengedipkan lampu terang." "Biarlah, bia
Cecil duduk di jok mobil Suv sibuk mengoles lotion anti-surya ke sekujur kulit tubuh yang terpampang. "Bagaimana, jadwal hari ini jadi kan memberi sedekah ke para duafa?" Seperti biasa dia hendak membeli pamor dengan sedekah palsu di depan kamera. "Aduh Mbak. Bagaimana ya." Asisten cemas membuka tablet yang dia pegang. "Bagaimana bagaimana apanya? Ya seperti biasa, dong. Kamu mengaku sebagai orang lain, kirim pesan ke wartawan tentang keberadaanku yang akan bagi-bagi rejeki, mengerti? Pastikan mereka datang untuk merekam." "Bukan begitu, Mbak. Coba lihat ini." Asisten mengoper tablet putih kepada Cecil. Gemas Cecil mengutak-atik layar tab. Di layar itu terdapat berita mengatakan jika semua kegiatan bagi-bagi uang dan sumbangan kepada kaum duafa yang menjadi trademark Cecil, adalah adegan settingan demi mendongkrak popularitas belaka. Beberapa kaum duafa mengaku jika Cecil memang memberi sumbangan, tapi sikapnya berubah ketika kamera pergi. Selain itu
Hari-hari berlalu dengan cepat. Aira semakin yakin jika Bayu, menyembunyikan rasa kepadanya. Pemuda itu memang kekanak-kanakan. Rencana Aira akan mencoba memberi lampu hijau untuk Bayu, supaya dia tahu kalau dirinya juga mulai menyukai Bayu, berharap pemuda itu menjadi kepala rumah tangga yang resmi. "Kamu yakin, Ra?" tanya Mei, ketika berada di kampus bersama Aira. Dia memandang sekitar, memastikan tidak ada manusia lain selain dirinya dan Aira yang melangkah santai di lorong. "Ahm tanda-tandanya sudah ada, Mei. Aku ... aku merasa nyaman banget dekat Bayu akhir-akhir ini. Dia juga, tempo hari marah banget, sampai diam gitu, ketika aku pergi sama Kai." "Aih, beneran cinta tuh. Tapi--" "Dia juga." Aira menggeser badan, berbisik kepada Mei. "Dia hendak meniduriku, sumpah, deg-degkan banget." "Hah! Serius? Kalian malam itu--" "Enggak sampai. Aku enggak mau, takut dia cuma main-main." "Aduh Aira, kamu nih goblok apa gimana sih! Eh,
Aira mengingat kenangan di masa lalu. Cahaya matahari sore masuk menembus kaca jendela besar. Cahaya itu menerpa wajah seorang anak lelaki kecil yang duduk di kursi piano. Dia memencet not dengan jari-jari yang lihai, seperti berdansa di sana. Suara yang dihasilkan begitu merdu. Dan wajah anak itu begitu tampan, kombinasi darah Rusia dan Jepang. Dia Kai Razanov kecil, yang selalu Aira kagumi. Aira kecil yang berumur sekitar lima tahun duduk berayun kaki di kursi, bersandar tembok, polos memandang Kai yang lebih tua darinya. Dia tersenyum menggerakkan kepala menikmati lagu. Ketika permainan piano Kai berakhir, Ibu bertepuk tangan bersama beberapa anak seumuran Kai. Permainan itu menutup acara latihan mingguan. "Bagus sekali, Kai. Kamu memang berbakat dalam bermain musik." Kai menoleh memandang Ibu. "Terima kasih Bunda, aku akan selalu bermain musik demi Bunda." "Demi kebahagiaanmu, Nak." Ibu bertumpu satu lutut
Perselingkuhan. Itu yang ada di benak Ibu. Semua mendukung, semua menjurus ke sana. Bukan tanpa sebab pikiran itu melintas. Hidup lebih dari tujuh puluh tahun di dunia ini, dia telah banyak makan garam, merasakan pahit manis cinta. Banyak pengalaman, bahkan dia sendiri pernah menjadi korban perselingkuhan dan menjadi pelaku perselingkuhan. Hanya saja, sekarang berbeda. Aira adalah menantu yang sangat dia sayangi, bunga adeline putih yang langka. Sementara Kai, sosok pemuda yang selama ini selalu dia banggakan seperti anak sendiri, anak emas yang selalu membuatnya berandai punya anak sepeti dia. Sekarang keduanya tertangkap tangan sedang melakukan hal itu di tempat sepi. Hati kecilnya tak ingin percaya, tetapi dengan bukti yang ada. Akan susah merubah penilaian. Tidak cukup dengan menangis. Tidak cukup dengan omong kosong dan suara pilu. Walau air mata menantu menjadi pancingan bagi air matanya untuk menetes, Ibu tetap bersikap dingin
Semua kaget melihat Bayu yang semakin hari semakin sering mengumbar senyum. Tentu semua menganggap itu hanya topeng belaka. Akan tetapi anggapan itu berangsur-angsur berubah. Mereka mulai sadar jika senyum itu tulus dan semakin banyak orang menyukai Bayu. Ada yang bilang setelah beristri dia terawat baik fisik dan hati, jadi senyum itu salah satu efek positif pernikahan. Tidak salah. Bayu memang semakin sayang pada Aira sampai bawaannya ingin senyum terus. Dia tak sabar ingin pulang hanya untuk melihat wajah manis Aira. Hari ini sebelum syuting dimulai, dia tertahan oleh beberapa fans. Walau bayu sangat sebal, senyum manisnya tetap tertata rapi. Satu persatu dia menandatangani buku, melayani ajakan foto bersama. Dia sekarang tak pernah keberatan jika fans mencium pipi atau mengelus perut dan dada. "Hati-hati Yu, nanti yang di rumah cemburu." Esmeralda menggoda, sembari alis matanya naik turun. Bayu menanggapi santai sambil mempertahankan s
Lambai tangan perlahan turun. Seperti ada kupu-kupu terbang dalam perut, menggelitik dengan sayap lembut mereka. Ia semakin yakin Bayu adalah matahari dalam jiwa. Aira ketagihan menikmati senyum Bayu. Setiap hari senyum itu semakin sering muncul. Ketika muncul, selalu ada lekuk kecil di ujung bibir dan memancing lesung pipi muncul yang membuat Aira gemas. Ketika mencuci pakaian, ia memeluk erat kemeja Bayu. Sisa aroma parfum, jejak hangat badan itu, ia seperti memeluk sang suami. Tentu suaminya kadang menyebalkan, tapi itu bagian dari hidup, tidak ada yang sempurna. Bagian dari cinta. Walau pernikahan kontrak, Aira gadis biasa, punya hati juga insting, dan harapan. Hari ini di abakal memberi hadiah kepada Bayu. Dibuka dengan rendang kepala ikan, lalu memberi tahu jika ia ingin kontrak dihapus, memberikan hak penuh Bayu atas dirinya sebagai istri. Jika beruntung malam ini ia bisa mewujudkan mimpinya untuk memeluk Bayu di kamar, sebagai istri dan
Suara musik gembira terdengar menggelora di area kolam renang gedung Eden, sebuah gedung tingkat sepuluh dalam kota Surabaya. Banyak artis dan aktor, para pesohor, juga muda-mudi anak orang kaya berpesa pora. Mereka memakai pakaian santai. Beberapa gadis berbikini asik di kolam bersama beberapa pemuda yang baru menceburkan diri ke sana. Beberapa asik bercengkrama di pinggiran, sambil menikmati minuman keras.Nampak beberapa wartawan mengerumuni Bayu seperti lebah.Kai berusaha merangsak maju, tapi terhalang oleh mereka. Dia ingin memberi tahu pesan Aira."Kak Bayu, pesta yang menyenangkan. Sama seperti tahun lalu," tanya seorang wartawan.Bayu tersenyum ramah tanpa menjawab.Wartawan lain bertanya. "Apa Istrimu akan datang, Kak?"Bayu menggeleng. "Istriku gadis baik-baik. Dia tidak cocok berada di pesta neraka ini.""Bayu!" teriak Kai, tapi suaranya seperti ngeongan kucing di pinggir jalan padat kendaraan. Tiada yang mende
Banyak orang berkumpul di taman kompleks mengerumuni para idola. Mereka rerata ibu-ibu muda dan para gadis meminta tanda tangan, foto bersama, atau sekedar berjabat tangan. Situasi seperti di pasar malam ini terjadi karena kehadiran Bayu, Kai, Kevin, Aira, dan Lukman. Pamor mereka tidak meredup sedikit pun walau sekarang sudah berkeluarga. Di tengah mereka hadir tiga bocah kecil yang aktif membuat gaduh suasana. Vega anak Bayu dan Aira. Altair anak Kai dan Ana, Deneb putra dari Kevin dan Mei. Ketiganya bermain bersama anak-anak di taman dengan penuh keceriaan tanpa kenal penderitaan dunia. "Vega, ngapain?" tanya Altair sambil melihat Vega yang sedang menyodok-nyodok sesuatu di bawah pohon. Melihat benda apa yang menjadi mainan membuat dia melangkah mundur. "Ih, itu kan eek kucing! Jorok!" "Iya tahu." Dengan piawainya Vega mengangkat eek itu memakai kayu lalu menjejalkan pada Altair. "Alta, ini bagus buat lulur mukamu. Sini, jangan kabur!" "Mama!" Alta
Aira buru-buru membuka pintu. Dia tidak sempat mengintip dari gorden karena mendengar suara yang sering dia dengar sebelumnya. "Sebentar, ini sedang buka kunci." Pintu dibuka. Aira tersentak melihat Ibu duduk di kursi teras bergelimang air mata. Asep yang sembari tadi menggedor pintu, langsung membungkuk menyambut Aira. Bukan hanya mereka, di Kai, Ana, Shion, Kevin, Mei, Lukman, dan Sasa, turut serta. "Kamu yang sabar, Aira," ucap Kai, memeluk Aira dengan erat. "Bayu--" "Ada apa sih?" tanya Aira. "Apa ada yang ulang tahun? Kok pada kumpul di sini?" Semua bertukar pandang heran. Mereka saja bingung, apalagi Aira? Dia benar-benar tidak tahu menahu tentang isi kepala para tamu. "Mana Bayu, Nak?" tanya Ibu, dengan kaki sempoyongan berdiri memeluk Aira. Wajah beliau seperti pakaian yang baru dicuci belum kering. "Bayu? Di dalam Bu--" Belum selesai Aira bicara, Ibu merangsak maju hingga nyaris jatuh. D
Dahulu sebelum menikahi Bayu, Aira 'hobi' bersih-bersih. Dari kecil dia terbiasa menyapu dan mencuci piring. Akan tetapi beberapa bulan terakhir dia hidup dalam mimpi yang menjadi kenyataan. Dia tidak perlu melakukan itu semua, cukup duduk santai dan bersenang-senang. Sekarang ketika menyapu, punggungnya sakit dan capek. Seminggu berlalu tapi dia belum menemukan kembali apa yang menjadi 'hobi'-nya dulu. "Waduh, Bu Angga, rajin sekali," tegur seorang ibu tetangga sebelah, baru pulang dari mengajar. Dia guru di SMP sekitar. "Ini Bu, ada sedikit jajan, tadi anak-anak sedang praktek tata-boga." Aira tentu berterima kasih atas perhatian itu. Dengan senyum mereka alami ia menerima kantung plastik putih berisi bungkusan sop sayur. Tetangga berlaku baik karena aura positif dari Bayu dan Aira. Mungkin juga faktor face dan rumor yang Aira sebar berpengaruh pada mereka. Kisah tentang pernikahan dini, di mana Bayu si miskin nekat menikahi Aira tanpa persetu
"Pijat yang benar." Ibu menepuk-nepuk pundaknya, sembari duduk di atas bantal. "Iya Nek--" "Nek?" Ibu menoleh menangkap senyum mal-malu Ana. "Kamu ini, panggil Ibu, mengerti?" Ana mengangguk ketika Ibu kembali fokus ke TV. Gadis itu tersenyum lembut pada Kai yang duduk bersila kaki di sebelah Ibu. Siang ini Kai memperkenalkan Ana kepada Ibu asuhnya itu sebagai calon istri. Ketiganya duduk santai di paviliun belakang rumah. Selain itu dia punya tujuan lain hadir di sini. "Sekarang nyaris seminggu Bibi menghukum Bayu dan Aira," ujar Kai. "Mereka menderita Bi, tinggal di rumah bedeng macam itu. Apa Bibi tega membiarkan Bayu dan Aira hidup susah?" Dua hari sekali Kai datang dan memohon hal yang sama. Namun, Ibu tetap santai menikmati pijatan Ana. Sesekali beliau bersendawa tanda jika merasa nyaman. Beliau juga dilanda dilema. Walau diam, tapi diam-diam Ibu juga khawatir kepada Bayu dan Aira. Bagaimana pun Bayu anak kesayanganny
Seperti semut mengerumuni gula, empat preman mengerumuni motor Riko. Mereka tidak memberi kesempatan Riko untuk memacu motor."Minggir, aku sibuk mau menjemput pelanggan," ujar Riko."Sombong!" bentak seorang preman gendut. "Lagak kamu sudah seperti orang penting.""Penting dia bro," sahut preman kedua. "Habis bebas dari penjara dengan bersyarat dan jaminan, kan sekarang wajib lapor atau saudaranya bakal membayar uang kompensasi."Suara tawa mereka membahana seperti supporter di stadion bola. Salah satu dari mereka mendorong kepala Riko. Satu lagi mengambil kunci motornya. Mereka sengaja ingin memancing supaya Riko marah dan menghajar mereka."Aduh, kasihan Mas Riko." Darmi hanya bisa memandang. Bisa apa dia, sendirinya berdagang di sini dan wilayah ini kekuasaan mereka."Kok Mas Riko tidak melawan?" tanya Bayu, mengamati lelaki tangguh di atas motor."Kalau melawan, nanti bakalan langsung dipenjara. Mas Riko bebas bersyarat. Sa
Sebagai kepala keluarga tentu Bayu yang membuka pintu. Empat ibu-ibu berwajah judes menanti. Melihat wajah tampan yang keluar, Judes mereka mereda dan sekarang senyum-senyum sendiri. "Maaf, ada apa ya, Bu?" tanya Bayu dengan ramah. Aira yang kebelet kepo pun nongol dari belakang Bayu. Senyumnya muncul, menggeser Bayu hingga mereka berdiri bersebelahan di pintu yang sempit. "Maaf Nak, ini sudah malam," ucap Ibu gendut dengan ramah. "Benar, sudah jam sebelas malam. Mohon suaranya dikecilkan, ya. Besok anak-anak sekolah, bising enggak bisa tidur," timpa Ibu kurus. "Kami tahu kok, pengantin baru, kan?" Ibu berbadan pendek menyambung. Tentu Bayu dan Aira menjadi sungkan. Mereka saling senggol, tertunduk dengan cengiran mereka yang khas, kecil, dibuat-buat. "Ingat, kita tinggal bersebelahan." Ibu yang lumayan muda menunjuk ke kiri dan kanan. Rumah mereka memang hanya terpisah tembok, bisa dikatakan suara kentut pun pasti bisa tetangg
Pindahan Bayu dan Aira cukup simpel. Mereka hanya membawa pakaian, peralatan kuliah, laptop, dan uang saku dari Ibu. Pagi hari mereka tiba di kontrakan yang dimaksud. Rumah petak sederhana. Lantai hanya dioles semen. Dinding bata tiada diberi cat. Langit-langit pun tak ada. Dari dalam bisa melihat pondasi atap. Dan aroma di sini lumayan pengap, berdebu. Hanya ada satu kamar tidur, kamar mandi pun nyaris menyatu dengan dapur. Perabotan yang ada hanya satu kasur dan satu lemari dengan TV tabung tua berdiri gagah di dekat kipas putar kecil. "Bagaimana? Rumah ini masih lebih bagus dari tempatku dulu tinggal. Kalian harus membayar uang listrik sendiri, uang air, dan mulai bulan depan membayar uang sewa. Jadi usahakan hemat." ucap Asep, menaruh kunci ke telapak tangan Aira. "Motor Vespa milikmu. Selamat tinggal." Dia berbalik hendak pergi. Akan tetapi Bayu menarik lengan Asep. "Sampai kapan kami harus tinggal di sini?" "Sampai Ibumu puas." Asep
Suara jangkrik menjadi musik merdu menemani mereka saat ini, tiada suara lain. Aira dan Bayu duduk bersila kaki di atas bantal. Mereka menanti Ibu di paviliun belakang rumah yang dikelilingi taman. Bayu menggenggam telapak tangan Aira. "Apapun yang terjadi aku tidak akan pernah menandatangani surat itu. Semoga kamu juga demikian." Aira mengangguk kecil. Dia menggenggam telapak tangan Bayu. "Asal kamu nanti berani bersumpah tidak akan menemui Cecil dan wanita lain, aku siap Mas." Bayu tersenyum lembut. "Mas? Oh Tuhan, panggilan mesranya Mas? Darling kek, hooney gitu, Mas, terdengar ndeso." "Ah, sudah lah." Dengan kasar Aira menarik tanggannya. "Youtuber sial, hobi banget sih merusak suasana." Bayu terkekeh melihat reaksi cemberut Aira. Dia hanya bercanda tadi. "Aku tidak menyangka akan menjadi seperti ini. Tahu tidak, alasan kenapa kamu aku pilih untuk menikah kontrak?" "Aku cantik, manis--" "Karena aku yakin tidak
Cahaya matahari masuk melalui kaca jendela besar di dinding sisi kiri menerpa ibu yang duduk di kursi kerja. Beliau sibuk mengetik sesuatu di komputer. Suara ketukan di pintu membuat dia berhenti sejenak. "Siapa?" "Ini saya Nyonya, Asep." "Masuk Sep." Pria berjas hitam masuk ke ruang kerja, berdiri dalam posisi instirahat di tempat. Setelah diberi kode gerak tangan Ibu, dia duduk di kursi berlengan. "Bagaimana, ada hasil?" tanya Ibu. Asep menaruh beberapa stopmap ke meja kerja. "Menurut para detektif yang saya kerahkan, terjadi perselingkuhan antara orang tua Nona Aira dan Tuan Kai. Menurut para detektif, kematian Ibu Nona Aira karena kebakaran di tempatnya bekerja ada hubungan dengan--" "Cukup, lewati bagian itu," ujar Ibu. Asep berdeham. "Setelah kejadian itu Kai memang sangat terpukul dan merasa bertanggung jawab untuk merawat Aira. Walau umur mereka hanya terpaut beberapa tahun, tapi dia berhasil melakukannya de