Karina membuka mata pelan, kejadian semalam kembali berdansa di ruang ingatan. Ia membenamkan wajah ke dalam bantal guling, merasakan malu mengingat betapa bodoh dan rapuhnya dirinya semalam. Mulai dari ketidak sadarannya tengah di kerjain Rani dan si Idham, sampai pada raut frustasiku karena takut hilang di kota Daeng. Berhenti pada setiap detik-detik keintiman mereka di atas motor saat masih di tepi pantai.
"Ahh!" Rasa campur aduk nggak jelas itu membuat Karina ingin menghilang sekejap dari dunia ini. Mengingat bagaimana Idham rela menanti mereka berjam-jam di ujung gang rumahnya, karena takut Karina diomelin Tante Tiara.
Flashback On
Di sela-sela suara deru motor yang melaju, Raka menoleh pada Karina, "Yang di depan itu, Idham bukan?"
Karina menatap ke depan dan benar, seperti yang dikatakan Raka. Idham ada di depan mennati mereka.
"Idham ... ngapain, loe di sini?" tanya
Malam ini mata Karina enggan terpejam. Bukan hanya karena berisik suara orang-orang yang main domino di luar sana, tapi karena esok sore akan jadi moment terpenting dalam hidupnya. Esok dia akan menanggalkan masa remaja, menikah dengan Raka Pratama Putra. Sosok yang baru empat bulan ini dia kenal.Sosok yang awalnya dia pikir hanya sebagai persinggahan tuk membasuh luka, sosok yang ia ragukan niat tulusnya. Karena takut terluka lagi tuk kedua kalinya. Namun, dia berhasil meyakinkannya, kalau dirinya tak seperti yang Karina takutkan.Raka membuktikannua dengan datang melamar dan mempersunting dirinya. Meyakinkan Karina kalau masih ada cinta yang tulus dalam dunia ini untuknya, yaitu cinta Raka. ***Mentari pagi ini, memancarkan cahaya yang lain dari hari-hari sebelumnya. Cahayanya terasa menembus k
Karina menghapus air mata yang masih mengalir di sudut matanya, ingatannya tentang masa lalu bersama sang suami membuatnya merasa sendu. Dia terkesiap saat sadar malam sudah semakin larut, sementara pintu jendelanya masih terbuka lebar di hadapannya. Hingga angin malam yang dingin berhambur masuk, seolah akan membekukan tulang-tulang wajahnya. Karina buru-buru menutup jendela dan tirainya.Ia melirik pada foto di sudut ruangan tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang. Ia menghampiri foto itu, foto saat dirinya dan Raka pertama kali bertemu setelah acara ijab qabul selesai. Sekali lagi ia tersenyum, meraba wajah suaminya yang tersenyum lebar. Ia bisa merasakan betapa bahagianya Raka bisa memilikinya saat itu. Setelah puas menatapi wajah suaminya, Karina menurunkan foto pernikahan mereka, kembali menatap lepas pada langit yang sudah mulai menghitam pada celah tirai yang terbuka.Karina pernah begitu mencintai Adnan, bahkan ketika dia sudah sah
Raka yang mendengar suara Mama Ina memekikkan nama Karina ikut panik di ujung sana, "Ma, apa yang terjadi pada Karina? Ma ...!"Sementara Mama Ina tak lagi menghiraukan HP-nya dan panggilan Raka. Ia telah sibuk menepuk pipi Karina dengan panik. Karina yang merasakan ada kekacauan di kamarnya menggeliat malas, "Ma, Mama ngapain di sini, biarkan Karina tidur sebentar, Ma. Semalaman Karina nggak tidur, mata Karina nggak mau diajak bobo.""Iya, tapi ini kenapa mesti tidur di lantai gini seh?"Karina menepis tangan Mama Ina dan melanjutkan tidurnya. Mama Ina hanya bisa menatapnya putri sambungnya itu dengan iba. Ia lalu beranjak mengambil bantal dan mengangkat kepala Karina agar tak tergeletak seperti orang pingsan.Berjalan membuka tirai dan jendela agar udara segar masuk ke ruangan itu. Ia tersentak saat beberapa menit kemudian menyadari tentang Raka, dengan langkah tergesa-gesa ia menghampi HP ya
04 - Juli - 2007Dear diary ...Dengarlah rintihan hati yang patah ini. Cintaku yang belum berumur jagung ini harus hancur berserak, hanya karena ketakutanku dicampakkan oleh cinta pertama. Dengan bodoh dan tanpa pikir panjang aku mengikuti ego dan mencampakkan dirinya lebih dulu.Dengan angkuhnya kukatakan pada diriku sendiri, 'Lihatlah! Sebelum dia menyakiti, aku telah mematahkannya lebih dulu.'Apa aku bahagia setelahnya? Sama sekali tidak. Aku terluka mungkin lebih parah dari dia yang bahkan mungkin tergores pun tidak.Diary, ini bukan inginku. Aku mencintainya dan kau tahu itu dengan sangat baik. Adnan adalah warna dari lukisan jiwaku, dia irama dari detak jantungku. Lalu bagaimana mungkin aku mencampakkannya hanya karena ketakutan tak beralasan ini. Diary, dapatkah Adnan memahami bahwa keputusan bodohku ini mungkin tak menyakitinya. Akan tetapi, menyakiti diriku sendiri dengan sangat dalam.
10 Februari 2008Malam ini setelah Tujuh bulan berlalu, aku kembali menginap di Rumah Nadine. Besok ia akan merayakan hari ulang tahunnya. Sebenarnya aku sudah menolak mati-matian, sejak memilih memutuskan Adnan dengan sepihak dan tanpa bertemu. Aku benar-benar ragu bahkan tak pernah siap untuk bertemu kembali dengan dirinya. Terlebih jika harus kembali berada di dalam satu atap dengannya.Semua teman-teman sekolah Nadine akan datang, jangan di tanya tentang Adnan, sudah pasti dia datang. Dia bukan hanya sebatas teman sekolah bagi Nadine, tapi juga teman masa kecil dan tetangganya."Say, maaf, ya. Aku baru bilang sekarang. Kamu jangan kaget kalau besok Adnan tidak hanya akan datang bareng teman-teman sekolah yang lain, tapi ia juga akan datang dengan Sukma teman wanitanya yang lagi pedekate ke dia."Deg!Rasanya kayak luka yang perlahan akan sembuh, tapi tiba-tiba dengan sengaja di
Aku kabur menjauh dari semua yang berhubungan dengan Adnan. Tak ingin lagi bertemu atau sekedar mendengar tentang dirinya disebut. Semua yang berhubungan dengannya selalu mampu membuatku terseret arus rindu yang tak bisa kusahirkan dalam sebuah kata. "Assalamu alaikum, apa kabar, Om? Karina mana?" Suara Nadine tiba-tiba menggema di luar kamar. Kamarku yang berseblahan dengan ruang tamu membuatku bisa mendengar dengan jelas percakapan antara papa dan Nadine. "Waalaikumussalaam, kabar baik, cantik. Tuh, temanmu di dalam, tiba-tiba doyan jadi kutu busuk. Nyelinap di sela bantal dan kasur mulu tiap hari," canda papa pada Nadine yang terdengar jelas olehku. Karena hanya terhalang dinding triplek. "Hei, tumben loe betah banget jadi anak kamar-kamar!" seru Nadine, menjatuhkan tubuh di sampingku. "Papi, mana?" tanyaku menanyakan papa Nadine. Karena kutahu dia tak akan ke mana-mana kalau tak diantar.
Makassar 13 Mei 2008Akhirnya mau tak mau aku kembali lagi ke sini, tempat di mana aku akan selalu bertemu pria yang begitu aku cintai. Karena ia dan sahabatku tinggal di lingkungan yang sama, salat di Mesjid yang sama dan bernapas dalam lingkungan yang sama pula.Aku memilih duduk-duduk di teras belakang rumah Nadine. Berharap dengan duduk di sana, kami tak akan bertemu. Karena tempat itu jauh dari lalu lalang orang-orang yang lewat. Akan tetapi entah dari arah mana? Dia muncul di depanku dan melangkah mendekat.Tentu saja. Aku lupa kalau jalan menuju sumur Mesjid, tepat berada di sampingku. Dia ke sana jelas bukan untuk say hello, melainkan untuk wudhu. Aku mengangkat wajah dan tatapan kami bertemu, dia melemparkan senyumnya yang paling manis. Sementara aku, entah seperti apa reaksi wajahku tadi?"Doakan aku, ya!" Entah kekuatan dari mana? Aku juga tak mengerti. Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirk
Makassar 21 Agustus 2008Diary ...!Tak bisakah aku bahagia dalam jangka waktu lama? Haruskah bahagiaku hanya sekejap ini? Entah Adnan dapat ide dari mana? Dia menawarkan padaku sebuah persahabatan palsu. Intinya hanya kami bertiga yang boleh tau hubungan kami yang sesungguhnya. Dengan alasan karena orang-orang taunya kita sudah putus, ya biarkan mereka tau itu saja.Sebuah persahabatan palsu yang akan menguntungkan dirinya, sementara merugikan diriku. Akan tetapi apalah dayaku yang tengah terperangkap dalam ketidak berdayaanku menentang perasaanku.Aku mengabdikan diriku sebagai budak cintanya. Meminum air mata sendiri, demi melihat senyumannya. Ya, itulah cinta ... kadang membuat seseorang yang terjebak di dalamnya tak mampu berpikir secara rasional.Dengan begitu dia bebas kemana saja, tanpa ada hak untuk aku melarangnya. Sebaliknya ketika dia rindu atau butuh teman berbagi, dia berha