04 - Juli - 2007
Dear diary ...
Dengarlah rintihan hati yang patah ini. Cintaku yang belum berumur jagung ini harus hancur berserak, hanya karena ketakutanku dicampakkan oleh cinta pertama. Dengan bodoh dan tanpa pikir panjang aku mengikuti ego dan mencampakkan dirinya lebih dulu.
Dengan angkuhnya kukatakan pada diriku sendiri, 'Lihatlah! Sebelum dia menyakiti, aku telah mematahkannya lebih dulu.'
Apa aku bahagia setelahnya? Sama sekali tidak. Aku terluka mungkin lebih parah dari dia yang bahkan mungkin tergores pun tidak.
Diary, ini bukan inginku. Aku mencintainya dan kau tahu itu dengan sangat baik. Adnan adalah warna dari lukisan jiwaku, dia irama dari detak jantungku. Lalu bagaimana mungkin aku mencampakkannya hanya karena ketakutan tak beralasan ini. Diary, dapatkah Adnan memahami bahwa keputusan bodohku ini mungkin tak menyakitinya. Akan tetapi, menyakiti diriku sendiri dengan sangat dalam.
10 Februari 2008Malam ini setelah Tujuh bulan berlalu, aku kembali menginap di Rumah Nadine. Besok ia akan merayakan hari ulang tahunnya. Sebenarnya aku sudah menolak mati-matian, sejak memilih memutuskan Adnan dengan sepihak dan tanpa bertemu. Aku benar-benar ragu bahkan tak pernah siap untuk bertemu kembali dengan dirinya. Terlebih jika harus kembali berada di dalam satu atap dengannya.Semua teman-teman sekolah Nadine akan datang, jangan di tanya tentang Adnan, sudah pasti dia datang. Dia bukan hanya sebatas teman sekolah bagi Nadine, tapi juga teman masa kecil dan tetangganya."Say, maaf, ya. Aku baru bilang sekarang. Kamu jangan kaget kalau besok Adnan tidak hanya akan datang bareng teman-teman sekolah yang lain, tapi ia juga akan datang dengan Sukma teman wanitanya yang lagi pedekate ke dia."Deg!Rasanya kayak luka yang perlahan akan sembuh, tapi tiba-tiba dengan sengaja di
Aku kabur menjauh dari semua yang berhubungan dengan Adnan. Tak ingin lagi bertemu atau sekedar mendengar tentang dirinya disebut. Semua yang berhubungan dengannya selalu mampu membuatku terseret arus rindu yang tak bisa kusahirkan dalam sebuah kata. "Assalamu alaikum, apa kabar, Om? Karina mana?" Suara Nadine tiba-tiba menggema di luar kamar. Kamarku yang berseblahan dengan ruang tamu membuatku bisa mendengar dengan jelas percakapan antara papa dan Nadine. "Waalaikumussalaam, kabar baik, cantik. Tuh, temanmu di dalam, tiba-tiba doyan jadi kutu busuk. Nyelinap di sela bantal dan kasur mulu tiap hari," canda papa pada Nadine yang terdengar jelas olehku. Karena hanya terhalang dinding triplek. "Hei, tumben loe betah banget jadi anak kamar-kamar!" seru Nadine, menjatuhkan tubuh di sampingku. "Papi, mana?" tanyaku menanyakan papa Nadine. Karena kutahu dia tak akan ke mana-mana kalau tak diantar.
Makassar 13 Mei 2008Akhirnya mau tak mau aku kembali lagi ke sini, tempat di mana aku akan selalu bertemu pria yang begitu aku cintai. Karena ia dan sahabatku tinggal di lingkungan yang sama, salat di Mesjid yang sama dan bernapas dalam lingkungan yang sama pula.Aku memilih duduk-duduk di teras belakang rumah Nadine. Berharap dengan duduk di sana, kami tak akan bertemu. Karena tempat itu jauh dari lalu lalang orang-orang yang lewat. Akan tetapi entah dari arah mana? Dia muncul di depanku dan melangkah mendekat.Tentu saja. Aku lupa kalau jalan menuju sumur Mesjid, tepat berada di sampingku. Dia ke sana jelas bukan untuk say hello, melainkan untuk wudhu. Aku mengangkat wajah dan tatapan kami bertemu, dia melemparkan senyumnya yang paling manis. Sementara aku, entah seperti apa reaksi wajahku tadi?"Doakan aku, ya!" Entah kekuatan dari mana? Aku juga tak mengerti. Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirk
Makassar 21 Agustus 2008Diary ...!Tak bisakah aku bahagia dalam jangka waktu lama? Haruskah bahagiaku hanya sekejap ini? Entah Adnan dapat ide dari mana? Dia menawarkan padaku sebuah persahabatan palsu. Intinya hanya kami bertiga yang boleh tau hubungan kami yang sesungguhnya. Dengan alasan karena orang-orang taunya kita sudah putus, ya biarkan mereka tau itu saja.Sebuah persahabatan palsu yang akan menguntungkan dirinya, sementara merugikan diriku. Akan tetapi apalah dayaku yang tengah terperangkap dalam ketidak berdayaanku menentang perasaanku.Aku mengabdikan diriku sebagai budak cintanya. Meminum air mata sendiri, demi melihat senyumannya. Ya, itulah cinta ... kadang membuat seseorang yang terjebak di dalamnya tak mampu berpikir secara rasional.Dengan begitu dia bebas kemana saja, tanpa ada hak untuk aku melarangnya. Sebaliknya ketika dia rindu atau butuh teman berbagi, dia berha
Makassar 21 Agustus 2008 Diary, di sini aku masih separuh gamang ketika kejadian siang tadi terekam kembali seperti sebuah adegan film dalam benakku. Aku menggeleng frustasi, mengingat begitu banyak dosa yang harus kudapatkan karena cintaku yang bodoh ini. Aku meringis menahan sakit meski tak terlihat luka itu adanya dimana? Andai saja luka itu kasat mata, maka dengan mudah akan kucuci bersih, kubaluri obat lalu kuperban untuk mempermudah proses penyembuhannya. Luka ini sungguh tak terlihat, tapi sakit yang ditimbulkan sangat nyata terasa. "Karin, tadi Adnan ngapain ke kamar?" tanya Nadine yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu kamar. "Kamu dari mana?" aku balik bertanya, tanpa menjawab pertanyaanya. "Aku di sebelah, salat Maghrib di Masjid." "Aku kok nggak dipanggil?" tanyaku lagi, kali ini sambil memutar tubuh ke arahnya dan membelakangi kiblat.
Makassar 09 Oktober 2009Entah mengapa rasa sakit itu menghilang. Aku tidak cemburu pada Fatma meskipun akhirnya tau tentang penghianatan ini. Aku menelan pahitku, mengecap getirku. Ini bukan pertama kalinya kehidupan menyuguhiku dengan kepahitan. Aku sudah terbiasa hidup dalam kerangkeng ketidak adilan, akan kuikuti kemana pun arusnya akan membawaku.Diary, kutitipkan semua kepingan-kepingan luka ini padamu. Biarlah jadi rahasia kita hingga ke ujung masa. Kan kusimpan dan kujaga dirimu baik-baik, sama seperti engkau menjaga semua kepingan rahasia hati ini dengan baik pula.Sejak kejadian di pesta sepupu Kak Sandra waktu itu. Aku mencoba merelakan Adnan, mengikhlaskan dia pergi mencari kebahagiaannya. Jika memang kebahagiaan Adnan bukan padaku. Aku tak ingin lebih lama menyakiti dan mengikat ia bersamaku.Makassar 12 Oktober 2009Diary, aku mau menangis, bolehkah? Apa yang terjadi sore ini sem
Makassar 03 Februari 2010"Tumben banget si kamu ngajak aku ke kebun Nad?" tanyaku dengan langkah sempoyongan di belakangnya karena pematang yang kami lalui terlalu sempit. Salah melangkah sedikit saja, bisa bikin kami tercebur ke sawah.Sejak kejadian di arena balap waktu itu, aku sengaja menghindar dari Adnan. Cara terbaik adalah dengan tidak menginap atau sekedar berkunjung ke rumah Nadine. Tiap Nadine kangen, dia yang akan datang dan menginap ke rumah Papa.Kadang pula Ichal sengaja menjemput kami berdua di depan gerbang sekolahku. Lalu kami akan pergi bertiga ke pantai atau ke mana saja. Masih jelas dalam ingatan betapa tercekatnya aku. Saat Ichal tiba-tiba mempertanyakan ketidak hadiran Adnan dalam jalan-jalan kami kali itu. Meski Nadine selalu punya banyak alasan untuk menutupi yang tengah terjadi sebenarnya dari Ichal. Tetap saja, aku merasa ada yang terkoyak dengan sangat keras jauh di dalam sana. Ketika nama orang begitu aku
"Mau ngomong apa?" tanyaku memulai pembicaraan ketika aku sudah mendarat mulus di sampingnya. Dia menoleh dan tersenyum manis. Aku membalas dengan senyum yang tak kalah manis pula."Satu tes lagi dan selesai," adunya dengan wajah yang murung. Aku beranikan diri meraih dan memegang tangan Adnan, lalu menggenggamnya erat."Kali ini kamu pasti berhasil, aku bantu doa." Aku mencoba membangun semangatnya, meski semangatku sendiri runtuh setelah itu."Bagaimana kalau aku benar-benar berhasil?" tanyanya seperti mengambang."Bukankah itu cita-citamu sedari kecil? Harapan terbesar mamamu? Kejarlah selagi kau mampu! Cukup aku saja yang tak punya mimpi," ucapku bijak, meski setiap kalimatku seperti boomerang yang akan selalu berbalik menyakiti diriku sendiri."Menikahlah!" ucapnya tiba-tiba membuatku menoleh menatapnya dengan jantung berdebar tak karuan, "Menikahlah! jika nant
Karina duduk di sisi taman menerawang jauh ke masa lalu, masa di mana ketika dia masih berjuang. Bergelut dengan kehidupan, mencari makna dan kemana arah langkah yang akan ditempuh.Tak jauh dari tempatnya duduk, Raka dan Ayub terus berlari memperebutkan bola ke sana ke mari seolah tak pernah lelah. Mereka tertawa lepas, seolah duka tak pernah singgah pada raut wajah itu.Wajah-wajah yang pernah disinggahi rindu yang sangat menyiksa. Mata yang pernah dibanjiri oleh air mata kekecewaan dan penyesalan. Itulah hidup, sejatinya tak ada yang mudah. Semua butuh pengorbanan, perjuangan, dan kesabaran.Tak ada seorang pun manusia yang dilahirkan, bisa memilih jalan dan akhir dari hidupnya sendiri. Karena takdir selalu melenggang mengikuti kehendak SANG Pencipta. Sedang manusia hanya bisa berusaha semampu, sebisa mereka. Karena pinish-nya tetap urusan Allah.Karina pernah begitu mencintai Adnan. Pernah
Raka dan Ayub tengah tertidur dengan saling memeluk satu sama lain. Mereka begitu damai dalam lelap mereka. Seulas senyum merekah di sudut bibir Karina menatap kedua prianya.'Makasih Tuhan, telah membuka mataku untuk dapat melihat semua kebenarannya sebelum terlambat. Jika tidak, mungkin aku akan jadi manusia yang paling menyesal karena telah salah menilai Kak Raka.' bisik hati Karina. Dia menutup mata merafal syukur pada Sang Pemilik segala dalam hati.Ponsel-nyq berdering, tepat saat akan merebahkan tubuh di samping sang suami. Dia membatalkan niat untuk tidur dan segera beranjak menjauh dari kedua orang yang tengah terlelap itu. Takut suaranya akan mengganggu atau bahkan bisa membangunkan mereka.Dengan perlahan membuka pintu kamar, lalu menutupnya kembali begitu sudah berada di luar. Melangkah menuju halaman belakang dan menjawab panggilan yang sudah berdering dari tadi.Karina menjawab panggila
Adnan yang saat itu kebetulan keluar rumah mematung takkala mendapati sosok Karina dari kejauhan. Wanita itu tengah berjalan santai bersama suami dan putranya yang tampan. Mereka perlahan menjauh meninggalkan pekarangan rumah.Sudut bibir Adnan tersungging saat mengingat reaksi kedua Suami-Istri itu, saat tadi dia menggoda mereka tentang Furqon. Adnan begitu menikmati sekelebat kecemburuan yang berkilat di mata Raka setiap kali dia dengan sengaja menggoda Karina."Karin, aku mengikhlaskan kau bahagia dengannya. Bukan karena di hatiku tak ada lagi cintamu, tapi karena aku ingin kau bahagia. Cukup sudah derita kau pikul, cukup beban duka menghimpitmu. Kini saatnya kau tersenyum dan bahagia," bisiknya.Adnan menutup pintu, kembali ke dalam. Semua barang-barang yang akan dia bawa besok, sudah terkemas rapi dalam ransel besar berwarna hitam yang tergeletak di sudut ruangan. Raka terlentang dengan tatapan kosong menerawang jau
Setelah salat Isya, Karina dan Raka kembali ke ayunan di taman belakang, tempat favorit mereka sejak pertama kali mereka berdua menempati rumah itu. Mengulang kembali setiap detik indah yang sempat terenggut paksa oleh jarak dan situasi.Berkali-kali Raka mendekap erat Karina dengan penuh cinta, melepaskan semua kerinduan yang selama ini mengendap di dasar jiwanya. Sama seperti Karina yang tak bisa lepas lagi. Mereka kembali menikmati kebersamaan yang indah di atas ayunan yang menjadi sejarah indah awal mula cinta antara mereka tumbuh.Karina tak lagi segan membiarkan Raka tenggelam dalam kisah Karina tentang Surabaya dan semua yang dia alami di sana. Beberapa kali kilatan amarah terlihat di mata Raka ketika Karina sampai pada kisah tentang Nathan.Karina sangat lega. Lewat sudah duka yang selama ini memayungi rumah tangga mereka. Kini saatnya membuka lembaran baru, menata kembali semua yang sempat terserak di anta
Air mata menetes satu persatu luruh menindih ketegaran seorang Karina yang memang berhati selembut kapas, dia menatap Adnan yang juga mulai berkaca. Pria itu pasti sangat menyesal ... telah menyakiti Nayra selama ini meski mungkin tanpa menyadarinya."Aku akan ke Surabaya menyusul Nayra, dia pasti terpuruk sendiri di rumah sebesar itu. Ibu baru saja meninggal dan aku satu-satunya orang yang seharusnya menguatkan, justru menjadi manusia yang paling menyakiti," ucap Adnan penuh penyesalan."Kau tidak salah, Ad. Bukankah selama ini kau tidak tahu dengan perasaan Nayra yang sebenarnya?" ucap Karina berusaha menguatkan Adnan, tak ingin melihat pria itu rapuh di saat-saat seperti ini."Aku telah jadi teman berbagi kepahitan dengannya, tapi aku bahkan tak bisa peka untuk menyadari. Kepahitan yang justru aku sendirilah penyebab dari itu semua." Adnan mulai meracau menyalahkan diri sendiri."Ad, kapan kau aka
Sudah sebulan lebih sepasang suami istri itu dilanda perang dingin. Mereka hanya bicara satu sama lain ketika ada Ayub di tengah-tengah mereka atau saat ada orang luar yang datang bertamu.Seperti saat ini, mereka hanya diam dalam sekat ruang yang sama. Karina dengan novel tebal di tangan dan Raka dengan game di Hp-nya. Mereka laksana sepasang merpati terbang rendah yang tak saling menyapa.Suara ketukan dari arah pintu membuat Karina dan Raka yang tengah duduk berjauhan di ruang tamu seketika kompak menatap ke arah yang sama. Karina bangkit membuka pintu, untuk sejenak dia mencoba berdiskusi dengan akal sehatnya. Melihat Adnan berdiri mematung di ambang pintu membuat otak Karina bleng."Adnan, ka, kau ...?" tanya Karina dengan separuh nyawa yang tak lagi menetap.Wanita yang kini tengah mengenakan hijab hijau lemon itu panik bukan main, dia bisa mati berdiri kalau kedua pria ini bertemu. Raka
Usai makan malam bersama semua anggota keluarga mertuanya, Raka memboyong istri dan anaknya pulang. Ayub sudah keburu tidur di atas motor ketika mereka sampai. Raka mengambil alih putranya dari pangkuan Karina dan menggendong bocah itu hati-hati takut dia terbangun.Karina bergegas membuka pintu pagar dan pintu rumah, membiarkan Raka masuk lebih dulu. Tak ada percakapan ataupun gelak canda tawa romantis, seperti yang selalu tercipta di keluarga kecil mereka dulu. Hanya ada kebungkaman satu sama lain. Ada jarak tak kasat mata di antara mereka.Tepat saat tangan Karina sudah menyentuh stang motor, Raka muncul di ambang pintu, memintanya turun. Karina yang memang malas berdebat langsung patuh, dia memutar tubuh untuk menutup pintu gerbang.Tatapan mata mereka bertabrakan ketika Karina kembali masuk ke dalam ruang tamu. Raka sudah duduk di sana menatap tajam dengan tangan ditepuk-tepukkan pada paha. Karina membuang muka hend
Karina bergegas turun dari motor ketika Kayra sudah berdiri menatap di ambang pintu dengan tatapan seolah melihat setan. Karina melangkah ragu menghampirinya pun saat tiba-tiba adiknya itu menghambur memeluknya dengan terisak."Kak, aku pikir aku akan kehilangan Kakak untuk selama-lamanya. Aku pikir aku akan kehilangan Kanseku!" ucapnya dengan bahu terguncang dalam pelukan Karina, membuat air mata Karina ikut luruh."Karin, Kau!?" pekik papanya dari dalam membuat Karina mengangkat wajah menatap pria tua itu dengan tubuh gemetar ketakutan.Pria tua itu melangkah maju menyingkirkan Kayra dari pelukan Karina dan memeluk putri sulungnya dengan erat, seolah Karina akan pergi jauh dari kehidupan mereka selamanya. Karina kaget dengan perlakuan papa yang tadinya dia pikir dirinya akan diamuk dan dimarahi habis-habisan, tapi justru diperlakukan sehangat ini."Jangan pernah pergi lagi, Nak! Kau bisa memb
Karina melangkah ragu melintasi pagar, berdiri mematung di ambang pintu rumah sendiri. Menghela napas panjang dan menghembuskannya kasar. Sebelum dia memutuskan untuk masuk rumah menyeret koper dengan malas.Tepat saat akan masuk rumah, Raka dengan hanya menggunakan celana bokser pendek warna merah dengan baju kaos longgar berwarna putih, mendongak padanya. Pria itu tengah sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk. Melihat wanita yang begitu dia rindui itu membuat Raka berdiri mematung menatap Karina. Lama mereka terpaku satu sama lain.Raka menatap wanitanya penuh rindu, tapi tidak dengan Karina. Dia menatap Raka dengan amarah yang berkecamuk dalam dada. Wanita itu tidak bergerak karena pikirannya tengah sibuk mencerna untuk apa suaminya ada di sini, bukankah seharusnya saat ini dia di Surabaya mengangkangi wanitanya yang sangat cantik itu.Setelah Karina bisa menguasai situasi, dia berjalan masuk ke