Sudah seminggu ini Karina mengurung diri di kamar rumah Tante Tiara. Sejak kejadian di rumah Mama Ina waktu itu, dia tak pernah merasa tenang. Di satu sisi dia ingin sekali menemuinya dan minta maaf. Namun, di lain sisi Karina tidak tau Raka tinggal di mana? Kadang dia kepikiran mau minta tolong dipertemukan sama Idham, tapi caranya memaki-maki Idham sepulang dari Rumah sakit waktu itu membuatnya malu untuk bertanya. Idham yang dulu selalu mengganggu dan mengajak perang, juga berubah. Iya, dia masih mengajak perang, tapi perang dingin kali ini. Padahal Karina butuh banget kabar tentang Raka. Sebulan ini mereka lost contact sama sekali.
"Mungkinkah, dia tak lagi perduli padaku, karena merasa telah diabaikan?" gumamnya lirih. Karina membolak-balik bantal di sekelilingnya, mencari posisi yang pas untuk tidur dan melupakan semua kerumitan.
Tok ...tok ... tok ...
"Ya, Tante, masuk!" Pintu kamar terbuka, Tante Tiara menyembul
Raka tak mengerti apa yang sudah adiknya perbuat pada wanita yang begitu dia cintai itu. Yang dia tau, Karina sepertinya begitu frustasi. Dia melambaikan tangan pada pelayan, mengeluarkan dua lembar uang biru, "Kita pulang!" titahnya, lalu beranjak meninggalkan Karina.Hati Karina menciut, takut kalau Raka meninggalkannya di sana? Karina akan tersesat karena tak tahu jalan pulang, Karina mengikuti langkah Raka terseok-seok. Kakinya benar-benar sudah tidak kuat diajak berjalan, belum lagi langkah Raka yang panjang-panjang dan cepat membuatnya tertinggal jauh di belakang.Ketika Raka semakin jauh dan menghilang di antara kerumunan orang-orang yang lalu lalang. Karina panik bukan main, dia tak pernah ke Kota sebelumnya."Andai aku tau di mana alamat Nadine!" jeritnya putus asa. Belum lagi betisnya yang benar-benar sudah kram dan ya, Raka juga sudah lama menghilang ditelan kerumunan itu.
Karina membuka mata pelan, kejadian semalam kembali berdansa di ruang ingatan. Ia membenamkan wajah ke dalam bantal guling, merasakan malu mengingat betapa bodoh dan rapuhnya dirinya semalam. Mulai dari ketidak sadarannya tengah di kerjain Rani dan si Idham, sampai pada raut frustasiku karena takut hilang di kota Daeng. Berhenti pada setiap detik-detik keintiman mereka di atas motor saat masih di tepi pantai."Ahh!" Rasa campur aduk nggak jelas itu membuat Karina ingin menghilang sekejap dari dunia ini. Mengingat bagaimana Idham rela menanti mereka berjam-jam di ujung gang rumahnya, karena takut Karina diomelin Tante Tiara.Flashback OnDi sela-sela suara deru motor yang melaju, Raka menoleh pada Karina, "Yang di depan itu, Idham bukan?"Karina menatap ke depan dan benar, seperti yang dikatakan Raka. Idham ada di depan mennati mereka."Idham ... ngapain, loe di sini?" tanya
Malam ini mata Karina enggan terpejam. Bukan hanya karena berisik suara orang-orang yang main domino di luar sana, tapi karena esok sore akan jadi moment terpenting dalam hidupnya. Esok dia akan menanggalkan masa remaja, menikah dengan Raka Pratama Putra. Sosok yang baru empat bulan ini dia kenal.Sosok yang awalnya dia pikir hanya sebagai persinggahan tuk membasuh luka, sosok yang ia ragukan niat tulusnya. Karena takut terluka lagi tuk kedua kalinya. Namun, dia berhasil meyakinkannya, kalau dirinya tak seperti yang Karina takutkan.Raka membuktikannua dengan datang melamar dan mempersunting dirinya. Meyakinkan Karina kalau masih ada cinta yang tulus dalam dunia ini untuknya, yaitu cinta Raka. ***Mentari pagi ini, memancarkan cahaya yang lain dari hari-hari sebelumnya. Cahayanya terasa menembus k
Karina menghapus air mata yang masih mengalir di sudut matanya, ingatannya tentang masa lalu bersama sang suami membuatnya merasa sendu. Dia terkesiap saat sadar malam sudah semakin larut, sementara pintu jendelanya masih terbuka lebar di hadapannya. Hingga angin malam yang dingin berhambur masuk, seolah akan membekukan tulang-tulang wajahnya. Karina buru-buru menutup jendela dan tirainya.Ia melirik pada foto di sudut ruangan tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang. Ia menghampiri foto itu, foto saat dirinya dan Raka pertama kali bertemu setelah acara ijab qabul selesai. Sekali lagi ia tersenyum, meraba wajah suaminya yang tersenyum lebar. Ia bisa merasakan betapa bahagianya Raka bisa memilikinya saat itu. Setelah puas menatapi wajah suaminya, Karina menurunkan foto pernikahan mereka, kembali menatap lepas pada langit yang sudah mulai menghitam pada celah tirai yang terbuka.Karina pernah begitu mencintai Adnan, bahkan ketika dia sudah sah
Raka yang mendengar suara Mama Ina memekikkan nama Karina ikut panik di ujung sana, "Ma, apa yang terjadi pada Karina? Ma ...!"Sementara Mama Ina tak lagi menghiraukan HP-nya dan panggilan Raka. Ia telah sibuk menepuk pipi Karina dengan panik. Karina yang merasakan ada kekacauan di kamarnya menggeliat malas, "Ma, Mama ngapain di sini, biarkan Karina tidur sebentar, Ma. Semalaman Karina nggak tidur, mata Karina nggak mau diajak bobo.""Iya, tapi ini kenapa mesti tidur di lantai gini seh?"Karina menepis tangan Mama Ina dan melanjutkan tidurnya. Mama Ina hanya bisa menatapnya putri sambungnya itu dengan iba. Ia lalu beranjak mengambil bantal dan mengangkat kepala Karina agar tak tergeletak seperti orang pingsan.Berjalan membuka tirai dan jendela agar udara segar masuk ke ruangan itu. Ia tersentak saat beberapa menit kemudian menyadari tentang Raka, dengan langkah tergesa-gesa ia menghampi HP ya
04 - Juli - 2007Dear diary ...Dengarlah rintihan hati yang patah ini. Cintaku yang belum berumur jagung ini harus hancur berserak, hanya karena ketakutanku dicampakkan oleh cinta pertama. Dengan bodoh dan tanpa pikir panjang aku mengikuti ego dan mencampakkan dirinya lebih dulu.Dengan angkuhnya kukatakan pada diriku sendiri, 'Lihatlah! Sebelum dia menyakiti, aku telah mematahkannya lebih dulu.'Apa aku bahagia setelahnya? Sama sekali tidak. Aku terluka mungkin lebih parah dari dia yang bahkan mungkin tergores pun tidak.Diary, ini bukan inginku. Aku mencintainya dan kau tahu itu dengan sangat baik. Adnan adalah warna dari lukisan jiwaku, dia irama dari detak jantungku. Lalu bagaimana mungkin aku mencampakkannya hanya karena ketakutan tak beralasan ini. Diary, dapatkah Adnan memahami bahwa keputusan bodohku ini mungkin tak menyakitinya. Akan tetapi, menyakiti diriku sendiri dengan sangat dalam.
10 Februari 2008Malam ini setelah Tujuh bulan berlalu, aku kembali menginap di Rumah Nadine. Besok ia akan merayakan hari ulang tahunnya. Sebenarnya aku sudah menolak mati-matian, sejak memilih memutuskan Adnan dengan sepihak dan tanpa bertemu. Aku benar-benar ragu bahkan tak pernah siap untuk bertemu kembali dengan dirinya. Terlebih jika harus kembali berada di dalam satu atap dengannya.Semua teman-teman sekolah Nadine akan datang, jangan di tanya tentang Adnan, sudah pasti dia datang. Dia bukan hanya sebatas teman sekolah bagi Nadine, tapi juga teman masa kecil dan tetangganya."Say, maaf, ya. Aku baru bilang sekarang. Kamu jangan kaget kalau besok Adnan tidak hanya akan datang bareng teman-teman sekolah yang lain, tapi ia juga akan datang dengan Sukma teman wanitanya yang lagi pedekate ke dia."Deg!Rasanya kayak luka yang perlahan akan sembuh, tapi tiba-tiba dengan sengaja di
Aku kabur menjauh dari semua yang berhubungan dengan Adnan. Tak ingin lagi bertemu atau sekedar mendengar tentang dirinya disebut. Semua yang berhubungan dengannya selalu mampu membuatku terseret arus rindu yang tak bisa kusahirkan dalam sebuah kata. "Assalamu alaikum, apa kabar, Om? Karina mana?" Suara Nadine tiba-tiba menggema di luar kamar. Kamarku yang berseblahan dengan ruang tamu membuatku bisa mendengar dengan jelas percakapan antara papa dan Nadine. "Waalaikumussalaam, kabar baik, cantik. Tuh, temanmu di dalam, tiba-tiba doyan jadi kutu busuk. Nyelinap di sela bantal dan kasur mulu tiap hari," canda papa pada Nadine yang terdengar jelas olehku. Karena hanya terhalang dinding triplek. "Hei, tumben loe betah banget jadi anak kamar-kamar!" seru Nadine, menjatuhkan tubuh di sampingku. "Papi, mana?" tanyaku menanyakan papa Nadine. Karena kutahu dia tak akan ke mana-mana kalau tak diantar.
Karina duduk di sisi taman menerawang jauh ke masa lalu, masa di mana ketika dia masih berjuang. Bergelut dengan kehidupan, mencari makna dan kemana arah langkah yang akan ditempuh.Tak jauh dari tempatnya duduk, Raka dan Ayub terus berlari memperebutkan bola ke sana ke mari seolah tak pernah lelah. Mereka tertawa lepas, seolah duka tak pernah singgah pada raut wajah itu.Wajah-wajah yang pernah disinggahi rindu yang sangat menyiksa. Mata yang pernah dibanjiri oleh air mata kekecewaan dan penyesalan. Itulah hidup, sejatinya tak ada yang mudah. Semua butuh pengorbanan, perjuangan, dan kesabaran.Tak ada seorang pun manusia yang dilahirkan, bisa memilih jalan dan akhir dari hidupnya sendiri. Karena takdir selalu melenggang mengikuti kehendak SANG Pencipta. Sedang manusia hanya bisa berusaha semampu, sebisa mereka. Karena pinish-nya tetap urusan Allah.Karina pernah begitu mencintai Adnan. Pernah
Raka dan Ayub tengah tertidur dengan saling memeluk satu sama lain. Mereka begitu damai dalam lelap mereka. Seulas senyum merekah di sudut bibir Karina menatap kedua prianya.'Makasih Tuhan, telah membuka mataku untuk dapat melihat semua kebenarannya sebelum terlambat. Jika tidak, mungkin aku akan jadi manusia yang paling menyesal karena telah salah menilai Kak Raka.' bisik hati Karina. Dia menutup mata merafal syukur pada Sang Pemilik segala dalam hati.Ponsel-nyq berdering, tepat saat akan merebahkan tubuh di samping sang suami. Dia membatalkan niat untuk tidur dan segera beranjak menjauh dari kedua orang yang tengah terlelap itu. Takut suaranya akan mengganggu atau bahkan bisa membangunkan mereka.Dengan perlahan membuka pintu kamar, lalu menutupnya kembali begitu sudah berada di luar. Melangkah menuju halaman belakang dan menjawab panggilan yang sudah berdering dari tadi.Karina menjawab panggila
Adnan yang saat itu kebetulan keluar rumah mematung takkala mendapati sosok Karina dari kejauhan. Wanita itu tengah berjalan santai bersama suami dan putranya yang tampan. Mereka perlahan menjauh meninggalkan pekarangan rumah.Sudut bibir Adnan tersungging saat mengingat reaksi kedua Suami-Istri itu, saat tadi dia menggoda mereka tentang Furqon. Adnan begitu menikmati sekelebat kecemburuan yang berkilat di mata Raka setiap kali dia dengan sengaja menggoda Karina."Karin, aku mengikhlaskan kau bahagia dengannya. Bukan karena di hatiku tak ada lagi cintamu, tapi karena aku ingin kau bahagia. Cukup sudah derita kau pikul, cukup beban duka menghimpitmu. Kini saatnya kau tersenyum dan bahagia," bisiknya.Adnan menutup pintu, kembali ke dalam. Semua barang-barang yang akan dia bawa besok, sudah terkemas rapi dalam ransel besar berwarna hitam yang tergeletak di sudut ruangan. Raka terlentang dengan tatapan kosong menerawang jau
Setelah salat Isya, Karina dan Raka kembali ke ayunan di taman belakang, tempat favorit mereka sejak pertama kali mereka berdua menempati rumah itu. Mengulang kembali setiap detik indah yang sempat terenggut paksa oleh jarak dan situasi.Berkali-kali Raka mendekap erat Karina dengan penuh cinta, melepaskan semua kerinduan yang selama ini mengendap di dasar jiwanya. Sama seperti Karina yang tak bisa lepas lagi. Mereka kembali menikmati kebersamaan yang indah di atas ayunan yang menjadi sejarah indah awal mula cinta antara mereka tumbuh.Karina tak lagi segan membiarkan Raka tenggelam dalam kisah Karina tentang Surabaya dan semua yang dia alami di sana. Beberapa kali kilatan amarah terlihat di mata Raka ketika Karina sampai pada kisah tentang Nathan.Karina sangat lega. Lewat sudah duka yang selama ini memayungi rumah tangga mereka. Kini saatnya membuka lembaran baru, menata kembali semua yang sempat terserak di anta
Air mata menetes satu persatu luruh menindih ketegaran seorang Karina yang memang berhati selembut kapas, dia menatap Adnan yang juga mulai berkaca. Pria itu pasti sangat menyesal ... telah menyakiti Nayra selama ini meski mungkin tanpa menyadarinya."Aku akan ke Surabaya menyusul Nayra, dia pasti terpuruk sendiri di rumah sebesar itu. Ibu baru saja meninggal dan aku satu-satunya orang yang seharusnya menguatkan, justru menjadi manusia yang paling menyakiti," ucap Adnan penuh penyesalan."Kau tidak salah, Ad. Bukankah selama ini kau tidak tahu dengan perasaan Nayra yang sebenarnya?" ucap Karina berusaha menguatkan Adnan, tak ingin melihat pria itu rapuh di saat-saat seperti ini."Aku telah jadi teman berbagi kepahitan dengannya, tapi aku bahkan tak bisa peka untuk menyadari. Kepahitan yang justru aku sendirilah penyebab dari itu semua." Adnan mulai meracau menyalahkan diri sendiri."Ad, kapan kau aka
Sudah sebulan lebih sepasang suami istri itu dilanda perang dingin. Mereka hanya bicara satu sama lain ketika ada Ayub di tengah-tengah mereka atau saat ada orang luar yang datang bertamu.Seperti saat ini, mereka hanya diam dalam sekat ruang yang sama. Karina dengan novel tebal di tangan dan Raka dengan game di Hp-nya. Mereka laksana sepasang merpati terbang rendah yang tak saling menyapa.Suara ketukan dari arah pintu membuat Karina dan Raka yang tengah duduk berjauhan di ruang tamu seketika kompak menatap ke arah yang sama. Karina bangkit membuka pintu, untuk sejenak dia mencoba berdiskusi dengan akal sehatnya. Melihat Adnan berdiri mematung di ambang pintu membuat otak Karina bleng."Adnan, ka, kau ...?" tanya Karina dengan separuh nyawa yang tak lagi menetap.Wanita yang kini tengah mengenakan hijab hijau lemon itu panik bukan main, dia bisa mati berdiri kalau kedua pria ini bertemu. Raka
Usai makan malam bersama semua anggota keluarga mertuanya, Raka memboyong istri dan anaknya pulang. Ayub sudah keburu tidur di atas motor ketika mereka sampai. Raka mengambil alih putranya dari pangkuan Karina dan menggendong bocah itu hati-hati takut dia terbangun.Karina bergegas membuka pintu pagar dan pintu rumah, membiarkan Raka masuk lebih dulu. Tak ada percakapan ataupun gelak canda tawa romantis, seperti yang selalu tercipta di keluarga kecil mereka dulu. Hanya ada kebungkaman satu sama lain. Ada jarak tak kasat mata di antara mereka.Tepat saat tangan Karina sudah menyentuh stang motor, Raka muncul di ambang pintu, memintanya turun. Karina yang memang malas berdebat langsung patuh, dia memutar tubuh untuk menutup pintu gerbang.Tatapan mata mereka bertabrakan ketika Karina kembali masuk ke dalam ruang tamu. Raka sudah duduk di sana menatap tajam dengan tangan ditepuk-tepukkan pada paha. Karina membuang muka hend
Karina bergegas turun dari motor ketika Kayra sudah berdiri menatap di ambang pintu dengan tatapan seolah melihat setan. Karina melangkah ragu menghampirinya pun saat tiba-tiba adiknya itu menghambur memeluknya dengan terisak."Kak, aku pikir aku akan kehilangan Kakak untuk selama-lamanya. Aku pikir aku akan kehilangan Kanseku!" ucapnya dengan bahu terguncang dalam pelukan Karina, membuat air mata Karina ikut luruh."Karin, Kau!?" pekik papanya dari dalam membuat Karina mengangkat wajah menatap pria tua itu dengan tubuh gemetar ketakutan.Pria tua itu melangkah maju menyingkirkan Kayra dari pelukan Karina dan memeluk putri sulungnya dengan erat, seolah Karina akan pergi jauh dari kehidupan mereka selamanya. Karina kaget dengan perlakuan papa yang tadinya dia pikir dirinya akan diamuk dan dimarahi habis-habisan, tapi justru diperlakukan sehangat ini."Jangan pernah pergi lagi, Nak! Kau bisa memb
Karina melangkah ragu melintasi pagar, berdiri mematung di ambang pintu rumah sendiri. Menghela napas panjang dan menghembuskannya kasar. Sebelum dia memutuskan untuk masuk rumah menyeret koper dengan malas.Tepat saat akan masuk rumah, Raka dengan hanya menggunakan celana bokser pendek warna merah dengan baju kaos longgar berwarna putih, mendongak padanya. Pria itu tengah sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk. Melihat wanita yang begitu dia rindui itu membuat Raka berdiri mematung menatap Karina. Lama mereka terpaku satu sama lain.Raka menatap wanitanya penuh rindu, tapi tidak dengan Karina. Dia menatap Raka dengan amarah yang berkecamuk dalam dada. Wanita itu tidak bergerak karena pikirannya tengah sibuk mencerna untuk apa suaminya ada di sini, bukankah seharusnya saat ini dia di Surabaya mengangkangi wanitanya yang sangat cantik itu.Setelah Karina bisa menguasai situasi, dia berjalan masuk ke